Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ketika membuka pintu rumah, Ibu menyambutku dengan tamparan. Aku baru pulang sekolah. Si Kembar kulihat duduk menunduk di kursi tamu. "Beraninya kau curi uang jajan si Kembar?! Sejak kapan Ibu mengajarimu mencuri?!"
Tatapan Ibu begitu jijik dan benci padaku. Bibirnya miring dan meruncing dan geraham bergemeletuk. Aku tak melawan. Sakit dan darah di bibir masih bisa kuterima dan sembuh kelak. Namun, hatiku masih saja menyimpan sakit yang tak kusadari perlahan tumbuh menjadi benteng hati. Kelak, setiap aku menemui orang tuaku seperti ada benteng di antara kami.
Aku tidak mengambil uang jajan yang biasa diletakkan orang tuaku di meja setiap pagi. Bahkan, uang jajanku pun tak sempat kuambil karena pagi sekali aku berangkat sekolah.
Aku melihat si Kembar. Mereka tidak berani menatapku. Kuyakin, di antara mereka telah bersekongkol mengambil uang jajan dan bahkan jatah jajanku. Entah apa yang telah mereka katakan sehingga Ibu begitu yakin aku telah mengambilnya. Ibu tidak melihat kenyataan yang terjadi. Ibu bias melihat fakta. Ibu melihat perilaku-ku yang telah lalu.
Aku melihat Ibu tak lagi dilihat sebagai anak baik. Aku dilihat sebagai anak yang penuh salah. Akulah anak salah itu sejak mulai memukul si Kembar (karena merampas mainanku), ketahuan mengambil uang diam-diam di dompet Ayah. Aku digampar Ayah. Di sekolah aku usil pada si Fitri, menyingkap jilbabnya. Menonjok Joni karena mengejekku. Kelak kumengerti, aku marah pada orang tua yang tidak peduli padaku. Orang tua yang tidak bisa menimbang rasa adil pada anaknya, bukanlah orang tua yang membangun rumah di hati anaknya melainkan tempat keasingan dan jarak hati yang tak berbilang pada siapa pun.
Si Kembar selalu mendapat perhatian lebih dari orang tuaku dan selalu membenarkan si Kembar. Mereka anak yang manis dan imut. Baik. Patuh. Menyenangkan tetangga, guru-guru sekolah, dan teman-temannya. Pintar mengambil hati siapa saja. Mudah membuat orang percaya dan menaruh simpati pada mereka. Kelak, kutahu, ia belajar sifat dan ilmu topeng wajah itu dari Ibu. Aku tidak pernah bisa demikian. Tak bisa kukontrol emosiku.
"Kenapa kamu tidak bisa seperti mereka?"
"Kenapa kamu bisa jauh berbeda?"
Begitu mereka selalu menyalahkan dan menghakimiku. Kelak aku selalu curiga pada wajah manis dan imut.
Usai ditampar, aku masuk kamar tanpa sepatah kata pun. Aku tidak pernah bisa bicara lagi di hadapan orang tuaku. Selalu aku merasa salah. Sampai-sampai aku selalu susah menanggapi orang-orang yang hendak basa-basi denganku.
Si Kembar datang ke kamarku. Si Kembar Kecil memberi tisu. Kutolak. Ia tak peduli penolakanku, duduk di samping ranjang untuk menge-lap darah di sudut bibirku. Si Kembar Besar berdiri dan memberiku rokok. Ia langsung menyulut api rokok yang bertengger di bibirku.
"Jangan diambil hati, Bang. Lupakan. Ibu emang emosional. Emang gitu, Ibu. Maafkan Ibu. Kami sudah bilang kamu tidak mungkin mencuri uang itu. Tapi Ibu gak percaya. Sebenarnya kami yang mengambil uang jajan biar ditambah jajan lagi. Kami mau beli rokok dan paket data. Sori, Bang, ya. Ayo, main game aja sambil merokok."
Mereka mengaduk emosiku. Aku selalu kalah kata di hadapan mereka. Aku tidak bisa menyalahkan mereka. Orang tua akan kembali membalikkan kesalahan mereka padaku. Kami mengisap rokok di kamarku. Kelak, ketika kami keciduk merokok, aku yang pertama digampar. "Kau yang paling tua, kenapa mengajari yang buruk untuk adik-adikmu?!"
