Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sampai Akhir (Till The End)
Oleh Cléa Rivenhart
Hujan di Musim Panas, 28 Juni 2025
“Bahkan jika kau hanyalah debu, waktu akan tetap membuatmu tak ternilai, James. Karena debu selalu menunjukkan kesetiaan.”
***
Villa itu bertengger anggun di puncak bukit kecil, terpencil dalam sunyi. Arsitekturnya memadukan gaya kolonial dan modern: pilar-pilar putih gading menjulang, atap landai merah tua kontras dengan kanvas langit malam musim panas. Udara hangat berembus lembut dari jendela yang terbuka, membawa serta aroma tanah basah sisa hujan sore, berpadu dengan wangi melati liar dari pekarangan belakang.
Kolam renang membentang di sisi timur, bermandikan cahaya temaram lampu taman berbentuk bunga. Uap hangat mengepul tipis dari permukaannya, seolah selimut lembut yang menenangkan. Bahkan di larut malam, suhu air tetap mengundang—selalu nyaman, selalu siap menyambut jiwa yang ingin terlupa waktu.
Keheningan sempurna menyelimuti villa. Semua anggota keluarga James telah lelap dalam tidurnya. Hanya suara jangkrik dan bisikan angin malam yang setia menemani mereka.
James mengajaknya makan malam—meski jam telah lewat tengah malam. Di meja kecil dekat kolam renang, ia telah menyiapkan hidangan ringan dan sebotol anggur manis, yang tidak akan mengaburkan kesadaran.
“Aku ingin kita makan malam dengan elegan,” ujar James, nada suaranya khas, dingin namun tenang, menusuk senyap.
Kekasihnya mengerutkan kening, sedikit kesal. “Elegan? Kau tahu aku tak pernah bisa bersikap seperti wanita mahal.”
“Tapi kau bisa mencobanya untukku malam ini,” balas James, lalu meraih tangannya, menggenggamnya lembut, seolah ingin meyakinkan.
Ia menurut. Meski enggan, ia tetap duduk tegak, menyendok makanan perlahan, memainkan sendok-garpu bagai bangsawan pura-pura. James tersenyum tipis, memuji kecantikannya, menyebutnya luar biasa. Baginya, semua itu hanya omong kosong manis—kata-kata yang tak pernah benar-benar ia percaya keluar dari mulut James.
Kemudian, dari saku bajunya, James mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Dibukanya. Sebuah cincin berkilauan. Tanpa permintaan, tanpa pertanyaan, hanya sebuah tatapan yang penuh arti.
Dia tidak terkejut. Mereka memang telah sepakat menunda pernikahan. Namun, James melanjutkan. Satu per satu hadiah lain ia keluarkan: kalung, jam tangan, bahkan sepucuk surat yang terlipat rapi. Hatinya melonjak, melompat kegirangan, seperti anak kecil yang menemukan hari ulang tahunnya datang lebih awal.
“Apa kau sedang bercanda?” tanyanya, diiringi tawa kecil yang gembira.
“Tidak,” jawab James, singkat.
“Serius?”
“Ya. Lebih dari itu.”
James tetap datar, seperti biasanya. Dingin. Tak pernah meledak dalam ekspresi. Karena itu, dia tak menaruh curiga. James memang selalu seperti itu—membuatnya harus menebak-nebak isi hati.
Namun, ketika matanya bertemu mata James malam itu, ada sesuatu yang berbeda. Senyum itu terlalu manis, terlalu... menyedihkan. Seolah menyimpan duka yang tak terucap.
Dia menegang. Perlahan, gempita kegembiraannya menyusut, digantikan oleh firasat dingin.
“Tunggu… apa maksud dari semua ini? Sungguh aku bodoh. Aku baru mengerti sekarang. Apa yang kau sembunyikan?” Suaranya tercekat.
“Tidak ada,” jawab James pelan. Senyumnya tak lagi menenangkan. Kini, justru menakutkan.
“Jangan membuatku gila, James. Ini buang-buang waktu. Aku sudah cukup bersabar. Dan sekarang… sekarang aku tahu aku akan kecanduan perlakuanmu ini setelah semua ini selesai. Dan kau akan pergi!”
Wajah James meredup. Ia tampak bersalah, beban tak kasat mata menimpanya.
“Aku minta maaf. Aku hanya ingin kau bahagia, walau untuk sesaat.”
“Itu tidak cukup. Tidak akan menyelamatkan apa yang sudah kita lalui. Apa arti semua ini, James? Sungguh… aku ini bodoh.” Ada nada putus asa dalam suaranya.
