Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ini bukan pertama kalinya ia penasaran. Tatapan sepasang netra pria muda itu sama dari hari ke hari. Ia berkasak-kusuk, lalu menyenggol seorang ibu di sisinya. “Kenapa dia, Bu? Apa terlalu bersyukur sampai menangis sesenggukan begitu?” herannya. Secara sembunyi-sembunyi ia mengamati lekat sosok gadis muda yang tengah melahap makanan tak jauh dari tempatnya.
Si ibu mengikuti arah pandang pria muda dengan enggan, dan malas, sementara tangannya masih sibuk mengaron nasi untuk hajat orang banyak. Baginya lebih penting gesit menjerang air di panci besar, menuang kiloan bulir-bulir beras dengan bunyi renyah, dan menunggu mereka hingga masak dibanding membuang waktu sekian detik hanya untuk menatap si gadis yang selalu murung berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan minggu menyulam bulan mendekati tahun. Riuh-rendah cengkerama perihal kecemasan dan ketidakpastian berkumandang di sekitar mereka.
“Itu sudah biasa. Tiap makan selalu tumpah tangisnya. Pernah ditanya, tapi dia selalu menggeleng, lalu mengusap air mata dan ingus. Tiap malam juga sering hilang entah ke mana perginya.” Si ibu menjelaskan singkat. Tampak tak terlalu peduli. Karena ia lebih peduli dengan nasi yang belum masak, padahal sebagian orang telah menunggu bagiannya. Orang-orang di sekitar mereka terlihat ripuh, para aparat juga tampak sibuk berkeliaran. Debu mengepul bak melangit.
Pria muda yang haus penasaran lagi-lagi tak mengerti. Kenapa gadis muda tersebut selalu dirundung tangis saat makan? Entah itu jatah sarapan, makan siang, makan malam. Ah, entahlah. Ia tetap saja tak mengerti. Duka seharusnya dapat segera berlalu, kan? Ia hendak undur diri, tetapi urung tatkala tiga pria dewasa berhambur ke arahnya.
“Berasnya sudah habis, Yu? Itu tentara sama polisi belum bawa lagi?” Salah seorang dari antara mereka menyundut emosi.
“Belum lo, Pak. Agak lamban bantuan sekarang. Mungkin mulai lupa sama kita-kita ini,” sambar ibu melirik tipis tempayan yang nyaris kosong.
Bapak di belakangnya jadi lebih reaktif. “Wis, nggak bener iki. Mesti ada saja yang dikorupsi! Makan hak-hak rakyat kecil kayak kita ini!”
Telinga pria muda yang awalnya menggasak pembicaraan dengan baik jadi ikut muak dan pergi. Namun bagai tertarik medan magnet, lagi-lagi netranya jatuh ke arah gadis yang sampai sekarang masih meratap.
Kenapa kamu masih berkabung? Berapa lama rata-rata orang berduka? Kini sudah hampir satu tahun kamu dan lainnya ada di penampungan duka ini. Sudah seharusnya melupakan dan bergerak maju mencari kebahagiaan sejati.
“Tahu sendiri ‘kan kenapa mereka korupsi?!” Bapak paling depan kembali bersuara. “Demi isi perutnya sendiri. Mereka itu serakah! Di depan keluarganya saja berlagak sok bertanggung jawab, sama istri dan anaknya seperti pahlawan. Tapi, lupa utamanya mereka harus tanggung jawab sama rakyat. Duit yang dipakai perasan dari keringat orang banyak!”
Pria yang sedari bermain-main dengan asap nikotin menghela napas sepanjang batas ketabahan, lantas menyahut, “Ya, begitulah, Pak. Karakter asli manusia itu bisa dilihat kalau harta dan jabatan sudah didapat. Ada yang semakin merunduk. Banyak juga yang petantang-petenteng dan berotak licik menindas sesamanya.”
Si ibu kemudian terbatuk-batuk tatkala uap panas dari panci menyembul. Aroma nasi tanak mengalihkan pembicaraan mereka. “Nasinya sudah matang, Pak. Monggo dikabari istri dan anak jenengan yang belum kebagian tadi.”
“Mantap iki. Ayo, Pak, ajak mereka dulu! Kalau begini ‘kan nanti tidak marah-marah lagi soalnya perut sudah terisi.”
