Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Saksi Siksa Siska
2
Suka
1,557
Dibaca

Siska dalam keadaan tidak baik-baik saja. Jika dulu ia langganan juara satu, kini ketagihan sabu. Di masa lalu ia anak manis kebanggaan orangtua, sekarang ia menggelandang atas nama kebebasan dan orangtua yang dianggapnya terlalu mengekang.

“Kamu selesaikan kuliah dulu, Nduk. Ibu sama ayah nggak minta banyak, kok.” Ibunya berusaha membujuk Siska yang mogok kuliah karena sibuk berjuang jadi aktivis jalanan.

“Biar saja, Bu. Kita lihat saja bisa seberapa lama dia hidup di jalanan? Dia kira hidup itu cukup dengan demo sana-sini, apa?!” Ayah berkata datar dengan senyum hambar.

Katanya ayah adalah cinta pertama anak perempuannya, Siska sama sekali tidak merasakan hal itu. Padahal sebagai mantan aktivis 98 seharusnya ayahnya yang paling mengerti kegiatan Siska.

“Justru karena ayah pernah nyebur di situ. Nggak ada yang tulus dan konsisten berjuang atas nama rakyat, sayang. Buktinya? Teman-teman ayah banyak yang ada di pemerintahan sekarang, kelakuannya bahkan lebih gila dari pejabat yang mereka demo dulu. Hahaha.”

Waktu Siska masih dipanggil sayang pun ayahnya sudah terlanjur menyamaratakan semua kegiatan Siska di luar kampus.

“Idealisme hanya milik anak muda yang belum pernah bayar tagihan listrik.”

Ayah selalu punya sindiran untuk kegiatan Siska sebagai aktivis kampus, nyinyiran ayah memuncak saat Siska menjadi guru untuk anak-anak jalanan dan banyak mengorbankan uang bulanannya untuk anak-anak kurang beruntung tersebut.

“Ya, Siska kan masih muda, Yah. Boleh dong Siska jadi idealis?”

Pembicaraan di meja makan adalah senjang antar generasi yang selalu coba ditengahi Ibu.

“Mas, setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Kamu kan dulu yang bilang gitu.” Ibu lembut memijat bahu suaminya.

“Terserah kalian sajalah!” Dingin, tajam, kalimat penutup diskusi andalan ayah.

Jika banyak yang bilang terserah adalah cara berkomunikasi perempuan, maka di rumah Siska ‘terserah’ adalah milik ayah. Hanya tiga cara berkomunikasi ayah yang Siska tahu : Perintah. Terserah. Marah.

Ayah akan memerintahkan sesuatu padanya dan ibu, akan bilang terserah jika Siska membantah, ibu tak pernah sampai tahap ini, lalu marah saat Siska betul-betul tak melaksanakan perintahnya. Entahlah, mungkin jabatan Direktur Utama di kantor membuatnya tak terbiasa didebat siapa pun.

Ayah selalu menemukan apa yang salah dari dirinya, bahkan saat ia jadi anak yang membanggakan. Jadi juara satu berturut-turut dari SD hingga SMA.

“Juara satu itu sudah seharusnya, kamu punya privilege sebagai anak dari keluarga kaya.”

Setelah itu akan keluar dialog panjang soal ayah yang dulu hidup susah tapi bisa sukses tanpa bantuan uang orangtua. Padahal justru kata-kata ayah yang menohok itulah yang membuat Siska kini berbagi privilege-nya untuk anak-anak di jalanan. Bantahan Siska harus ditelan melihat ekpresi Ibu yang menatap matanya dan menggeleng pelan. Jadi, meski disebut dialog, sebagian besar komunikasi keluarga mereka adalah monolog dengan ayah sebagai pemeran utama. Hingga hari itu datang, hari di mana Siska ingin ambil peran lebih dari sekedar figuran.

“Maaf, Yah. Siska memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Siska akan …”

“PLAKKK!!”

Tamparan pertama di hidup Siska datang dari ayah, makin menegaskan bahwa di kamusnya ayah bukanlah cinta pertama, melainkan musuh pertamanya di dunia.

