Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
BAB 1 – Rumah yang Terlalu Sepi
Rega adalah bayangan yang bergerak dalam rutinitas yang konstan. Pagi dimulai dengan desiran air di teko listrik, aroma kopi hitam yang pekat, dan lembaran koran yang dibuka dengan presisi milimetri. Siang hari, kesibukannya sebagai editor naskah lepas hanya terganggu oleh suara ketikan jari dan bisikan hening dari rumah tua warisan orang tuanya. Rumah itu besar, dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela berbingkai kayu yang dulunya selalu terbuka lebar, membiarkan angin dan tawa mengisi setiap sudut. Kini, sebagian besar jendela tertutup rapat, seolah menyegel kenangan di dalamnya. Malam hari, Rega akan memasak makan malam sederhana, seringkali hanya untuk satu orang, lalu duduk di kursi goyang di teras belakang, menatap kebun yang sedikit terbengkalai.
Hidupnya, jika boleh disebut demikian, adalah siklus yang tak pernah putus dari ketenangan yang nyaris membosankan. Setelah kedua orang tuanya meninggal lima tahun lalu, Rega memilih untuk tetap tinggal di rumah itu. Saudara perempuannya, satu-satunya yang ia miliki, telah lama pindah ke luar negeri, membangun kehidupannya sendiri. Rega tak pernah merasa kesepian, setidaknya ia meyakinkan dirinya sendiri demikian. Kesendirian adalah pilihan, katanya. Sebuah benteng yang dibangun untuk melindungi dirinya dari gejolak dunia luar yang tak pernah ia pahami sepenuhnya.
Pagi itu, berbeda. Suasana di minimarket terasa lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena akhir pekan, atau mungkin hanya perasaannya saja. Rega, dengan daftar belanjaan di tangan yang ditulis rapi, menyusuri lorong-lorong, mencari sereal kesukaannya. Di dekat rak makanan instan, ia melihat seorang pemuda. Rambutnya gondrong sebahu, wajahnya tampak lelah dengan lingkar mata hitam yang jelas. Tas ranselnya, yang terlihat usang dan penuh tempelan stiker dari berbagai negara, tergeletak di samping kakinya. Pemuda itu terlihat sedang menghitung uang receh di tangannya, dahinya berkerut.
Rega, yang biasanya menghindari interaksi tak perlu, entah mengapa merasa ada dorongan aneh. Mungkin karena tatapan pemuda itu yang tampak putus asa, atau mungkin karena ada sesuatu dalam sorot matanya yang mengingatkan Rega pada seseorang yang tak bisa ia ingat. Rega memutuskan untuk mendekat.
“Butuh bantuan?” suara Rega terdengar sedikit canggung, jarang ia berbicara dengan orang asing.
Pemuda itu mendongak, matanya yang awalnya sayu kini sedikit melebar karena terkejut. “Ah, maaf. Tidak. Hanya… sedang mengecek dompet,” jawabnya dengan senyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa malu.
“Sepertinya kau kelelahan,” Rega melihat tas ransel pemuda itu. “Backpacker?”
Pemuda itu mengangguk. “Iya. Nama saya Andra. Andra B. Mahesa. Baru tiba dari perbatasan. Rencananya mau ke Bali, tapi sepertinya salah perhitungan.” Ia tersenyum getir, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Uang saya… sisa sedikit sekali.”
Hati Rega tergerak. Rasa iba yang tak biasa. Ia teringat akan cerita-cerita para petualang ...