Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Matahari sudah menggantung sempurna di langit siang. Sinarnya yang menyengat mulai menjamah bulu-bulu halus di tubuhku. Kelopak mataku yang sedari tadi tertutup membuka perlahan. Sejak larut malam, aku tertidur pulas di balik tempat pembuangan sampah ini. Sebuah kenikmatan yang patut kusyukuri sebagai kucing jalanan. Bagaimana tidak, aku bisa tidur nyenyak tiap malam tanpa repot berburu tikus serta mencari makan. Dan sewaktu matahari meninggi, aku tinggal bangun menuju ke sebuah warung makan di tepi jalan. Di sana, sepasang suami istri paruh baya nan baik sudah menyiapkan makanan untuk mengganjal laparku hingga hari berikutnya.
Warung makan itu bernama warung Bu Yasmin. Lokasinya menempel dengan sebuah pabrik di pinggir jalan. Bagi para manusia, warung itu hanya sebatas tempat menandaskan lapar. Namun bagiku, warung itu tak ubahnya semacam Firdaus kecil. Banyak makanan dan air bersih. Selain itu, Bu Yasmin dan suaminya seperti malaikat yang mengasuh kepapaanku sebagai binatang liar. Berkat mereka, hidupku yang nelangsa berubah menjadi lebih indah. Aku pun tak ragu bersaksi pada Tuhan bahwa mereka benar-benar orang yang baik.
Jarak tempuh menuju warung Bu Yasmin hanya sepuluh menit dari tempat pembuangan sampah yang aku tempati. Saban perjalanan ke sana, bibirku senantiasa melantunkan zikir doa. Aku berdoa agar kebaikan Bu Yasmin dan suaminya senantiasa mendapatkan rezeki berlipat ganda. Kau tahu, pertemuan pertama kali dengan mereka berhasil menyelamatkanku dari sakaratul maut yang mengerikan. Waktu itu, tubuhku yang mungil membiru usai dihajar karena mencuri ikan asin. Aku yang lunglai tanpa daya terkapar di depan warung makan mereka.
Hujan yang turun kian memperparah nyeri di sekujur tubuhku. Aku hanya bisa mengeong lemah. Mataku terasa gelap. Maut terasa begitu dekat berpilin padaku. Saat nafasku kian terengah, Bu Yasmin datang memapahku. Bak malaikat, ia mengobati dan merawatku hingga pulih. Tanpa mereka, mungkin aku tak bisa menceritakan kisah ini padamu.
***
Siang ini, aku kembali mengunjungi warung makan Bu Yasmin. Lampu merah yang menyala di jalan, memudahkanku menyeberang menuju warung Bu Yasmin. Dengan riang, aku melompat-lompat menuju ke dalam warung. Ekorku tegak ke atas tanda aku bahagia. Biasanya, Bu Yasmin langsung menggendongku saat aku tiba di warungnya. Namun, siang ini terasa janggal. Tak ada sambutan hangat dari Bu Yasmin dan suaminya. Mereka seolah tak menggubris kedatanganku. Wajah mereka tampak serius mengobrol dengan pengunjung yang tengah makan.
Aku tak tahu gerangan apakah yang terjadi. Seingatku, wajah serius Bu Yasmin dan suaminya terakhir muncul saat warung mereka diserbu tikus-tikus got. Namun, masalah ini sudah selesai. Aku ikut memberantas tikus-tikus di warung Bu Yasmin tiap malam. Lantas, mengapa wajah mereka kembali serius seperti sekarang? Entahlah, sembari makan aku mencoba mendengarkan percakapan mereka yang tak aku pahami.
“ Kalau nanti di gusur, terus terang kami akan kehilangan sumber rezeki” kata Bu Yasmin.
“ Memang tidak ada penawaran tempat relokasi dari pemkot?” tanya pengunjung yang makan.
“Belum ada, kami harus menunggu selama enam bulan” sahut suami Bu Yasmin.
“Ibu bapak tidak menyampaikan keberatan?” tanya pengunjung itu lagi.
“ Sudah, tapi ya, mereka tidak mau tahu” kata Bu Yasmin.
“Padahal sudah dua puluh tahun lebih kami berjualan” keluh suami Bu Yasmin.
Aku hanya bisa menatap nanar tanpa mengerti arti percakapan mereka. Setelah pengunjung makan itu pergi, Bu Yasmin baru menyadari keberadaanku. Ia lantas menimangku dengan manja. Hanya saja, sorot mata Bu Yasmin tampak berbeda. Seolah-olah kurasakan rasa sedih yang teramat dalam. Ia juga mengucapkan kalimat yang lagi-lagi tak ku mengerti artinya.
“Nanti, kalau warung ini digusur, Layla jangan sedih. Semoga masih bisa bertemu lagi” ucap Bu Yasmin padaku. Entah mengapa di sekujur tubuhku ikut merasakan aroma kesedihan. Aku mencoba mengusir kesedihan dari Bu Yasmin. Kujilati tangannya dan kukibaskan ekorku. Semoga, ia mengerti isyarat bahasaku. Tak usah terlalu bersedih wahai para manusia baik… .
***
Setelah peristiwa siang itu, aku mulai melihat kejadian-kejadian ganjil di sekitar jalan dan warung makan Bu Yasmin. Alat-alat berat mulai bermunculan di sana. Rasa heranku semakin bertambah saat menyaksikan orang-orang yang mengenakan pakaian rompi cokelat ikut berteriak-teriak di sepanjang jalan tempat warung Bu Yasmin berada. Seingatku, salah satu dari merekalah yang memukul tubuhku sampai membiru. Mengapa mereka semua ada disana?
