Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit yang cerah menyambut Shanum melakukan aktifitas yang kini telah ia jalani dalam satu bulan terakhir. Menjadi guru honorer di salah satu sekolah dasar di desanya. Berkat bantuan paman Seno, Shanum bisa melanjutkan pendidikannya sambil bekerja paruh waktu di sekolah. Ia telah meninggalkan masa lalunya di tempat kerja yang lama, melanjutkan langkah baru dan menjadi sosok baru yang lebih baik lagi.
Cita-cita yang terabaikan akan ia raih, menjadi pahlawan tanpa balas jasa. Lentera yang akan menerangi jalan bagi tiap generasi muda yang sedang bertumbuh. Seorang guru, pekerjaan yang sangat mulia dan Amal yang tak akan terputus. Mungkin inilah jawabannya, ia seharusnya tak perlu menghabiskan waktunya hanya untuk merenungi masa lalu dan kesedihan. Ada hal berharga dari dirinya yang ia bisa gunakan untuk kepentingan banyak orang.
Meski ia tak memungkiri di usianya yang telah menginjak 30 tahun itu, ada rasa was-was menghinggapinya karena statusnya yang masih melajang. Lelah sekali rasanya jika harus terus mendengar atau menjawab pertanyaan yang dilontarkan orang-orang sekitar, mulai dari yang biasa saja bahkan tak jarang menusuk hati.
"Shanum, apa tidak bosan sendirian?."
"Jangan pilih-pilih Shanum, umur udah segitu. Nanti keburu tua, gak ada yang mau!."
"Shanum, kamu cantik loh, tapi kok belum nikah juga. Kamu punya dosa apa?."
"Shanum, kamu gak iri dengan teman-temanmu, semua sudah punya anak loh."
"Kasian orang tuamu Shanum!."
Dan masih banyak lagi. Orang lain memang selalu ringan dalam melontarkan kata, tak peduli apa yang telah ia katakan menyakiti hati atau tidak. Hanya memuaskan hasrat hatinya. Masalah rezeki, jodoh dan maut itu adalah rahasia Allah. Manusia tak perlu mempertanyakannya.
Shanum tak bisa membungkam mulut-mulut jahil orang lain, yang ia bisa lakukan adalah menerima dan memberi pengertian dengan cara yang lembut dan tidak menyakiti.
Sekarang hidup Shanum terasa lebih ringan, setelah ia bisa menerima ada hal yang tak bisa dipaksakan dan banyak hal yang bisa ia kerjakan. Ia tak akan memaksakan dirinya agar segera mendapatkan jodoh hanya karena omongan orang lain. Karena walau bagaimana pun ia mencari dan berusaha, jika bukan waktunya maka ia tak akan dapat menemukannya. Ia selalu meyakinkan dirinya bahwa dimanapun cintanya itu berada, pasti ia tak akan salah alamat. Cinta itu akan datang padanya dimanapun dan kapanpun. Semua itu ia serahkan hanya kepada Allah. Kini Shanum hanya bisa menanti dengan melakukan hal-hal yang baik, berharap mendapatkan kebaikan pula dari usaha dan penantiannya itu.
"Bismillah…" Shanum melangkahkan kakinya. Ia telah siap berangkat menuju ke tempat kerjanya, tak sabar rasanya bertemu dengan anak-anak polos dan ceria yang selalu mewarnai hari-harinya.
Brem…brem..!!
Sebuah motor matic berhenti di hadapan Shanum, ketika baru saja ia hendak menyalakan motornya. 'Hah, dia?!' Gumam Shanum dalam hati. Warna wajahnya kini telah berubah. Padahal beberapa detik lalu terlihat cahaya bahagia terpancar. Kini, berkerut masam. Entah mengapa ketika melihat Barra, suasana hati Shanum menjadi berubah. Sebal.
"Assalamualaikum—" sapa Barra,
"wa—"
Belum selesai Shanum menjawab,
" — ibu Nur" tambah Barra.
Shanum mengatupkan bibirnya, ada sedikit rasa malu karena salah paham. Ia kira salam itu untuknya, ternyata untuk ibunya yang kini tengah terlihat berdiri diambang pintu. Shanum tetap melanjutkan salam Barra didalam hati.
"Eh, Shanum. Mau berangkat?." Tanya Barra basa-basi, seakan ia baru sadar kehadiran Shanum di hadapannya. Shanum hanya diam, ia masih kesal karena salah pahamnya.
