Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jayakarta, Senin 19 November 2323
Tidak bosan rasanya mata ini menatap layar ponsel berukuran 200 mm besutan SEMESTA yang sedari tadi digenggam. Salah satu portal berita yang paling populer di Admaspheria, beritakan.ai selalu saja membahas gadis berambut perak bernama Aldelynn Amelia.
Tajuknya bukan karena ia cantik, tetapi karena prestasi akademis yang luar biasa. Mungkin, banyak dari mereka mengagumi Aldelynn atas kesempurnaan raganya. Namun, aku tidak melihat dari sisi itu.
Ya, memang ia juga cantik, aku harus mengakui itu.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Arini, salah satu teman sekelasku.
“Membaca berita, apa lagi?”
Ia tampak melirik ke arah ponsel ini. “Aldelynn, lagi-lagi kau melihat gadis itu.”
“Aku membaca salah satu jurnal ilmiahnya di Weyfert,” kataku dan menunjukkan sebuah artikel tentang penerapan fisika-trans untuk menyelesaikan masalah iklim global.
“Mengapa kau tertarik dengan hal seperti ini?” tanyanya dan duduk di sebelahku.
“Selain dia genius, wajahnya juga enak dilihat, apa lagi?”
Ia menghela napas, membenahi kaca mata bulatnya dan menatapku. “Iya, aku tahu dia cantik, tidak seperti diriku.”
Arini adalah gadis yang selalu berada di sekitarku sejak lima tahun belakangan. Masih teringat bagaimana kami berada satu kelas sejak SMP. Ajaibnya, ia juga mendaftar di SMA yang sama dua tahun lalu.
Kami selalu dikaitkan dengan banyak hal sejak dahulu, salah satunya tentang rumor bahwa Arini adalah kekasihku. Namun, tentu saja aku tidak pernah menggubrisnya.
Pertama, aku tidak memahami konsep percintaan remaja. Kedua, tujuanku bersekolah adalah untuk menuntut ilmu, bukan mendramatisasi romansa. Terakhir, aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan dirinya, tetapi ia bukanlah tipeku.
Ironisnya, aku malah banyak menghabiskan waktu tentang bagaimana bisa mengenal Aldelynn. Bagiku, ia adalah sosok yang sempurna. Sekali lagi, bukan hanya karena ia cantik, tetapi prestasi akademisnya yang gemilang.
“Kudengar, gadis itu sekarang tinggal di Anahira,” kata Arini agak malas.
Aku menatapnya tidak percaya. “Benarkah? Kau mendengar kabar itu dari mana? Memang sejak beberapa terakhir katanya ia tidak terlihat di Rayseans.”
“Ia tampak berjalan dengan seseorang ke Aviore pada hari Sabtu.”
“Kau sedang tidak bercanda, kan?”
Ia menggeleng. “Kemarin aku bersama Intan ke sana, sungguh kami melihatnya kemarin.”
Memang benar, sempat tersebar rumor tentang kepindahan Aldelynn ke Jayakarta. Namun, aku tidak pernah menyangka bahwa hal itu benar-benar terjadi. Ia memang tidak memiliki akun Lifela, sosial media yang paling banyak digunakan penduduk Admaspheria; tentu saja di dunia juga.
“Ternyata memang benar,” kataku dan menatap Arini.
Ia mengangguk. “Jujur saja, Intan juga penasaran, kami mengikuti kegiatannya seharian itu kemarin.”
“Ia berjalan dengan perempuan atau laki-laki?” tanyaku.
“Perempuan, rambutnya pendek. Mereka tampak akrab, tetapi canggung. Seolah-olah aku melihat orang yang sudah lama tidak bertemu,” kata Arini dan memperbaiki poni lurus tepat di atas alisnya.
“Apa lagi yang kau tahu?” tanyaku makin penasaran.
“Ia tinggal di Anahira, seperti yang kukatakan tadi.”
Aku menggeser tampilan ponsel untuk mengakses Skynote, aplikasi perpesanan instan yang begitu populer. Di dalam sana, ada sebuah grup percakapan yang membahas tentang Aldelynn. Tentu saja, kabar yang diterima dari Arini langsung kutulis sebagai tajuk utama.
Kebetulan aku bersekolah tidak jauh dari Anahira, tepatnya di SMA Cakrawala Buana yang terletak di bilangan Kebayoran Lama. Katanya, sejak dahulu kawasan ini merupakan area prestisius. Namun, aku tidak pernah melihat itu sejak tinggal di sini.
