Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Salah Kaprah
Oleh: Faisal Dzakwan
(antri Kelas 4 KMI Dayah Perbatasan Darul Amin)
Salat subuh telah usai, di tengah keheningan pagi yang segar, titisan embun mulai menguap jadi awan. Jika pandangan tertuju ke ufuk timur, sang mentari berawarna merah merona menyegar-bugarkan kelopak mata para santri yang sedang berlomba-lomba mengincar mahkota surga untuk dipersembahkan kepada orang tua mereka.
Aku yang juga sedang menambah hafalan, berbeda dengan teman-temanku. Mereka tampak bersungguh-sungguh dalam mengejar target hafalannya. Pikiran begitu pusing, stres dan otakku terasa sesak seprti ingin meluapkan isinya saat mengingat kejadian demi kejadian yang menimpaku kemarin, subuh yang segar oleh mentari itu seakan tidak terjadi pagi ini.
Berapa banyak temanku yang silih berganti menasihatiku, termasuk para ustadzku. Tetapi dengan berbagai macam pikiran seakan semua itu tiada artinya menurutku. Aku bersikap acuh tak acuh atas segala omong kosong itu. Kutafsirkan bahwa tiada arti hidupku tanpa orang tua yang menyayangiku sejak pertama kali berada di dunia ini.
Kepergian ibuku yang menyusul bapakku, membuat aku semakin merasa tidak ada arti hidup. Apalagi aku sebagai anak tunggal, tidak pernah merasakan yang namanya memiliki saudara kandung. Hal ini menjadi sebab oleh saudara-saudara orang tuaku menganggapku seolah bukan siapa-siapa mereka. Hanya saja kiyai pengasuh pesantren ini berinisiatif menghidupkan kembali jiwaku. Benakku berkata bahwa dia bukan saudaraku, sentimenku kurang menerima. Hari hari yang kulalui di pesantren ini, kian hari kian berubah bahkan tergeser seratus depalan puluh derajat. Dulu aku dikatakan cupu dengan hal-hal yang berbau pelanggaran, kini sudah menjadi bibit-bibit perusak disiplin. Yang telah ditetapkan.
Setelah makan pagi di dapur umum usai, hatiku mulai muncul niatan yang tidak baik. Kuambil secarik kertas dengan pena lalu berlari ke kelas seraya menulis pesan, seketika aku berlari kembali ke kamar. Aku menuju lemari seorang temanku, tetapi lemarinya terlihat tertutup. Aku membongkar sedikit pintunya lalu memasukkan kertas itu, ketika aku hendak pergi,
"Malik, ngapain kamu? Pingin nyolong, ya?" Teriak Zul, temanku si pemilik lemari tadi. Aku sempat kaget hingga panik.
"Zul tunggu dong." Kubalas dan dia merespon dengan menghampiriku.
"Kamu bisa jaga mulut, kan?, soalnya aku kepingin pergi dari pesantren ini. Kalau masalah absen, ntar kamu juga bisa bilang aku sakit atau apalah, ya?!"
"Istighfar kamu, Lik. Oramg macam apa kamu?! Pecundang, ha!? Seharusnya kamu dibaiki juatru lebih baik. Kamu masih difasilitasi, masih bisa hidup. Kok malah kabur-kabur segala, Lik. " Zul memberiku nasihat tetapi tidak sedikit pun aku indahkan.
"Yaudah, kalau kamu memang nggak mau bantu aku, ya nggak masalah, aku nggak keberatan. Intinya jangan sampai ustadz-ustadz tau kalau aku kabur dari pesantren."
"Apa kamu nggak sayang lagi sama para ustadz itu? Kalau memang sayang jangan beri dia beban pikiran. Ngerti, ya?" Kupegang tangannya sebagai sentuhan terakhirku pada temanku ini, lalu kupeluk dia. Tetes air matanya mendarat di bahuku.
"Yang kuat dong! Kok aku yang melanggar malah kamu yang sedih?! Menurutku ini jalan satu-satunya untukku."
"Gila kami, Malik!"
"Nggak, aku nggak gila, Zul." Seketika terlihat santri yang lain melihat kami. Aku tidak ambil tempo dan langsung berlari.
