Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Sandiwara Reuni
0
Suka
4
Dibaca

Alunan musik yang lembut, dimainkan oleh orkestra kecil di sudut ruangan, mengisi setiap celah ballroom The Grand Teater. Ballroom megah itu seolah disulap menjadi sebuah kebun musim semi abadi; dekorasi bunga peony putih salju yang menjulang tinggi, disusun apik di atas vas kristal, berpadu dengan tirai kristal yang memantulkan cahaya keemasan dari chandelier raksasa. Aroma bunga bakung dan lily of the valley menciptakan atmosfer yang sakral sekaligus romantis.

​Di tengah keramaian para tamu yang anggun, Kalindra berdiri menonjol. Rambut panjangnya berwarna dark caramel bergelombang anggun di atas bahu, kontras dengan balutan slip dress satin berwarna blush pink lembut. Ia memeluk erat Ana, sang mempelai wanita, yang tampak memesona dalam balutan gaun pengantin A-line.

​​"Ana, selamat menempuh hidup baru, Sayang. Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah," bisik Kalindra tulus, suaranya sarat kehangatan, mengakhirinya dengan cipika-cipiki yang hangat dan penuh rasa sayang.

Ana membalas tatapan itu, matanya berkaca-kaca. "Makasih banyak, Kalindra. Aku senang banget kamu datang."

Kalindra beralih ke Bima, suami Ana dan teman akrabnya sejak SMA. Ekspresi lembut Kalindra seketika berganti menjadi sorot mata hazel yang tajam, menatapnya dengan penuh ancaman, aura protektifnya langsung menyeruak.

​​"Dengar baik-baik, Bima," ujarnya dengan suara rendah, teredam, dan tegas, nyaris berbisik dan penuh tekanan. "Aku tidak main-main. Jaga Ana dengan seluruh jiwa ragamu. Jangan pernah ada KDRT, jangan pernah selingkuh, dan jangan pernah membuat dia meneteskan air mata. Paham?"

Bima, yang sudah hapal betul sifat Kalindra, memutar bola matanya sambil tersenyum geli. "Ampun, Lin! Ini udah yang kesebelas kalinya kamu bilang. Janji! Aku nggak akan menyakiti Ana." Ia lalu menatap Kalindra dengan pandangan usil. "Jadi, Kalindra, kapan giliran kamu nyusul?"

Giliran Kalindra yang jengkel. Ia menghela napas panjang, gestur yang secara terang-terangan menunjukkan keengganannya membahas topik itu. "Insya Allah, bulan depan," jawabnya sambil membuang muka dan menahan senyum nakal.

​Ana tersentak, mencengkeram lengan Kalindra tak percaya. "Serius?! Sama siapa?!"

Kalindra mencondongkan tubuhnya ke arah mereka berdua, berbisik dramatis, "Sama Kim Seokjin!" Tawa renyahnya meledak, membuatnya segera melarikan diri meninggalkan Ana dan Bima yang hanya bisa menggelengkan kepala, tertawa pasrah melihat tingkah sahabat mereka yang tak pernah berubah.

Kalindra berjalan menuju area prasmanan, menjauh dari pusat perhatian. Ia mengambil piring porselen, memilih smoked salmon yang lembut dan beberapa potong opera cake. Ia bergabung dengan meja teman-teman SMA-nya, menikmati makanannya sambil sesekali menanggapi obrolan Danar dan Arumi tentang masa SMA.

​Tiba-tiba, suara nyaring Fina dari belakang membelah keheningan, seolah membelah atmosfer ballroom yang damai.

​"WIRA!"

​Tubuh Kalindra menegang seketika, refleks yang tak bisa ia kontrol seolah seluruh sarafnya tersengat listrik. Piring yang ia pegang terasa seberat batu, dan cengkeramannya pada tali tas selempang kulitnya mengerat kuat. Wiratama. Nama itu adalah racun yang meninggalkan luka menganga selama sepuluh tahun, sekaligus satu-satunya penawar yang ia rindukan di setiap detik.

​"Jadi datang ke nikahan Rian dan Ana, Wira?" tanya Fina lagi dengan nada riang.