Jayakarta adalah sebuah kota yang terletak di Metropolis Pasundan, Provinsi Jawa, Teritorial Nusantara Raya. Dahulu, area ini merupakan ibu kota Indonesia. Namun, setelah Yang Mulia Anandta membangun kembali negara ini setelah hancur karena perang bom hidrogen, ibu kota negara dipindahkan ke Malang pada 1 Juli 2050.
Berbeda dengan sebelumnya, Admaspheria benar-benar serius dalam membangun peradaban. Institusi pendidikan negeri yang dikelola oleh negara benar-benar gratis, bahkan hingga perguruan tinggi. Setiap anak hanya diminta untuk memenuhi standar nilai yang akan mempengaruhi indeks prestasi.
Meskipun nama sekolahku adalah SMA Cakrawala Buana, tetapi ini tetaplah milik negara. Admaspheria tidak lagi menganut nama sekolah negeri berdasarkan wilayah tempat kami tinggal, melainkan melekat bersama visi misi sekolah tersebut. Dahulu, sekolah ini bernama SMA Negeri 47 Jakarta.
Terdengar aneh memang saat aku mengetahuinya.
Namun, inilah yang kujalani 10 tahun belakangan.
Waktu berlalu dengan banyak pertanyaan tentang Aldelynn. Terlebih berita tentang kepindahan gadis itu benar-benar menjadi perbincangan hangat para siswa hari ini. Ternyata, tidak hanya Arini saja yang melihat, beberapa dari mereka juga menyaksikan Aldelynn ada di Aviore kemarin.
Kebetulan rumahku terletak agak jauh ke timur di Klender, melewati Anahira dengan naik kereta komuter dari Stasiun Kebayoran. Sebagian besar siswa memang menggunakan kereta sebagai sarana transportasi utama.
Aku tidak terlalu mengetahui sistem perpolitikan. Namun, negara ini tidaklah kapitalis, tetapi juga bukan sosialis. Menurut guru ilmu kenegaraan, sistem politik negeri ini adalah Monarki Konfederasi. Sistem ini tidak pernah ada sebelumnya, di mana ada monarki yang anonim dan jadi penguasa absolut; sementara untuk menjalankan pemerintahan dipilih presiden dengan konsep republik.
Semua orang yang memenuhi syarat bisa menjadi presiden, asalkan memiliki indeks prestasi yang cukup, yaitu 750.000 kredit. Setiap orang di Admaspheria memiliki indeks prestasi berdasarkan apa yang dilakukan, termasuk kami para siswa.
Indeks prestasi milikku hanya 1.743 kredit, itu pun karena aku pernah mengikuti perlombaan olimpiade sains pada tingkat Metropolis dan meraih juara tiga. Makin baik prestasi yang diraih, makin tinggi pula indeks prestasi tersebut.
“Aku mau mampir ke pusat perbelanjaan di Anahira, mau ikut?” tanya Rio, salah satu temanku.
“Baiklah, mungkin lebih baik jalan kaki ke sana,” kataku bersemangat.
“Kalian jangan terlalu bermimpi bertemu Aldelynn, ia tidak akan naik kereta komuter,” sahut Arini yang ikut serta bersama kami.
“Sepertinya kekasihmu cemburu,” kata Irfan, temanku yang lain.
Aku menghela napas. “Dia bukan kekasihku.”
“Lagi pula, siapa yang mau jadi kekasihnya?” tanya Arini dengan dahi yang dikerutkan.
“Kalian malah terlihat seperti kekasih kalau sering bertengkar,” sahut Intan.
Saat senja sudah mulai mendekap langit Jayakarta, kami berlima tiba di pusat perbelanjaan Anahira. Tempat ini tetap saja ramai walaupun masih hari Senin. Salah satu hal yang menjadi pusat keramaian adalah taman di atap lantai 35, disebut tamanlangit.
Daya beli masyarakat tidak pernah menurun sejak dahulu, segalanya berkat nilai mata uang Ayria yang stabil. Untuk bisa makan enak di sini, aku hanya butuh paling banyak 1 Ayria, itu pun bisa untuk dua menu yang berbeda.
Rata-rata harga makanan di sini berkisar dari 0,2 sampai 0,6. Kata orang tuaku, harga tersebut tidak pernah berubah bahkan sejak mereka sekolah dasar. Sehingga, uang saku 1 Ayria yang setiap hari kuterima lebih dari cukup untuk ditabung.
