Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mataku silau saat kami berbincang. Bukan hanya karena sinar mentari yang mulai membias dari luar jendela mobil, melainkan juga dari dua pasang mentari yang semakin berbinar di kedua matanya.
“Jadi, ini kipasnya, Kek?” jawabku ikut antusias.
Tentu saja aku penasaran dengan lanjutan cerita pria bungkuk itu.
Bruuuk.
Badan kami hampir terpental. Mobil yang kami tumpangi terbang. Ceruk selebar setengah meter dibabat begitu saja. Wajar saja, jarum kilometer menyentuh angka 80. Kulihat sopir berperawakan kurus itu mengusap-usap pelipisnya. Kepalanya terantuk pegangan di atas jendela. Aku sempat mengalihkan obrolanku kepada sang sopir. Kubilang tetap tenang. Meski, aku pun tetap meminta mobil ini harus cepat sampai sebelum pukul 10.
Sopir itu memberikan jempol. Mau bagaimana lagi, mobil ini kami sewa dengan harga yang cukup alot. Mau bagaimana lagi, daripada kami yang terlambat.
Padahal semalam sudah sengaja menginap di Tarakan demi jadwal yang pertama. Sayangnya, speedboat yang membawa kami dari Tarakan terlambat menepi. Ombak pagi ini memang agak besar. Perjalanan satu jam lebih itu harus ditemani hujan deras.
Lututku sempat seperti kehilangan sendi ketika turun di Dermaga Kayan 2. Namun, begitu kulihat Kakek Nurahman, aku merasa malu. Pria yang separuh usianya dihabiskan untuk jadi pengangkut Sawit di Tawau itu terus tersenyum dan memandang plang dermaga dengan binar mata yang bening. Wajar saja, tanah yang kembali dipijaknya ini pasti melemparkan ingatannya pada 57 tahun lalu.
Inilah Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan. Negeri bergelimpang sumber daya dari pesisir Kalimantan Utara. Negeri terlupakan berkeindahan alam yang melimpah, bak telaga jannah. Di sinilah, Tuhan menitipkan ranting-ranting surganya melalui induk Sungai Kayan. Ketika lapar, tinggal menangkap udang sebesar lengan anak-anak dan memancing ikan patin sebesar guling di Sungai Kayan. Berbagai jenis hewan dan buah yang berwarna-warni di tepi hutannya, merupa permata yang memuaskan mata. Sebuah negeri dongeng, yang pernah berjaya berabad-abad lalu, tanpa menarik upeti dari penduduk di wilayahnya.
“Kami dulu tinggal di kaki Gunung Putih. Di sanalah, saya pertama kali mengenalnya.” jelas Kakek Nurahman, saat pertama kali menceritakan riwayatnya.
Di masa tuanya, Kakek Nurahman tinggal di teratak tua di tepi hutan. Perlu berapa bulan lamanya, hingga aku menemukan sosok pria pemikul rindu itu di Pulau Sebatik.
“Saya masih ingat. Gunungnya itu seperti kapur putih.” lanjutnya.
Gunung yang beliau ceritakan itu memang memiliki pemandangan yang mengagumkan. Setiap kepala mendongak, tampak banyak sekali relief-relief alami, seperti dipahat. Dari hasil penelusuranku, kita bisa menaiki puncak gunung dengan mengikuti anak tangga yang tersedia. Setelah sampai dipuncak gunung, kita akan menikmati hamparan eksotis dengan karpet indahnya Kota Tanjung Selor dan Tanjung Palas. Pada sisi gunung ini terdapat sebuah gua. Konon, merupakan tempat persembunyian Sultan Bulungan dari kejaran para pria haus darah.
“Saya bersama orang tua menonton pertunjukannya. Waktu itu, ada upacara Birau. Birau itu seperti pesta besar. Sultan yang adakan. Meriah sampai bermalam-malam. Katanya khataman Al-Quran. Ada banyak yang diundang juga, raja-raja tetangga.” kenang Kakek Nurahman. Sambil kepala beliau ditengadahkan. Punggungnya yang sudah tipis itu disandarkan ke tiang bambu gubuk.
Aku membayangkan benar bagaimana meriahnya pesta besar yang beliau ceritakan. Semua warga boleh menyaksikan. Aku pun pernah melihat langsung warisan tak benda ini saat 2018 lalu. Kudengar ada banyak delegasi pangeran atau sultan se-Nusantara dan Malaysia yang mengikuti ritual adat Birau. Selama perjalanan sampai ke istana, para tamu kehormatan ini dijamu tari Jugit Demaring terus-menerus. Mereka khusyuk menari, seumpama merapal mantra yang sakral.
“Gadis muda itu tidak ikut menari. Tapi dia pakai baju atasan berwarna kuning dan bawahan serba hijau. Dia juga pakai kemban warna kuning, ada roknya, juga selendang dan kipas kuning,” Kakek Nurahman sempat menunjuk pada benda yang kupegang, lalu melanjutkan, “kelak, saya baru tahu bahwa dia ikut Mamanya yang penari utama.”
