Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Sabda Tuan Tanah
2
Suka
25
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Nasi goreng satu, Pak,” kataku lirih, duduk di tikar yang digelar seadanya.

“Owh, iya, Mas,” jawabnya pelan.

Tangannya meracik bumbu dengan cekatan. Geraknya cepat, seperti orang yang sedang dikejar lapar.

Gerobaknya kecil, penuh lubang menganga—seperti tubuh yang sudah lama menahan sakit tapi enggan mengaduh.

Sambil menunggu, mataku menatap punggungnya. Punggung bungkuk, bukan karena usia, tapi karena beban yang tak terlihat. Bahu itu memikul sesuatu yang lebih berat daripada wajan dan sendok.

Bapak kenapa?” tanyaku, tanpa rencana.

Ia diam. Yang terdengar hanya denting sendok menghantam wajan—suara besi yang memaku sunyi.

Tangannya sempat menyeka sudut mata, cepat sekali, seolah ingin menyembunyikan hujan sebelum menetes ke bara api.

Gak apa-apa, Mas,” ujarnya akhirnya. “Cuma… sedih aja. Maaf kalau bikin Mas gak enak.”

Aku mengangguk. Lalu nasi goreng terhidang. Ia duduk di depanku, sopan, menjaga jarak agar ceritanya tidak tumpah.

Pulang ngojek, Mas?” tanyanya.

Iya, Pak,” jawabku sambil menyuap nasi yang mengepul. “Sepi. Susah nyari duit sekarang.”

Ia menghela napas panjang.

Sama, Mas. Mas ini pembeli pertama saya. Padahal buka dari sore.”

Aku tercekat. Petang sudah hitam, tapi ia baru menjual seporsi. Sekarang aku tahu kenapa tadi ada tangis yang hampir jatuh di sudut matanya.

Emang lagi susah, Pak. Semua serba mahal.”

Ia tersenyum tipis, seperti senyum yang dipaksa tumbuh di tanah kering.

Dulu ramai, Mas. Sekarang… orang bilang lagi gak musim uang.”

Ia diam sebentar, lalu menatap jauh—seolah mencari harapan yang mungkin ketinggalan di masa lalu.

Dan sekarang tambah berat, Mas. Tuan tanah yang baru naik… pajaknya bikin mencekik.”

Aku terdiam. Karena ini bukan cerita satu orang. Ini ratapan seluruh kampung.

Sejak raja kecil itu duduk di singgasananya, daerah kami jadi pasar lelang. Semua dihitung. Semua diperas.

Aturan sekolah diacak-acak. Pegawai lama dikuliti satu per satu. Pajak? Ah, pajak itu bukan sekadar angka di kertas.

Pajak itu belati yang mengiris isi dapur. Bahkan pedagang kecil yang hidup dari ampas kemarin, ikut ditarik sampai kering.

Tak ada sosialisasi. Tak ada empati. Hanya perintah yang terdengar seperti doa, tapi nadanya seperti kutukan.

Katanya, ini demi pembangunan. Tapi pembangunan siapa? Dari mana? Dari nasi anak-anak yang kau renggut sebelum sempat mereka kenyang?

Katanya, demi pemerataan. Tapi kenapa kau ratakan tanah kami, sementara gedungmu menjulang seperti kesombongan yang tak kenal malu?

Kecil bagimu, tapi besar bagi kami. Uang yang kau pungut itu—adalah sarapan kami, susu bayi kami, obat untuk sakit kami.

Pernah rakyat bersuara. Pernah mereka berkumpul, memohon agar kau menoleh.

Tapi suara kami terlalu pelan untuk menembus kaca mobilmu yang kedap suara.

Pangkat kami terlalu pendek untuk menjangkau matamu yang selalu menatap ke atas. Hidup kami terlalu murah untuk kau dengar.

Janji-janji manismu kini jadi serpihan huruf yang kau injak. Kata-kata yang dulu kau tabur, kini jadi racun yang kami telan setiap hari.

Dan sekarang, kau duduk di singgasana. Kau bukan lagi pemimpin—kau raja kecil di atas bukit pajak. Setiap sabdamu adalah cambuk yang memukul punggung kami.

Tuan tanah… tahu apa yang paling pahit? Bukan pajakmu. Bukan aturanmu yang seperti benang kusut dijahit ke kulit kami.

Yang paling pahit adalah… kami mulai lupa cara marah. Kami tak lagi rakyat. Kami kawanan yang hanya mencari cara paling aman untuk bertahan—meskipun harus menjilat sisa kuah dari sendok orang lain.

Kami tak lagi mempersoalkan benar atau salah. Kami hanya bertanya: “Besok, apa yang bisa kami makan?”

Kami dulu percaya negeri ini dibangun dari keringat. Tapi sekarang kami tahu—negeri ini dibangun dari titipan, barter jabatan, pelicin yang lebih wangi daripada doa ibu.

