Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lihatlah dari sudut pandang berbeda! Seorang most wanted yang diidam-idamkan gadis seluruh sekolah, hanya siswa lugu nan polos di depan rekan sekelasnya. Rantai tak henti menjerat, entah sampai kapan dirinya menjadi seperti hewan kecil.
Pohon sakura! Kubilang lari ke sana! Dengarkan, lalu kau akan bisa menemuiku.
"Tak setinggi mereka lihat.
"Sang ksatria anggun nan jauh di sana.
"Demi pohon sakura kuberharap kahyangan bersudi."
Han Jisung dan Moon Chi-oh—nama diambil dari kata 꽃 (kkoch) yang berarti bunga atau mekar, di Kota Gyeongju.
Sakurawisher, cerpen kedua dari seri 8 Spring Session, kisah-kisah bertema musim semi dengan latar tempat berbagai destinasi wisata di Korea Selatan.
Sapaan tiada henti dari gerbang masuk sekolah, senyum manis Han membuat para gadis berteriak histeris. Namun, semua menjadi mimpi buruk sesaat setelah Han memasuki kelas 10-2.
Dia menunduk ketika beberapa siswa lelaki mendekat. Berada di balik pintu, tak ada orang di luar sana yang mengetahui ada apa gerangan. Seisi kelas bagai melihat pertunjukan komedi, tertawa puas mengetahui Han dibuat bahan hajaran dan senang-senang.
Satu siswi yang hanya memandang tanpa memberi reaksi. Han menyipit sambil merintih—lebam sebelumnya belum sembuh, sudah ditambah lagi. Gadis itu selalu ada di sana tiap kali dia dirundung.
Jam pertama ada pelajaran olahraga. Han membencinya. Bukan karena Pak Ryeon serba menginginkan nilai tinggi semua siswa atau materi merepotkan, melainkan waktu lengah—siswa lain maupun guru—yang memberi kesempatan emas temannya untuk mati-matian merundung.
Usai berganti ke setelan olahraga, Han bergegas menuju lapangan, berharap bertemu Pak Ryeon sehingga dia bisa aman. Sayang, mereka lebih dulu mengejar.
“Han! Aku ingin juga ingin populer sepertimu! Ayo kita berteman!”
Kebohongan seperti itu menjijikan bagi Han. Dia berlari menuju bagian belakangan sekolah. Muak terus-terusan menjadi hewan kecil yang tak pernah dianggap.
Pohon besar menebar kelopak sakura bermekaran di mana-mana. Tak sedikit berjatuhan, menghias rerumputan hijau, belum kunjung habis juga si merah muda di antara para ranting.
Han tak sengaja mengalihkan pandangan sebentar. Gadis yang selalu hadir ketika dia dirundung, berdiri jauh darinya, memandang Han lekat.
Daun dan sakura lebat, semoga bisa menyembunyikan Han. Dia melompat begitu jarak dengan pohon tersisa setengah meter. Meraih cabang terpendek, kemudian menapakkan kaki pada batang utama, berusaha naik ke bagian lebih tinggi.
Mendadak jari-jari Han terlepas. Spontan berusaha meraih pegangan beberapa kali, tapi nihil. Jantung berdetak kencang tak karuan. Sensasi tarikan gravitasi terasa nyata. Han menutup mata. Hanya bisa menyerah pada keadaan.
“Apa yang kau inginkan, lelaki?”
“Aku tak mau menjadi lemah.” Han mendengar suaranya sendiri.
Dalam sekejap, Han membuka mata lebar. Menatap sekeliling bingung. Dia tidak menghantam tanah, justru berdiri tegak di depan pohon sakura.
Satu sakura gugur dari ranting. Han mengingatkan persis. Sesaat sebelum dia melompat dan meraih cabang pohon, ada bunga yang terjun perlahan. Waktu telah mundur?
Belum sempat Han mencerna keadaan, seruan tak asing mendadak membuat tubuhnya gemetaran. Dia seharusnya bergerak cepat, lelaki teman sekelas sialan itu berhasil menyusul.
Han gelagapan mencari tempat kabur, tetapi dia mengurungkan niat saat gadis yang semula berdiri di sana, berjalan ke arahnya.
