Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Siang yang sangat terik. Pak Arya mengusap peluh di dahinya. Baru saja dia berjalan cukup jauh dari kampung sebelah.
"Duh, panas sekali ya." keluhnya dalam hati.
Dia meraba saku bajunya. Kosong. Nggak ada sepeser pun uang ditemukannya disana.
Pak Arya tambah pusing. Tenggorokannya kering dan dia hanya bisa menelan ludah saat melewati sebuah warung.
Dia baru ingat lembar terakhir uangnya sudah diberikan kepada tukang ojek, yang mengantarnya sampai di depan sebuah rumah mewah di kampung sebelah.
"Ambil aja kembaliannya, Mas," katanya dengan bangga. Dan sekarang dia baru sedikit menyesal. Lembaran rupiah warna biru itu masih terbayang di pelupuk matanya. Harusnya kutukarkan dulu tadi, pikirnya. Tapi semua sudah terlanjur. Laki-laki separuh baya itu hanya bisa menghela nafas panjang.
Tak berapa lama, Pak Arya sampai juga di depan sebuah rumah, yang sebenarnya lebih layak disebut gubug.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Masak apa bu, sudah lapar nih."
"Lha ya nggak masak to, Pak. Kan uangnya sudah bapak bawa semua tadi. Lupa menyisakan sedikit ya, Pak?" Bu Aryo menjawab dengan nada tidak sedap.
Sebenarnya dia sudah tahu akan begini kejadiannya. Tetapi dia tidak bisa menolak keinginan suaminya untuk menyerahkan semua penghasilan mereka selama seminggu, untuk diberikan pada panitia entah apa.
Bu Arya tidak habis mengerti. Entah apa yang ada dalam pikiran suaminya. Selama beberapa tahun belakangan ini, mereka terpaksa menahan lapar dan dahaga, lebih dari sebelumnya. Mereka memang ada pekerjaan meskipun hanya memungut sampah. Tapi setiap kali uang terkumpul, selalu saja Pak Arya bersikeras untuk menyumbangkan uangnya.
"Sampai kapan kita hidup begini, Pak. Aku pusing kalau begini terus." Bu Arya semakin mengeluh setiap kali Pak Arya mau pergi entah kemana.
"Sudahlah, Bu. Ini juga untuk kepentingan kita."
"Kepentingan yang mana, Pak? Hidup kita malah makin susah gini."
Pak Arya tidak menjawab. Dia sedang sibuk mengelus-elus selembar kertas undangan untuk menghadiri sebuah kegiatan pengajian yang akan dilaksanakan minggu depan. Namanya tertera manis di undangan tersebut sebagai donatur tetap Masjid Al Makmun. Dia membayangkan memakai baju batik dan kopiah terbaiknya. Kalau perlu minggu depan dia akan menyisihkan uang yang harusnya disumbangkan, untuk membeli selembar baju batik yang baru. Dia juga membayangkan akan duduk di deretan tamu VIP di kursi depan yang empuk, berjejer dengan tamu undangan yang lain.
Ada Pak Kades, atau mungkin malah Pak Camat atau Pak Bupati, para tokoh masyarakat, dan para ustadz yang menjadi takmir masjid. Dia membayangkan akan ada diantara orang-orang berbaju bagus dan berbau wangi. Dengan pikiran yang terus melayang, Pak Arya merebahkan tubuh di atas sebuah dipan di ruang tamu. Tak lama dia tertidur dan melupakan rasa lapar dan dahaganya.
Bu Arya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah suaminya. Dia sudah tidak tahu lagi bagaimana menyadarkan lelaki yang sudah menemani hidupnya selama hampir dua puluh tahun itu. Dulu, Pak Arya adalah seorang yang sederhana. Tekanan hidup dan cibiran orang-orang membuat Pak Arya menjadi ambisius seperti ini. Sambil menghela nafas berat, Bu Arya beranjak menuju halaman belakang yang kecil. Dia menyiram beberapa tanaman sayur yang belum bisa dipanen. Biasanya, hasil sayur yang tak seberapa itu bisa dimasak untuk sekedar mengganjal perut mereka.
Sore harinya, seperti biasa Pak Arya memanfaatkan waktu sebelum maghrib untuk mencari beberapa barang bekas. Sepeda onthel tua itu dikayuhnya pelan. Sepasang keranjang bertengger di boncengan belakang. Beberapa kali, sepeda itu dihentikan karena ada tumpukan sampah yang masih layak untuk diambil.
Meskipun lapar, Pak Arya tetap bersemangat. Seminggu ini dia harus mendapat uang banyak untuk disumbangkan di Masjid Al Makmun. Hingga tanpa sadar, sepeda onthel tua itu membawanya melewati beberapa desa, sampai ke sebuah rumah sederhana di ujung desa yang lumayan jauh jaraknya dari rumah Pak Arya.
Di depan pagar, nampak setumpuk kardus dan kaleng bekas. Mata Pak Arya berbinar terang. Segera dihentikan sepedanya dan mulai memilah sampah yang cukup banyak itu. Saking asyiknya, dia tidak sadar ada seorang lelaki di teras rumah yang nampak memperhatikan dirinya, lalu mendekat untuk memastikan sesuatu.
