Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Sampai Bertemu di Garis Finis
0
Suka
571
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sampai Bertemu di Garis Finis

Oleh: Suryawan W.P.

Lelaki di televisi itu tak berhenti tersenyum. Sesekali dia tertawa. Entah apa yang ada di pikirannya? Ada kepuasan dalam senyum lebarnya. Salah. Bukan tersenyum, melainkan menyeringai. Ujung-ujung bibirnya hampir menyentuh kedua telinganya.

***

76 derajat Fahrenheit. Pagi yang hangat. Hari yang tepat untuk berlari. Boston memang surganya pelari. Kita seperti dua puluh ribuan orang lainnya, mengenakan kaos berwarna merah. Kamu memakai celana pendek warna hitam setinggi paha. Aku bisa melihat dua lingkaran tak beraturan di lutut kananmu. Bekas luka di masa kecil yang menjadi keloid. Sepasang Puma Mobium hijau membungkus kedua kaki kita. Minggu terakhir sebelum malam natal, kita membelinya di sebuah toko olahraga di ujung Newbury Street yang menggelar sale. Kamu bilang dengan sepatu itu kita bisa berlari seperti kucing. Seketika aku teringat pada Garry, kucing angora peliharaanku dulu yang gemuk seperti gumpalan bulu. Seingatku dia tak pernah berlari. Kerjaannya hanya tidur dan bermalas-malasan.

Perutku yang membuncit memaksaku memasukkan olah raga dalam daftar resolusi tahun kemarin. Resolusi hanya sebatas resolusi. Hingga di sebuah Sabtu aku baru sadar kalau waktu terus berjalan. Tiba-tiba sudah sampai di bulan kedua belas. Ratusan orang memadati jalan, laki-laki dan perempuan hanya memakai pakaian dalam warna merah. Topi Santa Claus dengan berbagai ukuran menutupi kepala mereka.

“Tahun depan kita harus mengikuti festival Santa Speedo Run ini. Kamu mau?” Katamu sambil melihat ke arah luar kedai kopi di pinggiran Boylston Street itu.

Aku diam. Sedikit tidak percaya dengan apa yang kudengar. Geli membayangkan berlari di jalanan hanya mengenakan pakaian dalam dan topi Santa berwarna merah. Kau angkat cangkir kopimu, namun tak lekas meminumnya. Kamu menunggu jawabanku.

“Aku malu. Perutku gendut.” Jawabku sekenanya. Hanya agar cangkirmu tidak terlalu lama menggantung di udara.

“Biar gendut tapi aku suka," katamu. Pipiku pasti memerah. “Kita masih punya satu tahun kalau kamu ingin punya perut rata seperti chocolat bar atau cetakan tahu. Mau jogging tiap Minggu, berenang, atau pergi ke gym, akan kutemani,” lanjutmu.

Aku tertawa. Analogi perut sixpack dengan cetakan tahu itu terasa janggal di telingaku. Namun aku tak bisa menyangkal soal perutmu yang rata. Kamu sering menginap di apartemenku dan kubuktikan sendiri cetakan tahu itu memang ada di balik kausmu.

Masih dalam balutan handuk kamu tergesa menghampiriku yang sedang duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi panas. Kamu duduk di pinggiran sofanya. Acara mandi pagimu menjadi lebih singkat karena aku terus memanggil namamu.

“Sebulan lagi kita ikut ini!” kataku bersemangat sambil menunjuk layar MacBook. Kamu mendekatkan kepalamu agar lebih jelas membaca artikel di website kampus yang kubuka. Tidak seperti yang kuharapkan. Senyuman yang tersungging terasa masam.

“Cuma 10 km. 6,2 mil. Kamu pasti kuat kan berlari sejauh itu?” tanyaku. Kamu hanya menggeleng. “Kenapa? Apa yang kamu cemaskan?” tanyaku lagi.

Sudah tiga bulan kamu menemaniku jogging di sepanjang pinggiran Charles River tak jauh dari kampus. Memang rute yang kita ambil tidak sampai 10km tapi aku yakin dengan fisikmu yang nyaris sempurna, 10km bukanlah hal yang sulit untukmu.

“Bukan aku yang harus dicemaskan, tapi kamu.”

Aku. Iya, aku memang pantas untuk dicemaskan. Setiap kali kita berlari aku selalu tertinggal di belakang. Kamu harus melambat agar aku bisa menyusul. Pernah suatu kali aku memaksakan diri berlari mengimbangimu tapi kemudian aku merasa bersalah. Kamu cemas karena aku limbung dan hampir pingsan. Mukaku pucat. Perutku mual. Tanganku gemetar. Napasku seperti napas Garry. Dari kecil aku tidak suka olahraga. Aku lemah.

