Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku masih ingat aroma tanah setelah hujan di sore itu, hari di mana Kaito pertama kali mengucapkan kata "cinta". Tapi yang lebih melekat justru rasa getir di kerongkongan, seperti menelan pil pahit yang terselip di antara butiran coklat.
"Haruka, kau tahu... perasaanku padamu itu seperti bunga sakura. Indah tapi sebentar," bisiknya suatu malam di bawah lampu jalanan dekat kuil, tangannya menggenggam erat jemariku.
Aku hanya mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Di balik metafora puitisnya, tersimpan kebenaran yang menyakitkan: dia sudah mempersiapkan akhir sebelum kita benar-benar mulai.
"Kenapa kau selalu memilih hari Minggu untuk pertemuan kita?" tanyaku saat kita duduk di bangku taman, daun maple mulai menguning.
Kaito menatap jauh ke arah kolam yang dipenuhi ikan koi. "Karena hari Minggu terasa seperti jeda. Bukan akhir, bukan awal. Cocok untuk sesuatu yang... tidak punya tempat."
"Apa kita termasuk 'sesuatu' itu?"
Dia tak menjawab. Hanya mengulum senyum getir yang sudah terlalu sering kulihat. Tangannya memainkan daun maple kering yang jatuh di antara kami, memutarnya-mutar sebelum akhirnya dilepaskan tertiup angin.
"Kau terlalu banyak berpikir, Haruka."
"Dan kau terlalu sedikit."
Dia menarik napas dalam. "Ayahku mungkin akan dipindahkan ke Osaka."
Dunia berhenti sejenak. "Kapan?"
"Masih belum pasti. Mungkin tiga bulan lagi, mungkin enam."
Aku menatapnya, mencari sesuatu di matanya—sedikit kepastian, sedikit perlawanan. Tapi yang kutemukan hanya penerimaan, seperti dia sudah tahu dari awal bahwa ini akan terjadi.
Ibuku pernah bilang, mencintai seseorang seperti Kaito itu seperti memeluk kaktus. Semakin erat kau mendekap, semakin banyak duri yang menusuk. Tapi saat kau melepaskannya, yang tersisa adalah bekas yang dalam dan rasa sakit yang tak mudah hilang.
"Aku tidak bisa berjanji," ujarnya malam itu di telepon, suaranya parau. "Dengan keadaan seperti ini, aku tidak ingin berbohong padamu."
"Lalu kenapa kau terus mendekat?" desakku, suara bergetar menahan tangis. "Kenapa kau buat aku jatuh cinta jika dari awal kau tahu akan berakhir seperti ini?"
Diam sejenak di ujung telepon, hanya terdengar tarikan napasnya yang berat. "Karena melihatmu adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa masih hidup. Karena denganmu, untuk pertama kalinya aku merasa... berarti."
Kalimat itu seharusnya romantis. Tapi kenapa rasanya seperti pisau tumpul yang menyayat perlahan? Seperti dia mencintai aku karena kebutuhannya, bukan karena aku sendiri.
Di festival musim panas, di antara suara serangga dan lentera-lentera kertas yang bergoyang lembut, untuk sesaat aku lupa bahwa ini semua hanya sementara. Kaito membelikanku apel caramel, tangannya sesekali menyentuh pundakku dengan gerakan ragu-ragu, seolah takut meninggalkan bekas.
"Kau terlihat cantik dengan yukata biru itu," bisiknya, matanya berbinar dalam cahaya lampion.
Dadaku berdebar. Ini yang kutunggu—kehangatan yang tidak disertai bayang-bayang perpisahan. Saat itu, di antara kerumunan orang yang tertawa dan bersorak, kami berdua seperti pasangan biasa. Bukan dua orang yang menghitung hari sampai berpisah.
Tapi kemudian, di tengah kembang api yang meledak di langit malam, menyala dalam warna-warni gemilang, matanya berkaca-kaca.
"Indah, ya?" katanya, suaranya hampir tertelan suara ledakan kembang api. "Tapi lihat, dia menghilang lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk muncul."
Aku menggenggam tangannya erat. "Tapi kenangan keindahannya tetap ada, Kaito. Itu yang penting."
Dia memandangku, ada sesuatu yang pecah di balik senyumannya. "Kau selalu begitu, Haruka. Selalu melihat yang tersisa, bukan yang hilang."
Aku ingin berteriak bahwa itu karena aku mencintainya lebih dari dia mencintai aku. Tapi kumakan saja apel caramel itu, rasa manisnya berubah getir di lidah.