“MAS, ISTIGHFAR!” Itu adalah saat tertegas Ibu yang Siska simpan dalam kenangan. Sesaat setelah ayah menjatuhkan tamparan keras ke pipi Siska. Sesaat pula Siska melihat gurat sesal dari ayah. Tapi egonya yang terlalu tinggi sebagai lelaki yang juga seorang petinggi membuat ayah menghembuskan napas kesal lalu berbalik arah. Melakukan bakat terbaik ayah, lari dari masalah yang dibuatnya sendiri.

Itulah hari terakhir Siska ada di rumah. Ibu yang menangis mencegah, ayah yang makin marah lalu berujung tak peduli. Sejak itu hidupnya terlihat heroik bagi anak jalanan yang diasuhnya. Siska memang mengabdikan diri sepenuhnya untuk pendidikan dasar bagi anak jalanan yang bersekolah di kolong jembatan sepulang mengamen atau jualan asongan. 

***

Siska mati dalam keadaan tidak baik-baik saja. Kehidupan jalanan tanpa bimbingan orangtua membuatnya kebablasan. Selain kecanduan ia pun hidup bersama dengan lelaki seperjuangan tanpa pernikahan. Ia hamil karena tipuan mulut manis si rekan aktivis. Ia muntab karena cowok sialan itu meminta dia menggugurkan kandungan. Meruntuhkan kepercayaan terakhirnya pada laki-laki.

“Perjuangan kita untuk rakyat jauh lebih besar dan lebih penting, Siska sayang.”

“Lebih penting dari aku yang kau buat bunting?”

“PLAK!” seolah mem-fotocopy ayah, Siska menampar lelaki pengecut itu.

Siska pun muak. Otak yang sudah teracuni candu membuat hatinya mengambil tindakan yang fatal. Ia menenggak racun serangga, membunuh diri mereka berdua, dia dan janin yang dikandung. Menggugurkan mimpinya untuk murid-murid jalanannya. Mematikan mimpi kedua orangtuanya.

***

Gelap perlahan remang, remang menjadi terang, terang yang lusuh. Siska mengerjap, ia berada di ruang berdebu dan berventilasi buruk. Di langit-langit ruangan ada sarang laba-laba bersarang. Ia tidur berkasur tipis dan keras. Gerakan sederhana dari tubuhnya menimbulkan keriut besi ranjang, bukti berkarat dan tak terawat. Siska tiba-tiba dihinggapi kesadaran, apakah ia di rumah sakit? Apakah ia gagal bunuh diri?

“Hahaha, di tahun terakhir hidupmu yang berisi kegagalan itu untungnya kamu berhasil bunuh diri dengan sukses, kamu sudah mati.” 

Seperti bisa membaca pikirannya, sebuah suara menjawab dengan nada suara yang tak nyaman, tajam menusuk gendang telinganya.

Dari sudut ruangan tiba-tiba muncul dua sosok makhluk yang berbeda tapi sama. Yang berbicara dengan nada menyindir mengenakan mantel hitam, berwajah hitam, berlidah hittam, bahkan kelopak matanya hanyalah hitam. Sementara yang satunya berwajah dan bermodel pakaian persis sama dengan warna sangat kontras, putih cemerlang.

Siska ingin bertanya tapi mulutnya tak bisa bicara. Lagi-lagi seperti menjawab pertanyaannya si hitam berkata dengan nada bosan.

“Ya, di sini mulut kalian dikunci. Kami berdua tak memerlukan komunikasi yang penuh bias kebohongan dari mulut kaum manusia. Kami bisa baca suara hati kamu. Ya, kan?”

Si hitam menengok ke si putih yang hanya mengangguk.

Jadi ini yang namanya malaikat? Kenapa si hitam banyak bicara sementara si putih seperti tuna wicara?

“Hahahaha hitam-putih? Meski kaum manusia akan menyebutnya rasis, tapi nama pemberianmu menarik juga. Aku banyak bicara karena akulah auditor perbuatan kotor kalian, para manusia, saat di dunia. Sementara si putih ini mencatat segala kebaikan, dia hanya bicara jika ada nilai kebaikan di dalamnya. Paham?”

