Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Sang Pembisik
27
Suka
5,040
Dibaca

Manusia tidak bisa menanggung terlalu banyak realita.

--T. S. Eliot

Aku bisa merasakan. Sebentar lagi akan datang satu kondisi yang mengejutkan. Kadang-kadang semacam fenomena ganjil. Kadang-kadang berupa peristiwa yang tidak masuk akal. Namun, aku tahu, pasti kan datang.

Kepalaku pun mulai berputar-putar, bersamaan dengan rasa mual yang kian menjalar, bahkan terdengar suara-suara seperti jutaan lebah dari kejauhan. Dan apa yang kurasakan ini bukanlah masalah penyakit, melainkan kondisi alami diriku ketika ada makhluk astral yang hendak mengadakan kontak, atau ketika tanpa sadar aku tengah berkunjung ke alam mereka, sehingga kami saling berbenturan dalam dimensi yang berbeda. Sejak kecil aku memang selalu mengalami hal-hal seperti ini.

Dengan ritme napas yang tak teratur, aku bergegas menuju kamar Tante Retno, sang pemilik rumah yang kutinggali. Malam ini pukul 21.35. Suasana rumah cukup hening. Sepi. Hanya ada suara Tante Retno yang sedang merintih-rintih. Aku menghentikan langkah karena sontak mendengar suara bisikan; Lakukan apa yang musti kamu lakukan, sebelum nantinya kamu menyesal.

 Aku berpikir sejenak, kemudian mulai membuka pintu kamar. Tante Retno yang sedang mengalami sakit non medis itu tampak berbaring di ujung ranjang, samping tembok kamar. Ini adalah kejadian ganjil ke-tiga yang kusaksikan, di kala masa kehamilan Tante Retno memasuki usia tujuh bulan. Beliau seperti diteror oleh sesuatu yang tak kasatmata. Perlahan-lahan aku pun mendekatinya.

Sungguh, benarlah apa yang kurasakan. Mengapa di usia dewasa perihalku ini tidak juga hilang? Dan bagaimana jika aku benar-benar terpengauh oleh bisikan-bisikan atau kejadian-kejadian aneh yang sering aku dengar?

Aku jelas melihat, sesosok bayangan putih yang menyerupai wujud perempuan tengah menindih sambil mencekik leher Tante Retno. Posisi duduknya persis di atas kandungan. Sosok tersebut memiliki rambut amat panjang, hampir menutupi seluruh tubuh Tante Retno yang terus-terusan merintih. Aku sempat mengalihkan pandang. Anehnya, ada pula sosok Tante Retno lain di samping lemari kamar. Sedang berdiri sembari mengulurkan tangan ke tubuh fisiknya. Kejadian aneh ini membuatku terkejut, apalagi begitu melihat sosok perempuan yang mencekik Tante Retno seketika menengok ke arahku. Menjulurkan lidah panjangnya hingga ke dada, lalu tak lama kemudian melesat pergi seperti asap putih.

Aku harus segera melakukan sesuatu, atau paling tidak harus memanggil seseorang yang mengerti akan hal ini. Harus! Tante Retno masih saja merintih. Benarlah bisikan halus yang kudengar barusan tentang hal yang akan membuatku menyesal bilamana tidak berbuat apa-apa. Namun saat hendak berbalik badan, dari dalam tembok kamar tiba-tiba muncul sebuah tangan hitam besar yang hendak mencengkram perut Tante Retno.

Aku tercengang dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai pada akhirnya sosok tersebut keluar dari tembok. Aku pun gemetar melihat sosok hitam yang memiliki ukuran tubuh seperti raksasa yang sangat besar. Jika digambarkan secara detail, sosok tersebut memiliki tinggi hampir tiga meter, dan memiliki tubuh yang bulat mirip ular tetapi diameternya besar. Selain itu, ia memiliki banyak gigi taring dan mukanya hitam beringas. Ia terus mendekat ke arah Tante Retno dengan wajah beringasnya. Sementara aku berdiri dan berusaha berteriak.

“Jangan!” teriakku. Namun, ia tetap mendekati Tante Retno. Aku melihat-lihat ke sekeliling kamar, kemudian berlari ke arah meja rias dan mengambil botol handbody milik Tante Retno. Setelah itu, aku melemparnya ke arah sosok hitam tersebut. Sayangnya, botol handbody itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan badannya yang besar. Oleh karena itu, sosok hitam tersebut hanya menatapku. Lalu ia berjalan mendekatiku dan membiarkan Tante Retno merintih kesakitan di atas kasur. Dengan wajah beringasnya ia terus mendekatiku bahkan ia tidak peduli betapa takutnya aku. Ia pun tak peduli dengan diriku yang berdiri gemetaran dan keringat dinginku bercucuran.

Aku masih gemetaran dan ia semakin dekat sambil membuka mulutnya, seolah-olah ia mau menyantapku.

Lalu kudengar lagi bisikan itu; Lakukan apa yang musti kamu lakukan, sebelum nantinya kamu menyesal.

“Apa yang harus kulakukan? Menyelamatkan Tante Retno atau… Aaaa!” teriakku. Setelah itu, suasana malam hening kembali.

*

Aku terbangun dan terkejut karena berada di lantai kamarnya Tante Retno. Kemudian aku segera berdiri dan menuju ke arahnya Tante Retno. Entah kenapa ketika melihat Tante Retno yang masih tertidur pulas, aku merasa tenang. Sambil menatap wajahnya, aku terdiam sejenak dan berpikir apa yang terjadi semalam. Karena seingatku semalam kulihat sosok hitam besar dan berwajah beringas siap menyantapku. Aku bingung, apakah itu benar terjadi atau hanya halusinasi. Akan tetapi, jika itu sebuah halusinasi kenapa aku terkapar di kamarnya Tante Retno? Mungkinkah aku sleepwalking?

