Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Sang Guru
8
Suka
134
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sebuah senja di perpustakaan kampus. Buku-buku di rak berbedak debu. Senyumnya masam terpinggirkan oleh kepingan-kepingan skripsi. Mahasiswa yang datang ke kampus lebih menyukai kepingan skripsi ketimbang buku-buku. Mungkin karena janin dalam kepingan-kepingan skripsi lebih mudah langsung digunakan untuk memuaskan dahaga mahasiswa oleh tugas-tugasnya.

Seorang perempuan muda berdiri dari kursi di meja administrasi. Beberapa kepingan skripsi yang sebelumnya menghuni tas punggungnya telah berpindah ke meja. Beberapa tanda tangan telah dibubuhkan. Dia akan meninggalkan ruangan perpustakaan tersebut dengan segera.

Namun, pandangan mata lelaki tua menumbuk wajah perempuan muda itu. Empu mata itu lalu mendekatinya. Menggamit pundaknya. Menyapanya dengan sebuah kalimat yang membuatnya perempuan muda itu terhenyak, “Jaman aku kuliah dulu, rasanya malas sekali mengembalikan buku ke perpustakaan.”

“Aih, Prof memang nakal. Ini tidak akan ada pada saya kalau buku-buku itu tidak balik ke perpustakaan,” perempuan itu membersitkan rasa sukanya seperti kupu-kupu saat melihat lelaki tua tersebut, “Ijazah saya pasti masih tidur di laci administrasi kampus kalau ini belum saya pegang,”

“Sebentar, boleh saya lihat?!” perempuan muda itu menunjukkan selembar kertas putih dengan bubuhan tanda tangan, stempel, garis-garis tabel, serta beberapa judul buku juga kepingan skripsi di dalamnya. Dahi lelaki tua itu lalu disergap kernyitan, “Lho, kok cuma segini. Perasaan waktu bimbingan dulu, di daftar pustakamu ada beberapa judul lain. Jangan bilang kalau kamu mengarang, biar itu menjadi wilayah sastrawan-sastrawan saja!”

“Iiih.. Masa, saya hanya mengandalkan perpustakaan kampus, Prof. Tolong jangan kejam membuat simpulan. Lagi pula, mengarang itu kan mengembangkan imajinasi. Bukankah mengembangkan imajinasi itu bentuk rasa syukur kepada Tuhan? Prof dulu sering bilang begitu di kelas,”

“Hahaha… Kamu itu tidak pantas menjadi guru, pengacara lebih pas, bisa-bisanya kamu menggunakan kata-kata saya sendiri untuk menyerang saya,” lelaki tua itu mematikan rokok ditangannya lalu mendekatkan wajahnya ke perempuan muda itu, volume suaranya lalu dikurangi, “Kamu tidak dengan pacarmu atau tunanganmu kan?” gelengan kepala menjadi jawaban tanpa tanda baca. “Syukurlah, aku sedang tidak ada jam,”

Dua anak-cucu Adam yang terpaut lebarnya jeda usia itu lalu berjalan beriringan menuju ke kantin kampus. Beberapa mahasiswa yang berpapasan di koridor memberikan sapaan hangat. Satu-dua di antara mahasiswa tersebut ada yang menjabat tangan lelaki tua itu dengan takzim. Ujaran-ujaran keakraban yang santun dihela beberapa depa hingga di depan kantin kampus. Tapi langkah mereka kemudian terhenti. Keriuhan yang menyesak hingga ceruk-ceruk tempat tersebut menghalangi berlanjutnya langkah mereka. Di salah satu bangku di taman kampus, akhirnya langkah mereka berdua berlabuh.

“Prof, apa yang hitam itu mesti hitam? Sedangkan putih senantiasa menjadi putih? Saya masih ragu, apakah nanti saya bisa menjadi guru yang baik?” lelaki tua itu melepas kaca matanya. selembar sapu tangan oranye keluar dari sakunya. Lalu, punggung sapu tangan itu hilir mudik mengusir debu di permukaan kaca mata. “Maaf, Prof, semoga anda tidak berkeberatan saya berbagi,” Kaca mata itu kembali menghiasi wajah lelaki tua yang sedang duduk di samping perempuan muda itu.

