Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di teras rumah sore itu, aku duduk di bangku kayu mengamati serakan dedaunan yang jatuh dari ranting pohon mangga di pekarangan rumah. Mulanya pikiranku kosong, lalu entah bagaimana aku membayangkan samudra yang birunya bukan main. Tak ada apa-apa di sana selain laut berombak dan langit yang memicingkan mata. Hening. Entah aku yang tuli atau samudra itu yang bisu, yang pasti samudra itu tenang; ketenangan yang membuat ragaku letih seketika. Nyawaku samar-samar masih dalam tubuh ketika kepalaku pelan-pelan jatuh ke dinding dan dua bola mataku menghilang, terpejam. Aku terlelap di bangku kayu teras rumah.
Sekira puluhan menit lewat, mataku terbuka lagi perlahan-lahan. Dan wajah mama yang tampak. “Efrat! Bangun! Efrat! Bangun! Bangun! Papa mau pulang.”
Mendengar kata ‘papa’, kesadaranku terang.
Mama buru-buru membantuku bangun lalu berisyarat dengan telunjuknya agar aku segera ke sebelah rumah.
Sekian detik saja, aku kembali ke teras dengan sapu lidi, berdiri di atas pekarangan, badanku bungkuk, dan segera menyapu dedaunan pohon mangga yang berserakan. Saat itu mama sudah lenyap dari teras. Pasti di dapur, memanaskan air dan menyiapkan kopi untuk suaminya.
Lima menit sudah lewat, pekarangan depan benar-benar tampak bersih. Tapi, aku tetap berdiri di situ dan memastikan bahwa tak ada lagi selembar daun atau ranting pohon di pekarangan depan. Aku tak ingin ditinju pria itu dan melihat mama ditampar seperti minggu lalu. Pria itu benci melihat rumah jorok setelah ia seharian bekerja. “Saya ini bekerja di pelabuhan yang kotor. Kau senang saya melihat tempat kotor dua puluh empat jam? Hah!” Begitu katanya selalu.
Yakin pekarangan depan benar-benar bersih, aku ke dapur menemui mama yang kudapati sedang membungkuk di depan tungku. Dari belakang, tampak pada lengan bagian belakang mama ada garis kebiruan. Seketika aku ingat peristiwa dua hari sebelumnya waktu papa menyambuk mama dengan ikat pinggang kulitnya gara-gara mama bangun terlambat lima menit. “Kau ini pemalas! Apa yang kau kerjakan sampai-sampai kau bangunkan saya terlambat? Hah? Sudah kukatakan, kau harus bangun jam enam pagi, siapkan kopi, lalu bangunkan saya tepat jam tujuh pagi. Sekarang jam tujuh lewat lima! Saya terlambat bekerja! Tak minum kopi pula. Perempuan bangsat!” Kata-kata ini yang membangunkanku dua hari sebelumnya. Mama dicambuk, aku ditampar karena belum keluar dari kamar setelah pria itu bangun. Memang bukan salahku, karena mama yang selalu membangunkanku setiap pagi, tapi aku terima saja ditampar pagi-pagi. Aku berangkat ke Sekolah Dasar pagi itu dengan mata bengkak karena lebih dulu menangis setelah pria itu berangkat kerja.
Terpaku melihat garis biru di lengan belakang mama, tiba-tiba saja muncul rasa marah dan benci pada wanita itu. Dia seharusnya membawaku keluar dari rumah ini. Dia seharusnya bisa membela diri. Dia seharusnya bisa membelaku ketika aku ditinju atau ditampar oleh suaminya. Dia seharusnya tak diam saja. Saat itu, aku menyesal pernah dilahirkan dari rahimnya. Kupikir-pikir, aku belum pernah bahagia sejak dilahirkan sampai sore itu. Rumah kami hanya tempat penyiksaan untuk aku dan mama. Aku ingin lari dari rumah itu. Dan aku ingin mama pergi bersamaku. Namun, kebencian dan terkaan itu semenit saja, aku teringat bahwa aku masih bocah, dan aku sebenarnya tak membenci mama. Aku menyesal baru saja menyesal lahir dari rahim mama.
“Efrat! Lihat jam!”
Aku tersentak, mama sudah berdiri di depan tungku dan sedang memegang termos di dekat meja makan.
Aku pergi ke ruang tengah melaksanakan perintah dan cepat kembali ke dapur. “Kurang sepuluh jam enam, Mama.”
“Kau masuk kamar! Sekarang! Papa sudah di jalan pulang.”
Tanpa menjawab, kulaksanakan perintah mama.