Banyak yang bilang masa SMA adalah masa yang paling indah, tidak denganku. Masa SMA adalah neraka. Seringkali aku hanya duduk di pinggir lapangan. Teman-teman sekelasku bahkan saling lempar namaku saat pemilihan anggota tim untuk bermain basket waktu pelajaran olahraga. Akhirnya aku hanya duduk dan tak pernah menyentuh bola. Mereka tidak pernah menganggapku ada.

Mereka baru menganggapku ada ketika penilaian olahraga secara individu. Mereka selalu menunggu saat itu. Hiburan gratis yang dinantikan. Mereka akan tertawa ketika giliranku men-drible bola dan berusaha memasukkannya ke keranjang. Begitu juga pada olahraga-olahraga yang lainnya, aku hanya akan menjadi bahwan lelucon dan olokan.

Aku heran, kenapa orang bisa menyukai olahraga? Aktivitas yang melelahkan, dan membosankan. Apa menariknya berlari tanpa henti selama tiga puluh menit, bahkan satu jam? Tidakkah itu membosankan? Kamu bilang karena kebiasaan. Mungkin kamu benar. Dari kecil aku tak terbiasa berlari. Aku lebih sering bermain di rumah bersama Garry kucing peliharaanku yang gemuk seperti gumpalan bulu. Aku seperti Garry yang tak suka berlari.

“Waktu kecil aku terbiasa mengejar pesawat terbang bahkan sampai terjatuh-jatuh dan terluka.” Kau menunjuk lututmu.

Mengejar pesawat? Bagaimanapun kencangnya kamu berlari, kamu tak akan pernah bisa mengejarnya. Lagi pula pesawat itu di langit sedangkan kamu menjejak bumi. Tak akan pernah bisa menangkapnya.

“Apakah kamu berhasil menangkap pesawatnya?

Kamu menertawakan pertanyaan bodohku. Semestinya kamu menertawakan apa yang kamu lakukan di masa kecilmu.

“Montor mabur njaluk duwite!” Serumu dengan bahasa Jawa yang terasa asing di telingaku.

Pesawat terbang minta uangnya, begitu kamu menerjemahkannya. Kebodohan apa lagi ini, meminta uang pada pesawat terbang. Mungkin di negara asalmu pesawat terbang itu semacam Santa Claus yang bisa memberikan hadiah untuk anak-anak. Sehingga kalian rela berlari-lari mengejar pesawat berharap dilempari sekarung uang.

Aku dulu percaya Santa Claus itu benar-benar ada. Dia akan masuk ke rumahku melalui cerobong asap kemudian memasukkan hadiah ke kaus kaki yang kugantungkan karena sikapku yang manis. Sama yakinnya bahwa Santa Claus tidak akan memberikan hadiah pada anak-anak nakal yang sering mengejek dan memperolokku. Tapi paginya aku kecewa. Santa Claus telah melakukan kesalahan. Anak-anak nakal itu tetap mendapatkan hadiahnya.

Aku baru tahu kalau Santa Claus itu hanyalah rekaan ketika tak ada lagi kado dalam kaus kakiku. Saat itu aku baru masuk SMP. Ternyata selama ini ibuku sendiri yang memasukkan kado itu dalam kaus kakiku. Aku menangis. Bukan karena tak ada hadiah lagi. Aku menangis karena kandasnya harapanku tentang anak nakal yang tak akan mendapat hadiah dari Santa Claus.

Satu dua satu lima satu, nomer yang tertera di dada dan punggungmu. Hanya kamu pemilik nomer itu. Namun tetap saja akan sulit menemukan nomer itu di antara ribuan nomer lain. Lautan manusia berkaos merah menyemut di sepanjang Charles Street yang akan mengikuti Boston 10K untuk merayakan hari ulang tahun kampus.

Dor. Bunyi tembakan. Semua orang mulai berlari. Masing-masing mencoba mendahului. Kita mencoba mengisi sela-selanya. Belum ada satu mil mulai banyak yang melambat. Termasuk aku yang mulai melambat ketika memasuki Commonwealth Ave itu. Beberapa kali kamu terpaksa memperlambat larimu untuk menungguku.

“Untuk apa?” tanyamu.

“Agar aku tak kehilanganmu.” Kupasangkan topi yang tadi kupakai ke kepalamu.

“Kamu teruslah berlari. Tak usah menungguku.”

“Tapi kamu..”

“Tak usah mencemaskanku. Tunggu aku di garis finis..”

Akhirnya kamu mengangguk. “Sampai bertemu di garis finis.” Katamu sambil tersenyum dan menggenggam tanganku. Hangat. Sehangat ketika kamu memasangkan nomer di dadaku. “Dadamu berdebar. Tidak usah cemas. Anggap saja ini seperti jogging kita tiap Minggu.” Katamu saat membantu memasangkan nomer di dadaku. Kamu tidak tahu. Jantung ini berdetak lebih kencang bukan karena perlombaan lari ini. Degup kencang ini karena kamu menyentuhku. Selalu begitu.