"Jatuh cinta itu seharusnya menyenangkan, bukan?" keluhku pada Saki, sahabatku, sambil memutar-mutar sedotan di kedai kopi favorit kami. Di luar jendela, hujan mulai turun, membasahi jalanan yang sudah diselimuti daun-daun maple.
Saki menghela napas, menyeruput kopinya pelan-pelan. "Kau memilih untuk mencintai pelukis yang terobsesi dengan kesementaraan, Haruka. Apa kau kira itu akan mudah? Dia melihat segala sesuatu dalam frame keindahan yang fana. Termasuk cinta."
"Tapi cinta bukan pilihan, kan? Dia datang seperti angin, tidak peduli apakah kita siap atau tidak."
"Dengarkan," Saki menatapku serius, "aku tidak meragukan perasaanmu. Tapi kau harus siap. Hubungan seperti ini... akan berakhir dengan air mata. Sudah bisa kulihat dari caranya memandangmu—seperti sesuatu yang terlalu berharga untuk disimpan."
Air mata akhirnya tumpah. "Apa salahku mencintainya dengan tulus?"
"Tidak salah, Sayang. Hanya saja... kadang cinta yang tulus saja tidak cukup."
Puncaknya adalah di stasiun kereta, hujan November membuat semuanya terasa lebih suram dan dingin. Kaito berdiri di sana, tas ranselnya sudah terlihat penuh, pakaiannya rapi seperti biasanya. Tapi ada sesuatu yang berbeda—cahaya di matanya sudah padam.
"Ayahku dipindahkan ke Osaka. Keluarga kami akan pindah bulan depan," ucapnya, suaranya datar. Seperti sudah menerima takdir tanpa perlawanan.
"Kita bisa tetap bertemu—" suaraku tercekat. "Aku bisa naik kereta, atau—"
"Dengarkan," potongnya, mata yang dulu selalu hangat sekarang dingin bagai es. "Ini sudah sulit. Jangan buat lebih sulit."
Air mataku jatuh, bercampur dengan rinai hujan yang menempel di jendela stasiun. Aku ingin memprotes, ingin berteriak bahwa cinta seharusnya bisa mengatasi jarak, bahwa kami bisa mencoba. Tapi yang keluar dari mulutku justru:
"Kalau begitu, selamat tinggal, Kaito."
Dia memelukku erat, pelukan perpisahan yang terasa seperti pengakuan kekalahan. Dadanya naik turun, dan untuk pertama kalinya, kudengar isak tangisnya. Pelan, tersedu, seperti anak kecil yang kehilangan mainan favoritnya.
"Aku... benar-benar mencintaimu, Haruka," bisiknya di telingaku. "Itu yang membuat segalanya lebih menyakitkan."
Kemudian dia melepaskanku, berbalik, dan masuk ke dalam kereta tanpa menengok kembali. Aku berdiri di sana, dibasahi hujan dan air mata, menyaksikan kereta membawa cinta pertamaku pergi untuk selamanya.
Bulan-bulan berikutnya aku habiskan dengan mempertanyakan segalanya. Apa arti semua momen indah itu jika berakhir seperti ini? Kenapa justru kenangan menyakitkan yang paling jelas terukir? Setiap sudut kota ini seakan menyimpan bayang-bayang Kaito. Bangku taman tempat kami biasa duduk, kedai kopi favorit kami, bahkan jalur menuju kuil itu—semuanya menjadi pengingat akan sesuatu yang telah pergi.
"Aku tidak bisa begini terus," keluhku pada Saki di suatu sore yang hujan. Kami duduk di kamarku, album foto terbuka di atas kasur. "Setiap hari terasa seperti berjalan di atas kaca."
Saki menutup album itu perlahan. "Maka berhentilah melihat ke belakang. Dia sudah memilih untuk pergi, Haruka. Kau tidak bisa terus hidup dalam kenangan."
Tapi bagaimana caranya melupakan seseorang yang telah menjadi bagian dari napasmu? Bagaimana melupakan cara dia tersenyum, caranya memandangku seolah aku adalah sesuatu yang berharga, padahal pada akhirnya dia membiarkanku pergi juga?
Musim dingin datang dengan diam-diam. Salju pertama turun, menyelimuti kota dalam kesunyian yang putih. Aku berdiri di depan jendela, mengamati kepingan salju yang jatuh pelan. Aku ingat bagaimana Kaito selalu mengatakan bahwa salju itu seperti cinta—indah ketika jatuh, tapi meninggalkan kedinginan ketika menghilang.