James mengambil tisu dari meja, menyemprotkannya dengan hand sanitizer, lalu mengusap bibirnya. Warna peach yang selama ini ia lihat setiap hari perlahan luntur, berubah menjadi putih pucat. Tanpa riasan. Tanpa penyangkalan.
Dia membeku. Dunia seperti berhenti berputar. Udara dingin tiba-tiba menusuk kulitnya.
“Kau… kalian merencanakan ini di belakangku? Selama ini?” Air matanya mulai menggenang.
“Aku hanya takut kau akan mengatakan bahwa aku menghambatmu untuk tumbuh. Bahwa aku merusakmu. Aku ingin memperbaikinya. Aku ingin kau mendapatkan sesuatu yang normal… sebelum akhirnya—”
Cincin yang tadi diberikan dibantingnya ke lantai. Suara logam itu tenggelam dalam gemericik air dan detak jantung yang bergemuruh.
“Kau benar-benar membuang waktuku.” Dia menarik napas panjang, menahan gelombang emosi. “Aku tidak akan meneriakimu lagi, James. Tidak akan lagi menanyakan apakah kau mencintaiku. Karena mungkin aku akan selalu di sana, 24 jam. Tapi sekarang… kau mau ke mana? Kapan? Dengan siapa?”
Keheningan yang memekakkan menyusup di antara mereka, diisi oleh tatapan cinta yang dalam dan menyakitkan. Lalu, dari belakang, terdengar isak pelan. Seorang wanita muda—adik James—berdiri di ambang pintu, menangis tanpa bisa menahan diri.
James menatapnya, lalu kembali menatap kekasihnya, air mata menetes dari matanya, diam-diam, tanpa permisi. “Ke suatu tempat yang pasti. Yang akan dikunjungi semua orang. Aku belum tahu kapan… tapi aku tahu waktuku lebih dekat dari yang lain. Dan aku tidak akan mengajak siapa pun. Termasuk dirimu. Aku ingin kau jadi lebih dari ini. Lebih dari aku.”
“Warna itu…” gumamnya, menunjuk bibir James yang kini pucat.
“Itu warna yang sudah tak punya arti,” potong James, suaranya serak.
“Tidak, itu warna yang masih suci. Tidak mewakili siapa pun atau apa pun. Karena putih adalah warna yang tak bernoda. Dan kau… adalah orang yang terpilih.” Ucapnya, suaranya bergetar, tercekat di tenggorokan.
James memejamkan mata, seolah menahan perih. “Aku mohon, setelah semuanya selesai. Teruslah berjalan. Lupakan aku secepatnya. Karena aku sudah bukan siapa-siapa yang penting bagimu.” Kata-katanya dingin, namun mengiris udara dengan tajam.
Dia menggeleng pelan, air mata mengalir membasahi pipi. “Bahkan jika kau debu sekalipun, waktu akan membuatmu tak ternilai, James. Itu masuk akal. Karena debu adalah satu-satunya hal yang selalu menetap, selalu setia.”
James berdiri perlahan. Kali ini, ia tak menyembunyikan tubuhnya. Jubah handuk tebalnya meluncur jatuh, menampakkan kulit yang kebiruan, urat-urat keunguan yang menonjol jelas, bekas-bekas operasi yang tak terhitung, dan selang kecil di tangannya. Tubuhnya sudah separuh hilang, dikeruk perlahan oleh radiasi dan waktu.
“Aku akan bersamamu… sampai akhir harimu,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Dia bangkit dari duduknya, memeluk James perlahan, seperti memeluk musim yang tak akan pernah kembali, memeluk janji yang tak akan terpenuhi.
“Simpan air matamu untuk saat kau sudah di surga. Aku tak ingin menggantung di udara,” ucap James pelan, seulas senyum tipis melintasi bibir pucatnya.
Tangisnya pecah—tawa dan air mata bercampur, menghasilkan suara yang aneh namun jujur. Keluarga mereka menyaksikan dari balik jendela, beberapa merekam dalam diam, seolah mengabadikan fragmen takdir. Dan adik James, gadis yang sedari tadi menahan tangis, akhirnya pecah seperti anak kecil. Tangisnya lebih keras dari siapa pun, seolah ia juga kehilangan cinta pertamanya.
Dan malam itu menjadi debu kenangan—melayang di antara dunia, mengendap di ruang paling sunyi dalam ingatan setiap jiwa yang menyaksikannya.
Foot Note
“Menulis adalah bentuk lain dari kebebasan.”
“Penulis bukan penjajah. Maka jangan pernah menjajah karya orang lain.”
_Cléa Rivenhart_