Di dalam kamar, seperti biasa, aku duduk di ujung tempat tidur dan memasang telingaku benar-benar sementara mataku terpaku pada jam di atas meja belajarku.
Tepat jam enam sore, terdengar teriakan, “Syeba! Syeba! Kopi!”
Keringatku seketika kompak keluar dari pori-pori. Wajahku basah.
“Syeba! Anak pemalasmu mana?” Pria itu berteriak lagi. Badanku menggigil mendengarnya. Aku sudah mandi keringat detik itu. Tak lama terdengar bunyi tamparan diikuti omelan pria itu tentang rumah yang kotor.
Mama tak bersuara. Aku tak pernah mendengar mama bersuara melawan suaminya atau menangis setelah ditampar agar menunjukkan rasa sakitnya. Aku yang menangis di dalam kamar. Keringat memandikan tubuhku, air mata membasuh mukaku.
Aku selamat sore itu, hanya mama yang ditampar.
Beginilah kehidupanku dengan mama bersama pria itu.
*
Satu minggu kemudian, mama sakit. Setelah pria itu berangkat kerja, mama dan aku duduk minum teh, dan saat itu, kepala mama roboh ke depan membentur meja makan kayu. Kupikir saat itu mama tertidur. Tapi, setelah kusentuh tubuh mama, tubuhnya dingin sekali. Mama mati. Itu yang kupikirkan. Aku tak pergi ke Sekolah Dasar hari itu. Aku diam di meja makan bersama mama dan membayangkan samudra yang bisu dan langit yang memicingkan mata. Entah mengapa aku tak merasa sedih. Aku tak merasakan apa-apa. Sama sekali.
Pada tengah hari, sekitar jam sebelas, tiba-tiba mama buka mata, angkat kepala dari meja, lalu menuju tungku. Kami tak bicara. Seterusnya, dalam hening aku memperhatikan mama mulai memasak. Wajahnya pucat dan bergerak dengan lunglai seolah tanpa tulang.
Besoknya, peristiwa itu terjadi lagi. Sebelum berangkat sekolah, kami duduk berhadapan, mama tiba-tiba pingsang di atas meja makan, dan aku duduk menatapnya sampai tengah hari. Aku tahu, mama sakit. Tapi, setiap sore, setiap kali pria itu pulang, mama rela ditampar. Saat itu, aku baru merasa ada yang tak wajar.
Aku ingat suatu hari, Jumat, sore, pria itu baru tiba di rumah, aku di kamar, dan terakhir kali kulihat mama di depan tungku.
“Syeba! Syeba!” Teriak pria itu.
Tak ada jawaban.
“Syeba! Syeba!” Teriakan dari depan berulang.
Tak ada jawaban lagi.
Panik dan takut, aku keluar kamar dan pergi ke dapur. Kudapati mama terbaring di depan tungku. Pingsan lagi. Pecahan gelas kaca berserakan di sisinya. Buru-buru aku mendekati mama dan coba membangunkannya. Mustahil. Tenagaku terlalu kecil.
“Syeba! Syeba! Syeba!” Suara itu belum berhenti.
Panik dan takut, kuraih sapu dan menyingkirkan serakan pecahan gelas di lantai ke bawah meja lalu buru-buru ke kamar mandi, kembali dengan gayung berisi air yang langsung kutumpahkan seluruhnya ke wajah mama. Mama bangun, tampak panik dan takut. Tanpa berpikir banyak, kupeluk mama yang masih terbaring. Air mataku jatuh. Entah mengapa. Aneh. Itu pertama kalinya aku memeluk mama.
“Babi!”
Aku dan mama tersentak. Pelukanku lepas, mama bangun seketika.
Pria itu sudah berdiri di ambang pintu antara dapur dan ruang tengah. Wajahnya menembok, rahangnya membatu, matanya meruncing, dan kumisnya menebal menjadi hutan belantara di atas bibir.
“Manusia-manusia pemalas!” Pria itu mendekati kami lalu menendang kami; sontak, aku langsung memeluk mama; sontak, mama langsung mendorongku. Aku terempas, tersungkur di dekat tungku. Pria itu menendang pinggang mama seolah-olah mama adalah benda tak bernyawa yang tak bisa merasa sakit. Sekian detik aku menjadi patung menyaksikan tendangan demi tendangan mendarat di sekujur tubuh mama. Melihat mama menderita, dadaku terbakar, aku bangkit lagi dan memeluk mama lagi. Seketika pria itu berhenti dan enyah entah ke mana.