Ketiga orang tersebut buru-buru menyeret kaki menemui istri dan anak mereka yang sudah menunggu. Gerakannya membangkitkan hiruk pikuk di antara pengungsi lain. Mereka berbondong-bondong menuju satu titik. Salah satu di antaranya menengok si gadis murung, lantas bergeleng. “Heran, air matanya kok tidak habis-habis.”
***
Malam itu si pria muda yang selalu diliputi rasa penasaran tak sengaja menangkap kepergian gadis duka―begitu ia menyebutnya dalam hati. Awalnya perempuan tersebut melangkah berjengit melewati sekelompok bapak-bapak yang sedang begadang sambil minum kopi. Pria muda heran, kenapa kepergian gadis itu tak pernah ketahuan?
Pria muda terus membidik ke mana pun si gadis bergerak. Gadis itu melompati pagar, ia mengikuti. Si gadis menyelinap di ladang singkong tak berpemilik pun ia lakoni. Hingga akhirnya lari gadis tersebut mengarah ke hutan. Pria muda sempat ragu, tetapi ia ikuti jejak gadis yang serupa teka-teki itu demi memenuhi target penasarannya.
Bunyi gemeretak tak sengaja dihasilkan saat dirinya menginjak dahan kering. Sontak gadis duka merasa terancam, lantas semakin mempercepat jangkauan langkah. Pria muda mengikuti apa saja. Kaki-kakinya berjalan cepat seirama. Sejurus kemudian ia menyaksikan sorot muka cemas terlukis pada wajah gadis tersebut sewaktu berpaling ke belakang dan tersiram oleh cahaya temaram sang rembulan.
Jadilah pria muda memperlambat tempo langkahnya, dan memutuskan untuk bersembunyi di balik bayangan pohon terdekat, sengaja membiarkan si gadis melanjutkan perjalanan tanpa merasa terancam. Alhasil perempuan di depannya berlari lebih tangkas. Bahkan kaki-kakinya seperti tengah mengayun lincah di atas sayap angin, mengarah ke rimbunan kegelapan, lalu mendaki lereng bukit di belakang himpunan pepohonan ini.
Pria muda beranjak perlahan menanjaki sisi-sisi kelam bukit. Sama sekali tak ingin kehilangan incarannya. Dahi berpeluh kesah, napas bergelayut deras. Si pria muda rupanya cukup kewalahan hingga dinginnya angin tak sanggup menyirnakan lelahnya. Tetapi, bayarannya magis penuh kekaguman. Walau tahu-menahu perihal keberadaan bukit ini, ia tak pernah sekalipun singgah. Ironi kehidupan telah memaksanya untuk merasuk lebih dalam ke jebakan tak menyenangkan orang dewasa.
Rupa jurai-jurai cendawan kelam yang sebenarnya hutan yang tadi ia lalui terlihat dari atas sini. Namun, netranya tetap terarah pada sosok gadis yang tengah duduk termenung. Letupan kecil penuh sangsi timbul tatkala pria muda memandang penuh atensi kepada rambut sebahu si gadis yang berburai tertiup angin.
Awalnya pria muda terpana karena untuk pertama kalinya ia melihat secercah senyum terbit di bibir ranum itu ketika menengadah mengamati bintang-gemintang. Tiba-tiba si gadis mengangkat tangan dan melambai-lambai riang mengarah angkasa.
Tetapi, berikutnya kamu malah merebahkan diri dan menyusut sesuatu yang mengalir dari ekor matamu. Desau angin cepat berlomba dengan isakan lirihmu yang sontak merangsek duka dalam hati ini.
Rasa penasaran si pria muda kian membuncah. Ia lekas keluar dari persembunyiannya, dan meruntut si gadis duka dengan pertanyaan. “Kenapa di sini sendiri malam-malam begini? Kenapa menangis?”
Ucapan itu rupanya membuat sang gadis tersentak, lalu beringsut mundur secara waspada. Pria muda tak punya pilihan lagi selain mengatakan, “Jangan takut, aku bukan penjahat. Aku salah satu pengungsi juga,” rayunya putus asa.
Tetapi kemudian amarah gadis itu bangkit, merajuk, ia melolong kepada pria muda untuk lekas enyah dari sana. Di saat bersamaan, pria muda tak sengaja menangkap bilur-bilur ungu mengintip dari lengan baju perempuan tersebut. Tidak ada keputusan lebih bijak selain mengalah meski sejujurnya belum berhasil menaklukkan tanda tanya besar di kepala.