*

Kafe ini terasa sepi. Entah karena harga penganannya yang mahal, entah karena imbas aksi boikot akibat peristiwa genosida di belahan dunia lain, atau dua-duanya. Aku tidak terlalu peduli, sih. Bukan … bukan karena aku tidak peduli dengan peristiwa tersebut. Namun, selama ini, toh, aku juga cenderung menjadi konsumen “kurang ajar”: pesan minuman paling murah, lalu nongkrong seharian sampai kafe tutup. Karena yang aku butuhkan memang suasananya untuk bekerja. Asalkan nyaman dan ada internet kencang, bagiku sudah cukup. Jadi, tolong jangan bilang aku tidak peduli sama sekali dengan peristiwa di belahan dunia lain.

Entah sudah berapa jam aku di sini. Presentasi mata kuliah “Intervensi Mikro” siang tadi di kelas membuatku harus merombak nyaris seluruh isi makalah. Dosenku sangat ketat mempreteli seluruh teori yang aku gunakan. Katanya, aku kurang kuat untuk menjelaskan fenomena bullying di sekolah-sekolah yang saat ini marak. Aku menggunakan teori sosialisasi Peter L. Berger tentang sosialisasi primer, dengan asumsi perilaku tersebut berawal dari dalam keluarga. Sementara dosenku malah menyuruhku untuk mencari referensi tentang sub consciousness yang mengasumsikan bahwa alam bawah sadar mengendalikan perilaku. Ah, sudahlah. Pokoknya, selesaikan makalahku dulu. Ini adalah kedua kalinya aku mengambil mata kuliah ini. Kalau sampai tidak lulus lagi, bisa-bisa skripsiku kembali tertunda.

Aku memang kurang konsentrasi akhir-akhir ini. Banyak yang mengganggu pikiranku. Terutama menyangkut Tante Retno, pemilik rumah kos yang aku tinggali selama aku kuliah di kota ini. Aku masih terbayang peristiwa saat itu. Sungguh, aku tidak mungkin salah lihat! Aku yakin ada sesuatu dengan rumah itu, ada yang ingin mencelakai Tante Retno … ataukah Tante Retno yang telah melakukan sesuatu?

Aku memang belum menikah. Namun, aku pernah mendengar beberapa pantangan yang 𝘱𝘢𝘮𝘢𝘭𝘪 dilakukan orang hamil. Jangan keluar di waktu magrib, jangan berkunjung ke tempat angker, bawa sesuatu untuk perlindungan….

Lakukan …. Ayo lakukan sekarang ….

Aku tersentak. Suara itu membuatku berhenti berselancar. Tepat ketika layar laptopku menayangkan teori mimpi Sigmund Freud yang mengaitkannya dengan alam bawah sadar– sub consciousness. Aku abaikan analisis Freud tentang mimpi yang menurutnya adalah pesan bawah sadar yang abstrak terhadap alam sadar. Aku lebih tertarik dengan suara yang aku dengar barusan. Ada apa ini?

Tiba-tiba aku merasakan ganjil. Sama seperti tempo hari di kamar Tante Retno. Kafe yang sedari tadi sudah sepi mendadak meredupkan cahaya hingga berkedip-kedip. Spontan, aku segera mengedarkan pandangan. Kosong.

“Kemana para karyawan?” Aku menggumam hingga pandanganku tertumbuk pada satu sudut. Agak kabur, tapi aku yakin itu “sesuatu”. 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶.

Apa yang kau tunggu? Ayo lakukan sekarang. Kalau tidak, kau akan menyesal!

Aku seperti terpaku. Itukah yang bicara?

“Permisi, Kak. Kami sebentar lagi akan tutup. Kakak masih mau pesan lagi untuk 𝘭𝘢𝘴𝘵 𝘰𝘳𝘥𝘦𝘳-nya?”

Aku mengerjap, segera tersadar. Lampu kembali menyala terang dan seorang pelayan kafe menyapa dengan ramah. Namun, pikiranku sudah kacau. Tanpa menghiraukan si pelayan kafe, aku segera berkemas dan melesat keluar.

*

(Segera kasih kabar kalau sudah selesai, semangat calon sarjana!!!)

Cerewet! Mungkin ini penyebab makalahku tak kunjung selesai, alih-alih termotivasi, diingatkan tentang tugas malah membuatku semakin malas melakukannya. Aku memasukkan kembali ponsel ke dalam tas.

Tiba-tiba saja langit malam menghitam, diikuti suara guntur, samar terdengar. Aku melangkah cepat-cepat, mengangkat ransel ke atas kepala. Inilah balasan untuk orang yang tidak mempercayai kalimat "sedia payung sebelum hujan".

Nyatanya gerimis benar-benar turun, bukan yang ringan pula. Langkah cepatku berubah menjadi lari tersengal. Di antara hela napas berderu bersama langkah becek dan hantaman hujan, telingaku malah fokus pada suara lain. Menggema dan tidak terlalu jelas.

Pukul sembilan, sembilan kali.

Aku tidak memedulikan suara itu, dan terus berlari. Namun, suara yang sama terdengar lagi, kali ini sangat jelas berbisik tepat di belakang telingaku.

Pukul sembilan, sembilan kali.

Aku menjerit saat berbalik sambil mengayunkan tangan, nyaris saja menampar pejalan kaki di belakangku. Gawat, wajahnya terlihat kesal, tapi bukankah seharusnya aku yang kesal!

"Apa maksud ucapan Ibu barusan?" bentakku pada ibu malang yang sebagian tubuhnya sudah kebasahan.