“Mana mungkin Aldelynn datang ke sini,” kata Arini sambil menghela napas setelah kami duduk di salah satu kursi yang kosong.
“Kedatanganku ke sini hanya untuk makan enak,” kata Rio sambil menekan beberapa menu yang tampil di meja.
“Percayalah, menurutku Aldelynn melakukan operasi plastik. Mana ada manusia memiliki wajah sehalus itu, lebih-lebih warna rambutnya,” timpal Intan.
“Itu asli,” kata Irfan sambil menyantap makanan pesanannya yang sudah tiba. “Mana mungkin ia mewarnai alis dan bulu matanya?”
“Pasti bukan asli,” ujar Intan.
Aku menghela napas. “Sudahlah, aku mengagumi Aldelynn karena kegeniusannya, bukan fisiknya.”
“Halah,” kelakar Arini, “kalau begitu, mengapa kau jadikan wajahnya sebagai latar di ponselmu?”
Aku mengalihkan wajah yang panas ini untuk menghindari tatapan Arini. Seperti yang dikatakan tadi, memang benar hal yang paling membuatku kagum adalah kegeniusannya. Namun, ia juga cantik.
Ada seseorang yang terlihat agak jauh di sana, figurnya mirip dengan Aldelynn. Rambutnya dipotong pendek dengan warna perak. Sejenak aku membenahi kaca mata ini untuk memastikannya.
Aku tidak salah! Ia adalah Aldelynn!
Sekujur tubuhku langsung merinding, mendapati orang yang sedari tadi diperdebatkan benar-benar ada di sini. Sungguh, aku masih tidak memercayai mata ini hingga harus membenahi kaca mata berulang kali.
“Teman-teman, tampaknya orang yang kita bicarakan benar-benar ada di sana,” kataku sambil mengarahkan sorot ke tempat Aldelynn berdiri.
Ia cantik, sangat cantik malah. Kulitnya putih mengilap terkena lampu sorot berwarna kekuningan yang ada di atasnya. Rambutnya yang berwarna terang bahkan terlihat begitu berkilauan.
Ia menatap ke sekitar dengan dingin, seolah-olah sesuai dengan imajinasiku; bahwa gadis sekaliber Aldelynn pasti begitu. Namun, itulah daya tarik Aldelynn. Sifat cuek yang terlihat di permukaan pasti berbanding terbalik dengan intelijensinya.
“Kau masih merasa itu imitasi?” tanya Rio seraya menatap ke arah Aldelynn yang berjalan mendekati kami.
“Tentu saja, itu bukan,” sahut Irfan sambil menggeleng.
“Kenapa tidak kita tanyakan saja ke orangnya?” tanyaku dengan degup jantung yang tereskalasi.
Keempat temanku langsung menatap tidak percaya saat langkah demi langkah raganya mendekat. Sejurus dengan embusan angin lembut yang menerpa kulit, aku bisa mengendus aroma vanila bersama dengan mendekatnya raga Aldelynn.
“Al-Aldelynn,” panggilku saat gadis itu berada di sebelah Intan.
Ia berhenti dan sejenak menatap. “Ada apa?”
Mata kami beradu, saat ini aku hanya bisa terpana dengan kesempurnaan semesta melukis raganya. Beberapa detik berlalu seraya gadis itu masih menatap dingin.
“Eh, i-itu, apakah rambutmu asli?”
Ia mengangguk dan menyentuh rambutnya. “Tentu saja.”
“La-lalu, kulitmu apakah memang asli juga?”
Gadis itu mengarahkan tubuhnya dan mendekatiku. Aroma vanila yang sedari tadi sayup langsung terendus santer. Gadis itu benar-benar berdiri di sebelahku dan menyerahkan tangan kanannya.
“Kau lihat sendiri.”
Tangannya benar-benar halus dan lembut, tentu saja hal ini membuat kami berlima terkesima. Kupikir, tidak ada orang yang memiliki kulit sebersih dan sehalus ini. Aku sampai gemetar sendiri saat tahu bahwa gadis yang selama ini dipuja kini ada di samping raga.
“Ka-kau benar, Aldelynn. Maaf mengganggu,” kataku sambil menunduk.
“Hei, aku mau pesan sesuatu.”
