Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Sabda Pasar
1
Suka
30
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Lalat mengerubungi tumpukan sampah organik busuk yang berceceran di depan kios penjaja sayuran. Jalanan di sana juga becek. Orang-orang yang melintas terpaksa harus berjinjit, menghindari genangan air berwarna hitam dan berbau menyengat. Mereka berburu bahan makanan untuk di masak sepanjang hari ini, bahkan ada yang sengaja membeli persediaan untuk sepekan ke depan. Tentunya, ada juga yang hendak membeli pakaian, emas dan kebutuhan lainnya.

Di mana pun, pasar akan selalu ramai dan terkesan kumuh, bahkan untuk pasar ini yang terletak di sebuah kota kecil di selatan Jawa Barat. Sebagai pasar induk, tentunya pasar ini sangat berperan penting dalam menggerakan roda kehidupan di kota ini. Pernah suatu waktu, pasar ini kebakaran dan menghabiskan delapan puluh persen kios yang ada di sana, akibatnya, orang-orang mau tidak mau harus berbelanja ke kota sebelah. Dampak dari distribusi yang macet mengakibatkan harga jadi melambung. Orang-orang melarat semakin menjerit.

Hal ini di sadari oleh Ujang, salah satu pedagang pasar induk yang berjualan buah-buahan. Ah, Ujang ini, nasibnya saja yang tidak mujur, sehingga dia harus rela berperan sebagai tukang buah di pasar induk. Kurang apa lagi Ujang? Semasa sekolah, dia sangat berprestasi dan merupakan lulusan terbaik di jurusan ekonomi. Tetapi, lamaran kerjanya selalu di tolak perusahaan untuk alasan Ujang tidak mempuanyai pengalam kerja. Alhasil, Ujang menjadi pengangguran selama lima tahun. Membuatnya dicemooh habis-habisan oleh tetangga dan keluarganya, “sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya nganggur juga, mending Si Endang yang lulusan SD, mau ikut pamannya jadi kuli, tetapi, lihat sekarang! Dia jadi mandor proyek!”

Siapa yang tidak sakit hati jika harus dibandingkan dan dipandang rendah seperti itu? Ujang pun sakit hati. Sangat merasa sakit hati. Karena dia seorang terpelajar dan tahu bahwa meninju wajah orang lain akan diganjar kurungan penjara, maka niatnya itu hanya ia pendam di dalam kepala. Dia akan tersenyum kepada mereka dengan tatapan yang manis. Namun, di dalam hati dan fikirannya, Ujang membayangkan menyiksa mereka dengan amarah yang berkecamuk. Jika kita lebih teliti, saat Ujang tersenyum, tangannya akan mengepal dan bergetar. Lalu, setelah orang-orang itu pergi, Ujang akan meninju-ninju dadanya sendiri.

Saking seringnya Ujang berbuat seperti itu, membuat semua sistem syarafnya mengingat jelas dan menjadikannya sebuah gerakan reflek. Sampai saat ini, ketika ia menjadi pedagang buah di pasar induk, saat ada calon pembeli yang mencemooh buahnya sudah busuk, atau mencoba menawar dengan harga yang sangat rendah, Ujang akan tersenyum sambil menatap manis kepada mereka, tetapi, lihat! Tangannya bergetar. Para calon pembeli itu tidak bisa melihatnya karena terhalang buah-buahan yang menggunung. Mereka menganggap Ujang sebagai pedagang ramah dan mau ditawar murah. Setelah mereka pergi, Ujang meninju-ninju dadanya dengan sangat keras. Ujang akan mengelak jika ada yang melihatnya dengan berkata, “Ah, tadi saya tersedat buah apel.”

Lalu bagaimana Ujang bisa menjadi seorang pedagang buah di pasar induk?

Suatu waktu, karena terus dicemooh oleh tetangganya, Ujang mencoba berbicara baik kepada orang tuanya. Dia meminta sejumlah modal untuk membuat usaha rumahan yang diimpikannya semasa kuliah. Namun, seperti yang sudah Ujang duga, orang tuanya pasti menjawab tidak punya uang. Karena memang seperti itu kenyataannya. Ujang tidak kecewa karena dia sadar, dia hidup di keluarga buruh tani. Satu-satunya cara agar Ujang memiliki modal adalah dengan meminjam ke Bank. Lagi-lagi, Ujang mawas diri bahwa dia tidak punya sebidang tanah atau hal yang berharga untuk dijadikan jaminan. Ujang kalut dan merasa sangat terpuruk.

Malam demi malam penuh kesedihan. Dan, di suatu siklus purnama, sulur cahaya bulan menerobos masuk ke kamarnya yang kumuh, Ujang tidak bisa menahan pedih. Dia merintih sambil memukul dadanya. Dia tersenyum sebentar menghentikan pukulannya, mengingat kemalangan nasib. Kemudian memukul kembali dadanya. Keras. Lebih keras dari yang pernah ia lakukan. Sehingga pukulannya itu menimbulkan suara debam yang dapat didengar oleh seisi rumah. Orang tuanya datang menemui Ujang. Mereka mendapati Ujang sudah berlinang air mata. Nafasnya tersengal. Melihat anaknya seperti itu, mereka merasa tidak tega. Kedua orang tua yang sudah hampir renta itu saling menatap.