Siska mengangguk cepat. Tiba-tiba saja punggungnya bersimbah keringat. Dia melihat ke sekeliling. Tampaknya alam kuburnya tak semenakutkan yang dipikirkan. Meski ranjang seadanya dan cat dinding mengelupas sana-sini, tapi ia masih bisa istirahat tanpa siksaan.

“Oooh, mau langsung ke situ, nih? Hmm, padahal umurmu belum tigapuluh tapi dosa-dosamu sudah bisa membuatmu mendapat siksaan level atas. Durhaka pada ayah dan ibu. Berzina. Mabuk. Pembunuh. Salut!”

Siska yang tadinya menunduk mendongak tajam menatap si hitam. Isi kepalanya berteriak, AKU BUKAN PEMBUNUH!

“Ya, kau adalah yang terburuk di antara pembunuh. Membunuh diri sendiri dan menggugurkan hak hidup anakmu.”

Siska menunduk. Tunduk. Tak bereaksi. Ia tahu betul akan menerima konsekuensi ini.

“Siksaan akan kamu alami hingga hari kiamat tiba. Perhitungan akhir hidupmu saja sudah tekor begini, apalagi nanti di hari akhir? Hahaha.”

Apakah kukuku akan dicabut satu-satu, lidahku akan dikerat, pistol akan ditembakkan ke jidat?

“Hahaha enak saja, tak bakal aku memakai pistol, itu senjata buatan manusia paling tolol setelah bom atom. Baiklah, ini saja.” Si hitam meraih sebuah cambuk kulit berduri yang memendarkan aliran listrik.

TING TUNG! TING TUNG!

Tiba-tiba seluruh ruangan berkelap-kelip merah dengan bunyi yang berisik dari speaker di sudut ruangan.

“Saksi Penunda Siksaan. Saksi Penunda Siksaan. Saksi Penunda siksaan.”

Dengan sigap si putih bergerak mengibaskan tangannya. Segera ruangan itu terang benderang, di tengah ruangan tampak proyektor besar yang menampilkan hari penguburannya. Terlihat kamera akhirat seperti mencari-cari di antara para pelayat. Ayah terlihat lunglai dipeluk Ibu dan sanak saudara.

AYAH! Maafin Siska, Yah. IBU!

Tapi kamera tak peduli dengan perasaan Siska terus mencari orang yang disebut saksi penunda siksaan. Kamera yang agaknya semacam drone buatan akhirat ini malah menjauh dari makamnya dan berhenti di pinggir kuburan, ke sekelompok anak berpenampilan lusuh yang memandang sedih ke arah upacara pemakaman.

Mereka. Mereka … Siska ternganga tak percaya melihat tiga anak tanggung yang masih membawa alat perang mereka. Ukulele dan kotak dagangan asongan.

“Ya, mereka adalah murid-muridmu di kolong jembatan, anak asuhmu.”

Si putih bicara, intonasinya lembut dan menyejukkan bagaikan penyiar radio malam yang siap menerima curhatan pendengar.

Drone akhirat makin mendekat hingga Siska bisa dengan jelas mendengar pembicaraan mereka.

“Kasihan ya, Kak Siska orang baik. Kalo kagak ada dia mana bisa gue baca.”

“Apalagi gue, Met. Ngitung kembalian aja sering salah. Untung ada si Kakak yang ngajarinnya enak banget, bikin kita gampang ngerti.”

“Iya ya, Din. Gak pake mukul kalo kita gak bisa.” Puput menimpali dengan sedih.

Udin tampak mendekat ke arah Memet dan berbisik pelan, “Met, Kak Siska kan orang baik, ya. Kok matinya …”

“Meninggalnya, Din. Ingat kata kak Siska mati itu cuma buat tumbuhan dan hewan.”

“Ohh iya, Kak Siska orang baik, kok meninggalnya nggak baik? Mana masih muda lagi?”

“Orang baik kan dipanggilnya cepet, Din. Udah yang penting kita doain Kak Siska aja, biar dimaafin Allah dosa-dosanya.” Puput membela sepenuh hati.

“Aamiin.”