Di saat bersamaan, tanpa sadar kerah kaos Han ditarik. Dia bergidik ngeri membayang sakit sekujur tubuh tak lama setelah ini. Namun, sebelum pukulan sempat mendarat si wajah Han, tiba-tiba gadis itu menjauhkan si lelaki dengan kasar.
Tiga lelaki menyebalkan terkejut. Serangan balik datang dalam waktu dekat. Si gadis menahan sekaligus mendorongnya hingga jatuh. Suara keras menghantam tanah dan rintihan terdengar dari mereka.
Gadis itu tak peduli. Dia asal menggandeng Han. “Kita pergi.”
Moon Chi-oh hampir tak pernah bicara. Dia menutup diri. Suasana kelas tak berubah meski ada atau tiada Moon Chi-oh. Namun, tindakannya hari ini memberi dampak besar.
Han mengeratkan dua tangan di dalam saku blazer. Semilir angin musim semi hangat ketika siang. Begitu menjelang malam, suhu berangsur turun. Meski begitu, cahaya terang keemasan dari Jembatan Woljeong terlalu sulit untuk ditinggalkan.
Jembatan bergaya khas bangunan tradisional Korea. Gapura di kanan kiri seakan mengucap selamat datang. Lima kaki menyangga kokoh. Pilar berjajar membantu atap genting melindungi insan-insan di bawahnya.
“Cantik ya ….”
Chi-oh mengangguk. Bulatan kecil menyala kuningan jauh di sana, menghias gelap cakrawala bersama gemerlap bintang. Sakura sepanjang sungai sesekali berayun. Dari sudut tertentu, terlihat seperti penghias langit pula.
“Sepertimu.” Han menoleh pada gadis di sebelahnya. Senyum lebar merekah.
Chi-oh hampir tak sadar, hubungan mereka kian rekat semenjak dia berkali-kali membela Han tiap diganggu. Bahkan, saat ini tak ada yang berani macam-macam pada si most wanted sekolah. Dia senang tak perlu sendirian lagi di kelas. Han yang selalu mendekat demi perlindungan, perlahan menjadi akrab dengannya.
Memikirkan itu semua, Chi-oh jadi gusar. Dua minggu setelah dia menggandeng Han pergi dari tiga lelaki menyebalkan di belakang sekolah—tepatnya siang tadi, dia dikejutkan oleh selembar kertas di meja Siho.
Chi-oh mengerutkan alis, lantas merebut kertas. Nama Han Jisung tertera. Di bawahnya, ada beberapa catatan pelanggaran. Seingat Chi-oh, Han tak pernah melakukan itu. “Apa-apaan?” Dia beralih menatap Siho sinis. “Kau tahu ini berdampak fatal, ‘kan?”
Sebagai asisten wali kelas—termasuk mengurus absensi dan bagian kesiswaan lain—Siho berhak membuat catatan pelanggaran dan dia pasti akan dipercaya. Tak perlu hal rumit, selembar kertas itu cukup sebagai bukti.
Chi-oh menimbang-nimbang. “Kurasa kau bukan tipe orang seperti ini. Aku tak ingat kau pernah ikut campur mengusik Han, meski terkadang ikut menertawakannya.” Chi-oh meletakkan dua tangan di atas meja. Mempersingkat jarak. Hanya ada mereka di kelas, dia tak perlu menahan diri. “Ada apa?”
Siho tak kunjung menjawab.
Pupil Chi-oh bergeser ke arah jendela kelas. Empat gadis berjalan melewati lorong depan kelas. Seru membicarakan sesuatu bersama-sama, juga sempat terlihat kesal. Chi-oh familiar dengan siswi yang seakan menjadi ratu di antara mereka.
Chi-oh beralih pada Siho. Lelaki itu memandang jendela kelas dengan sorot penuh arti. “Kau benar-benar dikendalikan oleh cinta ya?”
“Dia tak suka keberadaanmu di dekat Han.” Siho beralih dari salah satu gadis yang melintas barusan. “Dengan kemampuan bela diri dan keberanianmu, percuma saja menyingkirkan dengan cara apa pun. Maka karena itu …,” sorot Siho berubah tajam, “aku memilih target yang tak mungkin kau abaikan.”