Sampai bertemu di garis finis. Di benakku garis finis adalah tujuan yang ingin kucapai. Hidup dan menua bersamamu. Kita pun kembali berlari. Aku berusaha mengimbangimu. Namun tetap saja aku tak mampu. Yang tersisa hanya topi New York Yankee biru tua yang semakin menjauh. Timbul tenggelam di antara kepala-kepala manusia lainnya. Semakin kecil. Kemudian hilang dari pandanganku. Tiba-tiba semua menjadi sepi. Hampa. Aku tidak suka perasaan ini. Aku harus berlari untuk melihatmu lagi. Aku tak ingin kamu hilang.

Dengan tenaga yang tersisa aku berusaha melewati orang-orang. Akhirnya kulihat tulisan finis membentang jauh di depan. Kupercepat langkahku agar lebih cepat bertemu denganmu. Aku mungkin masuk dalam daftar lima ribuan orang terakhir yang sampai di garis finish. Kulihat kamu melambaikan tangan di sisi kanan luar garis finish. Seketika rongga dadaku penuh rasa bahagia. Kamu hebat. Mungkin sudah sekitar satu jam kamu menungguku di tempat itu. Aku tidak heran, dulu kamu menjuarai marathon nasional tingkat pelajar. Kalau kamu tidak mendapatkan beasiswa kuliah di sini mungkin kamu sudah menjadi atlet di negaramu sana. Kupercepat langkahku. Tinggal sepuluh langkah.

Boom

Suara dentuman memekakkan telinga. Bumi bergoncang. Gelap. Aku terjerembab. Aku berusaha bangkit. Perih dan panas di kaki, tangan, dan mukaku. Berdarah. Serpihan kaca mengoyak kulitku. Aku berdiri. Semua tak lagi seperti semula. Potongan-potongan tubuh manusia berceceran. Bau hangus. Kaca-kaca gedung pecah berantakan. Terdengar jerit dan tangisan. Bunyi sirine melengking. Orang-orang berlarian. Aku takut. Aku cemas. Tak kutemukan kamu di tempatmu berdiri.

***

Di sofa ini aku mencoba mengais yang tersisa. Kuciumi bantalnya berharap baumu tertinggal. Sayangnya tak ada. Mataku basah. Aku terisak. Medali perunggu di tanganku, yang tak pernah terkalung di lehermu. Kamu masuk tiga besar. Satu-satunya orang Asia di antara dua orang dari Afrika lainnya.

Lelaki di televisi itu tetap tersenyum. Sesekali dia masih tertawa. Entah apa yang ada di pikirannya? Kedua tangannya diborgol ke belakang. Polisi menggiringnya masuk ke mobil tahanan. Kuambil remot televisi. Kutekan-tekan secara acak. Semuanya saluran isinya sama, wajah laki-laki itu tersenyum menyeringai kepadaku. Kutekan tombol powernya. Aku tak mau melihatnya. Karena dia aku kehilanganmu.

 

Yogyakarta, November 2013

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Sampai Bertemu di Garis Finis
Suryawan W.P
Novel
Bronze
Mengunjungi Heri
Heri Winarko
Novel
Bronze
The Pieces of Memories
Moon Satellite
Novel
HELLOVE
aya widjaja
Novel
Jatuh Terlalu Jauh
Unira Rianti Ruwinta
Novel
Bronze
I'M FINE, THANK YOU
Sera Summer
Novel
Gold
Magnitudo
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Anak kolong
Eko Hartono
Novel
Bronze
Money Baby
Naomi Saddhadhika
Flash
Koran Pagi
Sugiadi Azhar
Novel
Bisakah aku menjadi milikmu?
Uswatun Hasanah
Novel
Bronze
Mengikat Irama Jiwa
Rosidawati
Novel
Bronze
Hidden Memories
Rene
Novel
One Fine Day (Become Mama)
Arinaa
Flash
Apa itu cinta
Viola khasturi
Rekomendasi
Cerpen
Sampai Bertemu di Garis Finis
Suryawan W.P
Cerpen
Kejutan
Suryawan W.P
Cerpen
Kenangan Akan Selalu Sama
Suryawan W.P
Cerpen
Akhir Bahagia
Suryawan W.P
Cerpen
Gelembung Sabun
Suryawan W.P
Cerpen
Restu Majene
Suryawan W.P
Cerpen
Tentang Burung dan Pohon Kersen
Suryawan W.P
Cerpen
Ratri Menari
Suryawan W.P
Cerpen
Kemboja Kelopak Empat
Suryawan W.P
Cerpen
Apakah di Luar Hujan Sudah Reda?
Suryawan W.P
Cerpen
Lelaki Jambu Air
Suryawan W.P
Cerpen
Bronze
Yang Fana Adalah Kamu
Suryawan W.P