Setelah itu, seperti bangun dari pingsan, mama bertindak seolah tak ada yang terjadi. Dia bahkan tak mengeluarkan setetes air mata. Mama segera mengambil sapu dan merapikan serakan pecahan gelas di bawah meja. Malu, aku ikut bangkit dan duduk di meja makan dalam kebisuan. Awalnya, kuhabiskan berjam-jam di meja makan untuk membenci pria itu. Apa yang baru saja ia lakukan sudah lewat batas. Adegan-adegan ia menendang mama seolah benda sebelumnya tampak begitu jelas dalam kepalaku. Berulang-ulang. Berulang-ulang.
Bosan, aku mulai memikirkan samudra lagi. Samudra yang birunya kelewat batas. Bahkan pecahan-pecahan ombak tak mencipta warna putih sama sekali. Langit di atasku kala itu penuh gumpalan awan yang indahnya pun keterlaluan, tapi mataku kadang-kadang harus kusipitkan karena putihnya bukan main. Tak ada suara. Hening. Aku masih bingung, entah aku yang tuli atau samudra itu yang bisu. Aku bertanya berkali-kali dalam hati, “Samudra yang bisu atau aku yang tuli?” Dan, tiba-tiba saja ragaku meletih. Kurobohkan kepalaku di atas meja makan lalu jatuh dalam mimpi seketika.
*
Waktu lewat seperti angin, hidup kami tak berubah, teriakan, pukulan, dan umpatan mengisi rumah kecil kami. Aku makin terbiasa dengannya, dan samudra itu mulai jarang mampir dalam imajinasiku. Pada saat yang sama, aku makin mengenal dunia, dan kian hari, kian tekadku bulat untuk membenci pria itu. Dan sebagai lelaki, aku punya dua cita-cita yang belum kuputuskan, entah membunuh pria itu atau lepas dari hidupnya. Aku ingin bebas bersama mama. Pada saat aku masuk Sekolah Menengah Pertama, aku mulai bekerja sebagai buruh ringan di pelabuhan dari siang sampai sore hari. Tujuanku satu, uang yang kusimpan akan membawa mama dan aku pergi dari rumah itu.
Suatu hari, jelang aku lulus Sekolah Menengah Pertama, aku sempat mengutarakan niatku untuk bebas kepada mama. Ketika dia sedang sibuk di dapur, aku menghampirinya dan bilang, “Mama, aku punya uang, begitu saya lulus, saya akan membawa kita berdua pergi dari rumah ini.”
Mama menjawabku, “Kalau kau ingin bebas. Silakan pergi. Sebentar lagi kau menjadi lelaki. Saya tinggal di sini.”
“Tapi—.”
“Ini pilihan hidup saya,” kata mama memotong ucapanku, “Saya akan tinggal di sini sampai saya mati.”
“Tapi mama menderita di sini,” kataku.
“Saya memang menderita hidup dengannya, tapi tanpa dia, saya belum tentu bahagia.”
Aku diam. Seketika, muncul samudra yang bisu dalam kepalaku. “Kalau begitu, aku akan membunuh dia.”
Mama yang sedang membelakangiku tiba-tiba balik badan. “Jangan!” Saat itu, mata mama berubah seolah-olah jendela, dan di balik bingkai jendela itu, tampak samudra bisu yang sering kubayangkan.
“Tidak. Aku akan membunuhnya. Jika aku tak melakukannya sekarang, dia yang akan melakukannya untuk kita nanti.”
Mama menggeleng lalu menghadap kompor lagi.
Sore itu, cita-citaku jelas, aku akan membunuh pria itu.
*
Satu minggu lewat, persis Jumat sore, sudah kerencanakan semuanya. Bulat tekadku untuk membunuh pria itu dan keberanianku pun seruncing jarum Jumat sore itu.
Aku di kamar, mama terakhir kulihat di dapur, dan pria itu mungkin sedang di jalan menuju rumah. Di kolong tempat tidur, sudah kusiapkan linggis dan parang yang sudah kuasah sampai mengilat.
Jam enam kurang sepuluh, jantungku bergerak lebih cepat. Jam enam kurang lima, keringat mulai memandikan tubuhku sendiri. Tepat jam enam, hening. Telinga kupasang benar-benar di pintu depan. Tak ada suara. Sampai setengah tujuh malam, belum juga terdengar teriakan nama mama.
Bingung, aku keluar kamar menuju dapur. Mama sedang duduk di meja makan menatap gelas berisi kopi.
“Dia belum pulang?”
Mama menggeleng tanpa menatapku. Aku duduk di seberang dan kami berdua duduk tanpa bicara. Mama entah membayangkan apa, aku membayangkan samudra yang bisu.
Dekat tengah malam, muncul seseorang di rumah kami yang membawa berita bahwa papa sudah mati.
