Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Sang Kolektor
0
Suka
1,233
Dibaca

Semua ini berawal dari selebaran lowongan kerja yang kulihat di papan informasi balai desa sebelah. Aku memang sedang butuh kerjaan tetap. Bukan cuma kerjaan pengisi waktu luang. Aku tertarik dengan jumlah upah yang tertera. Cukup besar untuk seorang asisten pribadi seorang kolektor benda seni dan antik. Tapi ada suatu persyaratan khusus yang cukup menarik perhatianku. Dituliskan bahwa lowongan diutamakan untuk gadis dengan iris mata berwarna hijau. Tidak dijelaskan warna hijau seperti apa.

Sudut-sudut bibirku langsung tertarik ke atas. Ya. Aku memiliki kesesuaian dengan kriteria khusus lowongan tadi. Memang sepertinya ganjil sekali persyaratan tersebut. Ah, sebodo amat. Aku sedang butuh pekerjaan. Dengan antusias, kuambil gambar alamat yang tertera di bagian bawah selebaran dengan ponselku.

Lokasi rumah kolektor tersebut ternyata cukup jauh dari jalan utama desa. Bisa dibilang ini benar-benar hampir di batas hutan. Halaman berumput yang luas dipagari semak perdu yang dipangkas rapi setinggi kira-kira dua meter. Bangunan rumah ini berukuran cukup besar. Hampir seperti mansion dengan banyak kamar.

Sang kolektor yang juga pemilik rumah adalah seorang wanita paruh baya. Gaya berpakaiannya elegan tetapi tidak mencolok. Rambut sewarna jerami milik Nyonya kolektor tersebut dikonde rapi di belakang kepala. Kulitnya putih pucat, seperti tidak pernah kena matahari. Tatapan matanya tajam dan kelihatan misterius. Aku tidak menyukai senyumnya yang membuatku bergidik saat melihatnya.

Begitu masuk ke dalam rumah besar tersebut, aku mencium aroma aneh. Samar-samar seperti bau rumah sakit. Nyonya kolektor memperhatikanku dari ujung kepala hingga kaki. Tapi ia berlama-lama menatap mataku dengan senyum lebar yang makin membuat bulu kudukku meremang semua. Katanya, aku benar-benar sesuai kriteria yang dia maksud. Aku hanya tersenyum kikuk.

Nyonya mengajakku berkeliling rumah. Bagian dalam sangat rapi dan teratur. Semua tembok hampir dipenuhi lemari pajangan lebar dan tinggi berpintu kaca. Tugasku adalah merapikan dan mencatat barang-barang seni dan antik yang baru datang di dalam kardus di sebuah ruangan besar. Nyonya meminta agar aku berhati-hati karena benda-benda tersebut sangat mahal dan kebanyakan mudah pecah. Dan satu hal lagi, aku tidak diizinkan ke ruang bawah tanah. Kata Nyonya, di sana sangat berantakan dan bisa berbahaya untukku.

Beberapa hari bekerja di rumah Nyonya kolektor, membuat rasa ingin tahuku semakin tumbuh. Lalu pada suatu siang, Nyonya berkata bahwa ia akan keluar sebentar untuk membeli sesuatu. Langsung saja aku memekik girang dalam hati. Aku bisa mengintip ke ruang bawah tanah. Sebentar saja. Pasti di bawah sana banyak benda-benda antik lain yang menarik.

Sepanjang tangga turun menuju ke ruang bawah tanah, bau seperti rumah sakit yang sejak pertama tercium olehku makin tajam. Pintu ruang bawah tanah tampak sedikit terbuka. Perlahan aku mendorong pintu supaya membuka lebih lebar. Kuselipkan tubuh ke dalam ruangan di balik pintu.

Aku tertegun sejenak menatap seisi ruang bawah tanah dengan pencahayaan suram. Berantakan apanya, batinku. Di dalam ruangan terdapat lemari besar menjulang tinggi hingga langit-langit di dua sisi tembok. Sementara di tembok seberang pintu masuk, terdapat pintu lagi. Aku melangkah lebih jauh ke dalam ruangan. Tanganku membuka salah satu pintu lemari. Kemudian, secara reflek aku menutup mulut dengan kedua telapak tangan.

Kedua mataku membelalak kaget. Aku sampai lupa bernapas beberapa detik demi menahan suara pekikan dari tenggorokan. Aku mundur beberapa langkah. Walaupun penerangan di sini tidak bagus, tapi aku biaa melihat isi lemari dengan jelas.

Jelas sekali di dalam lemari berjajar toples-toples kaca berukuran kecil berisi sepasang bola mata. Ada cairan bening memenuhi toples tersebut. Iris bola mata di dalam toples-toples ada beragam warna. Pastilah semua lemari ini isinya sama. Tubuhku mulai bergetar dengan degup jantung serasa menyentak rongga dada. Hawa panas dan dingin berdesir di sekujur pembuluh darah. Kepalaku tiba-tiba terasa pening dan rasa mual mulai menyergap.