​​"Iya," jawab suara itu singkat, resonansinya persis seperti yang Kalindra ingat: dalam, tegas, dan entah mengapa, terasa hangat. "Aku mau menyapa Rian dan Ana sebentar."

​Kalindra menunduk, fokus pada tekstur smoked salmon di piringnya, memohon dalam hati agar sosok itu segera berlalu, atau setidaknya, tidak menyadari kehadirannya.

"Lin, jadi kamu ikut kan reuni di villa habis ini?" tanya Arumi, menepuk pundak Kalindra, menyentaknya dari lamunan.

Kalindra tersentak, kembali ke masa kini. "Ja... jadi, Rum," jawabnya terbata.

​"Tuh, Lindra ikut. Kamu juga ikut ya, Wira?" Arumi menoleh ke belakang, ke arah Wira yang baru saja kembali dari pelaminan.

​Keheningan melanda Wira. Matanya yang gelap menatap punggung Kalindra yang kaku.

"Iya," jawab Wira, singkat namun tegas.

​"Akhirnya setelah sepuluh tahun Wira mau ikut reuni juga!" seru Danar di sampingnya, lalu menatap Kalindra dengan senyum lebar. "Oh iya, Lin. Kamu nggak mau sapa Wira?" Celetukan spontan itu langsung dihadiahi pukulan pelan dari teman-teman yang lain, yang menyadari atmosfer tegang di antara keduanya.

Kalindra menarik napas panjang, menata ulang kepingan hatinya. Dengan hati-hati, ia membalikkan tubuhnya. Ia menatap Wira, mencoba menyembunyikan badai yang berkecamuk di dadanya.

​"Hai, Wira. Gimana kabar kamu?" tanya Kalindra, suaranya pelan, tercekat, nyaris tak terdengar.

Wira menatap mata hazel Kalindra lama sekali, tatapannya begitu intens, seolah ingin membaca setiap pikiran dan perasaan yang Kalindra coba sembunyikan di balik topeng ketenangannya. Atmosfer menjadi sangat tegang, hanya dipecahkan oleh sayup-sayup lagu "Perfect" milik Ed Sheeran dari pengeras suara.

​"Baik. Kamu?" Wira menjawab, nadanya datar dan sangat singkat.

​"Baik juga," Kalindra menjawab cepat, menghindari kontak mata lebih lanjut, tak tahan dengan sorot mata yang mengunci pergerakannya. "Teman-teman, aku ke kamar mandi sebentar. Nanti kalau sudah mau berangkat ke Villa, hubungi aku," pamit Kalindra, segera beranjak dan hampir berlari, meninggalkan meja dengan canggung.

​Di dalam kamar mandi, yang kebetulan sepi, Kalindra bersandar di wastafel marmer yang dingin. Ia menatap bayangannya di cermin besar. Wajahnya terlihat pucat, matanya sedikit memerah, dan napasnya memburu.

​Ia memejamkan mata erat, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Ia menghirup napas dalam-dalam, menahannya selama empat hitungan, lalu mengembuskannya perlahan.

Jangan menangis. Jangan. Jangan sampai dia tahu.

​Kehadiran Wira, hanya dalam hitungan detik, sudah berhasil meruntuhkan pertahanan yang ia bangun dengan susah payah selama sepuluh tahun.

Tiga ketukan terdengar di pintu. "Lin, kita mau otw sekarang. Kami tunggu di parkiran ya," panggil Fina.

​"Iya, Fina! Sebentar. Nanti aku menyusul ke parkiran!" jawab Kalindra setengah berteriak.

Setelah mengatur dirinya, ia keluar. Saat berjalan di lobi, sebuah SUV hitam metalik berhenti tepat di depannya. Jendela belakang terbuka.

​"Masuk, Lin! Di depan ya, mobil ini sudah penuh di belakang," kata Haris riang.

​Kalindra mengangguk, namun saat ia membuka pintu depan, pandangannya membeku. Di kursi kemudi, memegang setir dengan kedua tangan, ada Wira yang menatap lurus ke depan. ​

Ia melirik ke kursi belakang: Haris, Damian, dan Gilang sudah berjejalan di sana. Tidak ada ruang sedikit pun.