“Eh, benarkah ini Pak Arya?” Suara seorang lelaki yang tidak asing di telinganya membuat Pak Arya sontak menghentikan kegiatannya. Dia terperangah tidak percaya.
“Oh, eh, .. Us-Ustadz Zaki? Kok bisa ada di sini?” Pak Arya nampak gugup mendapati Ustadz Zaki, takmir Masjid Al Makmun, berdiri tegak di balik pagar.
“Wah, ternyata benar Pak Arya. Saya agak pangling tadi. Mari, Pak. Mampir dulu!” kata Ustadz Zaki ramah.
Pak Arya nampak malu dan semakin gugup. Dia tidak ingin bertemu dengan sang ustadz dalam kondisi seperti ini.
“Emm, eh, …, ma-maaf. S-saya harus segera pulang. Sudah mau maghrib ini.” Spontan Pak Arya berusaha menolak ajakan Ustadz Zaki untuk mampir ke rumah.
“Saya permisi dulu, Ustadz. Assalamualaikum.” Cepat-cepat Pak Arya pamit tanpa memperdulikan sampah di dekatnya.
“Eh, iya. Waalaikumsalam.” Ustadz Zaki agak heran melihat Pak Arya yang terlihat gugup dan terburu-buru.
Sementara itu, Pak Arya mengayuh sepeda dengan cepat menuju rumah. Tidak lagi peduli pada sampah-sampah yang dilewatinya. Sungguh tidak menyangka akan bertemu dengan Ustdaz yang selalu ditemui dalam keadaan terbaiknya. Biasanya mereka bertemu saat Pak Arya dengan bangga menyerahkan donasi untuk kegiatan masjid yang dipimpin sang ustdaz. Kali ini, Pak Arya sangat malu.
Mengapa dia lupa, bawa daerah itu sudah dekat dengan Masjid Al Makmun? Mengapa rumah Ustadz Zaki sangat sederhana seperti itu? Dia tidak pernah menyangka akan begini jadinya.
Bagaimana dia akan menghadapi beliau minggu depan. Pandangan penasaran Ustadz Makmun saja rasanya sudah menguliti habis dirinya. Masih ingat bagaimana dengan rasa percaya diri, dia mengaku sebagai seorang pengusaha. Bahkan saat Ustadz Makmun menanyakan tentang keluarganya, dia menciptakan sebuah kebohongan yang kini serasa mengejeknya. Dia bilang istrinya sedang arisan dengan teman sosialita. Dia juga mengaku anak-anaknya sedang kuliah di kota lain. Mata Pak Arya mengerjap pilu. Dadanya terasa sesak.
Sampai di rumah, Pak Arya langsung menyandarkan sepeda dan masuk ke ruang tamu merangkap tempat tidurnya itu. Tidak ditemukan istrinya di sana. Pak Arya tidak ambil pusing. Dia segera mengambil air minum dan menenggaknya dengan cepat. Pak Arya lalu duduk sembarangan di sebuah bangku usang di pojok ruangan.
Sekelebat kejadian tragis di masa lalu kembali berkelebat.
“Usir saja pencuri itu …!” teriak orang-orang yang mengerubungi seorang pemulung.
“Bawa ke kantor polisi,” teriak sekelompok orang yang posisinya agak di belakang.
“Ya, usir saja. Sejak dia berkeliaran di sini, banyak barang yang hilang,” ujar salah satu orang yang paling beringas wajahnya.
Ya. Pak Diman yang paling gencar menuduhnya sebagai pencuri. Dia yang sejak tadi berteriak membela diri, tidak ada yang menggubris. Wajahnya lebam, sudut bibirnya berdarah. Badannya terasa remuk semua. Orang-orang sudah memukulinya entah berapa lama. Untung saja ada Pak Lurah yang menengahi keributan itu. Arya, yang waktu itu masih muda, tidak jadi digelandang ke pos polisi, tetapi harus pergi dari desa itu.
Sejak saat itu, Arya muda benar-benar membenci kondisinya sendiri. Kemiskinan membuatnya diremehkan bahkan dituduh melakukan hal hina yang tak pernah dilakukannya. Meskipun nasibnya tidak berubah, tetapi dia bertekad untuk berbuat sesuatu yang mengangkat harga dirinya di mata orang lain.
Sayangnya, apa yang dilakukan ternyata hanya mendatangkan kebahagiaan semu. Dia berusaha tampil sebagai seorang pengusaha dermawan dengan berbagai cara. Nyatanya, baru bertemu dengan Ustadz Zaki dengan kondisi yang sebenarnya saja, dia sudah malu luar biasa.
“Ya Allah, astaghfirullah. Bagaimana nanti aku bertanggung jawab di hadapan-Mu?”
Pak Arya tergugu. Batinnya bergejolak hebat. Sungguh rasa malu sekarang begitu kuat mendera jiwanya. Kini, sudah tidak lagi berpikir bagaimana akan menghadiri acara minggu depan. Bahkan kalau bisa, dia ingin menghilang saja dari muka bumi ini. Masih terbayang wajah Ustadz Zaki. Malu. Sungguh malu.