Si ibu melihatku seolah aku orang tidak waras, dan itulah yang dia katakan. "Kau orang gila!"

Kalimat hinaan itu bahkan tidak menggangguku. Saat si ibu melanjutkan langkahnya, beberapa orang melewatiku silih berganti. Beberapa kepala tentu menatap keheranan pada orang yang malah berdiri diam di tengah hujan. Namun, mereka tidak mendengar apa yang kudengar.

Malam ini ….

Aku tiba di kos dalam keadaan basah kuyup dan segera masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Tapi kemudian aku memutuskan untuk langsung mandi saja.

Hujan yang semula gerimis, lalu lebat, kini semakin lebat. Belum lagi suara guntur yang menggelegar dan saling bersahut-sahutan.

Tanpa memedulikan semua hal itu, aku bergegas ke kamar mandi. Lebih cepat lebih baik. Aku tidak suka berada di kamar mandi dalam keadaan hujan seperti ini. Belum lagi, bila teringat beberapa kejadian aneh yang terjadi padaku baru-baru ini. Bisikan-bisikan itu … apa maksudnya? Aku sama sekali tidak memahaminya.

Tepat saat aku keluar dari kamar mandi, tiba-tiba terdengar jeritan dari kamar paling ujung.

“SIAPA ITU? SIAPAAAA???!”

Teriakannya begitu jelas di sela-sela suara hujan. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghampiri kamar itu. Langkahku berhenti seketika saat pintu kamar itu mendadak terbuka dan penghuninya keluar dengan wajah ketakutan dan panik.

“Apa yang terjadi?” tanyaku yang rupanya tidak dihiraukan.

Dia malah menutup dua telinganya dan berteriak seperti orang melihat hantu.

“Siapa itu? Siapa yang bicara?!”

“Kenapa? Ada apa?” Aku bertanya sekali lagi, dan kali ini dia menyadari kehadiranku.

Cepat-cepat dia mendekat dan mencengkeram dua bahuku dengan keras. Matanya melotot dan wajahnya pucat. Dia bertanya dengan suara bergetar, “Kau … kau dengar tadi?”

Aku mengernyitkan dahi.

“Kau dengar suara-suara tadi? Tadi … ada suara aneh … dia bilang ….”

Aku tidak bisa mendengar kelanjutan kalimatnya. Bisikan itu kembali datang memenuhi kepalaku.

Lakukan sekarang! Kau bisa melakukannya! Ayo!

Seperti ada yang menghipnotis, kakiku bergerak sendiri menjauhi kamar itu. Samar-samar aku mendengar pemiliknya berseru memanggilku, tapi tidak kupedulikan. Kakiku terus melangkah menuju satu tempat yang kukenal, seakan bisikan itu yang menyuruhku ke sana.

“Ya, ada apa?”

Aku menatap Tante Retno yang berdiri di ambang pintu kamarnya menyisakan celah kecil yang bisa kuintip. Bisikan itu memang mengantarku ke kamar ini dan tanpa sadar aku mengetuk pintu.

Sekali lagi bisikan itu terdengar. Kali ini sangat jelas, seperti ada yang membisikkannya tepat di telingaku. Ah, tidak … suara itu seperti … suaraku sendiri.

Jelas-jelas mulutku sendiri yang berkata, “Lakukan! Lakukan sekarang juga!”

Aku bisa melihat wajah Tante Retno yang mendadak pucat dan matanya melotot. Mulutnya membuka menutup ingin berbicara tapi tidak ada kata yang keluar, karena dua tanganku mencengkeram lehernya dengan kuat.

Semakin jelas suara itu terdengar, semakin kuat pula cengkeramanku padanya. Aku tersadar saat kulitku merasakan goresan yang ternyata diakibatkan oleh cakaran kuku Tante Retno.

Seperti ada yang membuka tirai gelap di depanku, seketika pandanganku menjadi terang. Aku langsung melepaskan tanganku dari leher Tante Retno. Dia sendiri tersenggal-senggal karena nyaris kehabisan napas. Dia juga menatapku tajam.

Sebelum Tante Retno mengatakan sesuatu, aku langsung kabur dari sana dengan badan gemetar. Aku tidak tahu apa yang sedang kulakukan tadi. Tiba-tiba saja tubuhku bergerak sendiri di luar kemauanku. Tapi … aku yakin, tindakanku tidak salah.

Belum reda segala situasi aneh ini, aku mendapat kabar lain. Penghuni kamar nomor sembilan yang berseberangan dengan kamar Tante Retno mendadak pindah karena ketakutan. Katanya, dia mendengar suara-suara aneh sejak beberapa hari lalu.

Jadi … tidak hanya aku yang mendengarnya?

Seminggu berlalu, dan penghuni kos mendadak banyak yang keluar atau pindah. Rumor yang terdengar adalah karena mereka tak lagi merasa nyaman tinggal di bangunan tua berukuran luas dengan banyak kamar yang berderet di lantai dua, yang menurut Tante Retno adalah rumah warisan dari nenek buyut suaminya.

Seseorang sempat bercerita sebelum pergi, bahwa ia juga mengalami hal yang sama dengan teman kost yang sudah pindah terlebih dahulu, yaitu terdengarnya suara-suara bisikan yang selalu memenuhi telinganya, tanpa ada seorangpun yang berada di dekatnya.

Entahlah, semenjak Tante Retno selesai melaksanakan selamatan empat bulanan beberapa waktu lalu tanpa ditunggui suaminya yang bekerja di pertambangan minyak lepas pantai, suasana rumah yang biasanya asri mendadak berubah mencekam. Terutama setelah banyak kamar yang menjadi kosong ditinggalkan penghuninya.