​Haris menyadari keraguan Kalindra. "Nggak usah cemas, Lin. Di belakang sudah sesak. Kamu mau berdempetan sama tiga cowok?"

​Kalindra menggeleng cepat.

​"Ayo, Lin! Masuk! Nanti kita ketinggalan rombongan!" seru Gilang dari tengah.

Dengan ragu dan jantung yang kembali berdebar, Kalindra masuk dan duduk di kursi depan. Aroma parfum khas Wira, langsung menyeruak. Ia segera memasang sabuk pengaman.

Mobil melaju dengan kecepatan stabil, membelah jalanan sore. Suasana di dalam mobil hening, tebal dengan ketegangan. Haris, Damian, dan Gilang sesekali saling melirik dan berbisik tanpa suara, seperti sedang menyusun strategi. Wira fokus menyetir. Kalindra menatap lurus ke jalan, menghindari kontak mata.

Sudah menjadi kebiasaan, Kalindra selalu mengantuk saat naik mobil. Rasa kantuk menyerang kuat. Ia menggelengkan kepala dan sesekali mencubit pipinya, namun tak berdaya. Perlahan, kepalanya menyandar ke kaca mobil, dan matanya tertutup sempurna.

Dari sudut matanya, Wira melirik sekilas, memastikan Kalindra sudah terlelap. Senyum tipis, muncul di bibirnya.

​"Tidur yah dia?" bisik Haris, yang tahu kebiasaan Kalindra.

Damian menyandarkan kepala, menatap Wira kesal. ​"Selama ini kau kemana, Wira? Nggak kangen, emang, sama kami?" Damian berbisik.

"Nggak kangen emang sama Kalindra?" celetuk Gilang, langsung mendapat jitakan dari Damian dan Haris.

​"Pake nanya lagi!" sahut Haris dan Damian serempak.

Wira hanya melihat mereka dari kaca spion. Ia tidak menjawab, tetap fokus pada kemudi, tapi senyum di wajahnya tak hilang, menyimpan rahasia dan rencana yang hanya ia dan teman-temannya ketahui.

Sayup-sayup, Kalindra mendengar namanya dipanggil.

"Lin, bangun. Udah sampai," kata Haris.

Kalindra tersentak, segera mencopot seatbelt dan membuka pintu. Kakinya masih mati rasa. Saat ia keluar dan mencoba berdiri, tubuhnya limbung, tak seimbang. Seketika, sepasang tangan kokoh memegang pundaknya erat, menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

​"Hati-hati," suara Wira terdengar lebih tegas dan terselip nada kekhawatiran.

Kalindra terkejut, matanya melebar. Ia merasakan sentuhan hangat di pundaknya. "Terima kasih," bisiknya, lalu memegang pergelangan tangan Wira, menyeimbangkan diri, dan segera melepaskan tangan Wira.

Mereka berjalan menuju villa The Poseidon, sebuah bangunan klasik mewah yang menghadap langsung ke lautan biru. Arsitekturnya megah, memiliki sepuluh kamar tidur luas, kolam renang yang berkilauan, dan lapangan luas serta playground mini yang menghadap pemandangan laut yang menakjubkan.

​Setelah berkeliling takjub, mereka berkumpul di ruang tengah untuk pembagian kamar dan tugas.

​"Baik, teman-teman. Pembagian kamar sudah selesai," jelas Haris, yang mengambil peran sebagai ketua. "Sekarang kita pembagian tugas untuk dua hari ini," Haris menunjukkan kotak undian besar. "Di kotak ini ada kertas tugas. Siapa yang masak, cuci piring, belanja, hingga beres-beres. Kertas yang udah diambil, tidak ada yang boleh diganti dan tidak boleh protes!"

​Setelah semua mendapatkan kertasnya, mereka membacanya. Wajah Kalindra berubah masam, rautnya penuh kekesalan.

​"Aku mau ganti!" protes Kalindra keras.