Seketika Chi-oh tercekat. Siho yang mengambil alih kertas darinya dengan kasar, menambah pikiran buruk. “Aku tak akan berurusan dengan Han lagi … sebagai gantinya, janji jangan serahkan catatan pelanggaran palsu itu!”
Jembatan Woljeong sepertinya akan menjadi saksi terakhir senyum manis Chi-oh di hadapan Han. Bersama sakura mengukir sapuan merah muda di titik kecil kenangan tiap pengunjung, Chi-oh merelakan Han dari sisinya.
Han tak habis pikir akan perubahan mendadak sikap Chi-oh. Dia selalu menghindar tiap kali Han mengajak bicara. Kian keras berusaha, Chi-oh justru meninggalkan kelas entah kemana.
Mengetahui Han kehilangan sang ksatria anggun, sedikit demi sedikit aksi para teman sekelas menyebalkan dimulai lagi. Sekadar candaan dan menetawai, lalu menampar pelan, menarik blazer, dan kembali menjadikan Han sebagai sasaran melampiaskan emosi.
Jam pelajaran olahraga sempat terasa menyenangkan, sekarang lagi-lagi menjadi bak jurang dalam, gelap, penuh tumbuhan berduri tajam.
Tiada tempat lari selain pohon sakura di bagian belakang sekolah yang melintas di benak Han. Belum-belum, dia terkunci di balik batang besar, kerah bajunya dicengkram kuat hingga terasa nyeri di leher. Mereka kian kesal karena Han sempat berada di zona aman.
Tiba-tiba tangan si lelaki menyebalkan dihempaskan menjauh. Han spontan membungkuk dan menekuk lutut, memegang leher yang masih tak nyaman. Memandang merah muda sakura berceceran di atas tanah sambil menenangkan diri, dia mendengar suara perkelahian.
Berselang sebentar, sekeliling berangsur tenang. Han mendongak. Masih gadis yang sama, Moon Chi-oh. Walau tak berbicara pada Han, Chi-oh selalu datang ketika Han berada dalam situasi buruk.
Sama juga seperti sebelumnya, Chi-oh akan pergi setelah itu.
“Chi-oh!” Kali ini Han menahan si gadis, tak mau melihatnya menjauh. “Ada apa?” Dia masih belum mengerti kenapa Chi-oh menjadi sangat menghindarinya.
Chi-oh mendongak memandang kelopak merah muda bermekaran lebar, seolah tak sabar jatuh ke pelukan tiap orang yang dijumpa. “Yang perlu kulakukan hanya melindungimu.”
“Apa kau datang karena permintaanku pada sakura?”
Tatapan Chi-oh belum beralih. Dia tak terlihat ingin merespons ucapan Han.
Sudut bibir Han terangkat miris. “Jadi semua ini demi sakura ya?”
Chi-oh langsung tertegun. Buru-buru mengalihkan pandangan menuju si pemuda. “Han ....”
Sayang, dia terlambat. Han telah meninggalkan pohon sakura. Melangkah menuju lorong kelas.
Chi-oh tak lagi memikirkan kemana harus jalan-jalan sepulang sekolah. Bahkan acara andalan ketika musim semi, tak membuat suasana hatinya membaik maupun semangat terpompa.
Festival musim semi sekolah diadakan bersamaan dengan kegiatan serupa yang diselenggarakan Kota Gyeongju di Danau Bomun. Sakura mengelilingi air, juga tak membiarkan satu pandangan pun terlena dari sapuan merah muda.
Berada di tengah-tengah Kompleks Wisatawan Bomun, bangunan-bangunan tradisional Korea bertengger di segala sisi. Konstruksi kayu dengan arsitektur penuh gaya seni khas, unik dan menarik perhatian khusus tiap pasang mata.
Panggung berdiri di seberang jalan, menghadap Danau Bomun. Satu dua penonton—dari maupun luar sekolah—setia duduk manis. Padahal, siswa yang akan mengisi akan mengisi acara masih bersiap di belakang.