Aku telah packing barang seadanya saat dini hari tadi, barangku yang lain tergeletak begitu saja dan lemariku kubiarkan terbuka. Mungkin ada temanku yang butuh barang dari lemariku agar ia dapat mengambilnya.
Hasrat diriku sudah yakin betul atas keputusan ini. Mula-mula aku berlari ke jemuran, kebetulan tiada seorang pun pagi ini kutemui di sana. Lalu langsung menuju pagar beton yang kira-kira memiliki tinggi dua meter dan dihiasi oleh kawat yang siap menampung apa saja yang menyentuhnya, termasuk tasku. Hampir saja tas yang berisi penuh ini disobek oleh kawat yang terjalin rapi itu, tetapi sebab aku sudah berlatih kepada temanku yang rasanya telah sering melakukannya, hal ini menjadi sedikit mudah.
Badanku menghantam tanah dengan sedikit dentuman menyebabkan kakiku terkilir. Aku sedikit panik tetapi karena situasi yang tidak memungkinkan membuatku memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Aku tidak tahu kemana tujuanku. Awalnya aku ingin tinggal di masjid, tetapi aku tidak tau masjid mana yang ingin aku tempati. Setelah berpikir sambil berjalan, aku memutuskan berhenti di sebuah warung kopi. Di warung kopi ini kakiku yang tadinya terkilir dapat kuatasi dengan meminta sedikit minyak pada pemilik warung. Saat aku sedang menggosok kakiku, seorang pria setengah baya datang padaku. Ia duduk tepat di depanku.
"Kakimu kenapa, Dik?"
"Oh, tadinya saya jatuh, Bang, terus sedikit terkilir."
"Oh, gitu, ya?!"
"Terus, Adik ngapain pagi-pgi gini di warung kopi? Emang nggak sekolah?" Pertanyaaan abang ini membuatku sedikit bingung ingin menjawab apa.
"Saya barusan kabur dari sekolah, Bang." Dia sedikit berdehem dengan diiringi pelototan matanya padaku, yang membuat aku sedikit takut dan cemas.
"Kenapa bisa kabur, Dik? Malas sekolah atau apa?" Karena pelototannya tadi membuatku semakin ragu menjawab.
"Jangan panik, Dik. Janhan ya, Dik ya. Santai aja."
"Mm, sebenarnya saya tidak sanggup lagi tinggal di pesantren, Bang, serba-serbi hidup semua diatur. Terlalu ketat menurutku, Bang. Jadi kita bisa bebasnya kapan?" Aku tidak mengatakan yang sebenarnya alasanku kabur, karena orang ini asing bagiku.
"Kalau boleh tau, nama, Adik siapa, ya? Maaf jika pertanyaan saya agak spontan." Melihat sikap abang ini yang begitu bijak, keraguanku sedikit berkurang. Aku ragu hanya karena pelototan matanya tadi sedikit buas, tetapi tidak dengan sikapnya.
"Nama saya Malik, Bang."
Dia juga bertanya di pesantren mana aku belajar, hingga setelah perbincangan yang berkisar dua puluh menitan, di sana aku mulai terbuka dengan orang ini. Namanya bang Rudy. Pemilik warung tempatku berhenti. Kuceritakan semua kemalangan yang kualami sampai detik ini, dia menyanyangkan kebijakan yang kulakukan pada diriku sendiri. Katanya pemikiranku kurang matang dalam rentang usiaku yang saat ini menginjak poisi hampir kepala dua. Tiba-tiba bang Rudy ini memberi saran kepadaku agar kembali ke pondok, tetapi aku menolaknya. Walau penolakanku secara halus, tampak dari wajahnya rasa kecewa yang mendalam. Kulihat dia menyerogoh saku celananya dan,
"Assalamu'alaikum, Mus." Ucapnya. Aku tersontak kaget saat dia membuka perbincangan via telepon. Kuambil tasku dan langsung berlari tanpa mengucap sepatah kata pun padanya. Dia mengejarku dengan tenaga orang dewasanya, aku yang terkilir khawatir ia dapat menangkapku dengan cepat. Kulihat sebuah becak motor mangkal di perempatan jalan sana, aku langsung mengampiri si bapak sopir becak motor itu.