Lakukan sekarang! Harus malam ini juga! Atau kau akan menyesal!

Lalu seolah tanpa ada perintah dari otak, kakiku begitu saja melangkah menyusuri lorong suram langsung menuju kamar Tante Retno.

Dari balik pintu yang entah sengaja tak dikunci atau memang Tante Retno lupa menguncinya, seperti biasa aku mendengar rintihannya.

Pemandangan ganjil seperti yang kulihat beberapa malam lalu kini kembali terpampang di depan mataku begitu aku memasuki kamar Tante Retno.

Sesosok putih menyerupai perempuan berambut panjang tampak tengah menduduki perut buncit penghuni kamar. Sementara tangan makhluk mengerikan yang terlihat seperti tulang belulang berlapis kulit tipis dan berkuku runcing tengah mencekik erat leher wanita malang yang sudah terlihat pucat dengan bola mata yang nyaris keluar menahan kesakitan yang luar biasa.

Sosok lain Tante Retno yang berada di sudut kamar di samping lemari jati terlihat takberdaya dengan belenggu besi melingkari kedua tangan dan kakinya. Sorot matanya seolah memohon ke arahku.

Lakukan! Sekarang! Cepat lakukan sekarang juga!

Bisikan-bisikan itu kembali memenuhi telingaku. Bahkan saat kututup kedua telingaku, suara-suara itu tetap menembusnya. Membuatku kian frustasi oleh rasa sesak yang tiba-tiba saja menekan dadaku.

"AAAAHHHHHH!!" teriakku tanpa sadar berusaha melepas beban yang tiba-tiba terasa menekan dadaku. Seketika beberapa sosok berlompatan dari dalam tubuhku yang langsung menyerang makhluk mengerikan yang masih berada di atas tubuh Tante Retno yang terkulai di atas ranjang.

Raungan keras terdengar memenuhi kamar seiring dengan menghilangnya semua makhluk-makhluk ganjil yang tadi memenuhi kamar, termasuk sosok-sosok yang keluar dari dalam tubuhku. Kecuali sosok lain Tante Retno yang tengah terbelenggu di samping lemari jati yang masih menatapku dengan pandangan menghiba.

Sementara di atas ranjang, Tante Retno yang tadi terlihat begitu tak berdaya kini menatapku dengan seringai di bibir pucatnya.

 “Kau pembunuh!” Desis Tante Retno. Bola matanya yang hitam pekat menukik menikam manik mataku.

Kedua mataku membulat utuh, jantung berdegup kencang, butiran keringat sebesar biji jagung memenuhi sekujur tubuhku. Tante Retno meluncur turun dari ranjang, melangkah kaku mendekatiku. Aku mundur selangkah demi selangkah, menjauhi Tante Retno, tapi perempuan yang tengah hamil tua itu tak membiarkan aku pergi begitu saja.

“Keluar kalian semua. Kepung dia, jangan biarkan dia pergi!” Teriak Tante Retno, mengangkat kedua tangannya ke atas, kepalanya mendongak.

Aku ... Aku melihat bola mata Tante Retno berubah putih semua. Lalu, muncul makhluk-makhluk lain dari berbagai arah, berjalan kaku, mengepungku. Tubuhku berputar, memperhatikan mereka satu persatu. Empat makhluk yang berbeda dan tentu saja aku mengenal mereka. Wajah mereka sangat menyeramkan, sama menyeramkannya dengan wajah Tante Retno, bahkan salah satunya berwajah hancur dengan bola mata yang keluar dan hampir jatuh.

“Kenapa kalian menyerangku? Apa salahku?” tanyaku dengan suara bergetar, tangan dan kaki gemetar. Aku terduduk di lantai. Mataku mulai basah.

Ayo, lakukanlah. Tunggu apa lagi? Suara bisikan itu kembali terdengar, lebih tegas.

“Kau pembunuh! Kau pembunuh! Kau pembunuh!” kecam Tante Retno dan empat makhluk yang menyeramkan itu, dengan jari telunjuk yang menunjuk dan menudingku.

“Tidak. Bukan aku, tapi mereka,” tunjukku pada sosok berbaju putih dan berambut panjang yang tengah terkekeh, menertawakan ketakutanku.

“Kau pembunuh!” kecam Tante Retno sekali lagi, membuatku semakin terpukul dan tersudut.

“Tidak. Bukan aku, bukan aku,” teriakku panik dan penuh rasa kecemasan. Aku menutup kedua mata dan daun telingaku dengan tangan. “Stop, jangan bicara lagi. Aku tidak bisa melakukannya. Stop!” teriakku.

Aku depresi, merasa sangat putus asa karena tak ada yang mau percaya padaku. Sungguh bukan aku yang melakukannya. Aku melihat sendiri, makhluk berpakaian putih itu sering masuk ke kamar Tante Retno. Dia kadang menyerupaiku, menyerupai anak-anak kost yang lain, kadang juga dia menyerupai Tante Retno sendiri.

Namun, tak ada satu orang yang percaya padaku. Semua orang menudingku gila, padahal aku tidak gila, tidak juga sedang berhalusinasi. Aku benar-benar putus asa, tidak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya diam, terduduk di lantai, kedua tangan memeluk erat kedua lutut, kepala menunduk dan air mataku membasahi ujung-ujung jari kakiku.

Aku mengangkat kepala sekilas, melihat jarak mereka denganku yang makin mendekat, aku bertambah panik. Dan ... Kemudian gelap, hening. Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi. Ketika aku terbangun, aku sudah berada di satu ruangan sempit dan pengap, hanya ada satu ranjang, ehm, tidak. Ini bukan ranjang tapi brankar, lalu ada satu nakas kecil di sisi brankar. Hanya itu. Tidak ada apa-apa lagi. Aku sangat terkejut melihat kedua tangan dan kakiku terikat pada sisi-sisi brankar.

