Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Royhan, seorang pemuda berusia 27 tahun, hidupnya bisa dibilang seperti WiFi gratisan, ada tapi tidak berguna. Sejak lulus kuliah tiga tahun lalu, dia sama sekali tidak punya pekerjaan tetap. Bukan berarti dia tidak mencoba, tapi hampir setiap lamaran kerja yang ia kirim berakhir dengan jawaban yang menyakitkan:
"Maaf, Anda belum memenuhi kualifikasi."
Padahal kualifikasi yang diminta kadang absurd, "Dibutuhkan admin muda, usia maksimal 30 tahun, pengalaman minimal 5 tahun, menguasai 7 bahasa asing, bisa telepati, dan sanggup kerja 25 jam sehari."
"Lha, itu bukan karyawan, itu superhero!" rutuk Royhan setiap kali membaca persyaratan kerja yang bikin jidatnya berkerut lebih keras daripada mie instan mentah.
Hari-hari Royhan pun diisi dengan aktivitas standar pengangguran: bangun siang, main HP sampai lowbat, tidur lagi, lalu mengeluh betapa kejamnya dunia. Kadang dia mencoba iseng berjualan online, tapi produknya cuma sandal jepit bekas dan mainan gacoan zaman SD. Tentu saja tidak laku.
Uang tabungan makin menipis, dan warung dekat rumah sudah tidak mau lagi mengutanginya. Bahkan Indomie rebus saja sudah tidak bisa dicatat.
"Kalau begini terus, aku bisa jadi manusia fosil sebelum jadi orang kaya," gumam Royhan sambil menatap langit-langit kamar kos yang catnya sudah mengelupas membentuk peta dunia.
Di tengah keputusasaan, datanglah si Bagas, teman lama Royhan yang entah bagaimana masih bisa bertahan hidup meski kerjaannya tidak jelas. Bagas terkenal dengan info-infonya yang kadang menyesatkan, tapi selalu terdengar meyakinkan.
"Lho, kamu kenapa murung, Roy?" tanya Bagas ketika mereka nongkrong di warung kopi murah, yang kursinya lebih mirip bangku hajatan.
"Aku udah ngelamar kerja di mana-mana, Gas.. Dari jadi satpam, resepsionis, bahkan coba audisi boyband online, tetap ditolak!" Royhan mengusap wajahnya.
Bagas mengangguk-angguk, lalu mendekatkan mulutnya seolah mau membocorkan rahasia negara.
"Kamu tau nggak, Roy… ada cara instan buat jadi orang sukses. Nggak perlu ijazah, nggak perlu pengalaman, apalagi bisa bahasa Inggris."
Royhan menatap curiga, "Jangan-jangan MLM lagi?!"
"Bukan! Ini lebih keren. Kamu cukup ke dukun aja."
Royhan terdiam, kata dukun terdengar mistis, sekaligus tolol ditelinganya.
"Gas.. hidupku emang sengsara, tapi bukan berarti aku harus jadi figuran kayak di sinetron mistis indosiar!"
Bagas tertawa, "Kamu pikir semua dukun itu Cuma ngurusin santet sama jimat? Ada lo yang bisa kasih ilmu sakti langsung jadi kaya. Serius, Roy. Nih aku punya nomor WhatsAppnya!"
Bagas menyodorkan ponselnya, Royhan menatap nomor itu dengan hati bimbang. Dalam otaknya muncul dua pilihan. Tetap jadi pengangguran yang tiap hari hidupnya Cuma ngeluh, atau mencoba menghubungi dukun, siapa tahu dapat jalan ninja instan.
Karena logikanya sudah lama rusak akibat terlalu sering makan mie instan, Royhan akhirnya memilih opsi kedua.
Malam itu, Royhan membuka WhatsApp dan mengetik nomor yang diberikan Bagas. Dengan jantung berdebar seperti mau confess ke gebetan, ia langsung menelepon tanpa pikir panjang.
"Halo mbah, ini saya Royhan jadi gi.."
Terdengar suara serak di ponselnya.
"Eeh, salam dulu dong, nak! Masa langsung nyocos kayak wartawan gosip."
Royhan kikuk. "Eh iya, assalamualaikum mbah."
"Waalaikumsalam. Nah gitu dong. Jadi, ada perlu apa, Royhan? Sampek-sampek nelpon dulu baru save kontak. Etika dasar komunikasi hilang semua sekarang."
Dalam hati Royhan misuh. "Dukun kok ribet banget aturannya, kayak CS bank aja."
Royhan menarik napas. "Jadi gini mbah, langsung aja ya… saya ini udah lama nganggur. Melamar kerja ke sana kemari ditolak terus. Saya pengen punya ilmu sakti, gitu mbah. Biar bisa sukses instan."
Dukun terdiam sebentar, lalu suaranya terdengar penuh wibawa.
"Ilmu sakti itu ada banyak, nak. Ada ilmu kebal, ilmu pengasihan, ilmu nyulap biar tampan semalam. Kamu mau yang mana?"