"Pak, tolong bawa saya ke kota segera!" Perintahku tergesa-gesa dengan nada panik.
"Oh, iya, Nak!"
Becak motor itu melaju meninggalkan orang baik, pemilik warung kopi itu. Karena tadi kutahu bahwa ia sedang menelepon salah seorang ustadzku, yaitu Ustadz Musthafa. Entah bang Rudy itu temannya atau apanya ustadz-ku itu aku tidak tahu. Sebenarnya kalau dipikir-pikir, ucapan bang Rudy benar. Tetapi tekadku yang bulat mengalahkan segalanya, juga disebabkan oleh umur dan dengan ketidakadanya pengarahan dari orang tua adalah poin utama tergeraknya niat ini.
Setengah jam kulalui perjalanan akhirnya aku sampai di alun-alun kota. Kusegerakan pembayaran sekaligus mengucap terima kasih kepada supir becak motor itu atas tumpangannya yang membebaskan aku dari pengejaran si pemilik warung kopi.
Awal langkahku di kota ini menjadi awal hidup sebatang karaku dimulai. Di sini baru kurasakan hidup sebenarnya tanpa ada arahan, ajaran dan didikan. Mulanya aku setiap pagi mencari lowongan kerja, di pasar Impres. Hatiku berkata pekerjaan apa saja yang penting hidup, aku telah lupa bahwa segala sesuatu atau segala pekerjaaan itu belum tentu halal. Dan cukup mudah bagiku untuk mendapatkannya. Oleh karena badanku yang besar, mampu kiranya dipekerjakan. Yang pertama kali kudapat adalah menjadi kuli panggul dari truck ke toko-toko. Dan inilah yang kutekuni selama dua bulan secara berurut-turut. Aku mulai jenuh dengan yang kulakukan, dengan gaji yang diperkirakan cukup besar, bukan berarti menjadi patokanku. Beberapa hari berselang setelah itu, aku pun memutuskan mengundurkan diri.
Tiga hari berlalu tanpa sedikit pun kegiatan. Hari ini, cuaca sedikit mendukung aktivitas manusia. Aku memutuskan ke warung kopi tempat biasanya aku nongkrong, otakku sudah seperti otak orang dewasa pada umumnya, tidak tahan tanpa dibantu kopi untuk berpikir. Kulangkahkan kakiku menuju tempat biasanya aku memesan. Ada dua meja kosong di sudut sana, sangat tepat untuk berpikir sendirian. Lima menit berlalu hanya dengan renungan, secangkir kopi yang tersaji kulahap setengah. Saat kuarahkan mataku menuju luar warung, kulihat di depan warung seorang lelaki mengenakan baju kaos kumal dengan celana ponggol berdiri tidak jelas, dari gaya rambutnya, aku seperti mengenali sosok itu.
"Gandi," teriakku. Lelaki itu menoleh kepadaku dan tanganku langsung mengisyaratkan dia untuk berkenan menuju ke tempatku.
"Kamu di sini, Lik?"
"Ya iyalah, di mana lagi?!"
"Kamunya ngapain nggak jelas banget berdiri di depan warung?"
"Loh maksud aku bukannya kamu di pesantren, ya?"
"Oh itu, sekarang nggak lagi deh. Nggak ada lagi manfaatnya mondok itu, Gan."
"Kok gitu, jadi sekarang ngapain lagi kamu? Kok di sini, nggak di pesantren bukannya pulang ke kampung?"
"Panjang ceritanya itu. Emangnya kamu nggak pernah balik lagi ke kampung?"
"Ngapain juga balik kalau di sini rezeki nomplok."
"Kamu kalau nggak ada kerjaan ya bisa ikutan sama aku." Begitulah seterusnya percakapanku dengannya, sampai akhirnya dia memberiku saran yang awalnya aku ragu-ragu untuk menerimanya, aku tidak memberi kepastian kepadanya. Kalau dipikir-pikir, berarti selama ini pekerjaan ini yang membuat Gandi tidak ingin pulang ke kampung.