“Lepaskan aku, lepaskan!” teriakku, mencoba memberontak, tapi apa daya, ikatan itu bukan dari tali yang mudah putus, tapi sebuah rantai besi yang kokoh.

Tuhan, kenapa aku jadi begini? Aku ingin menolong, tapi mengapa malah aku yang ditawan? Mengapa malah aku yang dituduh? Aku meraung, menangis histeris sambil memaki-maki sosok perempuan berpakaian putih, rambut panjangnya menutupi seluruh wajah. Perempuan itu terkekeh, menatapku penuh kemenangan.

"Nak! Kau kenapa? Nak?"

Dalam kepungan dan kecemasanku, tiba-tiba saja seseorang memanggilku, membuat aku seolah terenggut kembali pada kenyataan. Aku terbatuk, dadaku sesak, air mataku entah kenapa menetes tanpa sadar.

"Nak? Minum dulu, tenangkan dirimu," ucap seorang wanita. Aku melihat ke arah matanya, benar, kali ini Tante Retno, bukan mereka yang coba meniru wujudnya.

Aku tenangkan diri dan menerima sodoran sebuah gelas dengan air hangat di dalamnya. "Ada apa, Nak?" tanya Tante Retno, cemas.

"Aku ... tidak tau, Tante, rasanya mereka terus menerorku, mereka juga mengincar si jabang bayi, Tante," jawabku, ketakutan.

"Apa yang kau bicarakan, Nak? Tidak mungkin ada yang seperti itu, kau jangan mengkhayal," sangkalnya, padahal jelas-jelas tadi Tante Retno kesakitan atas ulah makhluk astral tak bertanggung jawab itu.

"Aku mengatakan yang sebenarnya, Tante. Tante harus melakukan sesuatu, jika tidak Tante, kita, akan terus diteror," jelasku. "Aku pernah dengar, jika wanita hamil itu sangat sensitif, di kampungku dulu--"

Jangan ikut campur! Tutup mulutmu! bisik itu terdengar marah.

Lanjutkan, kau sudah benar, kau harus lakukan sebelum semuanya terlambat, bisikan lain menyetujui rencanaku.

Kau bodoh! Berhenti! Kau tidak tau apa-apa! bisikan lain menggeram.

Aku menutup mata sejenak, mencoba fokuskan diri lagi dan hiraukan semua bisikan mengganggu itu.

"Mereka membuat semacam 𝑠𝑎𝑤𝑒𝑛 atau jimat, agar terhindar dari gangguan makhluk yang tak bisa kita lihat, Tante," tambahku, memberi saran. "Tante harus segera membuat itu, ayo pergi ke dukun beranak, Tante, minta bantuan pada mereka." Aku semakin bersikeras, karena bisikan itu semakin keras terdengar, dan semakin menekankanku, membuat bahuku kaku dan dingin tubuhku terasa amat menyiksa.

"Seingatku, yang lebih tua di sini adalah aku, tapi tak kusangka pikiranmu kolot, mana ada yang seperti itu, kau ada-ada saja," sangkalnya.

Astaga, aku sangat putus asa, di lain sisi makhluk-makhluk tadi kembali tertawa, kegirangan, mendengar jawaban Tante Retno. Aku butuh bantuan, aku harus meyakinkan Tante Retno, dan membuat 𝑠𝑎𝑤𝑒𝑛. Jika tidak, hal semacam ini bisa membahayakan Tante Retno juga aku.

"Permisi ...."

Seseorang datang, tapi hatiku berkata itu bukan hal baik.

Jangan dibuka, suara lirih itu memenuhi telingaku.

Jangan dibuka! Kau dalam bahaya! katanya lagi.

"Permisi ...."

"Iya, tunggu sebentar," sahut Tante Retno.

"Jangan dibuka!" itu aku yang berteriak. "Jangan dibuka, Tante!"

Keringatku bercucuran, hatiku terus berdegup kencang. Tiba-tiba saja awan hitam menghantamku, menenggelamkan aku lagi pada kubangan asing nun jauh di sana.

Kenapa? Kenapa terus seperti ini? Aku butuh bantuan, tolong aku! Siapa pun, tolong aku!

 “Syukurlah kau sudah sadar.”

Lamat-lamat aku melihat seseorang tengah menutup kembali kancing bajuku sambil mencoba tersenyum. Berpakaian serba putih dengan stetoskop melingkar di leher, dia memasukkan ujung benda itu ke dalam kantung samping seragamnya.

“Sejauh ini, kondisi fisiknya bagus. Mungkin dia terlalu capek sehingga ... ya semacam halusinasi begitu,” ucapnya lagi. Dia membalikkan badan setelah melepas sarung tangan plastik dan menaruhnya di atas nampan yang dibawa perawat yang berdiri di belakangnya.

“Halusinasi?” Aku mencoba tersenyum sambil memalingkan wajah dari pandangan para petugas medis itu. Bayangan dan suara-suara yang kerap aku temui, semuanya begitu nyata. Kalau mereka anggap hanya halusinasiku semata, kenapa penghuni kos yang lain juga mengalami hal yang serupa?

Kenapa kau masih belum melakukannya? Cepat lakukan sebelum semuanya terlambat.

Bisikan itu kembali terngiang jelas di telinga. Menggema memenuhi ruang, lalu menyelusup masuk seolah ingin menguasai alam bawah sadar. Aku kembali menoleh berharap petugas medis masih berada bersamaku. Namun yang aku dapatkan hanya kegelapan dan ....