Berbagai pertanyaan mulai bermunculan dalam pikiranku. Apakah yang di dalam toples-toples ini asli atau hanya replika? Kalau benar asli, siapa yang melakukan ini? Kenapa ada orang melakukan hal seperti ini? Daripada pusing di kepalaku makin menjadi, kukumpulkan tenaga untuk berbalik ke arah pintu ruangan. Perasaanku sudah tidak karuan. Firasatku juga jadi tidak enak.

Begitu sampai di atas, langkahku membeku. Aku merasakan pipiku mulai basah. Nyonya kolektor itu sedang menatapku dengan senyum mengerikannya. Ia baru saja menutup pintu depan. “Oh, rupanya kau sudah lihat koleksiku yang lain, ya,” ujarnya datar. Tangannya memutar anak kunci di pintu, lalu mencopotnya dan memasukkan kunci ke dalam kantung gaunnya. Satu tangannya menenteng sebuah jerigen berukuran sedang.

Mataku bersusah payah membaca label di samping jerigen. Sesuatu bertuliskan huruf K dan kata ‘form’. Tulisannya tidak terlihat jelas dari tempatku berdiri. Aku masih mematung. Napasku jadi sesak karena tubuhku gemetar hebat. Kakiku mendadak lemas, jadi aku berpegangan ke tembok. “Jadi kau sekarang sudah mengerti kenapa aku mencari asisten dengan iris mata hijau. Musim ini aku sedang mengumpulkan warna tersebut,” ujar si Nyonya lagi. “Aku melihat kalau kau sepertinya lebih kuat dan sehat dari gadis-gadis sebelumnya. Makanya aku butuh ini yang cukup banyak,” lanjutnya sambil menepuk jerigen dengan telunjuk. Lalu ia menaruh jerigen tadi di dekat pintu.

Gadis-gadis sebelumnya? Artinya selebaran kemarin bukan untuk benar-benar mencari asisten pribadi? Lagipula, apa sih isi jerigen itu? Aku berusaha berpikir, menyiapkan diri untuk ambil langkah seribu keluar dari rumah ini. Aku sadar, di sini berbahaya untukku.

Bunyi ketukan sol sepatu di lantai kayu membuatku tersentak. Nyonya kolektor maju melangkah satu-satu. Sorot matanya terlihat seperti pemburu yang akan menerkam mangsa dengan pasti.

Tidak! Tidak! Aku tidak boleh begitu saja menyerah dan mati. Kupaksakan kaki berlari ke arah dapur. Aku bisa kabur lewat pintu belakang. Begitu sampai di dapur, aku memutar kenop pintu. Pintu itu tidak membuka sama sekali. Bagaimana bisa? Jendela di sini juga berteralis besi. Tidak ada jalan lain lagi. Bunyi sepatu Nyonya semakin mendekat. Dan sepertinya aku mendengarnya terkekeh. Kenapa juga ia melangkah perlahan seperti itu? Bukannya langsung menyergapku saja.

Nyonya tiba di ambang dapur. Aku menahan napas. Bisakah aku melewatinya? Pandanganku menyapu ke sekitar, mencari sesuatu untuk melakukan perlawanan. Pisau. Ya, aku harus mencari pisau. Tapi di mana? Tidak mungkin aku membuka semua laci dalam keadaan terjepit seperti ini.

Karena lengah mencari alat, aku tidak sadar si Nyonya sudah berada di hadapanku. Ia mengayunkan kursi ke tubuhku. Cukup keras. Aku langsung ambruk ke lantai. Tubuhku nyeri dan ngilu. Ketika kuangkat kepala, sebuah kursi terayun lagi ke arahku. Kali ini keningku terasa perih dan kepalaku serasa berputar. Oh, tidak. Jangan pingsan, jangan pingsan. Ketika kulihat Nyonya sedang mengambil kursi lagi. Aku segera merayap bangun dan lari sempoyongan keluar dapur.

Baru kusadari, jendela rumah ini ternyata posisinya tinggi sekali. Dan juga berteralis besi. Pintu depan terbuat dari kayu tebal. Tidak mungkin aku mendobraknya. Aku harus cari tempat sembunyi! Langkahku berderap menaiki tangga. Di lantai atas ternyata hanya ada sebuah ruangan luas dengan banyak sekali pintu lemari berjajar di semua sisi tembok. Aku tidak tahu apa isi lemari-lemari ini. Yang penting sembunyi dulu. Jadi aku buka salah satu pintu dan masuk.

Sekarang, aku berulangkali merutuki diri dalam hati. Mestinya aku tidak sembarangan mengambil pekerjaan. Apalagi dengan persyaratan ganjil seperti yang tertera di selebaran. Ah, tapi tidak ada gunanya menyesali sekarang. Aku harus bisa keluar dulu dari sini.