“Masih ingat cerpennya Putu Wijaya, Lelaki Sejati, seorang anak perempuan yang bertanya kepada ibunya tentang keberadaan lelaki sejati dalam hidupnya? Seingatku itu tugas resensi yang saya berikan saat kamu semester dua atau tiga, waktu itu kamu masih suka memakai celana ketat dan baju ketat, kamu belum begitu menyadari bahwa kelak kamu jadi guru,”

“Waktu itu saya masih gagu membaca, Prof. Tapi tentang cerpen itu, saya hanya ingat bahwa memelihara harapan hanya akan membawa kita pada kesakitan ketika berbeda dengan kenyataan. Tumbukan idealisme dan realitas yang pedih. Lalu, ada apa dengan harapan yang hanya ilusi dan hanya bayangan, Prof? Saya tak tahu apakah saya nanti bisa menjadi guru yang baik?”

“Dalam cerpen itu, Putu Wijaya sedang menjadi Kresna di kursi sais kereta perang Arjuna saat Baratayudha. Dia sedang memberi wejangan Bhagawat Gita, betapa lelaki sejati itu sebenarnya bukan sesuatu yang ada di etalase toko, bergaransi, lalu bisa dibeli oleh anak perempuan itu. Lewat tokoh ibu anak perempuan itu, Putu Wijaya mengingatkan bahwa beradaan lelaki sejati justru diciptakan oleh kaum perempuan yang merasakan nikmat kelelakian pada setiap lelaki,”

Beberapa mahasiswa yang lewat di jalan kecil yang mengurat-urat membelah taman kampus itu menunduk menyapa hangat, lelaki tua itu mengangguk kecil setelah memicingkan matanya barang sejenak. Dia harus terlebih dulu membongkar-bongkar almari memorinya sebelum memberikan anggukan. Ingatan adalah sesuatu yang berusia pendek, apalagi jika kesan yang hadir dari sesuatu itu bersifat lembek. Melilin, lalu mangkat ketika ada yang lebih berkesan masuk dan duduk menjuntaikan kaki dalam almari memori. Lelaki tua itu tidak mampu mengingat semuanya.

“Menjadi guru yang baik seperti halnya lelaki sejati itu. Guru yang baik bukan dibuktikan dengan lembaran-lembaran surat keputusan telah lulus standar kualifikasi x, piagam-piagam seminar y, dan atau memiliki setumpuk surat keterangan mengajar di sebuah lembaga pendidikan. Yang bisa menjawab bahwa apakah kelak kamu bisa menjadi guru yang baik dan tidak bukan aku, melainkan murid-muridmu. Bagaimana kamu bisa bertanya, apakah nanti saya bisa menjadi guru yang baik jika kamu sendiri belum memiliki murid?”

“Setelah saya mendapatkan ijazah ini, saya akan pergi jauh, Prof. Setelah menikah nanti, saya harus mengikuti suami saya pindah ke tempat kerjanya. Di luar pulau, Prof. Saya akan mencari sekolah. Ijazah ini begitu berharga jika tidak saya gunakan sebagaimana mestinya, orang tua saya telah terlalu banyak berkorban. Berdosa rasanya jika nanti saya hanya mengurus rumah,” Perempuan muda itu membuka tas punggungnya. Diambilnya satu dari beberapa surat undangan yang terbungkus indah. Disodorkannya kepada lelaki tua itu. Sebuah pernikahan. Sebuah hidup baru akan membentang di depan perempuan muda itu. “Maaf, saya tidak berani mengundang profesor,”

“Keberanian itu ternyata barang yang mahal. Mengundangku saja kamu tidak berani. Kamu kan mahasiswa bimbinganku. Tiga bulanan kita sering diskusi. Sekarang kau berani bertanya, apakah kau kelak bisa menjadi guru yang baik? Mengapa kau tidak berani mengundangku?” perempuan muda itu menguncup malu, “Kamu telah berani memutuskan akan menikah, mengundangku kau tidak berani,”

“Saya membayangkan, Prof. Jika semua mahasiswa yang akan menikah mengundang dosennya, apa tidak capek mereka mendatangi pernikahan mahasiswa-mahasiswanya. Apalagi di bulan baik,” perempuan itu dalam malu mencoba menyusun pledoi.

“Inilah muawal ketakutan yang memangkas keberanian. Bayangan-bayangan yang kita ciptakan sendiri merupakan habitat subur tumbuhnya penyakit yang menggerogoti keberanian. Senjata, cerpennya Motinggo Busye, seingatku dalam kumpulan cerpen Keberanian Manusia. Bayangan ketakutan terhadap tentara membuat tokohnya gelisah dan tidak mampu berpikir logis. Padahal, tentara yang tak sengaja bertemu dengan tokoh malam itu tidak memiliki jari-jari, dia bermaksud meminta tolong kepada tokoh untuk mengisikan peluru ke dalam pistolnya. Tentara itu sedang menderita,”

“Saya akan keluar pulau, saya tidak bisa membayangkan bagaimana anak-anak usia sekolah di daerah itu, Prof. Bagaimana nanti saya bisa menjadi guru yang baik bagi mereka?” ternyata perempuan itu hanya ingin menunjukkan tanggal pernikahan dalam surat undangan yang disodorkannya. Dia masih dibalut-dibelit bayangannya tentang guru yang baik.