“Umm … semuanya.” Suara keras Han menggema melalui microphone panggung.
Jaket hitam bergaris biru tua di pergelangan tangan, lingkar bawah dan kerah sampai hoodie, membedakannya dari siswa lain yang mengenakan blazer di balik kemeja putih dan rok atau celana berwarna senada.
“Sebelum acara pembuka dimulai, aku ingin mengatakan sesuatu.”
Semua siswa, terutama pada gadis bergegas mendekati panggung. Tak ingin melewatkan most wanted idaman barang sedetik.
“Tunggu sebentar.” Han melangkah turun, menggandeng Chi-oh yang sejak tadi berdiri di samping panggung. Kemudian kembali meraih microphone panggung. “Mulai sekarang, gadisku hanya …,” Han melingkarkan lengan pada pundak, mendekatkan keduanya, “Moon Chi-oh.”
Chi-oh terbalalak seiring sorak sorai bersahut-sahutan—ada yang iri, kesal, mendukung, dan sebagainya. Dia memandang Han tak percaya, sedangkan sorot pemuda itu tak memancar keraguan sama sekali.
“Jika kalian menyakiti Chi-oh, maka aku juga tersakiti. Begitu pun sebaliknya.” Han terlihat serius. “Jangan lengah! Meski tak di sini, aku tetap bisa mengawasi kalian semua!”
Pertanyaan seputar maksud ucapan Han terdengar beberapa kali. Namun, pemuda itu tak menggubris. Dia melirik Siho beberapa meter dari panggung—terpisah dari siswa yang heboh menontonnya—sesaat, lantas mengucap perpisahaan dan turun dari panggung.
Pembawa acara mengambil alih panggung, menarik perhatian para siswa sehingga Han bebas dari gadis-gadis yang masih penasaran.
Han tak akan memandang Siho dengan cara yang sama. Beberapa hari lalu, Han dipanggil ke ruang guru. Dia terkejut saat tiba-tiba ditendang keluar dari sekolah. Berapa pun kali mengelak tak berguna, bukti dan alasan yang dimiliki guru terlalu kuat.
Sesaat telah meninggalkan ruang guru, Han mendapati kehadiran Siho.
“Han, maksudmu tadi ….”
Pemuda itu menghentikan langkah. Menggeser posisi tubuh yang semula berjajar, kini menghadap Chi-oh. Dia membuka jaket, memperlihatkan setelan kemeja, blazer, dan dasi dengan warna, motif, serta badge berbeda.
Chi-oh sungguh ingin menganggap ini mimpi. “Mana mungkin ….” Nanar memandang seragam asing milik Han. “Siho berkhianat?”
Han mengangguk kecil. “Siho mengatakan semuanya padaku, termasuk janji kalian. Itukah yang membuatmu tiba-tiba menjauh?”
Chi-oh menunduk lesu. “Aku tak punya pilihan lain.”
“Sekarang jangan seperti itu lagi.” Han melembut. Dia melepas jaket dari kedua lengan, lalu memakaikannya pada Chi-oh. “Kau bilang hanya perlu melindungiku? Kalau begitu, aku juga akan melindungimu.”
“Han ….” Bola mata Chi-oh berkaca-kaca. Lama sekali sejak pemuda itu tersenyum manis, dia sangat merindukannya.
“Sebelum kita berpisah, mau jalan-jalan dulu?” Lekuk bibir Han terangkat kian lebar.
Chi-oh mengangguk semangat.
Han mengacak rambut Chi-oh gemas. Kemudian menggandeng tangannya, menyusuri jalan, mengelilingi biru segar Danau Bomun. Terpaan angin membawa bunga sakura berterbangan. Juga berguguran, ada satu yang sampai di tangan Chi-oh.
“Aku tak sabar menunggu hari di mana sakura menjadi saksi ikatan kita lagi.”
Han merebutnya, lantas meletakkan di sela telinga si gadis. “Pohon sakura membawamu padaku, Chi-oh. Kahyangan benar-benar bersudi menyerahkan salah satu putrinya.” Dia mempererat genggaman pada jemari Chi-oh. “Jangan lupakan aku sampai pertemuan selanjutnya datang. Mengerti?”