Aku berharap lemari tempatku meringkuk tidak ikut bergetar sepertiku. Air mataku mulai bercucuran. Kugigit lengan baju kuat-kuat untuk menahan tangis. Aku mulai kesulitan bernapas. Lemari ini tidak memiliki celah, tidak ada udara masuk. Rasanya pengap dan panas. Jadi begini mungkin yang dirasakan tokoh film horor yang selalu kucemooh. Tidak bisa keluar atau tidak tahu mau kemana. Panik dan ketakutan. Akhirnya hanya bisa sembunyi.

Tuhan, tolong kabulkan secepatnya doaku yang sekarang ini. Aku ingin keluar dan selamat dari sini. Aku ingat pernah berdoa sangat khusyuk meminta untuk jadi orang kaya atau menikah dengan pria tampan kaya. Tapi saat ini, doa semacam itu tidak penting lagi.

Ketukan sepatu Nyonya terdengar lagi. Satu-satu selangkah demi selangkah. Semakin lama semakin dekat. Kenapa sih ia mesti berjalan seperti itu? Sengaja sekali membuat suasana mencekam untukku. “Caaaaarra. Aku tahu kau di mana. Sepertinya aku memukulku terlalu keras, ya. Semoga calon koleksi baruku tidak rusak.” Gemetarku semakin bertambah mendengar suara dingin Nyonya yang mengalun. Keningku yang luka! Pasti ada bekas darah yang kutinggalkan di pintu lemari. Oh, tidak! Bodoh sekali aku ini.

Lalu tiba-tiba saja pintu lemari terbuka. Segulung kain mendarat di dekat kakiku. Belum sempat aku bergerak, pintu lemari kembali menutup. Apa maksud Nyonya melempar kain ini? Kuambil kain tersebut. Basah. Beberapa detik kemudian, aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Napasku jadi makin sesak. Tubuhku lunglai bagai tanpa tulang. Dan sepertinya aku tidak bisa mengendalikan kesadaranku.

Dalam pandanganku yang samar-samar, aku melihat pintu lemari terbuka. Detak jantungku menyentak keras. Keringat dingin dan air mata tak henti mengucur. Dalam keadaan tak berdaya seperti ini, aku masih bisa merasakan tubuhku yang gemetar semakin kencang. Terutama saat aku melihat wajah Nyonya seperti tertutup masker gas.

Entah apa yang ia perbuat padaku hingga aku tidak bisa bergerak seperti ini. Apa karena kain basah tadi? Lalu aku merasa kakiku ditarik dan tubuhku diseret perlahan. Samar-samar kulihat jerigen yang dibawa Nyonya tadi ada di tengah ruangan. Sekarang aku bisa melihat tulisan di samping jerigen itu meskipun pandanganku mulai berbayang. KLOROFORM.

Sekejap aku teringat kembali pada film horor yang pernah kutonton. Tokoh utamanya dikejar-kejar oleh psikopat gila lalu dibius agar memudahkan si psikopat melakukan aksinya. Apakah sekarang ini aku jadi seperti si tokoh dalam film tersebut? Akhir dari film tersebut, si tokoh berhasil melarikan diri dan selamat. Tapi aku tidak yakin apakah aku akan selamat juga seperti si tokoh di film. Sepertinya aku sudah… terlambat.

Lama-kelamaan semua jadi gelap dan aku tak ingat apapun lagi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Sang Kolektor
Rexa Strudel
Novel
Aksioma
Maria Veronica S
Novel
AGATHO: What Have You Done
Celica Yuzi
Novel
Bronze
Mimpi dalam Mimpi
Nita Roviana
Novel
Died In The Secret Room
Adine Indriani
Novel
KULMINASI
Tri Wahyuningsih
Novel
Delapan Bidak
Jimmy Alexander
Flash
Hewan Ternak
Alexandro Dominic
Flash
Catatan Pembunuh
Khairunnisa
Novel
Bronze
Pramuria (Waitress)
Awang Nurhakim
Flash
Hati-Hati dengan Keinginanmu
Veramuna Risqyana
Novel
POST-WAR
Andika purnomo
Novel
GRIM GAME
moris avisena
Novel
Nadin Membunuh Nostalgia
Ardi Rai Gunawan
Novel
ALMIRA
Andi Sukma Asar
Rekomendasi
Cerpen
Sang Kolektor
Rexa Strudel
Novel
Temukan Aku!
Rexa Strudel
Novel
Pesantren Warisan
Rexa Strudel
Novel
Dark Narrow
Rexa Strudel
Flash
16.00
Rexa Strudel
Flash
War Kingdoms
Rexa Strudel
Cerpen
Anti Crown
Rexa Strudel
Novel
Pinjol Pocalypse
Rexa Strudel
Cerpen
Cermin Pukul Dua
Rexa Strudel
Cerpen
Sniper
Rexa Strudel
Flash
My Own Night World
Rexa Strudel
Cerpen
Sahabat Selamanya
Rexa Strudel
Flash
Kejar!!!
Rexa Strudel
Flash
(Bukan) Rumahku Istanaku
Rexa Strudel
Novel
Simbiosis Mutualmurder
Rexa Strudel