​"Eh, nggak bisa dong! Kalau kamu ganti, nanti semua orang ganti lagi," tolak Damian.

​Kalindra menatap Haris penuh tuduhan. "Ini pasti akal-akalanmu, Ris!"

​​"Astaga, Lin! Nggak lah! Kan kamu yang ambil sendiri!" Haris membela diri dengan wajah pura-pura polos.

Gilang merebut kertas di tangan Kalindra. Ia membacanya, menahan tawa, lalu melirik Haris dan Wira. "Cuma belanja bahan makanan sama Wira doang kok, Lin. Kenapa protes?"

Damian mencela. "Emangnya kalau kamu belanja sendiri dengan bawaan yang banyak sanggup? Lagian kamu juga nggak bisa bawa mobil. Kalaupun bukan kamu, pasti orang lain, tapi tetap harus sama Wira juga." Ucap Damian menimpali dengan alasan logis.

Kalindra menatap tajam ke arah Haris, Damian, dan Gilang. "Yaudahlah!" ucapnya kesal, menjatuhkan diri di sofa.

​Ia melihat senyum samar Haris dan Damian. Ia yakin, ada sesuatu yang mereka rencanakan.

Saat Kalindra memejamkan mata, Haris memanggilnya. "Lin, belanja sekarang yah."

"Sekarang?!" Kalindra terkejut.

​"Ya iya, dong. Nanti kita makan malam sama apa kalau belanjanya besok?" jawab Haris dengan ekspresi bingung yang dibuat-buat.

Kalindra berjalan menuju Wira yang sedang mengobrol. "Ayo," katanya jengkel, suaranya ketus.

​"Ke mana?" Wira menatapnya polos.

"Belanja buat makan malam," jelas Kalindra.

"Oh," Wira berdiri. Mereka berdua berjalan menuju mobil Wira yang terparkir.

​Di supermarket, mereka bergerak terpisah, menjaga jarak. Kalindra memilih sayuran dan daging, sementara Wira mencari snack dan minuman. Saat mereka bertemu di lorong buah, Kalindra melihatbuah stroberi yang mengkilap dan aroma durian yang menggugah selera.

​"Hemat, hemat, Kalindra..." bisiknya pada dirinya sendiri, menahan keinginan.

​Lalu di lorong snack dan cokelat. Ia melihat cokelat kesukaannya. "Jangan boros, Lin. Jangan boros..."

​Di belakang Kalindra, Wira, yang baru saja kembali dan mendengarnya, hanya tersenyum kecil. Ia ingat betul kebiasaan Kalindra: selalu mendebat dirinya sendiri di depan makanan kesukaan.

Saat di kasir, setelah semua barang untuk tiga puluh orang dihitung, Wira meletakkan keranjang tambahan di konter. Keranjang itu berisi: dua box stroberi, dua box durian, dan lima batang cokelat kesukaan Kalindra.

​"Tote bag nya dipisah yah, Mba," jelas Wira kepada kasir.

​Melihat isinya, Kalindra cepat menoleh ke arah Wira, matanya membesar penuh tanya.

​"Buat kamu," ucap Wira, suaranya lembut, dan dalam.

Mata Kalindra langsung berbinar-binar, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. "Terima kasih, Tama," ucapnya spontan, panggilan kesayangan itu keluar begitu saja setelah sekian lama.

Wira terdiam sesaat. Tama. Panggilan itu, kependekan dari Wiratama. Hanya Kalindra yang memanggilnya demikian. Kenangan masa-masa SMA, saat mereka berpacaran di balik pohon beringin, terlintas cepat. Senyum Wira melebar, matanya memancarkan kehangatan yang Kalindra rindukan.

Dua hari yang singkat berlalu cepat, penuh tawa, barbeque di tepi kolam renang, dan cerita lama yang menghangatkan. Malam ini adalah malam terakhir, dibebaskan dari jadwal yang sudah ditentukan, saatnya untuk menikmati kebebasan.