Setelah pertemuan pertama kali itu, Nurahman mengaku tidak bisa melupakan wajah gadis muda itu. Meski dia tidak menari, tetapi sosoknya telah benar-benar memantrai ingatan Nurahman.
Sepulang dari ibu kota, Nurahman sering menanyakan di mana para penari itu berlatih. Sayang, Mamanya sering melarang warga kecil seperti dirinya bertanya macam-macam tentang kalangan bangsawan dari kesultanan.
Mungkin, Tuhan selalu punya goresan misteri untuk menyambungkan titik takdir yang berbeda. Walau itu lewat jasa tetua kampung. Nurahman yang diliputi penasaran, menemukan sang gadis sedang berlatih di pendapa tak jauh dari desanya. Bersama gadis lain yang terpilih, sang gadis berlatih dua kali seminggu di sana.
Sore itu, mereka sedang mengikuti gerakan Ayu Ane dari sang guru tari. Nurahman yang jelang akil balig tentu saja terkesima dengan sedapnya sang gadis menari. Lengan gadis itu bergerak gemulai secara lambat. Jemarinya mengurai dengan lentik. Desakan-desakan lembut yang mengalun, berakhir pada gerakan menggendong anak. Tangan kanannya memegang kipas, dikuncup, lalu diletakkan ke tangan kiri seperti posisi sedang menggendong anak.
Setelah wajah yang terus tertancap dalam ingatan, letupan-letupan neuron di lobus fontalis Nurahman disemai cuplikan-cuplikan gerak bahari dari tubuh sang gadis. Gerak jugit warisan para leluhur Bulungan, Datuk Maulana dan Datuk Mahubut, itu sungguh menyelapi jiwa Nurahman. Mulai malam itu, jiwa Nurahman seketika memikul rindu yang biut.
Sejak hari itu, Nurahman semangat benar berkunjung ke sal besar di pinggir Sungai Kayan itu. Hampir setiap sore jika ada jadwal, Nurahman berlari dengan kaki telanjang ke sana. Sepulang membantu Mama menanam ubi, Nurahman segera mencuci badan sekadarnya, lalu pergi ke Barat Daya. Meski kaki sering terkena kusa yang ranggas, Nurahman tidak peduli. Sengaja Nurahman membuat jalan setapak baru buat memotong waktu, berlari menuju lokasi sang pujaan hati. Meski hanya melihat sang gadis dari balik perdu yang jauh, yang penting rindu Nurahman tumpah ruah.
“Waktu itu, keluarga sekampung sedang masa Pakanan Batu. Saya meminta izin pada Mama buat pergi mencari udang di Sungai kayan. Semua demi gadis itu.” jelas Kakek Nurahman. Ketika menjelaskan itu, suaranya sedikit tersedak karena mobil yang kami naiki sedikit tergelincir di sebuah tikungan.
Sesampainya di sal tempat para penari muda berlatih, Nurahman kecewa karena tidak ada seorang pun di sana. Nurahman pikir, para penari sedang libur berlatih. Tentu saja, tengkuk Nurahman sangat berat sore itu. Malas sekali untuk ditegakkan. Rindunya yang berlebih itu semakin membebaninya.
“Tulung... Aduh ....” seru Kakek Nurahman padaku, sambil menirukan suara gadis yang tiba-tiba mengenyakannya saat sedang berjalan putus asa di waktu itu.
Nurahman bergegas ke tepi Sungai Kayan. Benar dugaannya, para gadis muda penari sedang berkumpul di sana. Badan mereka basah setengah. Sementara, atasan dan kembannya dikumpulkan begitu saja di sebuah batu. Kaki seorang dari mereka, berkecipak seperti duyung. Dia berusaha mengambil kipas kuning yang perlahan hanyut ke arus kencang. Gadis itu sedang kepayahan.
Tidak berpikir lama, Nurahman melemparkan diri ke sungai. Dalam beberapa milidetik, air beriak itu merupa pecahan-pecahan bulir yang mengagetkan.
Gadis yang sebelumnya menyeru tolong, menepi bersama kawan-kawannya. Para bidadari Bulungan itu gelagap, begitu melihat sebuah tubuh tiba-tiba menghantam riak yang dalam.
Dalam beberapa detik, adegan itu cukup mengherankan bagi para gadis penari. Sebuah tangan mengepal dengan kipas kuning yang basah kemudian keluar dari dalam air. Disusul dengan sosok remaja lugu yang kuyup. Sambil malu-malu, Nurahman mendekat.
“Ini kipasnya. Hanyut.” ucap Kakek Nurahman. Kali ini menirukan dirinya sendiri sekitar setengah abad lalu itu.
Para gadis lain menertawainya hingga puas. Namun, tidak dengan gadis pujaannya. Gadis itu seolah tahu bahwa remaja lugu itu berniat baik. Meski sebenarnya, gadis itu tidak benar-benar meminta tolong. Teriakannya justru menjebak remaja lugu itu untuk menukar nyawanya. Demi sebuah kipas berwarna kuning.
Sejak kejadian itulah, para gadis penari tahu bahwa Nurahman sering mengintip mereka berlatih. Begitupun dengan sang gadis pujaan yang memperkenalkan diri sebagai Sutra.