“Baik, aku akan pergi. Tapi,” ia mendongak ke langit sejenak, “bintang-bintangmu sudah mulai tertutupi awan. Sebentar lagi akan turun hujan,” ujarnya.
Keras kepala si gadis menolak pernyataan pria muda. Ia bersikukuh bahwa hujan tak akan turun seperti malam sebelum-sebelumnya. Maka, pergilah pria muda dengan getir. Sepanjang malam ia bahkan tidak bisa tidur karena memikirkan bagaimana nasib si gadis. Dan, ajaibnya, hujan memang tak turun malam itu.
***
Setetes air menitik jatuh dan tenggelam di antara rapatan aronan. Lagi-lagi aku menangis memandang makanan lengkap dengan lauk seadanya ini. Bukan karena terlalu sederhana, bukan. Tetapi terdapat kenangan menggeliat-liat tragis yang menyembul dari sana. Seakan ada seorang perempuan lebih muda yang duduk di sisiku sembari menyendokkan makanannya pula.
Aku masih mengingatnya. Tiap perbincangan yang kerap kali membawa serta sorot berbinar tatkala mencecap makanan bersama. Kami bercakap-cakap perihal apa pun yang dapat dibahas, apa pun yang bisa kami sambar. Entah itu kejadian sepuluh detik yang lalu, masa-masa yang pernah terlewati, atau berbagai harapan yang kami gaungkan ke depannya. Harapan itu disemai seakan kami dapat hidup seratus tahun lagi.
Ibu adalah wujud kerinduan lain. Bersama adik, kami saling memupuk impian dari jerat kesusahan menjadi pelipur hati. Tetapi, Ibu-lah pokok yang menopang dan memperkuat cabang ranting kami. Tak akan ada “kami” tanpa ucapan berkat dari bibir tipis seorang ibu yang bijak.
Jika ada penguat, maka ada pengerat. Ah, Bapak rupanya masih mengingatku walau aku sering bertindak kurang ajar padanya. Aku percaya pria itu pasti tahu bagaimana aku membencinya, bagaimana dadaku sesak dan jantungku berdenyut kencang tiap kali kutuk masa depan terucap dari mulutnya yang tak pernah memedulikan diriku―anaknya, bahkan seluruh keluarganya. Ternyata kebencian serupa kerinduan yang berkebalikan sisi.
Masih banyak tabiat buruk Bapak yang tersimpan rapi, menggumpal, dan terpendam hingga menyuburkan akar kepahitan. Bahkan kami sepakat berslogan bersama jika tanpa Bapak hidup akan jaya. Apalagi untuk Ibu yang empunya sabar seluas samudera.
Malam merayap, udara dingin kian menusuk kulit. Aku melambaikan tangan pada mereka. Mereka membalasnya dalam rekah senyum hangat. Sejujurnya aku bahagia dapat bertemu mereka, tetapi entah kenapa air mata selalu meleleh seakan rasa senang ini melebur di dalamnya.
Bintang-bintang di langit berlomba menceritakan tentang seluruh kehidupanku. Menyampaikan salam kasih dari bibir Ibu, Bapak, dan Adik di sana. Tenggorokanku tercekat, dadaku sesak menggelegak. Tanpa kusadari air mataku tumpah ruah lagi. Berbagai penyesalan terulang kembali bak mata pisau terhunjam tepat di ulu hati. Apa kata orang bijak benar: sesuatu paling berharga di dunia ini adalah waktu, karena waktu tak akan bisa terulang kembali. Waktu mengandung banyak esensi kenangan di dalamnya bersama orang-orang terkasih. Tubuhku terkulai lemah, badanku roboh ke tanah.
Ah, andai megathrust tidak terjadi ….
Rumput bergemerisik. Langkah kaki terdengar terayun-ayun. Tubuhku meremang, seseorang terasa dekat dan berdiri di hadapanku lewat kilatan pisau yang telah kusiapkan. Dengan wajah sembap, aku terpaksa menatapnya. Mata kami saling terpaut. Di waktu bersamaan jangkrik melompat, anjing-anjing menggonggong bersahutan, angin dingin berembus, burung gagak hinggap diam di salah satu ranting, orang-orang di pengungsian bercengkerama tentang tenangnya malam dan betapa berisiknya pikiran. Bumi berotasi. Tetapi, waktu kami berhenti.
“Aku tahu ke mana kamu harus minta tolong,” cetus kontemplatif lelaki muda yang akhir-akhir ini menggangguku. Sorot matanya beriap-riap.