Sang mentari sudah mulai turun ke barat, aku yang sedari tadi berada di warung kopi, tanpa melakukan hal apa pun selain bernostalgia dengan Gandi, akhirnya memutuskan untuk kembali. Kuajak Gandi ke kontrakanku karena dia tidak memiliki tempat tinggal. Sejak pertama kali dia beranjak dari kampungku untuk tinggal di kota hingga saat ini, hidupnya hanya menggelandang. Akan tetapi ketika dilihat masalah kantongnya, terlihat aman-aman saja. Aku tidak tahu kenapa ia dapat begitu.
Di kontrakanku, Gandi melihat kasur dan langsung terlelap tidur tanpa memikirkan apa pun.
"Emang gila kamu, Gan! Nggak ada pernah seorang pun tidur waktu magrib."
"Ya nggak ada salahnya, kan?" Katanya yang buat aku geleng-geleng kepala.
Malam mulai larut, Gadi yang tadinya tidur saat magrib terbangun. Aku yang duduk di teras dibuat kaget olehnya yang baru saja bangun tidur. Ia langsung mengajakku keluar, langsung saja kuiyakan tanpa ada basa basi. Awalnya aku mengira seperti diajaknya ke warung siang tadi, semakin jauh dari kontrakan dan semakin sunyi tempat yang diajaknya. Gandi hanya diam saja tanpa ada sepatah kata pun terucap dari mulut anak itu, hanya matanya melirik ke sana ke mari dengan ekspresi gegabah.
"Ngapain sih ngajak aku ke sini?"
"Diam! Kamu ingat nggak kawanku siang tadi?"
"Kamu gila atau bodoh sih, Gan?"
"Justru kamu yang gila, Lik! Dikasih tawaran malah nolak. Siapa lagi yang bisa bantu kamu?! Kan kamunya yang bilang sama aku tadi siang, ya beginilah caraku untuk membantu kamu.
"Tapi ini kan pekerjaan nggak benar."
"Udah deh, sekarang gini aja. Kalau memang kamu nggak mau ikutan tawaranku, yaudah pergi aja dan nggak usah lagi kamu anggap aku teman masa kecilmu. Yang paling penting adalah bila kamu melihatku jangan sesekali kamu pernah lagi manggil aku, karena kuanggap hubungan kita adalah hubungan yang tidak kenal."
Sebuah kata pamungkas itu, bagai mengobok-obok hatiku, hingga aku kaku tidak mampu berkata-kata. Seketika air mataku terjun membasahi pipiku. Gandi tidak menghiraukanku karena kami berada di gang gelap nan sempit. Separuh hatiku berkata, "Apakah hatimu belum berpikir saat berucap, Kawan? Separuh lagi membenarkan ucapan Gandi itu, karena siapa lagi yang dapat membantuku selain dia seorang."
"Yaudah deh, aku ikut!" Dengan bersikap mencoba untuk tegar meskipun aku masih ragu-ragu untuk mengerjakan hal yang sama-sekali tidak pernah terpikir di benakku untuk aku lakukan.
"Yang gini baru namanya sahabat Gandi dari kecil, dan sekarang kita bisa langsung mulai aja, ya?"
Aku dan Gandi berjalan pelan menyusuri Gang, di titik dekat penghujung Gang itu, terlihat motor matic yang terparkir rapi saat kami berada di sana. Gandi menyuruhku mengintai segala sudut tempat, lalu kuiyakan saja perintahnya itu. Tak lama berselang, Gandi mendorong motor yang tadi kulihat terparkir rapi.
"Buruan bantu aku dorong, Lik!'
"I..i.. iya." Kubantu mendorong sampai ke sebuah gubuk kosong di luar gang tadi.
"Kalau emang capek ya pulang aja, Lik! Tinggal aja aku entar juga kelar, nanti aku balik lagi ke kontrakanmu."
"E, emang nggak apa ditinggal? Serius loh ini!?"
"Ya seriuslah, masa enggak. Yaudah sana!"
Aku kembali sekaligus cemas, hatiku berdesir, seandainya Gandi ketahuan gimana, tetapi dengan cepat kuhilangkan pikiran yang aneh-aneh terhadap temanku yang satu-satunya itu.
Esoknya Gandi datang ke kontrakan, kira-kira pukul sepuluh lewat seperempat. Wajahnya berseri-seri ketika membuka pintu dan langsung berkata kepadaku,
"Kita beruntung sobat, dapat banyak!"