“Sikapnya lembut seperti namanya.” kenang Kakek Nurahman dengan jakun yang mengerut.
Nama itu yang kemudian jadi patokanku untuk hari ini. Dari hasil penelusuranku, Nenek Sutra menjadi pensiunan guru tari di Kabupaten Nunukan. Hari ini, beliau diundang secara khusus oleh pihak Provinsi untuk mengisi acara ritual Bedibai di Museum Bulungan dalam rangka hari ulang tahun Kabupaten Bulungan sekaligus ulang tahun Kalimantan Utara setelah dimekarkan menjadi Provinsi.
“Lalu bagaimana ceritanya Kakek Nurahman dan Nenek Sutra jadi terpisah ketika itu?” tanyaku meyakinkan Kakek Nurahman. Meski sebetulnya aku tahu benar penyebabnya. Ya, tragedi berdarah pada 57 tahun itu.
“Iye... Yang saya ingat, hari itu hari Jumat. Tahun 1964. Saya dan Sutra sudah saling mengenal. Setengah tahun lamanya. Meski begitu, kami tidak mengerti yang terjadi. Semuanya begitu cepat.”
Sudut-sudut mata Kakek Nurahman mendadak berkemal.
“Subuh itu, saya masih berada di dapur bersama Mama. Tiba-tiba dari kejauhan banyak orang berteriak-teriak. Istana Bulungan dikepung orang-orang berseragam.”
Lanjutnya dengan bibir yang semakin berbuih.
“Selama terjadi pengepungan itu, banyak bangsawan Bulungan diculik, ditangkap, dan dibunuh. Hati saya hancur. Kami tidak bisa bertemu. Mama melarang saya pergi ke lingkungan istana. Saya bayangkan Sutra termasuk korban kekejian itu. Bagaimana tidak, dari kejauhan istana Bulungan yang bertingkat dua itu terlihat terbakar dengan hebat.”
Nurahman sesak. Dia tak sanggup melanjutkan ceritanya. Aku pun demikian, tak mau mengungkit-ungkit kejadian itu.
“Sebentar lagi sampai, Pak.”
Tiba-tiba, ucapan sopir sewa mencairkan kembali suasana kami yang sempat sendu.
Kami bergegas turun. Mobil sengaja diparkir begitu saja di dekat rerambat Mekai; tumbuhan berdaun majemuk asli Bulungan yang sering digunakan masyarakat sebagai penyedap rasa.
Aku bilang pada sang sopir untuk menunggu saja dan kugandakan sewanya. Kami menjadi ikut tergesa, setelah kulihat para tamu kehormatan yang terlambat datang berjalan tergesa di pelataran museum. Bangunan museum yang sudah dihias berbagai kain berwarna kuning, semakin berkilauan terkena sinar matahari yang mulai meninggi.
Sambil memapah Kakek Nurahman, kudengar irama musik kelentangan semakin bersahutan dengan suara gong dan biola. Iringan musik ini lama-lama membuat bulu kudukku berdiri. Entah suasana magis apa yang tiba-tiba mendesak. Padahal, yang kutahu Bedibai ditujukan untuk meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa agar menjaga kesehatan dan keselamatan para pemimpin yang hadir. Namun hari ini, kurasa efeknya lebih dari itu.
“Maaf, yang boleh masuk hanya untuk tamu undangan, Pak?” tegas pihak keamanan yang berjaga di depan pintu masuk museum.
Kakek Nurahman berjinjit-jinjit. Seolah-olah, dia tidak sabar untuk melihat siapa-siapa saja yang hadir di dalam museum.
Aku berusaha berdiskusi dengan keamanan itu. Aku jelaskan identitas dan maksud kedatanganku. Ketika kami berdiskusi, Kakek Nurahman luput dari pandanganku. Begitu kusadari, dia sudah sampai di tangga terakhir menuju pintu masuk.
Gedebuk suara alat musik pengiring semakin terasa. Syair-syair ritmis diutarakan penyanyi terpilih. Satu-satunya perempuan tua dengan pakaian serba kuning menari mengitari berbagai peralatan ritual yang disiapkan. Ada replika Biduk Bebandung, yaitu sepasang miniatur perahu tradisional Kesultanan Bulungan untuk menyambut tamu agung. Adapula Rumah Kayan, rumah tradisional orang Dayak atau warga pesisir Sungai Kayan.
Sambil memegang kipas di tangan kiri, tangan kanan nenek itu memasukkan lilin menyala hingga masuk ke dalam mulutnya. Dalam sekejap, mata tetamu yang hadir takjub karena sang nenek sudah dikuasai arwah leluhur.
Sementara itu, Kakek Nurohman yang kukejar sudah masuk ke ruangan ritual. Dia menyaksikan sendiri Nenek Sutra yang seperti sedang dikuasai kekuatan magis, serupa dengan Sutra muda yang membius ingatannya. Kakek Nurrahman yang tidak disadari kedatangannya, mendekat dan jatuh bersimpuh. Sambil tersenyum polos, sebuah kipas kuning diserahkan kepada sang penari tua. (*)