Memet, Udin dan Puput menengadahkan tangannya, berdoa sepenuh hati untuk Siska.

Seketika ruangan Siska yang tadinya gerah menyejuk, dihembus oleh AC entah dari mana. Ruang yang tadinya remang juga terang. Cat tak ada yang terkelupas, bersih dari sarang laba-laba.

“Setiap amal anak manusia terputus, kecuali tiga hal. Sedekah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakan. Mereka dilimpahi sedekah dan ilmu dari Siska, mereka menganngap Siska sebagai teman, guru, kakak bahkan orangtua.”

Lampu ruangan makin terang cerah, aroma terapi yang menenangkan terhembus. Kasur tipis menggembung nyaman tanpa bunyi keriut besi karat.

Si hitam tampak tak puas, si putih dengan tenang melanjutkan penjelasan.

“Selama Udin, Memet, Puput dan semua murid menggunakan ilmu yang diajarkan Siska untuk kebaikan maka itu terhitung pahala kebaikan yang bisa meringankan dosa di hari perhitungan.”

TINGTUNG. TINGTUNG.

“Siksa kubur ditunda hingga pemberitahuan lebih lanjut. Terima kasih.” 

Suara yang keluar dari speaker menegaskan keputusan.

***

Setelah entah berapa lama, Siska terbangun dengan wajah si hitam yang menyeringai penuh kemenangan.

Si hitam nampak melihat catatan pahala dan dosa di tab-nya dengan cermat.

“Waktu istirahat sudah selesai. Yang namanya ganjaran adalah ganjaran. Bunuh diri apalagi ditambah membunuh adalah dosa besar yang menuntut siksa kubur tingkat satu.”

Bersamaan dengan itu, si htam menarik sesuatu dari punggungnya, dua bilah samurai yang setajam pisau cukur. Baru saja si hitam ingin menebaskannya ke batang leher Siska yang pasrah, …

TING TUNG! TING TUNG!

Tiba-tiba seluruh ruangan berkelap-kelip (lagi) dengan bunyi yang berisik.

“Saksi Penunda Siksaan. Saksi Penunda Siksaan. Saksi Penunda siksaan.”

Si hitam menatap speaker degan kesal, si hitam menyarungkan lagi samurai di punggungnya. Melihat ke arah proyektor. Drone akhirat melayang cepat menampakkan atap sebuah rumah dengan roof top.

ITU RUMAHKU! teriak Siska tanpa suara, hanya matanya membelalak penuh kangen dan haru. Kangen yang selama ini dibunuh atas nama ego anak dan ayah , kini seperti tumpah. Meski tak bisa bicara, mata Siska yang basah oleh air mata bicara banyak, apalagi saat di dalam rumah ia melihat ayah menangis di pangkuan Ibunya, hingga membuat bagian paha daster ibunya basah.

“Aku salah, Ning! Aku sombong! Aku bodoh! Bisa-bisanya Tuhan mempercayakan orang bodoh seperti aku sebagai ayah.”

“Hushh istighfar, Ben. Bukan cuma kamu. Aku juga salah. Aku lemah sama kalian berdua. Aku takut kehilangan kalian berdua.”

Ah, betapa hangat hati Siska mendengar ayah dan ibu kembali saling menyapa degan panggilan sayang, “Ben” dan “Ning”, yang sudah lama tak didengar Siska. Seingat dia panggilan tersebut terakhir dia dengar saat ia masih di usia SMP. Ahh, sudah lama sekali dia mendengar seloroh ayahnya tentang panggilan mereka sebagai pertanda cinta yang ‘Ben Ning’. Terasa sangat norak saat itu, tapi betapa berarti mendengarnya saat ini.

“Aku … aku sudah tak pantas hidup di dunia ini, Ning.”

“BENI IRIANTO!”

Ayah tersentak, Siska yang menyaksikan pun terhentak, baru kali ini ia melihat ibu tampil begitu galak, mata beliau memang basah oleh air mata, tapi matanya menyala.

“BUKAN CUMA KAMU YANG KEHILANGAN ANAK. BUKAN CUMA KAMU. Aku juga. Aku juga. Aku … juga.”