“Tante Retno!?” gumamku. Di balik penglihatan yang samar, aku melihat wanita itu berdiri di samping ranjang sambil menyeringai. Tatapannya terlihat kosong, tapi seperti menyimpan sebuah dendam yang lama terpendam.

“Hanya ada satu orang yang akan selamat dari kutukan ini,” ujar Tante Retno seraya menarik gunting yang tergantung di dasternya. Dia lalu menghunjamkan benda tajam itu, masuk menembus ke dalam jantungku.

Mulutku ternganga, namun tak ada suara yang keluar dari sana. Jantungku rasanya seperti diremas- remas. Sekuat tenaga ku gapai tangan Tante Retno yang bersimbuh darah dengan gunting yang masih menghunjam jantungku.

Kemana dokter yang mengatakan bahwa Aku berhalusinasi itu?. Kemana orang-orang? Kenapa mereka membiarkan Tante Retno menusukku? Ini bukan halusinasi. Rasa sakit ini begitu nyata kurasa.

Dia menusukmu, bukan? Itu karena kau tak mau melakukannya. Bisikan itu kembali terdengar berusaha menguasai alam bawah sadarku. Namun kali ini disertai kekehan ejekan atas kondisi yang kini ku alami.

Hidup ini pilihan. Jika tidak ingin menusuk. Ya kau yang akan tertusuk. Kembali bisikan lain terdengar mengacaukan kesadaranku yang memang tinggal setipis tissu.

Arrrgh. Aku menggeram prustasi. Namun lagi-lagi tak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku benci keadaan ini. Bahkan untuk bersuara pun aku tak mampu lagi. Kemana orang-orang yang menghakimi bahwa aku berhalusinasi? Kenapa mereka tak membantuku sama sekali?

Entah dapat kekuatan darimana. Tiba-tiba ku sentak tangan Tante Retno yang memegang gunting sehingga tangan itu terlepas dari dadaku. Lalu secepat kilat ku arahkan gunting itu dada Tante Retno dan menghunjamkannya disana.

Samar kulihat gunting itu menusuk dada kiri Tante Retno. Darah muncrat dari sana mengena tangan dan sebagian wajahku. Namun bukan erangan kesakitan yang ku dengar meluncur dari mulut Tante Retno tapi hanya seringai ejekan ejekan yang semakin mencabik-cabik perasaanku.

Samar kudengar gaduh teriakan dan seruan. Namun kesadaranku yang kian menipis tak mampu menangkap semuanya hingga detik selanjutnya menjadi gelap gulita.

"Kondisi fisiknya semua baik-baik saja. Dari gejala yang di tunjukkan, sepertinya pasien mengidap Skizofrenia. Untuk hasil lebih akurat ada baiknya pasien segera di rujuk ke Rumah Sakit Jiwa." Sayup kudengar suara itu menyusupi ruang dengarku.

Aku tak tahu seberapa lama kesadaranku hilang. Saat Aku berusaha membuka mata yang pertama kali kurasa adalah silau akibat lampu ruangan yang menyala terang tepat diatas kepalaku. Aku mengerjap berulang kali untuk mengatasi pencahayaan yang menyilaukan mataku.

Saat semua sudah bisa ku atasi dan Aku bisa melihat dengan jelas. Ku lihat Tante Retno dengan perut buncitnya berdiri di dekat dinding dan menatapku cemas. Tak ada bekas tusukan disana. Jadi siapa yang telah Aku tusuk? Petugas mediskah?

Aku mulai meragukan ingatanku. Ingin ku pungkiri tapi semua begitu nyata.

Aku menggerakkan tanganku hendak meraba jantungku yang semula di tusuk oleh Tante Retno, namun tidak bisa karena tanganku bahkan kedua kakiku pun terikat dengan kuat di sisi kiri kanan brankar yang ku tiduri.

"Aaaaaa." Aku menjerit sejadi-jadinya. Niatku menolong kenapa malah Aku yang menjadi tawanan seperti ini.

Tunggu. Tadi mereka menyebut Rumah Sakit Jiwa. Tidak. Tidak. Aku tidak gila.

Itu karena kau tak mau melakukannya. Sekarang kau tidak bisa apa-apa lagi. Mereka telah mengunci ruang gerakmu. Bisikan itu lagi disertai tawa ejekan atas keadaanku kini.

*

Meronta hanya menghabiskan tenaga. Entah berapa kali aku diikat secara paksa di brankar ini. Aku tidak lagi menghitung. Semuanya terasa begitu samar dan menyiksa. Namun kini aku harus terima kalau aku memang berada di Rumah Sakit Jiwa, meski aku tidak terima kalau aku gila.

Tidak. Jelas tidak! Aku memang melihat sosok berjubah putih itu hendak mencelakai Tante Retno. Kenapa tidak ada yang percaya padaku? Aku telah sembuh! Aku yakin Tante Retno tidak bergerak sendiri. Ini pasti ada campur tangan orang lain. Tapi siapa?

Mataku menangkap jelas sosok berseragam putih yang mengenakan masker itu menusukkan suatu cairan ke tubuhku. Aku menggeliat. Tubuhku menolak untuk menerimanya. Aku sehat. Aku tidak sakit. Sekarang yang perlu kulakukan adalah menyelamatkan Tante Retno. Bukan diikat seperti ini.

Cepatlah lari. Berontaklah. Jika tidak, kau akan terpenjara di sini dalam waktu yang lama.

Bisikan itu terdengar lagi. Aku diminta untuk melepaskan diri. Tante Reno tiba-tiba muncul di bangsal yang mengurungku. Perempuan itu tersenyum, melambai-lambaikan tangannya, kemudian–senyumannya berubah menjadi derai air mata.