Negeri ini bukan lagi tanah air. Ini tanah sewa. Siapa yang sanggup bayar lebih, dia yang berkuasa.

Dan ketika kami akhirnya paham tak ada keadilan selain yang bisa dibeli, apa yang tersisa dari iman kami?

Kosong. Yang ada hanya senyum palsu di bibir pecah, doa yang kami panjatkan dengan lidah yang kelu, dan janji basi yang kami kunyah setiap lima tahun sekali.

Kami diam. Kami tunduk. Bukan karena ikhlas—tapi karena kami sudah kalah bahkan sebelum berperang.

Karena di negeri ini, yang berani hanya mereka yang punya pangkat.

Dan kami? Kami cuma angka. Kami cuma isi antrean di kantor pajakmu. Kami cuma latar foto di baliho kemenanganmu.

Sementara itu, di tikar lusuh ini, aku masih mengunyah nasi goreng yang sudah dingin. Dan bapak tua di depanku—ia masih berharap besok ada pembeli pertama sebelum matahari tinggi.

Kami tak bicara lagi. Karena apa yang harus dikatakan, kalau luka sudah jadi bahasa sehari-hari?

Langit malam menatap kami. Terlalu gelap untuk janji. Terlalu pekat untuk harapan.

Dan aku… aku hanya duduk. Menunggu pagi yang tak membawa apa-apa, selain kabar pajak naik.

Epilog

Malam menelan gerobak itu bersama sisa bara yang hampir padam.

Aku melangkah pergi, membawa kenyang yang terasa seperti dosa—kenyang yang lahir dari lapar orang lain.

Di belakangku, bapak tua itu membereskan wajan, seolah menutup kitab yang tak pernah dibaca siapa pun.

Di jalan, angin membawa suara yang tak punya tuan: suara perut-perut yang bergemuruh, suara janji-janji yang digantung seperti lampu kota—terang dari jauh, padam ketika didekati.

Aku sadar, besok tak akan lebih baik. Pajak tetap menggigit, harga tetap mencakar, dan kami… tetap tunduk, bukan karena rela, tapi karena tak punya gigi untuk menggigit balik.

Di negeri ini, lapar bukan lagi musuh—lapar adalah agama baru. Kami sembah dia dengan doa yang tak sampai ke langit, kami kelaparan bukan karena iman, tapi karena tak punya lagi yang bisa ditukar.

Dan kalau esok ada yang mati karena putus asa, jangan salahkan siapa pun. Salah kami sendiri—karena pernah percaya bahwa suara kami punya harga.

Aku menoleh sekali, melihat bayangan bapak itu hilang di antara gelap.

Entah ia pulang, entah ia tenggelam. Yang jelas, malam ini satu gerobak tak jadi mimpi, hanya jadi luka yang digoreng dengan minyak bekas harapan.

Langit tetap diam. Dan diam, di negeri ini, adalah satu-satunya cara hidup paling murah.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Sabda Tuan Tanah
Temu Sunyi
Novel
Sistem Sihir Energi
Nehuselah
Flash
Bronze
#1. Aroma Sakura di Tengah Kekacauan
Tourtaleslights
Flash
KRESNA-The Black Knight
Donquixote
Novel
Bronze
Sepotong Tangan Kanan
Neza
Flash
Bronze
#4. Rasa dari Keputusan yang Belum Terungkap
Tourtaleslights
Novel
Bronze
Jrakkon
Aryan nanda syahputra
Novel
Bronze
GENTA PARAHYANGAN: SENANDUNG DARAH DI ATAS TANAH TUMAPEL
Ahmada45
Novel
Life of Maharani 3
Wachyudi
Novel
Gold
Fear
Noura Publishing
Novel
Bronze
S-Class Guide Ingin Menjadi Tukang Roti
Noctis Reverie
Novel
Gold
Flying High
Mizan Publishing
Novel
KITAB BUMI LANGIT
Ade Imam Julipar
Novel
Bronze
Melawan Lupa Mereka Bilang Ayahku Penghianat
Emma Kulzum
Novel
Jejak di Bawah Langit Merah
Dedimas Aldhitto
Rekomendasi
Cerpen
Sabda Tuan Tanah
Temu Sunyi
Cerpen
Anak Di Tanah Konflik
Temu Sunyi
Cerpen
Pencari Kursi Suapan
Temu Sunyi
Cerpen
Kopi Peradaban
Temu Sunyi
Novel
Malam Yang Menghapus Nama
Temu Sunyi
Cerpen
Negeri Pemurah Sosial
Temu Sunyi
Novel
Tempat Terakhir Namamu Kucuri
Temu Sunyi
Novel
Tubuhku Tak Salah, Tapi Dunia Menghakimi
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Anak Diujung Pelukan
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Keheningan Ditikam Jeruji
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Langit Menolak Jelita
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Denting Pilu Yang Berbisik
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Kenangan Yang Terbenam
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Air Mata Yang Diharamkan
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Keanggunan Dipeluk Takdir
Temu Sunyi