Shanum mencoba menyalakan motornya dan segera berangkat dari sana, karena orang yang kini menjadi musuh bebuyutannya telah hadir. Barra Memarkirkan motornya dan menghampiri ibu Nur.
Ibu dan Barra Terlihat membicarakan sesuatu, entah apa. Shanum tidak bisa mendengar percakapan mereka. Tapi sorot matanya tetap mengarah pada Ibu dan Barra, jempolnya berkali-kali menekan tombol starter. Tapi ternyata motor tak bisa menyala. "Cek!" Shanum berdecak. Ia terus berusaha menekan starter dan rem secara bersamaan, namun motor tetap tidak menyala.
"Hiaaaat..!"
Shanum mengeluarkan tenaganya, ia menginjak tangkai standar tengah dan tangannya menarik motor kebelakang dengan cara menggenggam behel motor. Hingga motor berdiri tegak. Ia pun menyalakan motor secara manual. Kakinya menginjak-injak engkol motor, tapi tidak terdengar mesin menggerung. Shanum terlihat keletihan, usahanya tetap tidak berhasil.
"Shanum, kunci motor!." Teriak Barra.
Deg!
Sorot mata Shanum menatap lubang kunci yang belum terisi. 'Astagfirullah, bagaimana bisa aku lupa?!.' Batin Shanum. Wajahnya berubah merah, ternyata saking sibuknya memperhatikan Barra, Shanum lupa menancapkan kunci motornya.
Shanum segera menyalakan sepeda motornya dan segera berangkat melarikan diri.
"Astagfirullah si Shanum!." Ucap ibu Nur
"Kenapa bu?." Tanya Barra.
"Dia Lupa pakai helm." Jawaban ibu membuat Barra menahan tawa. Wanita itu selalu saja salah tingkah ketika berada didekatnya. Ia semakin yakin bahwa sebenarnya Shanum sedang menahan sesuatu dalam hatinya, hanya waktu yang dapat menentukannya.
Tanpa Shanum ketahui, Barra telah menaruh hati padanya. Itulah mengapa hingga detik ini Barra berusaha mendekati wanita cantik itu, meski ia menerima penolakan berkali-kali.
Barra telah jatuh hati, pertemuan pertamanya dengan Shanum menumbuhkan rasa dihati Barra. Entah mengapa begitu mudahnya, namun itu tak mustahil. Kecantikan Shanum, selalu mampu meluluhkan hati lelaki. Tapi kali ini ada hal lain yang membuat Barra tertarik pada Shanum. Salah tingkah Shanum tiap kali bertemu dengannya menjadi hiburan tersendiri bagi Barra. Ia berharap suatu hari nanti Shanum berubah dan memberikan kesempatan sebagaimana lelaki yang memiliki perasaan kepada wanita pujaannya. Bukan karena ia berstatus mantan kekasih sahabat Shanum. 'Ini aku Shanum, dengan segenap perasaanku.' Batin Barra.
"Sabar ya nak." Ucap ibu Nur, ia paham benar jika Barra Sedang diacuhkan oleh anaknya. Barra Tersentak dan segera sadar dari lamunannya. Ia tersenyum dan mengangguk tipis.
"Mbaknya mau kemana?." Tanya seorang lelaki berseragam yang tak lain adalah polisi.
"Lain kali jangan lupa pakai helm ya mbak, dipakai bukan karena biar nggak ditilang. Tapi buat keselamatan mbak sendiri!." Tambah pak polisi sambil mengisi surat tilangan.
"Iya pak maaf." Ucap Shanum yang hanya bisa menjawab dengan lesu dan tertunduk. Polisi pun menyerahkan surat tilangnya pada Shanum dan memberikan beberapa nasihat agar Shanum tidak mengulangi kesalahannya lagi. Setelah itu Shanum dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanannya.
Tak lama muncul wajah seorang dalam benaknya, wajah yang putih bersih dan tampan rupawan. Sejenak ia terdiam menikmati wajah itu. Barra.
“Astagfirullah” segera ia menyadarkan dirinya. Tak lama ia pun teringat bahwa Lelaki itulah yang telah membuatnya salah tingkah dan akhirnya kena tilang. "Menyebalkan..!!!" Gerutu Shanum.
Percayalah meski bibirnya mengatakan duri, namun hatinya menyimpan mawar. Benarkah Shanum?