Gadis itu duduk di sebelah Intan dan mulai melihat menu yang ada di atas meja. Saat ini, kami hanya bisa saling memandang ketika mendapati tangan kirinya masih memegang makanan.
“Bukankah itu belum habis, Aldelynn?” tanya Arini.
“Oh, ini hanya camilan.”
Ia mengatakan itu dengan datar sambil memilih menu di tablet. Sungguh, aku tidak memercayai mataku sendiri saat melihat gadis itu berada di sekitar kami. Narasi yang mengatakan kalau gadis ini angkuh ternyata terpatahkan.
Ia hanya dingin, bukan angkuh. Bisa jadi, caranya memproses dan berpikir tidak sama dengan orang kebanyakan. Padahal, ia juga sempat sedikit bersenandung saat memilih beberapa makanan.
“Ada rekomendasi?” tanyanya sambil menatap ke arah Intan dan Arini bergantian.
“Kalau kau suka pedas, mungkin kau harus coba mi ayam pedas tamanlangit,” kata Intan dan menunjuk salah satu menu.
“Apakah ini banyak?”
“Kau bisa pesan porsi jumbo,” sahut Arini.
“Ah, aku pesan 4 kalau begitu.”
Kami saling berpandangan, mengetahui sebelumnya Aldelynn sudah memesan 5 menu makanan yang berbeda. Aku tidak tahu, apakah memang orang genius makan sebanyak ini?
“Apakah benar kau bersekolah di Jayakarta?” tanya Irfan.
“Hum,” katanya bergumam sambil mengangguk.
“Bagaimana menurutmu dibandingkan Rayseans?” tanya Rio tak mau kalah.
“Sama saja, bedanya di sini terasa hangat dan lembap.”
“Aku penasaran dengan Rayseans, bisa kau ceritakan lebih lanjut?” tanya Irfan.
“Di sana sama sibuknya dengan Jayakarta. Hanya lebih sejuk.”
Ia mengatakan hal seperlunya, seolah-olah tidak peduli dengan apa kata orang lain. Sekali lagi, mungkin karena hal itu media banyak mengatakan bahwa ia angkuh. Namun, justru itu daya tariknya.
“Apakah kau selalu begitu saat berbicara?” tanya Arini serius.
Aldelynn mengangguk. “Tentu saja, apakah salah?”
“Aku yakin kau tidak punya teman,” kata Intan dan tertawa kecil.
Aldelynn tampak sejenak berpikir. “Aku punya satu, Ayu namanya.”
“Gadis yang kau ajak ke Aviore kemarin, kan?” tanya Arini.
Aldelynn mengangguk. “Benar, itu dia.”
“Aku melihat gadis itu tampak kesal saat kau mencoba menggoda mantan kekasihnya,” kata Arini lagi.
“Kalian berdua duduk di belakang Raka, kan?” tanya Aldelynn sambil mengunyah makanan yang ia pegang.
“Iya, kami melihat dan mendengar semuanya,” sahut Intan.
“Maukah kalian jadi temanku?”
“Tentu saja,” kata Arini langsung. “Aku memahami bagaimana rasanya jadi dirimu.”
“Terima kasih,” kata Aldelynn datar.
Kami bertukar kontak dengan gadis yang menjadi idola semua orang. Ternyata kehadiran Aldelynn di sini menjadi lampu sorot di tamanlangit. Tidak hanya kami, banyak juga siswa SMA yang berada di sini berkenalan dengan Aldelynn.
Ia bahkan mentraktir kami semua tanpa terkecuali. Di balik penampilannya yang jauh dari kata hedonisme, ternyata ia memiliki harta yang begitu banyak. Sekali lagi, kami bahkan tidak melihatnya sama sekali.
Ia tidak menggunakan ponsel Skyllar ST7 dengan teknologi terbaru dan harga yang fantastis. Ponselnya memang belum pernah kulihat sebelumnya. Namun, aku yakin ia tidak menggunakan ponsel mahal.
Sepatunya juga bukan Gergo Strabar yang memiliki fitur canggih untuk mencegah nyeri apabila digunakan berjalan jauh. Ia hanya mengenakan sepasang sepatu kets berwarna putih.
Ia mengenakan tank top hitam dengan cardigan putih yang terlihat juga sederhana. Hanya kalung berbentuk choker berwarna mawar emas saja yang menurutku terlihat mahal.
“Aldelynn,” panggilku seraya menatapnya. “Terima kasih atas jamuannya malam ini.”