***
Ayahku pernah bercerita lewat telepon tentang Ibu. Aku sudah bekerja di perusahaan bonafit. Sebagai teknisi bagian komputer dan jaringan. "Kau tahu, Ibu merasa bersalah atas perlakuannya padamu. Tapi, ibu tidak bisa mengaku bersalah di hadapanmu. Jika Ibu mengaku bersalah padamu, kamu merasa paling benar dan membuatmu merasa tinggi hati. Kamu akan menjadi orang yang penuh kebencian pada orang bersalah. Ibu sangat mengerti dirimu bahwa saat kamu disalahkan, kamu menerima dan selalu intropeksi diri. Belajar memperbaiki diri, menjadi rendah hati. Tidak pernah menyalahkan orang lain secara terbuka seperti Ibu. Ibu memujimu di belakangmu. Kamu mungkin cuma tahu, bahwa Ibu tidak menyukaimu dan selalu memburukkanmu. Sekali lagi, sesungguhnya Ibumu diam-diam memujimu dan mengagumi keteguhan dan ketangguhan jiwamu."
Setelah bicara yang tak bisa kubedakan mana benar dan salah itu, Ayah memohon mengirim dana. Ibu butuh uang. Si Kembar menyusahkannya. Bla... bla... bla.... Aku tidak sanggup mendengar lagi. Kuminta nomor rekening. Kukirim uang segera.
Aku tak ingin mereka mengusikku dengan kabar rumah dan yang terjadi di antara mereka. Aku membentang jarak dengan mereka. Saat mereka hadir dalam kesadaranku, diriku penuh kegelisahan dan kekacauan yang tak bisa kujelaskan.
Sebelum aku mendapat pekerjaan ini, semasa kuliah di rantau, aku putus-putus dikirimi uang. "Kamu harus bekerja," kata Ibu. "Banyak mahasiswa bisa kuliah sambil kerja. Jangan manja. Ingat adik-adikmu yang juga butuh biaya. Kamu harus mengalah."
Aku mengalah. Lalu kuliah sambil kerja. Banyak mata kuliah tak bisa kuikuti. Banyak harus kuulang. Tujuh tahun bisa kuselesaikan kuliahku ketika ancaman DO datang. Lalu kata Ibu, "Aku tidak bisa jadi teladan. Karena kamu, si Kembar pun berlama-lama selesai kuliah. Mereka lama selesai kuliah karena membandingkan dirimu yang juga belum selesai-selesai kuliah."
Kutahu masalah mereka tak bisa menyelesaikan kuliah dengan cepat. Saat aku pulang liburan, Si Kembar santai saja jalani hari-hari dan perkuliahan. Main dan main saja yang kulihat. Si Kembar ke mall, bioskop, kafe, dan traveling. Si Kembar tak bekerja sepertiku yang menganggu perkuliahan. Mereka mengaku sudah berusaha bekerja yaitu ikut audisi menjadi model dan artis, tetapi belum rezeki.
Mereka selalu bergantung uang dari orang tua. Ibu tidak pernah bisa menolak jika mereka meminta. Mereka bisa mengambil hati dan menyenangkan Ibu. Setiap pulang dari bepergian, ada saja mereka bawa sesuatu yang menyenangkan Ibu. Senang Ibu melihat senyum dan mata mereka. Sedih Ibu jika melihat mata dan bibir mereka turun.
Sampai lulus kuliah pun, mereka belum mendapatkan pekerjaan. Keuangan mereka menjadi tanggunganku. Orang tua selalu punya alasan benar dan membuatku bersalah jika tidak mengirim uang kepada mereka. Orang tuaku mengandalkan keuangan mereka dari pensiun yang tidak pernah bisa cukup untuk keperluan si Kembar.
***
Ayah meninggal mendadak, Ibu sakit-sakitan. "Jika kau tak bisa menjaga Ibu, bantu saja dengan uang. Kami susah mendapat pekerjaan. Pekerjaaan semua ditawarkan di luar kota. Tak bisa kami ambil. Tak ada yang menjaga Ibu," dalih si Kembar.
Bibiku pernah duduk semeja dengan kami dan memberi wejangan pada kami. "Keluarga itu saling membantu dan melengkapi. Jangan merasa salah seorang paling berjasa dan penting dalam keluarga. Semua ada bagian masing-masing jasanya. Kamu kalau bisanya membantu dengan uang, bantulah dengan uang. Sebenarnya bukan uang yang diharapkan Ibumu. Ibu bercerita pada Bibi, kamu tidak pernah menelepon Ibu jika tidak Ibu yang menelepon. Kamu tahu, percakapan anak dan Ibu --sekali pun percakapan omong kosong, menyenangkan hati orang tua. Sering-seringlah menyapa Ibu. Bangun pembicaraan remeh-temeh. Sesesungguhnya pembicaraan anak dengan orang tua selalu punya arti untuk hati yang kelak akan datang pengertian untukmu. Jangan sekadar pembicaraan dilihat dari bermutu dan penting untuk sesaat." Aku tidak bisa membantah. Bibi benar, aku salah.
