Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Salah Asuh, Salah Arah
1
Suka
1,428
Dibaca

“Menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa, Sandy Rahman, atas tindak kejahatan perampokan disertai pembunuhan berencana.”

Hakim mengetukkan palu tiga kali. Suara kayu itu bergema di ruang sidang, menembus dada semua orang yang hadir sore itu.

Ruangan seketika hening. Lalu tangis keluarga korban pecah. Mereka sangat puas dengan putusan hakim. Menurut mereka ini adalah hukuman yang pantas Sandy terima.

Sandy, lelaki berusia 24 tahun, menunduk dengan mata merah basah. Tangan mudanya yang diborgol gemetar. Di kursi belakang, seorang wanita paruh baya menjerit pelan sambil menutup mulutnya—Ibu Firda, ibunda Sandy. Tubuhnya goyah, matanya menatap anak semata wayangnya yang kini akan kehilangan hidupnya sendiri.

Kala itu, di tengah malam yang sunyi Sandy menyelinap masuk ke rumah Airin—seorang janda kaya. Rumahnya paling bagus di banding rumah warga kampung lainnya. Airin bisa dibilang masih tetanggaan dengan Sandy dan Ibu Firda.

Saat itu, Sandy sangat membutuhkan uang untuk sekadar berfoya-foya sekaligus membeli minuman beralkohol bersama kawan-kawannya. Sandy gelap mata. Ia menggasak seluruh harta benda milik Airin. Lalu membunuh dengan sadis Airin dan anak lelakinya yang baru berusia enam tahun.

Airin gagal berteriak meminta tolong. Nyawanya keburu direnggut oleh golok yang digenggam Sandy.

Sandy mencoba bicara, suaranya serak menahan sesal.

“Yang Mulia,” katanya dengan napas terputus-putus. “Kalau boleh saya minta sesuatu…”

Hakim memandangnya tajam. “Apa itu?”

Sandy menegakkan tubuhnya, lalu menatap ibunya yang masih menangis.

“Tolong… hukum juga ibu saya.”

Ruang sidang bergemuruh. Hakim tertegun. “Apa maksudmu?”

“Ibu saya harus ikut dihukum mati,” katanya pelan tapi tegas. “Karena semua ini… karena beliau juga bagian dari kesalahan saya.”

Tangis Ibu Firda makin keras.

Tapi Sandy terus berbicara.

“Sejak kecil, saya sering mencuri. Makanan, uang, mainan teman-teman. Setiap kali orang-orang marah, Ibu selalu datang membela saya. Katanya, ‘Anak saya nggak mungkin mencuri.’ Padahal saya memang mencuri, Yang Mulia. Saya mencuri, dan tidak pernah ditegur.”

Suaranya pecah di antara isak. “Saya pikir itu hal biasa. Karena Ibu saya tidak pernah bilang itu salah. Saya tumbuh dengan pikiran bahwa berbuat jahat bisa dimaafkan, asal ada alasannya.”

Hakim terdiam. Semua orang di ruangan itu juga tak sanggup berbicara.

“Ibu saya terlalu sayang kepada saya,” lanjutnya. “Saking sayangnya, apabila saya berbuat salah beliau tidak pernah menegur serta menasihati saya. Dan sekarang, lihatlah hasilnya, Bu.” Sandy menatap ibunya. “Saya jadi pembunuh. Dan Ibu tetap bilang saya anak baik.”

Ibu Firda menunduk, menekap wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya terdengar menyesakkan.

Hakim akhirnya berkata pelan, “Permintaanmu tidak dapat dikabulkan. Ibumu tidak terbukti bersalah di mata hukum.”

Sandy hanya mengangguk. “Baik, Yang Mulia. Tapi biarlah Tuhan yang menilai nanti.”

Sejak hari itu, nama Sandy Rahman memenuhi berita. Di media sosial, orang-orang berdebat. Ada yang menyebutnya monster, ada yang menulis bahwa ia korban pola asuh yang gagal. Tapi bagi Ibu Firda, tak ada perdebatan—hanya penyesalan yang menghantam setiap hari.

Ibu Firda berhenti bekerja. Setiap pagi, ia datang ke lembaga pemasyarakatan membawa makanan kesukaan anaknya yakni, sayur lodeh dan ayam goreng. Ia menatap wajah Sandy dari balik kaca pembatas, mencoba tersenyum, tapi air matanya selalu menetes lebih dulu.