Tante Retno menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu, dia keluar dari pintu dan sempat menoleh ke arahku sebelum benar-benar hilang dari pandanganku.

Dia meminta diselamatkan.

“Lepaskan aku! Lepaskan! Ada nyawa yang harus kuselamatkan!”

Kaki dan tanganku bekerja sama untuk menghentak brankar itu. Aku yakin, jika perlawanan ini kulakukan dengan kesungguhan hati, pasti aku bisa melepaskan diri seperti yang kucoba saat melarikan diri dari pria berseragam putih itu.

“Tidak ada yang harus kau selamatkan. Yang perlu selamatkan adalah dirimu sendiri.”

Aku mendengar kalimat itu. Aku mendengarnya. Tapi, entah kenapa. ketika aku hendak menjawabnya. tubuhku seluruhnya lemas dan seketika–pandanganku pun mengabur layaknya lampu kota yang berpendar buyar karena hempasan ombak yang bergulung-gulung.

*

Sudah saatnya bagimu melihat lebih jelas.

Pergilah!

Carilah!

Pergilah!

Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Mungkin semenit, sehari atau bahkan, setahun?

Kalau dirasa dari tubuhku, mungkin hanya sebentar. Tidak sampai sehari. Karena masih terasa longgar untuk digerak-gerakkan. Hanya saja pada bagian pinggang yang terasa kaku. Butuh sampai berapa menit untukku agar bisa lebih rileks. Namun, saat aku mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi sebelum aku tak sadarkan diri, semuanya tampak carut marut. Yang jelas, aku terbangun karena bisikan-bisikan itu, lagi.

Tapi, sepertinya ada yang lain. Yang mana bisikan-bisikan tadi tidak seperti sebelumnya, yang selalu menyudutkanku. Menyelahkan aku, mengatakan betapa kejam dan bersalahnya aku. Lalu, menyuruhku ini dan itu, tapi tak kulakukan. Seakan semuanya sudah begitu terlambat.

Dan, dan ... di mana ini?

Sekonyong-konyong aku berdiri dengan mata membelalak. Mengamati sekeliling dengan begitu seksama. Termasuk ke kedua tanganku yang telah terbebas dari tali kekangan brankar. Bahkan bajuku telah berganti dari seragam Rumah Sakit Jiwa ke piyama biasa. Piyama favoritku yang warna bagian belakang lehernya sudah memudar. Hadiah dari Tante Retno.

Ya! Aku telah kembali ke rumah kos. Aku telah kembali!

Untuk sejenak, aku bersorak seorang diri untuk merayakan kemenangan ini. Berputar-putar dengan salah satu tangan terangkat. Seakan tengah tenggelam dalam hingar bingarnya pesta. Lalu sebentar menangis sebagai bentuk syukur yang mengharu biru.

“Tante Retno!” Sejurus kemudian aku pun langsung tersadar. Bahwa kesempatan ini tidak boleh aku sia-siakan. Bahwa ada nyawa yang harus aku selamatkan!

Ya. Kalaupun sudah terlambat, setidaknya aku harus memiliki sebuah bukti valid yang bisa kutunjukkan. Yang semuanya berkaitan dengan bangunan dan seluruh penghuni dalam kontrakan ini. Baik itu penghuni yang kasat mata maupun tidak. Terutama Tante Retno. Sehingga bagi siapa saja yang menuduhku gila akan menyesalinya. Aku memang tidak bersalah. Aku memang tidak gila!

Namun, saat membuka pintu kamarku dan bermaksud melesat ke kamar Tante Retno, aku malah terpaku. Aku dibuat bingung dan tertegun oleh suasana rumah kos yang begitu sepi. Begitu hening. Bahkan suara jarum yang terjatuh pun bisa terdengar dengan jelas dalam keheningan ini.

Di mana Tante Retno? Di mana yang lain? Di mana pula suara bisikan-bisikan itu yang biasanya selalu menggangguku? Meskipun mengganggu, bahkan menyudutkan, nyatanya suara-suara itu seperti teman. Bak pemantik!

Aku kembali melangkahkan kaki, bermaksud melanjutkan niatku menuju ke kamar Tante Retno yang tertutup rapat. Tapi, kali ini aku tidak berlari. Hanya berjalan pelan, begitu pelan dengan tatapan was-was tertuju ke sana. Sedang sebelah tanganku berpegangan pada beberapa perabot yang ada di sana.

 

Baik itu meja, kursi atau lemari kecil yang diletakkan dekat dinding menuju kamar Tante Retno. Yang kesemuanya terasa lengket di tanganku. Menandakan kalau debu-debu tebal telah menyelimuti perabot-perabot itu sekian lama.

Mungkinkah aku telah tak sadarkan diri selama setahun? Atau, bahkan lebih?

Bau apek bercampur dengan lumut basah pun mulai menguar. Aku mulai merasa pusing. Aku ....

Aku limbung. Aku coba bertahan, tapi kakiku tak mau menuruti kehendak otakku. Aku tersungkur.

Sip! Sekarang langkah terakhir. Kamu bisa melakukannya.

Mataku terbelalak seiring tubuhku menelungkup di lantai kotor berdebu tebal. Aku dengar bisikan itu lagi. Tapi …, tapi ini terasa berbeda.

“Sip?” gumamku, meski sepertinya mulutku tak sanggup bersuara.

Telinga yang merapat ke lantai mendengar langkah, lalu aku melihat sosok putih itu. Begitu dekat. Dia merunduk di depanku, lalu aku lihat tangannya meraih wajahku, membuka lebar mataku. Lalu …, lalu tangan itu berubah menjadi ular dan ular itu menggigit lenganku. Sakit.

Sakit?