“Kadang kita terlalu runcing meraut bayangan-bayangan yang kita ciptakan. Meski bayangan itu memang tidak seratus persen lahir dari imajinasi. Bayangan ketakutan tokoh dalam Senjata-nya Motinggo Busye lahir dari pengalamannya dengan tentara yang traumatik. Lalu, bayangangmu tentang anak-anak di daerah yang akan kau tuju setelah kau menikah itu lahir dari mana? Ingat, jangan terlalu mengimani berita media massa!!”

Tawa kecil mendadak meluncur dari bibir lelaki tua itu. Sesuatu yang mahal selama percakapan di taman kampus itu. 

“Saya tidak pernah baca cerpen itu, Prof. Motinggo di mata saya itu hanya Malam Jahanam. Saya sering tertawa sendiri kalau membaca kembali dialog Mat Kontan saat mengejek Soleman tentang lelaki yang tidak segera menikah,” wajah perempuan muda itu beranjak terang, bayangan tentang guru yang baik berangsur musnah.

“Apakah nanti kau juga akan main drama setelah menikah? Aku beberapa kali melihatmu manggung”

Perempuan muda itu lalu berdiri, diangkatnya kaki kanannya ke bangku. Seakan memintir kumis, perempuan muda itu berseloroh seperti Mat Kontan; “He, orang lelaki yang ngak mau berbini itu tandanya belum lelaki. Paling-paling tak berani sama perempuan. Kau tahu kambing kebiri saya yang mati? Ia mati karena kesepian! Kau lama-lama bisa jadi seperti kambing kebiri saya itu,”

Sebelumnya, lelaki tua itu hanya menyunggingkan tawa kecil. Namun sekarang tawa yang lebar dan agak terbahak pecah dari bibirnya yang menghitam oleh nikotin. Diusap-usapnya rambut perempuan muda itu penuh kebapakan, “Suaramu masih lantang seperti dulu,”

“Ini boleh dilanjut, Prof?” mata perempuan muda itu berbinar meminta persetujuan.

“Boleh…” dia memicingkan matanya sejenak, mengingat-ingat, tiba-tiba lelaki tua itu membalas dialog Mat Kontan tersebut dengan dialog Soleman; “Kalau anakmu seperti kambing nanti bagaimana?”

“Mana bisa? Karena bapaknya Raja Perkutut, anaknya tentu Raja Kutilang setidaknya. Tak mungkin seperti kambing. Si Kontan kecil adalah anakku. Bukan anakmu!” perempuan muda itu masih membalas dengan dialog Mat Kontan dalam Malam Jahanam.

Derai-derai tawa terlepas dari bibir mantan dosen pembimbing skripsi dengan mantan mahasiswinya yang baru diwisuda beberapa minggu lalu tersebut. Derai-derai tawa tersebut mengkristal dan mengalir bercahaya di daun-daun akasia yang memagari taman kampus tersebut. Cahayanya putih namun tidak mengundang silau.

Beberapa mahasiswa yang juga ada di taman kampus itu bertepuk tangan kepada mereka. Derai-derai tawa mereka bagi tanpa tendensi. Sebelum duduk kembali, perempuan muda itu membagi salam bibirnya ke kanan dan ke kiri. Kata “I Love You” berulang keluar dari bibir tipisnya. Tepuk tangan itu tak kunjung hilang dari ruang pendengaran.

“Hahaha.. Aku lupa. Aku lupa dialog Malam Jahanam lainnya,” lelaki tua itu memegang lengan perempuan muda itu agar duduk tenang. Dengan masih memintir kumis, akhirnya dia duduk kembali, “Kamu itu suka lelaki yang nakal, ya? Buktinya kamu hafal Malam Jahanam. Jangan bilang kalau calon suami kamu itu juga lelaki nakal,”

“Semoga tidak, Prof. Saya bisa membunuh calon suami saya itu jika dia senakal Soleman,”

“Dia yang pernah kamu bilang kerja di pengeboran minyak itu kan?”