Ia mengangguk. “Itu tidak masalah.”
Dengan degup jantung yang begitu kencang aku menghela napas beberapa kali. Entahlah, setidaknya sebelum hari ini berakhir, aku ingin membuat sebuah momen dengan Aldelynn.
“Bi-bisakah aku mengantarkanmu pulang?”
Ia menatapku dan mengangguk. “Tentu saja.”
Arini tampak terbelalak melihatku. “Ya-yang benar saja, bagaimana kalau dia berniat jahat kepadamu?”
Aldelynn menggeleng. “Aku tahu, dia adalah orang baik.”
Kami jalan bersebelahan, bahkan Aldelynn tidak tampak jengah berdampingan denganku. Ia tampak begitu santai saat melewati beberapa orang yang tampak mengagumi sosoknya. Harum vanila yang sedari tadi kucium ternyata berasal dari parfum gadis ini.
“Kau pakai parfum vanila?” tanyaku pelan saat kami mulai memasuki lorong ke lobi atas apartemen.
Ia menggeleng. “Aku tidak pernah pakai parfum.”
Perjalanan ini terasa sunyi, baik aku ataupun dirinya sama-sama terdiam. Hanya sayup suara keramaian yang makin menghilang saat kami tiba di lobi atas apartemen.
Sebuah nuansa penuh kemewahan terasa ketika ia membuka pintu yang memisahkan antara pusat perbelanjaan dan apartemen. Hanya ada dua orang resepsionis yang langsung berdiri dan menyambut kami saat Aldelynn menuju elevator.
“Apakah tidak masalah, aku mengantarkanmu hingga ke atas?”
Ia mengangguk. “Tidak apa-apa.”
Gadis ini hanya bicara seperlunya, tetapi ia masih memesona walaupun dalam diam. Sungguh, bagiku ia adalah idola yang sesungguhnya. Ia tidak banyak berkomentar tentang apa pun, kecuali hasil dan jurnal ilmiah yang diterbitkan.
Ia tidak membanggakan kecantikannya, tetapi bersinar melalui berbagai penelitian dan prestasi yang dikenal seantero semesta raya. Ia memegang predikat terbaik sejak dua tahun terakhir dan namanya langsung harum karena dedikasinya atas perhitungan fisika-trans untuk menanggulangi perubahan iklim.
Selama di elevator, kami juga masih terdiam. Wangi vanila yang ternyata dari tubuh gadis ini terasa makin santer dan membuatku begitu nyaman. Dengan cepat, elevator ini membawa kami naik sampai lantai 63.
Ia keluar terlebih dahulu dan menuju ke elevator di seberang sana. Tampaknya itu adalah akses khusus ke griya tawang. Ia begitu tenang, seolah-olah percaya bahwa aku bukanlah penjahat.
“Mengapa kau tidak takut? Aku bisa saja jahat kepadamu, Aldelynn.”
“Karena aku tahu kau orang jujur,” katanya dan membalik tubuhnya.
“Maaf, aku hanya bisa mengantarmu. Terima kasih atas traktirannya malam ini. Besar harapanku kita bisa bertemu lagi di kemudian hari.”
Gadis ini memejamkan mata di bawah cahaya lampu lorong yang kekuningan. Ia tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya menatapku.
“Tanggal 30 November 2323, Tanjung Perak jam 08.00. Aku akan mengajakmu dan keempat temanmu ke Quantroun.”
Aku terperanjat bukan main, Tanjung Perak adalah nama pelabuhan di Resor Surabaya, Metropolis Mahameru. Bukan masalah tempatnya, tetapi bagaimana mungkin aku bisa bolos sekolah untuk berjalan ke sana?
“A-aku harus sekolah, mohon maaf.”
“Tidak masalah, kau dan kelima temanmu cukup datang ke sana.”
“Benarkah?” tanyaku dengan tangan gemetar.
“Tentu saja, itu karena kau mau jadi temanku, sehingga kau dan temanmu bisa ikut. Sampai jumpa di Tanjung Perak, Rian.”
Ia menghilang bersama dengan tertutupnya pintu elevator meninggalkan sebuah kenangan yang begitu luar biasa di hati. Aku memang bukanlah lelaki yang mungkin bisa memilikinya dengan cara apa pun. Namun, setidaknya berbicara dengannya secara langsung sudah membuat hariku begitu berbeda.
Bagaimanapun, ia adalah sang idola.