“Maafkan Ibu, Nak." Ibu Firda terisak lirih, teramat bersalah.

“Sudah, Bu. Jangan menangis terus,” jawab Sandy pelan. “Menangis nggak akan mengubah apa pun.”

“Tapi Ibu ingin bisa menggantikan kamu di sana. Biar Ibu saja yang dihukum mati."

Sandy tersenyum getir. “Kalau saja bisa, Bu. Tapi nggak. Semua udah terlambat. Dunia ini adil dengan caranya sendiri.”

Ia menatap ibunya dalam-dalam. “Ibu tahu, dulu saya bangga waktu Ibu bela saya dihadapan orang-orang. Saya pikir Ibu pahlawan saya. Tapi ternyata saya salah. Justru Ibu sedang menjerumuskan saya pelan-pelan, Bu.”

Tangis Ibu Firda kembali pecah. Ia melakukan hal itu semata-mata demi putra semata wayangnya. Ia telah berjanji kepada almarhum suaminya untuk senantiasa menjaga, menyayangi, dan melindungi putra mereka.

***

Malam sebelum eksekusi, langit di atas penjara mendung. Hujan turun tipis-tipis seperti ikut berduka. Sandy duduk di selnya, menulis sesuatu di atas kertas putih. Ia menulis dengan tangan gemetar, sesekali menatap dinding lembab, lalu menunduk lagi.

“Untuk Ibu,” ia tulis di baris pertama.

Pukul tiga dini hari, petugas datang menjemputnya. Sandy hanya meminta satu hal agar surat itu diberikan kepada ibunya setelah semua selesai.

Ia berjalan tenang menuju lapangan eksekusi, diiringi doa dari seorang pemuka agama penjara. Bibirnya bergetar, tapi bukan karena takut—melainkan karena ingin memaafkan.

Peluru pertama menembus keheningan dini hari. Dunia berhenti sejenak.

***

Esoknya. Jenazah Sandy dimakamkan di TPU Jakarta Timur. Hanya ada beberapa orang yang hadir. Ibu Firda berdiri di dekat liang, tubuhnya nyaris tak sanggup tegak.

“Sandy… anak Ibu…,” jeritnya pelan. “Maafkan Ibu…” bahunya terguncang hebat.

Usai pemakaman, seorang petugas penjara datang menghampiri. Ia menyerahkan amplop berwarna putih. “Ini surat dari almarhum,” katanya singkat.

Ibu Firda memeluk surat itu erat-erat seakan di dalamnya masih tersisa napas anaknya. Ia menunggu hingga malam tiba untuk membacanya.

Malam itu, di kamar dengan lampu temaram, Ibu Firda membuka amplop itu perlahan. Tangan tuanya gemetar. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang rapi, tapi bergetar.

Isinya:

Untuk Ibu yang paling saya cintai,

Kalau surat ini sampai di tangan Ibu, berarti saya sudah gak ada lagi di dunia ini. Jangan menangis terlalu lama, Bu. Saya gak mau kepergian saya membuat Ibu sakit.

Saya menulis surat ini bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengembalikan kejujuran yang selama ini hilang di antara kita.

Bu, saya tumbuh dengan keyakinan bahwa setiap kesalahan cukup dimaafkan tanpa harus diperbaiki. Setiap kebohongan bisa dibiarkan asal gak ketahuan. Setiap dosa bisa ditutupi oleh cinta seorang ibu.

Tapi ternyata saya salah, Bu. Dunia gak bekerja seperti itu. Hukum gak mengenal kasih sayang. Dan Tuhan… Tuhan gak bisa dibohongi oleh air mata.

Saya masih ingat waktu saya mencuri uang jajan teman saya di SD. Ibu datang marah-marah ke wali kelas saya dan bilang, “Anak saya nggak mungkin mencuri!” Saya senang sekali waktu itu. Rasanya saya pemenang. Tapi di hari yang sama, sesuatu di dalam diri saya telah mati, yaitu rasa malu. Sejak saat itu, saya gak tahu lagi mana yang salah dan mana yang benar.

Saya bukan hanya gagal jadi anak baik, Bu. Tapi Saya juga gagal jadi manusia. Tapi kegagalan itu lahir dari kasih Ibu yang tidak pernah menegur di saat Saya berbuat salah.

Saya tahu Ibu melakukan semuanya karena cinta. Tapi cinta itu justru bisa membunuh, Bu. Bukan dengan pisau atau racun, tapi dengan pembenaran yang terus-menerus.