Royhan berpikir. "Kalau ilmu pengasihan percuma, nggak ada duitnya. Ilmu kebal juga percuma, aku nggak minat jadi gladiator. Jadi yang paling masuk akal…"
“Saya mau ilmu hilang, mbah! Jadi pencuri sakti gitu. Sekali masuk rumah orang, nggak ketahuan.”
Dukun terkekeh. "Hahaha, ternyata niatmu kriminal juga toh. Ya sudah, kebetulan ada satu cara instan."
Royhan menelan ludah. "Apa itu mbah?"
"Pergilah kamu ke Gunung Kolor Ijo. Di sana, sekitar jam delapan sampai sembilan pagi, ada sebuah gubuk. Di gubuk itu ada sebuah… kolor ijo. Ambil itu, dan kamu akan punya ilmu hilang."
Royhan melongo. "Kolor ijo? Maksudnya… celana dalam?"
"Betul sekali. Kolor itu pusaka kuno, peninggalan leluhur. Jangan meremehkan kekuatannya."
Royhan masih tak percaya. "Terus ciri-ciri gubuknya gimana mbah?"
"Tenang saja. Ada bannernya besar sekali, tulisannya ‘GUBUK KOLOR IJO’. Kamu nggak bakal salah lihat."
Royhan semakin bingung.
"Ini beneran dukun apa EO acara karnaval sih?"
Keesokan harinya, Royhan bersiap dengan tas kecil, bekal mie instan mentah, dan sandal jepit yang sudah tipis. Ia naik angkot setengah jalan, lalu lanjut jalan kaki karena ongkosnya kurang.
Gunung Kolor Ijo ternyata bukan gunung biasa. Jalannya curam, banyak monyet liar, dan sepanjang jalan ada tulisan spanduk ala kampanye:
"Selamat datang di kawasan wisata mistis Kolor Ijo."
"Hati-hati, jangan pegang kolor sembarangan."
"Dilarang selfie di dekat gubuk, bisa kesurupan."
Royhan geleng-geleng kepala. "Ini gunung apa taman hiburan?"
Setelah hampir dua jam mendaki, akhirnya ia melihat gubuk reyot dengan banner lusuh bertuliskan ‘GUBUK KOLOR IJO’. Benar kata dukun.
Royhan masuk dengan hati-hati. Di dalamnya hanya ada satu benda: sebuah kolor hijau menyala yang diletakkan di atas meja altar, lengkap dengan efek lampu temaram yang bikin suasana seperti acara uji nyali.
Royhan mendekat, jantungnya deg-degan. "Ya Tuhan, masa depan cerahku ternyata bergantung pada… celana dalam."
Dengan penuh khidmat, ia mengambil kolor itu. Begitu disentuh, tubuhnya langsung merinding. Seperti ada energi misterius mengalir.
Tiba-tiba…BRAAKK! Seekor monyet masuk sambil teriak-teriak. Royhan panik, ketika monyet itu menatapnya, ekspresinya bingung, seolah tidak bisa melihat Royhan sama sekali.
Royhan yang kaget akhirnya tersadar sesuatu, "Astaga! Beneran bisa hilang dong?!"
Sejak hari itu, hidup Royhan berubah drastis. Dengan kolor ijo, dia bisa menghilang sesuka hatinya, Royhan akhirnya mulai berkarier sebagai pencuri.
Awalnya ia latihan kecil-kecilan, mencuri gorengan diwarung, nyomot sandal di masjid, sampai menghilang didepan pos ronda malam hanya untuk menakuti bapak-bapak yang lagi main gaple.
Lama-kelamaan, aksinya mulai besar. Masuk minimarket, bawa kabur keripik, bahkan merampok rumah pejabat tanpa ketahuan.
Dalam setahun, Royhan yang dulunya pengangguran kere. Kini memiliki mobil, rumah mewah, dan uamg miliaran di rekening (meski tidak bisa dijelaskan asal-usulnya)
Tetangga-tetangganya pada heran, dulunya Royhan apa-apa cuma numpang termasuk wifi. Kok sekaranfg jadi sultan dadakan?
Royhan cuma merespon dengan nyengir, sambil dalam hati berterima kasih pada kolor ijo keramat.
Tapi kebahagiaan tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat Royhan lagi uji coba masuk bank besar, tiba-tiba alarm berbunyi. Ia kaget.
"Lho, kok ketahuan?! Padahal aku udah hilang!"
Petugas keamanan langsung mengarahkan senter ke arahnya. Ajaibnya, tubuh Royhan terlihat jelas. Ia baru sadar, kolor ijo yang dipakainya bukan yang asli. Rupanya, kolor pusaka itu dicuri balik oleh pemilik aslinya, yaitu Setan Kolor Ijo.
Setan itu marah besar karena harta pusakanya hilang. Ia pun membeli kolor ijo baru dengan fitur canggih: sidik jari, GPS, bahkan notifikasi jika terdeteksi dipakai oleh orang lain.
"Dasar manusia sok instan! Mau enaknya aja!" teriak Setan Kolor Ijo.
Royhan hanya bisa bengong, sementara polisi sudah menjeratnya dengan borgol.
Dan begitulah, perjalanan Royhan si pengangguran berakhir tragis, terjerumus gara-gara kolor ijo.
TAMAT.