"Maksud kamu? Motor yang tadi malam kamu jual?"
"Apalagi kalau bukan itu, ah kamu."
"Enggak mikirin dosa kamu, Gan?"
"Hadeh, pikiran kekanak-kanakanmu kambuh lagi, sekarang kamu mikir hidup atau dosa. Kalau yang begituan ya ntar tua lah baru ke sana landasannya." Dan begitulah hariku baru dimulai bersama Gandi. Setiap hari dan setiap saat kami terus melakukan rutinitas ini. Aku yang dulunya lugu, pelan-pelan mulai terbiasa oleh mantra sang teman, "Kalau gerogi sekarang jangan dilakukan tetapi besok diteruskan, karena pada hakikatnya gerogi adalah penyakit sebab kamunya ketahuan katanya." Akan tetapi kami memiliki waktu luang beberapa hari sesuai pendapatan peropsi.
Pagi ini aku bangun cepat, tidak seperti biasanya. Aku punya niatan jalan pagi keluar kampung. Gandi terlihat sangat terlelap dengan mimpinya, maka hanya kubiarkan saja. Pintu kontrakan kututup sebagai mana mestinya, jalan demi jalan mulai kutelusuri sampai kutemukan warung lontong pagi, aku beristirahat sejenak disertai sarapan pagi, warung ini di saat masih pagi saja sudah sper delapan dari bangunannya penuh. Dalam hatiku, "Beruntung sekali yang punya warung ini" Pikiranku selalu melayang-layang. Kuingat petuah ustadz Musthafa, beliau paling paham terhadapku itu, pernah berkata, "Barang siapa yang bangun pagi atau tepatnya sebelum fajar menyonsong, maka rezekinya akan cepat sampai padanya atau kepada orang tuanya. Rekaman yang dulu saat nyantri telah kembali, ingin mengaji bersama teman-temanku, terutama dengan Zul. Tapi bagaimana lagi, pulang malu tak pulang rindu. Sampai di kontrakan, Gandi masih juga terlelap tidak kubangunkan, hanya saja kutaruh makanan berat itu di atas meja. Aku duduk di teras di tempat biasa aku nongkrong dengan Gandi, pagi ini tampak berbeda dari hari-hari sebelumnya, aku merenungi apa yang kuingat tadi pagi. Tanpa terasa aku sudah melamun setengah jam dan tiba-tiba lamunan itu dipecah oleh Gandi.
"Lik, kamu tumben cepat bangun."
"Oh, cuma kebetulan, Gan. Ada lontong di dalam, kutaruh di atas meja."
"Spesial ya pagi ini?! Kamu udah apa belum?"
"Makan aja, tadi pagi aku bangun cepat terus beli lontong di warung depan."
"Kalau gitu, luan ya, Lik."
Gandi masuk ke dalam, lalu makan dengan lahapnya. Dalam waktu bersamaan, renungan tadi hilang begitu saja dibawa waktu dan mungkin jalan hidupku sekarang jauh lebih baik.
Malam ini adalah malam yang dinanti, seprti biasanya, aku dengan Gandi telah mencari target ini dan membidik sudah hampir dua hari. Sedari pertama kali aku mengikuti Gandi untuk menjadi maling, hanya dia yang melakukan, mengambil dan melarikannya. Tetapi sejak menyolong sembako di Super Market kemarin, aku ingin mencoba kali ini, Gandi seperti ragu memberiku izin tetapi aku memaksa. Target kali ini adalah motor tril milik orang elit di kota ini.
"Gandi, cepatan bobol gerbangnya! Aku segera angkut motornya keluar!" Bisikku padanya dan dia langsung memberi respon dengan mengacungkan jempolnya.
Motor tril kudorong sampai ke luar dari rumah tersebut, ketika Gandi sedang menutup gerbang rumah orang elit itu, dia melihat sesuatu dan berteriak,
"Kabur, Lik! Cepatan!!!"
"Kenapa, Gan?" Tanyaku heran.
"Cepaat!!!" Teriaknya dan ketika aku melihat balik ke belakang, sepontan aku kaget, "BRAKK!" Sebuah pukulan mendarat di bahuku, aku dihakimi warga yang meronda, aku meringis kesakitan. Mataku makin lama makin berat, kesadaranku telah hilang.