​Udara malam begitu dingin, diiringi alunan ombak yang menghantam pantai dengan ritmis dan menenangkan. Kalindra berjalan di pinggir air, telanjang kaki, merasakan pasir basah dan dingin menyentuh kulitnya, menikmati sensasi pelepasan.

​Ia berhenti. Ia tahu seseorang ada di sana, bayangannya memanjang di belakangnya.

​"Mau sampai kapan kamu mengikuti aku terus, Wira?" tanya Kalindra kesal, tanpa menoleh.

​"Aku kan menjalankan tugas yang ada di kertas," jawab Wira tenang, langkah kakinya berhenti di belakang Kalindra.

​​"Mana ada?" Ucap Kalindra tidak percaya, ia yakin itu hanya alasan konyol.

Wira menghela napas panjang, lalu menunjukkan kertas yang terlihat lusuh itu. Kalindra merebutnya, dan membaca tulisan tangan yang tertera: 'Mengikuti kemanapun Kalindra berada.'

​"Ini gila! Ini pasti ulah Haris dan Damian!" Kalindra berteriak, menunjukkan kekesalannya yang memuncak.

​Wira tertawa pelan. Tawanya hangat, membuat hati Kalindra sedikit melunak.

​"Jangan ketawa. Aku masih marah sama kamu," ucap Kalindra, membalikkan badannya dan berjalan menjauh.

​"Kalin," panggil Wira. Suara itu, panggilan spesial yang hanya ia gunakan, membuat Kalindra menghentikan langkah. Jantungnya berdebar kencang, bahkan lebih kencang dari sebelumnya.

​"Kalin," ulang Wira. Ia berjalan perlahan mendekat. "Setelah sepuluh tahun aku menghilang, masih adakah satu kesempatan lagi untukku?"

​​"Nggak ada," jawab Kalindra cepat, suaranya bergetar, pertahanannya mulai goyah.

​Wira kini berdiri tepat di belakangnya. "Benarkah?" bisiknya, suaranya serak, dekat sekali di telinganya.

Kalindra terdiam, memejamkan mata, menahan tangis. Wira kini berjalan dan berdiri tepat di depannya. Kalindra membuka mata. Air mata sudah membasahi pipi, pertahanannya runtuh seketika.

​"Kenapa setelah sepuluh tahun, kamu baru datang menemuiku?!" teriak Kalindra, suaranya pecah, melepaskan semua rasa sakit yang terpendam.

Wira menatapnya dengan mata penuh penyesalan. "Maaf," hanya kata itu yang bisa ia ucapkan.

​"Kalau kamu benar-benar sayang, harusnya kamu berikan alasannya! Bukan tiba-tiba pergi dan kembali seolah tidak terjadi apa-apa!"

Wira menatap pantai yang bergerak lembut. "Tanpa aku bilang pun kamu tahu sendiri alasanku, bukan? Bagaimanapun, aku ingin bersanding denganmu sebagai seorang laki-laki yang tidak ingin menyusahkan wanitanya nanti. Bukan hanya sekadar menumpang hidup."

​"Aku sudah bilang, Wira! Itu Papah dan Mamah yang kaya, bukan aku! Aku nggak peduli soal harta! Aku cuma peduli kamu ada di sisiku!" balas Kalindra, air matanya mengalir deras.

Wira menggeleng. "Kamu nggak mengerti. Om dan Tante pasti ingin anak kesayangan mereka hidup nyaman. Begitupun jika aku mempunyai anak perempuan. Aku pergi untuk memperbaiki derajatku. Aku ingin bisa memberikan apa saja yang kamu inginkan, membelikan apa yang kamu mau dan aku bisa membawamu pergi kemana saja tanpa memikirkan masalah keuanganku. Aku tidak ingin kamu merasakan susah. Cukuplah aku yang merasakan susah itu."

Air mata Kalindra mengalir deras. Ia memandang Wira. Pria di depannya ini, selalu memikirkan dirinya, bahkan mengorbankan perasaannya sendiri demi kebahagiaan Kalindra di masa depan.

​Wira meraih tangan Kalindra, menghapus air matanya dengan ibu jari. "Aku minta maaf. Maaf jika aku pengecut karena pergi tanpa penjelasan yang layak."