“Masih itu. Tidak berubah,”

“Hati-hati. Hanya ada lelaki di sebuah pengeboran minyak yang terpencil,”

“Jeruk kok dimakan jeruk, tidaklah, Prof,”

“Malam Jahanam itu ditulis Motinggo Busye saat dia masih muda. Gaya bahasanya belum terlalu bijak seperti di Tujuh Manusia Harimau, Dua Tengkorak Kepala, ataupun Fatimah Chen-Chen,”

“Saya banyak belajar tentang cara berpikir laki-laki dari Malam Jahanam. Egois itu seakan menjadi karakter wajib kaum laki-laki. Mungkin itu pula yang mendasari ajakan calon suami saya untuk pergi ke luar pulau itu. Sejak kecil saya tidak pernah tinggal di luar kota ini,” perempuan muda itu kemudian menghela napas dengan beban yang misterius. “Bagaimana rasanya ya, Prof, jika anak yang dikandung istri kita itu adalah hasil perselingkuhan?”

“Paijah di Malam Jahanam itu mengingatkan saya pada Ariadne-nya Anton Chekov. Kesepian membuat Paijah dan Ariadne berselingkuh. Kesepian yang dibuat dan atau sengaja dibuat-buat oleh pasangan masing-masing. Saya berdoa kamu nanti tidak kesepian seperti mereka, apalagi berselingkuh,” lelaki tua itu kemudian membuang pandangannya pada sepasang burung gereja yang hinggap di salah satu balkon gedung kampus di tepian taman. Sepasang burung gereja itu seakan mengingatkannya tentang kesetiaan, janji, dan konsekuensi yang menyertainya, “Saya mungkin juga akan membunuh istri saya andaikata mengandung anak hasil perselingkuhan. Tetapi mungkin itu saya sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Kalau sekarang itu tidak mungkin,”

“Apakah karena kematangan usia, Prof? Mungkin kalau nanti saya seusia anda, saya juga akan menjadi perempuan yang mudah memaafkan,”

“Tidak juga, saya masih manusia yang tidak mudah memaafkan hingga kini. Istri saya tidak akan mengandung anak hasil perselingkuhan karena dia sudah meninggalkan saya,”

Tenggorokan perempuan muda itu seperti tercekat duri ikan sebesar lengan bayi. Dia kehilangan kata-kata. Keriangan yang sebelumnya bertengger mendadak samar, mengabur, lalu hilang ditelan kabut yang mengalir dari bibir hitam bernikotin lelaki tua itu. Dia menyesali gamitan kata-katanya tentang pasangan hidup yang berselingkuh. Ini semua gara-gara Malam Jahanam.

“Sayang kita tidak hidup di Jepang pada masa lampau. Istri saya pasti sulit kembali ke keluarganya jika kita adalah orang Jepang lampau. Istri saya menceraikan saya. Diam-diam dia mengurus sendiri perceraian itu. Tanpa panggilan sidang, tahu-tahu saya sudah dikirimi salinan surat perceraian. Itu tidaklah sulit bagi orang yang dibesarkan dalam keluarga pengacara seperti istri saya. Kamu sudah pernah membaca cerpen Juusanya karya Higuchi Ichiyo? Jika kita hidup di Jepang pada masa lampau, pasti tidak mudah bagi seorang perempuan untuk kembali lagi ke keluarganya,” kata-kata lelaki tua itu terdengar berat oleh beban. Tidak seperti yang biasa didengar oleh perempuan muda itu.

“Perceraian itu sesuatu yang diperbolehkan namun sangat tidak disukai Tuhan,” perempuan itu bersoliloqui.

Helai-helai daun akasia kering beterbangan terbesut angin. Udara dingin menyergap tanda hujan sedang dalam perjalanan. Lelaki tua itu mengeluarkan dompetnya, selembar foto yang telah aus tepiannya ditarik dari salah satu ceruk dompet. Dipandanginya dengan perasaan penuh. Bulir air mata menetes dan jatuh di pipinya yang tak lagi kencang. Lelaki tua itu menangis. Wajah seorang perempuan, dua orang anak perempuan, dan lelaki tua itu sendiri membisu di dalam foto tersebut. Bulir air mata itu kian membuncah mengalir.

Hingga beberapa saat taman kampus itu seakan berhenti berdetak. Diam. Memberi ruang pada lelaki tua itu mengaduh sejenak.