Selepas kepulangan Bibi, kami makan semeja. Ibu memasak dengan senang dan aku merasa dihargai dan dihormati. Sesaat kesan bahagia itu kudapat. Kemudian yang paling kuingat, Ibu marah dan melempar remeh nasi ke wajahku. Hatiku mendidih, menggelegak, tapi tak tumpah. Aku tak ingat sebab apa yang telah terjadi di meja makan. Yang kuingat, remeh nasi yang dilempar Ibu ke wajahku sangkut di hati.
***
Ketika perempuan-perempuan yang mendekatiku, aku selalu kaku dan berjarak. Selalu melihat mau-mau yang tersembunyi. Aku bisa melihatnya. Hingga suatu ketika, seorang perempuan yang menyukaiku, marah-marah padaku. "Kamu jangan naif jadi lelaki. Apa kamu pikir cinta tak bersyarat? Apa kamu pikir perempuan tulus menyukai seseorang tanpa syarat? Semua perempuan ada maunya pada lelaki. Entah uangnya, tampangnya, kebaikannya, atau kedudukan keluarganya. Kenapa kamu tidak bisa memaklumi aku menyukaimu dengan uangmu? Kenapa tidak bisa maklumi dan menganggap wajar saja melihat perempuan memiliki sifat itu. Tidakkah kau senang saat aku senang?"
Lalu ia pergi dengan meninggalkan rasa bersalah lagi padaku. Aku saja yang naif dan polos; mengharapkan ketulusan dari orang mencintaiku. Bahkan orang tuaku saja tak ada ketulusan mencintai padaku. Orang tua menjadi berbaik-baik padaku ketika ada maunya. Aku menjadi berarti saat uang lancar kukirim.
Aku pun membenarkanmu. Saat kau menolakku, sungguh luka maha-dalam untuk hatiku. Menjadi tak berarti apa-apa kesakitan yang berpohon di hati yang kuterima dari keluarga dibandingkan kesakitan yang tercipta dari penolakanmu. Kau perempuan menyiram bunga damai di hatiku. Padamu kutemukan ketulusan hati padaku, tetapi lenyap. Meninggalkan kekosongan, sesak, dan kegelapan hati.
Kau tidak mau menikah denganku karena aku anak durhaka. "Bagaimana mungkin anak lelaki tidak punya kasih sayang pada ibunya padahal telah melahirkan dan mengandungnya?" Begitu kau hakimi aku ketika aku memutuskan menikah denganmu tanpa kehadiran Ibu. Aku ingin pernikahan diadakan di rumahmu saja tanpa seorang pun keluargaku datang.
"Aku tidak bisa menyukai lelaki bahkan tidak mau punya suami yang tidak bisa hormat dan sayang pada Ibunya. Sikap lelaki begitu menjadi pertanda buruk bagiku. Kelak lelaki begitu pun menjadi potensi buruk yang tak bisa hormat dan sayang pada istrinya," begitu ungkapan marahmu.
Aku selalu merasa bersalah. Aku bisa memperbaiki komputer rusak, menghubungkan komputer yang terpisah sehingga berjalan dengan baik dan benar. Namun, aku tidak bisa memperbaiki perasaan dan hubunganku yang terpisah dari keluarga. Aku menangis akan kesendirianku dan kehilanganmu. Padamu kulihat-temukan kutulusan yang tak pernah kurasa. Ada damai di hati saat mendengar kata-kata lembutmu, tatapan teduhmu, senyum dan tawa simpulmu. Tak kucium mau-mau sembunyi dari perempuan. Tak pernah kudapati kau marah dan menyalahkanku sebelum kuungkit masalahku dengan orang tua.
Lewat tulisan ini, yang tidak pernah kubagi pada siapa pun selama hidupku kecuali padamu, kuakui, akulah lelaki yang penuh salah dan selalu merasa bersalah. Orang tua tidak pernah salah. Kau pun pada arti tertentu adalah "orang tua"; yang punya pengalaman, banyak tahu, banyak mengerti, yang benar, punya kuasa, punya nilai kebaikan dan kebenaran, dan juga punya kuasa menghakimiku yang banyak salah dan kaku ini.
Maka, ajarkan dan luruskan aku yang penuh salah dan merasa bersalah ini. Yang selalu gugup menghadapi orang-orang; yang tidak mengerti akan perasaan-perasaan yang selalu beradu dan rusuh dalam diriku. Satu yang telah jelas dan kumengerti akan perasaanku yaitu perasaan nyaman saat bersamamu. Silahkan salahkan aku, marahi aku, tapi jangan tolak aku. Maafkan aku. Padamu aku membuncah harapan untuk membantuku memperbaiki, meluruskan, dan menghubungkan yang berjarak dan terpisah oleh luka-luka yang berlubang menganga di hati. ***