Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Sang Penjaga Gerbang Bintang
0
Suka
175
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di lembah tersembunyi yang bahkan peta tak berani menggambarnya, hanya mereka yang tersesat dengan hati paling murni yang bisa menemukannya. Di sanalah Gerbang Bintang berdiri—bukan dari kayu atau besi, melainkan dari pilar-pilar kristal yang berputar perlahan, memancarkan cahaya ungu seperti denyut nadi dari langit malam yang jatuh ke bumi.

Di bawah cahaya itu, berdirilah Elara. Rambutnya hitam seperti malam tanpa bulan, sementara matanya hijau jernih bagai lumut yang tumbuh di dasar sungai paling sunyi. Ia bukan penyihir, bukan prajurit, hanya seorang penjaga—tapi di setiap hembus napasnya, terasa keteguhan seorang yang telah berdiri terlalu lama antara dua dunia. Lima puluh tahun ia menjaga gerbang itu, namun waktu baginya hanya mengalir selembut kabut musim dingin. Bagi Elara, lima puluh tahun terasa tak lebih dari lima purnama.

Hingga suatu hari, saat warna langit beralih dari emas menjadi nila, Gerbang Bintang bergetar hebat. Getaran itu bukan panggilan biasa. Ia seperti detak jantung yang panik—gelisah oleh sesuatu yang tak seharusnya ada.

Di tengah pusaran cahaya, muncul sesuatu: bukan naga, bukan peri, melainkan benda persegi panjang mengilap, memantulkan cahaya terang. Benda itu terlempar ke sisi Elara, menabrak batu lumutan.

Dari retakan yang hampir tertutup, jatuhlah seorang laki-laki. Pakaian yang dikenakannya aneh: kain biru longgar dan celana yang sama warnanya. Wajahnya pucat, matanya kebingungan.

“Aduh! Aku di mana?” gumamnya, mengusap kepalanya. “Apa ini efek samping terlalu banyak minum kopi?”

Elara mengangkat tongkatnya, ujungnya menyala lembut.

“Kau dari Dunia Luar. Bagaimana kau bisa melewati Gerbang Bintang?”

Laki-laki itu mengangkat kedua tangannya cepat-cepat.

“Tunggu! Dunia Luar? Gerbang? Nona, aku tadi cuma mengejar anjingku, Max! Dia lari ke gang kecil di sebelah toko bubble tea, lalu—bruakk—semuanya jadi ungu dan… ini.”

Elara tidak menjawab. Mata hijau miliknya hanya menatap penuh selidik. Benda mengilap itu memantulkan cahaya gerbang, menampilkan wajah laki-laki itu—tersenyum pada dirinya sendiri dalam gambar yang terjebak di dalamnya.

Sesuatu dalam hati Elara terasa asing. Dunia Luar selalu digambarkan sebagai tempat tanpa sihir dan tanpa mimpi. Namun kini, setelah melihat benda itu, ia merasa dunia di balik Gerbang Bintang mungkin tidak sesederhana yang selama ini ia percayai.

“Kau tidak seharusnya berada di sini,” kata Elara pelan tapi tegas. “Kau harus kembali.”

Namun, retakan di udara sudah menutup. Cahaya memudar, menyisakan hanya riak kecil di antara kristal.

Lelaki itu—Dhani, begitu ia memperkenalkan diri—menatap heran. “Gerbangmu itu saja sudah nyaris lenyap. Bagaimana aku bisa pulang kembali?”

---

Hari-hari berikutnya, Elara mengizinkan Dhani tinggal di tepi lembah, di bawah pengawasannya.

Ia menemukan Dhani begitu berbeda—ribut, ingin tahu, sering bicara pada “layar kecil”nya yang katanya bisa menunjukkan peta, lagu, bahkan wajah seseorang yang berada diluar gerbang ini. Kadang ia menatap ke langit lembah yang berwarna ungu dan bergumam, “Kalau saja kamera bisa menangkap keindahan ini.”

Elara menatapnya dari jauh, sering tak mengerti, tapi diam-diam terpesona oleh semangat lelaki dari dunia tanpa sihir itu. Ia terbiasa pada keheningan, dan kini ada tawa yang baru di antara denting kristal.

“Jadi, kamu ini semacam penjaga perbatasan dimensi?” tanya Dhani suatu malam. Langit bertabur bintang yang tampak begitu dekat, seolah hanya sejauh uluran tangan.

Elara tersenyum tipis. “Begitulah. Dunia Luar harus tetap terpisah. Jika batas ini runtuh, keduanya akan hancur.”

“Tapi... kenapa harus terpisah?” Dhani memandang pantulan bintang di sungai. “Di duniaku, kami belajar bahwa perbedaan bisa membuat segalanya lebih indah. Mungkin dunia kita pun bisa saling belajar.

Elara terdiam sejenak. “Mungkin.”

Ada kehangatan aneh di dadanya—sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh sihir.

“Baiklah,” kata Dhani tiba-tiba, mengubah suasana. “Kalau suatu hari kamu ke duniaku, aku akan mengenalkanmu pada sesuatu yang luar biasa.”

Elara menatapnya, penasaran. “Apa itu?”