***
Kubuka mataku perlahan, pandanganku buram, mataku mengerjap-ngerjap sambil menyibak isi ruangan. Aku seperti berada di ruang rawat inap di rumah sakit, kejadian sebelumnya penyebab aku di sini sama sekali tidak aku ingat. Sejurus kemudian seorang dokter datang mendekatiku,
"Syukurlah, akhirnya kamu sadar."
"Kenapa saya ada di sini, Dokter?"
"kamu tidak ingat kejadian yang menimpamu?"
"Kejadian apa?" Tanyaku bingung.
"Kan kamu dihajar habis-habisan sama warga karena mencuri di rumah besar itu. Kamu sekarang berada di poliknik sektor polisi kota ini."
"Jadi saya akan dipenjara, Dok?!" Bentakku.
"Ya, bisa jadi iya untuk menebus kesalahanmu."
Seketika air mataku tumpah, tak terbendung. Aku bertanya kepada dokter itu kabar Gandi, katamya sedang proses pencarian. Mendengar itu mukaku merah padam dan mulutku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Apalah daya sekarang ini, tunggu sembuh jebol kebelenggu. Kuratapi diriku yang bodoh, terlalu luluh oleh kalimat manis Gandi. Temanku itu kini seperti sebajingannya manusia, aku benci dia.
Hari-hari kulalui di dalam belenggu sempit nan dingin bersama beberapa narpidana lainnya. Aku semakin benci hidup, apalah gunanya aku terlahir di dunia ini, saat aku sedang meratapi nasib, salah seorang sipir polisi menyebut namaku, katanya ada yang ingin berkunjung. Aku heran sekaligus bingung siapa gerangan yang ingat pada diriku yang hampa ini. Saat aku menuju ruang berkunjung sontak aku kaget,
"Malik." Kata ustadz Musthafa. Didampingin kiyai pengasuh pesantrenku dulu.
"Kiyai, maafkan semua kesalahan, Malik." Langsung saja aku bersimpuh di hadapan kiyaiku itu tangisku pecah sejadi-jadinya.
"Duduk dulu, Nak," Ucap kiyai dengan lembut.
"Ceritalah, Nak bagaimana sampai kamu bisa-bisanya di sini?" Mendengar hal ini, aku menumpahkan semuanya mulai saat aku kabur dari pesantren hingga akhirnya aku dijobloskan ke dalam jeruji.
Orang tua sesepuh pesantrenku itu dengan khidmah mendengar curahan kata demi kata yang kulepaskan padanya. Dengan panjangnya utaran ceritaku itu, akhirnya dia angkat suara saat kukatakan,
"Malik menyesal sekali tidak mendengarkan ucapan Bang Rudy saat itu, Kiyai"
"Berarti kamu sempat juga diladeni oleh si Rudy itu? Cukuplah, Nak, jika kamu sudah menyadari kesalahanmh dan ingin bertaubat, silahkan saja, pintu taubat terbuka lebar untukmu. Yang terpenting adalah sel ini sebagai alat yang bagus melepasmu dari belenggu kedurjanaan. Kamu salah kaprah dalam memahamkan dirimu saat stres menghantui jiwamu."
Petuah-petuahnya seprti melahirkanku kembali ke dunia ini, segala bentuk kebencian terhadap apa pun seketika sirna. Terpenting bagiku sekarang adalah aku berjanji untuk kembali ke pesantren setelah keluar nanti. Aku ingin memulai dari nol lagi menjadi santri, niat ini sudah kuurungkan baik-baik di dalam benakku.
Setiap kali kamu memiliki penyakit hati, jangan langsung mengambil langkah, itu namanya salah kaprah. Karena sejatinya adalah membuat keputusan itu saat waktu luang dan mengambil kesabaran sebagai bagian yang sehat saat berada di dalam waktu kesempitan. Karena Rasulullah berpesan dalam salah satu hadistnya, "Kenalilah Allah di waktu luang niscaya Allah akan mengenalimu di waktu susah. HR. Hakim.
Ditulis di Auditorium Darul Amin-Gedung Sudan dan Gedung Mekkah.
Sabtu, 31 Agustus 2024.