Hari-hari berikutnya, kusaksikan perstiwa-peristiwa yang tak kalah mengejutkan. Siang hari, orang-orang berpakaian cokelat itu mulai mendatangi warung Bu Yasmin. Jantungku terasa berdegub melihat mereka. Wajah mereka yang menyeringai membuatku meninggalkan tempat makan dan melompat ke pangkuan Bu Yasmin. Salah satu dari mereka mengucapkan kalimat-kalimat dengan nada tinggi yang tak kupahami artinya.
“Kapan, kios ini dikosongkan?!” tanya mereka.
“Sesuai kesepakatan, akhir bulan baru kosong” jawab suami Bu Yasmin.
“Lama sekali, kalau bisa secepatnya” ucap mereka.
“ Kalau begitu, secepatnya pula, kami dapat tempat jualan baru”’ kata Bu Yasmin.
“Hey, kalian yang salah, ini jalan umum” kata mereka.
“Kami sudah dua puluh tahun disini, kami bayar retribusi juga, kami juga mohon solusi” sambung Bu Yasmin.
“Kalian itu yang salah!” kata mereka sambil menggebrak meja.
Aku melompat dari pangkuan Bu Yasmin menuju bawah meja makan. Kusaksikan mereka meninggalkan warung makan dengan suara-suara berteriak. Wajah Bu Yasmin tampak pucat. Hatiku ikut sedih menyaksikan semua ini. Kenapa banyak orang-orang jahat justru merajalela di muka bumi? Bu Yasmin mengangkatku dari bawah meja makan. Ia mencoba menenangkanku. Wajahnya yang pucat tampak tersenyum. Aku membalasnya dengan mengeong. Sembari dalam hatiku, kian deras kupanjatkan doa.
****
Semenjak kejadian hari itu, mataku susah terpejam saat malam hari. Rasa waswas muncul mengenai nasib warung milik Bu Yasmin. Apalagi, setiap malam kudengar suara dentuman bangunan roboh. Hal ini kian mencemaskanku. , Apakah warung orang baik milik Bu Yasmin akan dirobohkan? Akankah Firdaus kecil tempat menampung nasibku yang papa akan segera musnah?
Sampai aku menceritakan kisah ini padamu, satu demi satu bangunan di sepanjang jalan mulai roboh. Namun, aku senang karena warung Bu Yasmin tetap berdiri tegak. Meskipun demikian, aku tetap kurang suka saat orang-orang berpakaian seragam cokelat mendatangi warung Bu Yasmin setiap siang hari. Terlebih, mereka senantiasa mengucapkan suara-suara dengan nada tinggi dan kasar yang tak kupahami artinya. Sering, aku berpikir, mengapa manusia suka memberikan penderitaan pada sesamanya?
***
Siang ini, aku kembali bertandang ke warung Bu Yasmin. Jika kau tahu, tinggal warung makan Bu Yasminlah yang tidak digusur. Semua bangunan di sekitar warung makan Bu Yasmin telah roboh. Hal ini membuatku merasa tenang. Doa-doaku untuk keselamatan Bu Yasmin dan suaminya sepertinya telah didengarkan Tuhan. Aku tak jemu-jemu berdoa agar Firdaus kecilku tetap tegak berdiri. Dengan begitu, aku bisa menyaksikan mata berbinar Bu Yasmin dan suaminya setiap saat. Namun, sesampainya disana, aku benar-benar terkejut. Banyak orang-orang berkumpul di sekitar warung Bu Yasmin. Tampak pula, orang-orang dengan seragam cokelat berjumlah banyak ada di sana. Terdengar olehku, percakapan dari dalam warung Bu Yasmin dengan nada suara meninggi.
“Kami harus membongkarnya karena sudah waktunya” kata orang-orang yang berpakaian coklat.
“Tapi, mana solusi bagi kami. Apakah kalian berpikir tentang anak kami yang sakit kanker dan perlu banyak biaya sehari-hari” jawab suami Bu Yasmin.
“ Kami hanya menjalankan tugas” kata orang berpakaian coklat itu.
Aku menyaksikan orang-orang berpakaian coklat itu mendorong suami Bu Yasmin sampai tersungkur. Bu Yasmin tampak menangis tersedu. Banyak orang merangkul beliau dan menenangkan mereka. Hatiku ikut menangis menyaksikan apa yang terjadi. Lebih-lebih, warung Bu Yasmin mulai dibongkar. Meja dan kursi mulai dikeluarkan. Kemudian, beberapa alat berat tampak bergerak menghancurkan atap seng yang ada di warung Bu Yasmin. Tampak beberapa orang menenteng kamera dan berbicara dengan bahasa yang tak aku mengerti, “Saudara dilaporkan terjadi sedikit kericuhan saat pembongkaran kios ilegal di jalan Majapahit.”
Aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Firdaus kecil yang aku singgahi rupanya benar-benar dirobohkan. Bu Yasmin tampak pingsan tak sadarkan diri. Wanita yang tangannya lembut dan berhati salju itu terkapar tak berdaya. Tempat yang menyelamatkanku dan banyak manusia dari rasa lapar kini perlahan mulai dihancurkan.
Aku ikut menitikkan kepedihan. Semua kenangan baik yang kudapati di tempat ini pupus oleh sikap bengis orang-orang tak berperasaan. Aku mengeong sekeras-kerasnya. Sebuah suara yang berisi ratapan. Bila kau dapat mengerti ucapanku, aku tengah mengatakan: Ya, Tuhan, aku bersaksi bahwa mereka benar-benar orang baik.
(Cerita ini diilhami peristiwa nyata yang terjadi di daerah penulis)