“Kopi!” katanya bangga. “Rasanya pahit, tapi menenangkan. Kamu akan menyukainya.”

Elara tertawa kecil, lembut. “Pahit yang menenangkan... seperti hidup, ya?”

Dhani ikut tersenyum. “Persis.”

Sejak malam itu, tawa mereka menjadi bagian dari nyanyian lembah. Elara menceritakan kisah monster lembut yang tinggal di bawah tanah, Dhani membalas dengan cerita tentang lampu kota yang bersinar seperti bintang buatan manusia. Di antara dua dunia yang seharusnya tak pernah bertemu, tumbuh sesuatu yang tak bernama—hangat, tapi tak abadi.

---

Namun, tak lama setelah itu, Gerbang Bintang kembali bergetar.

Cahaya ungu berubah menjadi liar, menari dengan kegelisahan. Energi aneh dari telepon genggam Dhani mulai memicu ketidakseimbangan. Retakan dimensional terbuka kembali—dan dari celah itu, terdengar lolongan kecil.

Max!” Dhani berseru. Seekor anjing kecil melompat keluar, menabrak dada Dhani dan menjilat wajahnya dengan penuh kerinduan. Namun bukan itu yang membuat Elara menegang—melainkan cahaya kota yang tampak di balik retakan. Lampu-lampu. Bangunan. Dunia Luar.

Gerbang Bintang berdenyut liar. Lembah bergetar. Tanah menghela napas panjang, dan langit tampak lebih berat dari sebelumnya.

Elara menggenggam tongkatnya erat.

“Dhani, cepat! Kalian harus kembali. Gerbang ini… tidak bisa menahan dua jiwa Dunia Luar terlalu lama.”

Dhani menatapnya. Tidak lagi dengan kebingungan, tidak lagi dengan canda.

“Kalau aku pergi… kamu bagaimana?”

Elara tersenyum. Senyum yang lembut, tapi menyimpan letih yang tidak bisa diucapkan.

“Aku penjaga. Aku harus menutup gerbangnya.”

Sambil menggenggam tongkat, ia melangkah ke tengah pilar kristal. Cahaya ungu membubung tinggi, berputar seperti badai bintang.

“Pergilah, Dhani! Mungkin suatu hari nanti, kita akan bertemu lagi.”

Dhani menatapnya untuk terakhir kalinya.

“Aku akan menunggumu... Elara.” katanya pelan.

Lalu ia melompat ke dalam cahaya, membawa Max, dan lenyap di antara retakan yang menutup dengan desis lembut.

---

Cahaya ungu membanjiri lembah. Dhani berlari, membawa Max dalam pelukannya. Tepat sebelum ia menghilang dalam cahaya retakan, ia menoleh. Mata mereka bertemu—sekilas, namun cukup untuk berkata lebih banyak dari seribu kalimat.

Retakan menutup.

Senja kembali diam.

Lembah mengembuskan napas lega.

Elara berdiri sendiri di hadapan Gerbang Bintang. Sunyi menuruni batu-batu. Namun ketika ia menoleh, batu lumutan tempat Dhani sering duduk itu tidak lagi kosong.

Telepon genggam itu tertinggal di sana.

Elara meraihnya perlahan. Layarnya menyala.

Ada puluhan gambar—lembah, bintang-bintang, Gerbang Bintang, dan satu foto dirinya yang diambil diam-diam dari kejauhan.

Ada juga sebuah pesan yang belum sempat terkirim.

> "Kalau kopi di duniaku bisa menenangkan hati sehangat lembahmu… aku ingin kau mencicipinya suatu hari nanti."

Elara tersenyum. Untuk pertama kalinya, Gerbang Bintang terasa tidak hanya sebagai batas, tetapi juga jendela yang terbuka—meski hanya sedikit—ke dunia yang lain.

Dan malam itu, di bawah bintang-bintang yang berputar pelan, Sang Penjaga Gerbang Bintang diam-diam bertanya pada dirinya sendiri:

> "Apakah kopi benar-benar sehangat kata-katamu, Dhani?"



Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Skrip Film
DatingON: Suamiku Fanboy K-pop
Handi Namire
Flash
Secret love
almirah Yuliyanti
Cerpen
Sang Penjaga Gerbang Bintang
KelKel
Novel
Luka dan Bahagia
Nuraenah Yakin
Cerpen
Bronze
Korslet (Kisah Seputar Kopi dan Resleting)
DMRamdhan
Novel
The Innocent of Us
Lenny
Cerpen
Bronze
Cinta yang Bersemi di Balik Senyuman
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Antara Kekasih Bayangan di Cermin dan Cinta Lelaki
Sri Wintala Achmad
Novel
Salvatrice
Billy Yapananda Samudra
Novel
Takdir Terindah
Mona Cim
Skrip Film
Tak Terucap, Tapi Ada
Shavrilla
Novel
Bronze
Cinta Di Balik Jendela
Eko Hadisusilo
Novel
RESTFul IV
anjel
Skrip Film
Tabir cinta
Neni Sri agustin
Flash
"Ketika Langit Merah"
TATAN RUSNANTO
Rekomendasi
Cerpen
Sang Penjaga Gerbang Bintang
KelKel