Sehabis mengucapkan itu ibu melunglai, ayah sigap menangkap dengan dekapannya. Sayup terdengar adzan berkumandang. Ayah mengusap punggung ibu penuh sayang.

“Ning, kita jamaah, yuk. Kita berdoa buat Siska.”

Ibu mengangkat wajahnya, binar matanya sedikit menyalakan kerinduan dan harapan, ia pun memeluk ayah jauh lebih erat.

Siska tanpa sadar memeluk lututnya erat-erat, ia ingin ada di tengah kehangatan dekapan mereka. Ia ingat dulu ayah rutin memimpin subuh dan isya berjamaah, saat ia sudah pulang dari kantor. Tapi jahanamnya karir yang maju ditukar dengan waktu jamaah yang berkurang untuk kemudian hilang, berganti ayah yang marah dibangunkan saat adzan subuh berkumandang.

Ayah dan Ibu sholat dengan khusyuk, sujud berlama-lama, berdoa berlarut-larut. Seiring dengan wewangian kesturi memenuhi ruangan Siska, muncul selimut bulu angsa yang memberi kehangatan sampai ke jiwa,

“Mana bisa begini? Doa yang tembus adalah doa anak yang soleh, mereka kan orangtua?” Si hitam protes berat melihat adegan di proyektor ini membuat ruangan Siska makin nyaman.

“Bahkan tabir dua alam pun tak tahan digerus doa dua orangtua yang tobat dan berserah. Bagaimana kamu mau menilai keadilan-Nya dengan tafsir kita yang hanya seorang makhluk?” Si putih menanggapi dengan tenang.

Si hitam mau mendebat terus tapi tiba-tiba tubuhnya tertiup entah apa, begitu pun si putih. Mereka berdua lenyap seperti asap yang dibawa angin.

TING TUNG! TING TUNG!

“Selamat beristirahat, akan kami bangunkan saat hari kiamat. Saat hari semua diperhitungkan tanpa kecuali.”

Siska tahu, dengan dosa yang ia punya kisah ini tak akan berujung indah, tapi semua yang disaksikannya tadi cukup untuk bekalnya bermimpi indah, entah untuk berapa lama?

***

 

 

 

 

 

 

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Saksi Siksa Siska
hidayatullah
Novel
Bronze
Katamu Aku Cantik
Farida Zulkaidah Pane
Novel
Jodoh Ning Ophi
Johar Edogawa
Novel
Gold
On the Way to Jannah
Bentang Pustaka
Flash
[Irene] Reinkarnasi Terdahulu
Almira
Flash
Bronze
Surat Protes Untuk Tuhan
Mukti Dwi Wahyu Rianto
Novel
Bronze
The Perfect Muslimah (Chanbaek GS versi Islam)
Faradila Anggi
Novel
SATARUPA
Nawasena Afati
Novel
Rangkuman Syiar Islam
silvi budiyanti
Flash
Bronze
Mintalah pada Allah
Eva yunita
Novel
Gold
Semesta Cinta
Noura Publishing
Novel
Bronze
Cinta Tapi Diam
Indriastori_
Novel
Dampar Pesantren
Aviskha izzatun Noilufar
Novel
Gold
Sukses di Usia Muda, Harga Mati
Mizan Publishing
Novel
Bronze
WAJHAN
Kartika Wulandari
Rekomendasi
Cerpen
Saksi Siksa Siska
hidayatullah
Cerpen
Memulung Murung
hidayatullah
Novel
Bronze
Catatan Harian Para Pembohong
hidayatullah
Skrip Film
Tutorial Patah Hati
hidayatullah
Flash
Antagonis Menggugat
hidayatullah
Cerpen
Auditor dari Akhirat
hidayatullah
Flash
Tokek
hidayatullah
Cerpen
Bronze
Selebritas RT Sebelas
hidayatullah
Cerpen
Bronze
Pencuci Profesional
hidayatullah
Skrip Film
Pesugihan Putih
hidayatullah
Cerpen
Bronze
Bos 100 Dolar
hidayatullah
Novel
Sajadah di Pagar Rumah
hidayatullah