Teleponku berdering. Nama Kaito muncul di layar untuk pertama kalinya sejak kepergiannya. Jantungku berdebar kencang.
"Hal—halo?"
"Haruka." Suaranya masih sama, hangat tapi menyimpan kesedihan. "Di sini sedang turun salju. Aku teringat padamu."
Aku menahan napas. "Di sini juga."
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik." Bohong. Hidup tanpamu seperti berjalan tanpa arah.
Diam sejenak. "Aku—aku mendapat pacar baru."
Dunia berhenti. Salju di luar tiba-tiba terasa seperti menusuk-nusuk kulit. "Oh. Selamat ya."
"Haruka—"
"Jangan," potongku, suara bergetar. "Jangan katakan apa-apa. Kau sudah memilih jalanmu, Kaito. Biarkan aku memilih jalanku sendiri."
Pelajaran paling menyakitkan tentang cinta adalah belajar melepaskan. Seperti memegang burung di tangan—jika kau mencintainya, kau harus membiarkannya terbang. Tapi tidak ada yang memberitahuku betapa perihnya ketika burung itu memilih untuk tidak kembali.
Aku mulai menulis. Kata demi kata, kalimat demi kalimat. Tentang cinta yang tidak cukup kuat untuk bertahan, tentang dua orang yang mungkin saling mencintai tapi tidak ditakdirkan bersama. Tentang seorang gadis yang belajar bahwa melepaskan bukan berarti kalah, tapi memahami bahwa ada beberapa cerita yang memang harus berakhir di bab tertentu.
Saki membawaku ke kuil itu lagi di awal musim semi. Pohon sakura mulai bermekaran, kelopak-kelopak merah muda berjatuhan seperti salju yang lembut.
"Dulu kau selalu bilang ini tempat paling menyedihkan," katanya, memegang tanganku. "Sekarang saatnya menciptakan kenangan baru di sini."
Aku berdiri di bawah rinai sakura, mataku tertutup, membiarkan kelopak-kelopak itu menyentuh kulit. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasakan sakit. Hanya kedamaian. Mungkin inilah yang dimaksud Kaito—keindahan dalam kesementaraan. Tapi sekarang aku memahami bahwa kesementaraan bukan alasan untuk tidak mencintai sepenuhnya.
"Permisi," suara asing menyapaku di perpustakaan. Seorang pemuda dengan kacamata tersenyum lemah. "Aku melihatmu sering menulis di sini. Apa kau penulis?"
Aku mengangguk, sedikit grogi. "Sedang belajar."
"Namaku Ryo. Aku suka caramu menulis—penuh perasaan tapi tidak berlebihan." Matanya jernih, berbeda dengan Kaito yang selalu menyimpan awan kelabu.
Kami berbicara tentang buku, tentang impian, tentang hidup. Dan untuk pertama kalinya sejak Kaito pergi, aku bisa tertawa tanpa ada rasa bersalah. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sedang mengkhianati kenangan.
Sore itu, saat berjalan pulang bersama Ryo melewati taman yang sama dulu sering kukunjungi dengan Kaito, sesuatu di dalam diriku berubah.
"Ada apa?" tanya Ryo saat aku berhenti sebentar.
"Tidak ada," jawabku sambil tersenyum. "Hanya... menyadari sesuatu."
Bahwa cinta tidak harus seperti sakura yang layu, atau seperti senja yang berakhir. Bahwa cinta bisa seperti pohon oak yang tumbuh kuat, bertahan melewati segala musim. Bahwa mungkin, yang kualami dengan Kaito bukanlah cinta yang gagal, tapi pelajaran tentang bagaimana suatu hari nanti mencintai dengan lebih bijak.
Dan ketika sehelai kelopak sakura mendarat di bahu Ryo, aku tidak lagi merasa perlu mengusapnya. Biarkan keindahan itu tinggal di mana dia berada, sementara aku melangkah ke depan—masih membawa bekas luka, tapi tidak lagi berdarah. Masih mengingat, tapi tidak lagi terikat.
Mungkin inilah arti tumbuh: memahami bahwa tidak semua cinta dimaksudkan untuk selamanya, dan itu tidak membuatnya kurang berarti. Karena terkadang, orang-orang datang ke hidup kita untuk mengajarkan sesuatu, bukan untuk tinggal.
Dan pelajaran terberat—sekaligus terindah—adalah belajar mencintai diri sendiri setelah diajari cara mencintai orang lain.