Saya gak marah pada Ibu. Nggak. Saya justru berterima kasih. Karena lewat Ibu, saya tahu betapa bahayanya cinta yang gak punya batas.

Kalau waktu bisa diulang, saya ingin Ibu memarahi saya, menampar saya, menghukum saya, asal saya gak berakhir di sini. Tapi waktu gak bisa diulang kembali, bukan?

Jadi saya tulis surat ini agar gak ada lagi anak seperti saya, dan gak ada lagi ibu seperti Ibu.

Bu, tolong lakukan satu hal untuk saya.

Setiap kali Ibu melihat anak kecil berbuat salah, jangan bilang “nggak apa-apa.” Katakan padanya, “Itu salah.” Ajari dia tanggung jawab, walaupun hatimu sakit. Karena itulah bentuk cinta yang paling jujur.

Saya sudah memaafkan Ibu. Tolong Ibu juga maafkan saya.

Terima kasih sudah melahirkan saya, Bu.

Terima kasih sudah mencintai saya, bahkan dengan cara yang salah.

Doakan saya diterima di tempat yang lebih baik.

Dan semoga suatu hari nanti, kita bisa bertemu lagi—bukan sebagai ibu dan anak yang saling menyesal, tapi sebagai dua jiwa yang akhirnya mengerti arti cinta yang benar.

Dari anakmu,

Sandy

Selesai membaca surat itu, Ibu Firda menjatuhkan diri ke lantai. Tangisnya meledak seperti badai yang tak tertahan.

“Ya Tuhan…,” suaranya parau, “kenapa baru sekarang aku mengerti…”

Surat itu basah oleh air mata. Setiap kata terasa seperti pisau yang menembus jantungnya sendiri.

Sejak malam itu, Ibu Firda tak lagi banyak bicara. Ia memutuskan mengajar anak-anak di lingkungan rumahnya membaca, menulis dan berhitung. Ia tidak mematok harga. Setiap kali ada anak yang berbuat salah, ia akan menegur dengan lembut tapi tegas.

Ia tahu, itu caranya menebus kesalahan yang tak mungkin dihapus.

Di atas bufet ruang tengah, surat Sandy tersimpan rapi di dalam bingkai kaca.

Dan setiap kali ia menatap surat itu, air matanya jatuh lagi. Tapi kini, bukan karena penyesalan, melainkan karena akhirnya ia paham—bahwa kasih yang benar itu bukan melindungi dari kesalahan, melainkan membimbing untuk tidak mengulanginya.

Kasih bukan berarti selalu membenarkan. Kadang, justru harus berani mengatakan 'kamu salah.'

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Sunshine in the Rain
Layaprilese
Flash
Bronze
Makan Di sini Apa Dibungkus?
Reyan Bewinda
Cerpen
Salah Asuh, Salah Arah
Amelia Purnomo
Novel
SUNSET
Murti Wijayanti
Flash
Penghuni Baru
Cassandra Reina
Cerpen
MAWAR-MAWAR
Ani Hamida
Skrip Film
Khayal
Felix Martua
Skrip Film
Bertahan atau Pergi
FARISKA
Skrip Film
Adam
Yurgen Alifia Sutarno
Flash
Upacara pagi pancasila
Rizky aditya
Flash
Bronze
Anak Jambret
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Karmini Karmila
SURIYANA
Flash
Pemilik Kontrakan
Martha Z. ElKutuby
Flash
Kamu Ketauan!!!
EYN22
Flash
Bising
A. R. Tawira
Rekomendasi
Cerpen
Salah Asuh, Salah Arah
Amelia Purnomo
Cerpen
Dendam Arwah
Amelia Purnomo
Cerpen
Numpang Ke Kamar Mandi
Amelia Purnomo
Cerpen
Pengajian
Amelia Purnomo
Cerpen
Langkah Sepatu Bot
Amelia Purnomo
Cerpen
Besuk
Amelia Purnomo
Cerpen
Boneka Terkutuk
Amelia Purnomo
Cerpen
Dendam Barbie
Amelia Purnomo
Cerpen
Terror Anggia
Amelia Purnomo
Cerpen
Bronze
Ulang Tahun
Amelia Purnomo
Cerpen
Cosplay Jadi Guling
Amelia Purnomo
Cerpen
Video Call
Amelia Purnomo
Flash
Rumah Mbakku
Amelia Purnomo