*
Semuanya terjadi begitu cepat. Sekarang bahkan aku lupa bagaimana pemakaman pria itu berlangsung. Tak sekilas adegan yang bisa kupanggil tentang pemakamannya. Sejak berita kematiannya datang sampai beberapa hari berikutnya, isi kepalaku hanya samudra bisu itu. Jika kupikir-pikir, aku sama sekali tak senang atau bahagia atau sedih dengan kematian pria itu.
Dan mama? Mama jelas sedih. Pertama kalinya aku melihat mama menangis adalah pada saat peti mati pria itu dijulurkan ke dalam lubang.
Kebebasan itu datang padaku dan ketenangan itu akhirnya tiba di rumah kami. Tak ada lagi teriakan nama mama, umpatan, atau pukulan kepada kami. Namun, ketenangan itu keterlaluan. Mama jarang bicara, terus-terusan murung, dan mondar-mandir seperti mayat. Barangkali dia merindukan suaminya.
Satu bulan lewat setelah kematian pria itu, mama sakit. Parah. Dia makin sering pingsan. Di mana saja dan kapan saja. Dan dua bulan setelah kematian pria itu, mama tak bisa lagi bangun dari tempat tidur. Akhirnya, aku berhenti sekolah. Aku bekerja di pelabuhan sejak pagi, siang pulang ke rumah untuk memberi makan mama, kembali ke pelabuhan sampai sore, dan malam kuhabiskan untuk mengurus mama.
Awalnya aku ikhlas melakukannya, tapi bulan demi bulan lewat, aku merasa menderita. Aku ingin bebas sekali lagi. Dan khayalan tentang samudra yang bisu itu semakin sering mampir dalam kepalaku.
Aku ingin bahagia, dan sebagian hatiku menyuruhku untuk meninggalkan mama sendiri di rumah itu. Tapi sebagian hatiku yang lain masih mencintainya.
Kadang-kadang aku merenung di dapur sendiri mengasihani diri, aku lelah dan menderita. Aku ingin mama cepat mati dan bebanku secepatnya pergi dan aku bisa bebas dengan hidupku sendiri. Itu cita-citaku berikutnya.
Enam bulan setelah mama terbaring di kamarnya, aku semakin ingin bebas. Rasa cinta dan belas kasihanku pada mama kian terkikis oleh beban yang kupegang sendiri. Aku ingin mama cepat mati. Aku bahkan berdoa agar Tuhan segera mengambil mama dengan alasan agar mama tak menderita lagi.
Aku benci untuk terus merawat mama, tapi aku melakukannya juga. Aku melakukannya entah karena apa. Mungkin rasa kasihan atau mungkin kenangan-kenangan kami menderita bersama yang membuatku terus melakukannya.
Pada bulan kesepuluh mama terbaring di kamar, tepat pada bulan kematian pria itu setahun sebelumnya, cita-citaku terwujud. Mama meninggal.
Semuanya terjadi begitu saja dan amat cepat seperti kematian pria itu. Aku banyak lupa, tapi masih ada kenangan yang bisa kupanggil datang tentang hari-hari itu. Aku ingat, ketika mayat mama diturunkan ke dalam lubang, aku menangis sembari membayangkan samudra yang bisu itu.
Jelas, aku sedih dengan kematian mama. Aku sedih karena dia tak pernah merasakan kebebasan yang kuimpikan untuknya. Ketika dia tak ada, aku semakin mencintainya. Jika kupikir-pikir, aku sama sekali tak senang atau bahagia dengan terwujudnya cita-citaku atau kebebasanku.
Sebelumnya, aku begitu bahagia membayangkan kehidupanku dengan mama tanpa papa, tapi kebahagiaan itu tak tiba setelah papa pergi, malah aku menderita hidup bersama mama. Lalu aku punya cita-cita baru, dan aku bahagia dengan cita-cita itu, membayangkan kehidupanku seorang diri tanpa mama, tapi saat mama pergi, setelah bebanku pergi dan aku bebas, aku lebih menderita, aku kehilangan cita-cita dan tujuan. Dan yang bisa kulakukan hanya membayangkan samudra itu, yang anehnya, tak lagi bisu. Samudra itu akhirnya bicara, dan dapat kudengar suara kepak ombak dan sisik angin siang; aku tak pernah benar-benar tuli, samudra itu tak bisu. Aku yang tak menyadarinya. Makin lama hidup seorang diri, aku sadar, ternyata beberapa hal lebih baik tinggal di dalam kepala saja daripada jadi nyata, karena ternyata samudra tak bisu.
Selesai.