Ya, sakit. Dan sakit itu nyata! Dan apa yang aku lihat itu nyata! Aku tidak gila! Aku cukup yakin dengan konsistensi logikaku!

Lepas ular itu menggigit, tubuhku terasa benar-benar lemas. Lumpuh. Paralisis sempurna hingga sosok putih itu dengan mudahnya menyeret tubuhku, membawaku ke kamar Tante Retno. Aku seperti melayang saat dia dudukkan tubuhku di sebuah kursi.

Aku benar-benar tidak berdaya. Juga tidak berdaya saat ular itu memanjang dan melilit leherku. Ular itu makin erat membelit hingga … hingga tubuhku terangkat dari kursi itu.

Tidak! Bukan! Itu bukan ular! Itu tali! Dan sosok putih itu yang menggantung tubuhku! Memberi kesan aku bunuh diri karena rasa bersalah telah membunuh Tante Retno! Tapi tidak! Bukan aku yang membunuh Tante Retno! Tapi sosok putih itu! Dan aku melihatnya.Menyaksikannya.

Malam itu aku melihatnya menindih dan mencekik Tante Retno. Seperti sekarang, waktu itu aku juga lumpuh. Tidak berdaya menyaksikan dia melepas nyawa Tante Retno.

Ya! aku tidak gila! Tapi dibuat gila!

Tidak hanya aku. Tapi semua penghuni rumah ini, sebenarnya. Mungkin dengan semacam zat halusinogen, semua yang kos di sini dibuat takut oleh halusinasi masing-masing. Mereka pun pindah. Tinggal aku dan Tante Retno. Dia bunuh Tante Retno dan menjadikan aku kambing hitam. Tapi mengapa? Apa motifnya?

Ah, tentu saja! Dia takut! Dia takut kalau janin yang ada di rahim Tante Retno adalah miliknya.

Terasa jelas sekarang!

Ironisnya …., segalanya terasa jelas ketika pasokan oksigen ke otakku kian menipis.

Kulihat sosok lain hadir di kamar Tante Retno. Melayang halus dan lembut mendekatiku.

“Tante Retno?”

Dia tersenyum dan … dan bercahaya.

Dia julurkan tangan dan aku meraihnya.

 ***

Cerpen ini adalah hasil game sambung cerita. Ditulis oleh penulis yang tergabung dalam Komunitas Warkop Kwikkita.

1.     Rudie Chakil

2.     Nur C.

3.     Nadya Wijanarko

4.     Irma M Styles

5.     Lirin Kartini

6.     Evi Sophie

7.     Nrs Rassa Shienta Azzahra

8.     Yutanis

9.     Teh Manis

10. Santi

11. Febri

12. Wiji Lestari

13. Donny M Ramdhan

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@suciasdhan : Terima kasih. 😃nantikan cerita2 kami selanjutnya. 😆
Keren 🤩
@nadyawijanarko iya juga ya🤭🤣penulis sudah memprediksi bahwa pembaca pasti kebingungan mencari mana sbnernya realitanya😄
@donnymr Horror emang biasanya gitu kak. Antara ada dan tiada, mana logika mana alam nyata, tumpah ruah bersama😂
@devichystories karena itulah makanya dibuka dengan tagline: manusia tidak bisa menanggung terlalu banyak realita. 😅
@devichystories : Hehe, soalnya banyak kepala yang terlibat. Banyak persepsi yang tumpah ruah 😅. Terima kasih sudah mampir loh.
Mantaps👍meskipun otakku sbenrnya rada bingung memahaminya Ini antara ada dan tiada🤣
Ninggalin jejak dulu
@nimasrassa : Aamiiin ya rabb. Cheers!
Tak bisa berkata-kata lagi pokoknya. Mari angkat gelas kopi masing-masing dan kita bersulang. Semoga Warkop akan terus menjadi cahaya pada dunia literasi. Salam kopi. ☕
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Sang Pembisik
DMRamdhan
Novel
Bronze
Zona Zombie -Novel-
Herman Sim
Novel
Pesantren Desa Darungan
fenoadinaya
Novel
KISAH GADIS BISU DAN TULI
Aydhaa Aydhaa
Novel
Gold
Fantasteen Scary VE
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Rahasia Kematian
Herman Sim
Flash
Hantu di bawah tempat tidur
Bluerianzy
Flash
Manusia Kera
Areta Swara
Novel
Bronze
Are You Ready?
Naia Novita
Novel
Gold
HARU MAHAMERU
Falcon Publishing
Novel
Takut
Imelda Yoseph
Novel
Bronze
ATM Antrian Tengah Malam
Herman Sim
Novel
Bronze
Goyangan Pohon Beringin
Erika Oktavian
Flash
Perempuan di Jendela
irishanna
Novel
Hantu Kelapa Sawit
Kenon BB
Rekomendasi
Cerpen
Sang Pembisik
DMRamdhan
Novel
FATEBENDER
DMRamdhan
Novel
Bronze
Layang-Layang Putus Tak Pernah Salah
DMRamdhan
Cerpen
Bronze
History of A City
DMRamdhan
Novel
Rumah Sang Bidadari
DMRamdhan
Novel
To Protect
DMRamdhan
Flash
Glitch
DMRamdhan
Novel
My Fair Rebelle
DMRamdhan
Novel
Bronze
Ayat yang Tak Terucap
DMRamdhan
Cerpen
Bronze
Korslet (Kisah Seputar Kopi dan Resleting)
DMRamdhan
Novel
Bronze
Adolescent Crash
DMRamdhan
Novel
Janna dan Pria Bersayap Api
DMRamdhan
Flash
Sepadan
DMRamdhan
Flash
Bersalah
DMRamdhan
Cerpen
Bronze
PLAYBALL!!
DMRamdhan