​"Jadi, masih adakah kesempatan untukku, Kalin?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada penuh harap, suaranya bergetar.

​Kalindra menatapnya, mencari kejujuran dan ketulusan di mata Wira.

​"Lagipula, kamu nggak akan bisa jadi milik orang lain selain diriku," Wira tiba-tiba berkata sombong, senyum jahil muncul di sudut bibirnya, memecah ketegangan.

​Kalindra memukul dada Wira. "Ihh! Lagi serius-serius malah bercanda!"

Wira tertawa renyah, tawanya yang sudah lama tidak ia dengar. "Memang seperti itu! Om dan Tante sudah berjanji, mereka akan menolak semua lamaran pria mana pun. Mereka hanya akan menyetujui aku, asal aku kembali setelah menepati janji untuk meningkatkan derajatku. Haris, Damian, dan Gilang, mereka adalah mata-mata yang mengawasimu diam-diam."

​"APA?!" Kalindra terkejut setengah mati. "Jadi selama sepuluh tahun aku single, ada campur tangan kalian?"

​Wira mengangguk, lalu menunjuk ke arah jembatan kayu yang menjorok ke laut. "Lihatlah."

​Di sana, di bawah cahaya bulan, terlihat siluet teman-temannya yang sedang berbaris rapi. Dua sosok disana membuat Kalindra terkejut, kedua orang tuanya yang sedang menyaksikan mereka, tersenyum bahagia dan melambaikan tangan.

​​Wira kembali menatap Kalindra, matanya berbinar penuh cinta, refleksi cahaya bulan di sana. Ia berlutut di pasir basah, mengeluarkan sebuah kotak beludru hitam berisi cincin berlian pink cerah yang berkilauan, memantulkan cahaya.

​"Kalin, Wiratama yang sekarang, sudah siap bersanding denganmu. Maukah kamu menikah denganku?"

​Kalindra menutup mulutnya, tak bisa berkata-kata, air matanya kembali mengalir, kali ini air mata kebahagiaan. Teriakan riuh teman-teman dari jembatan terdengar jelas.

​"TERIMA!"

"TERIMA!"

​Ia menoleh ke arah orang tuanya, Papanya mengangguk, tersenyum bangga. Kalindra tersenyum, air mata haru bercampur bahagia.

​"Aku mau, Tama. Aku mau!" jawab Kalindra mantap.

​Wira tersenyum lega, air matanya juga sempat menetes, melambangkan akhir perjuangan panjang. Ia segera bangkit, memeluk Kalindra erat, mengangkatnya, dan berputar bahagia di bawah rembulan, di tepi samudra yang menjadi saksi.

​Setelah badai kerinduan dan perpisahan, Kalin akhirnya kembali bersandar pada Tama. Sebuah perjalanan panjang membuktikan, bahwa dalam setiap kisah cinta, rumah sejati selalu ada di dalam hati orang yang tepat, meski harus melalui jarak dan waktu yang memisahkan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Serenity
Yulia Puspita Wulandari
Skrip Film
LANDRA
Audhy R.H
Cerpen
Sandiwara Reuni
Ainun Sholihah
Novel
Apa yang sebenarnya aku ingin kan?
fabian
Cerpen
Bronze
Melody Vega
Nuel Lubis
Novel
Bronze
The Struggle for Love
N. Uswatun Hasanatus Siyam
Cerpen
Unseen Bond
Fanny F. C.
Novel
Bronze
Waktu Isa Sudah Lewat
Alfia
Flash
LAKUNA
Edi Rakasiwi
Flash
Bronze
Luapan Luka Luna
lidia afrianti
Novel
Bronze
Kota Kecil Di Ujung Barat
Alek Wahyu
Skrip Film
Cinta Di Umur 20an
Naomi Saddhadhika
Novel
Gold
Anne of Avonlea
Mizan Publishing
Novel
Camila
Ayuwening Tyaswuri
Novel
Gold
Iris
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Sandiwara Reuni
Ainun Sholihah
Novel
To Love The Untouchable
Ainun Sholihah