Ketika titik-titik air berjatuhan dari langit, lelaki tua itu tersadar dari keterhanyutan perasaannya. “Maafkan saya, saya hanya teringat anak dan istri saya. Saya telanjur membuat mereka kesepian dengan kesibukan saya. Namun, Tuhan senantiasa berbicara dengan bahasa yang lugas. Andaikata kita merasa tidak mampu untuk memahaminya, itu hanya persoalan waktu. Saya dulu gagap. Sekarang, saya hanya bisa menangisi kegagapan itu. Semoga apa yang terjadi pada keluarga saya tidak terjadi pada keluargamu nanti,”

Aamiin…”

 Seekor kupu-kupu mendadak hinggap di bangku, di antara mereka. Sayapnya ungu. Cantik sekali. Napas kupu-kupu itu terlihat memburu. Mungkin kupu-kupu itu kelelahan terbang karena hujan hendak turun. Perempuan muda itu menjangkakan tangannya, dia berkehendak menangkap kupu-kupu itu. Namun kupu-kupu itu lebih dulu mengepakkan sayapnya dan terbang ke atas. Hinggap sebentar di kekuningan bunga-bunga Akasia. Kemudian hilang di balik megahnya gedung kampus.

“Sesuatu yang datang pasti juga akan pergi. Keabadian tidak akan bersinggasana di bumi. Seperti halnya kamu dan teman-temanmu bagi saya. Datang sebagai murid dan pergi nanti sebagai guru. Masih bimbang bagaimana menjadi guru yang baik? Menjadi Sang Guru?”

“Saya akan sangat merindukan anda, Prof,”

“Buatlah murid-muridmu nanti juga akan merindukanmu. Mungkin, itu secuil gambaran tentang guru yang baik,”

“Terima kasih, Prof. Doakan saya. Doakan murid-murid saya kelak juga akan merindukan saya. Harap saya, orang-orang di sekeliling saya tidak merasa kesepian,”

“Tentu… Tentu… Tentu… Itu juga doa saya untuk teman-temanmu,”

Titik air hujan yang sebelumnya jatuh jarang-jarang, kian sering menumbuk tanah. Mereka berdua berdiri. Tak seperti lainnya di taman itu yang berlari mencari tempat berteduh. Lelaki tua dan perempuan muda itu berjalan gontai. Di perempatan koridor kampus sebelum berpisah, perempuan muda itu mencium tangan lelaki tua itu setelah berjabatan tangan. Ketika hendak mengayun langkah pertama menuju arah masing-masing, lelaki tua itu mencium kening perempuan muda itu.

Ketika punggung perempuan muda itu hilang di balik bebatang pohon Akasia di halaman kampus, lelaki tua itu menyalakan sebatang rokok untuk yang ke sekian. "Selalu, selalu ada yang datang lalu pergi. Sang Guru tetap di sini," pupusnya dalam hati.

--- The End ---

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (9)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Sang Guru
Anjrah Lelono Broto
Flash
Discount Friend
lidia afrianti
Novel
AKU TAK PERNAH MEMBENCI DIRIMU
Muhammad Abdul Wadud
Cerpen
Bronze
Memahami
Daud Farma
Flash
Menikmati Takdir
Husein AM.
Novel
1/4
Sancka Stella
Novel
Bronze
Dunia Kecil; panggung & omongkosong
Syauqi Sumbawi
Flash
Di Balik Mata Pisces: "Ketika Mimpi Bertemu Realita"
Alya Nazira
Cerpen
Mengapa Aku Belum Ingin Mati?
Firlia Prames Widari
Flash
Tuhan, Botol & Babi Hutan
Alysya Zivana Pranindya
Flash
Bronze
Sang Penulis
AndikaP
Novel
Bronze
Heartless
Aylanna N. Arcelia
Cerpen
Bronze
Kisah Simsim yang Pemarah
Lia
Cerpen
Bronze
FOCUS GROUP DISCUSSION
Ardian Agil Waskito
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti
Rekomendasi
Cerpen
Sang Guru
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
Amore Pazzo
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Keputusan
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bisikan Daun
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Jodoh Gunung
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
Lidah Mertua
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
Tak Ingin Menulis Lagi Tentang Dia
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Rasa Didua
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
IMAJINASI
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Ungku Idris dan Kisah Barunya
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
Bukan Malam Jahanam
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
Perempuan yang Bicara dengan Nisan
Anjrah Lelono Broto
Flash
PERJAMUAN PENAGIH HUTANG
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Ibu Polwan di Libur Natal Tahun Ini
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Maafkan Saya, Yu Nah
Anjrah Lelono Broto