“Sudahlah, Nak, kasihani dirimu,” ucap Ibunya sambil menghampiri Ujang. Matanya ikut basah. Dia pun mencoba menghentikan tangan anaknya itu. Sebelah tanganya mengusap kepala Ujang dengan penuh kasih. Ujang bisa merasakan telapak tangan ibunya yang kasar menyeka keringat dingin di keningnya.

“Bapak akan mencoba bicara dengan Tuan tanah. Siapa tahu dia bisa membantu kita...kan, kita sudah bekerja kepadanya cukup lama,” beka Sang Bapak.

Mendengar itu, Ujang mengendurkan ketegangan di tubuhnya. Mula-mula ia mengatur nafasnya. Kemudian urat dan otot yang merentang. Dia bangkit perlahan dari tempat tidur. Menatap kedua orang tuanya. Bibirnya kelu. Dia mencoba menggerakan bibirnya. Dan, akhirnya dia bisa tersenyum. “Apapun keputusan Bapak, saya akan turuti, Pak.”

“Iya Nak, salah bapak mengijinkanmu sekolah tinggi-tinggi. Bapak hanya berharap, kamu tidak bernasib melarat seperti Bapak, tetapi...”

“Tidak apa-apa Pak, ini salah Ujang yang tidak sungguh-sungguh dan pilih-pilih dalam mencari kerja.”

Tangan Ujang bergetar. Hatinya merasa ingin memeluk kedua orang tuanya. Mendahului mereka. Namun, niatnya itu tertahan oleh rasa malu. Malu kepada diri sendiri. Akhirnya, Ibunya lah yang terlebih dahulu memeluk Ujang. Di susul oleh Bapaknya. Mereka merangkul Ujang sangat erat. Menciptakan suasana melankolis di dalam kamar yang sumpek. Tubuh mereka bertiga tertimpa cahaya bulan purnama yang dengan arogan menerobos masuk dari jendela yang tanpa tirai.

*

Tiga hari berselang, Tuan Tanah mengenalkan Ujang kepada Penguasa Pasar. Dialah orang yang ada di balik layar jalannya roda ekonomi di pasar induk kota C. Tidak ada yang mengetahui mekanisme sebenarnya di pasar ini. Meski pun, pasar induk ini berlebel milik pemerintah, akan tetapi, secara operasional, pasar induk ini di kuasai oleh Penguasa Pasar yang sering disebut Gan Min.

(Gan Min bukanlah nama orang-orang Korea, sungguh. Desas-desus mengatakan bahwa Gan itu merujuk pada kata Juragan atau jagoan. Dia seorang jawara. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Gan itu disandarkan kepada kata Ganteng. Karena, Gan Min selalu bersolek di depan janda-janda pasar. Menggoda mereka sambil berkata, “masa kamu ga mau jadi istri ke tujuh Aa ganteng ini, sih, Neng?” Apakah mereka tergoda? Bisa jadi. Namun, sungguh, meski ganteng itu relatif, wajah Gan Min jauh dari standar kegantengan mana pun. Bisa saja, mereka tergoda karena harta yang dimiliki Gan Min. Ah, sudah ini bukan suatu pembahasan yang penting. Dan apa itu Min? Kalian bisa asumsikan sendiri. Boleh saja dengan mencibirnya otak minus. Mari kita lanjut kepada ceritanya!)

Ujang mencurahkan gundah gulananya ke Gan Min. Secara garis besar, Gan Min mengerti permasalahan Ujang. Intinya adalah uang untuk modal usaha dan Gan Min menyanggupi dengan syarat: Ujang mau menjadi pedagang di pasar induk.

“Nanti Saya carikan kamu kios yang masih kosong. Sudah, tidak usah berpikir membuat usaha yang muluk-muluk! Saya ini sudah ada kerja sama dengan pemerintah. Jadi kamu harus bantu Saya juga dengan cara.... Ini Saya kasih sepuluh juta sebagai modal awal. Kamu harus cicil selama setahun dengan bunga tiap bulannya sepuluh persen. Masih manusiawi. Saya tidak akan minta jaminan. Hanya, jika kamu kabur....” Gan Min menempelkan jempolnya ke leher sambil melotot penuh intimidasi. Hidungnya mengembang. Membuat bulu lebat yang ada di rongga itu terlihat. Kemudian Gan Min memperagakan gerakan menyembelih leher.

Ujang merengguk ludahnya. Ia sadar betul konsekuensi jika ia membawa kabur uang itu. Mengingat Gan Min ini adalah Penguasa Pasar dan seorang Jawara. Tentunya, dia juga menguasai para preman di sana yang terkenal sadis. Ujang sedikit bergidik membayangkan kepalanya dipenggal di hadapan Gan Min.

“Baiklah Juragan. Saya terima uang ini.”

Setelah itu, Ujang pulang membawa serta uang itu. Ada perasaan senang di hatinya. Dia mulai membayangkan akan cepat balik modal jika sudah berhasil melunasi hutangnya kepada Gan Min. Dengan begitu, Ujang bisa membalas budi kepada orang tuanya sebagai tanda bukti bahwa ia anak yang sangat berbakti. Pikiran ujang melayang-layang. Dia berencana meronovasi rumah mereka. Membelikan orang tuanya pakaian. Dan setor uang bulanan demi meringankan beban orang tuanya itu. Ujang tersenyum sambil berkata dalam hati, “sebanyak apapun uang yang nanti Ujang kasih, tidak akan bisa membalas semua kasih sayang Bapak sama Emak ke Ujang.”

Namun, bayangan indah di kepalanya harus dia kubur dalam-dalam. Dunia memang keras dan bagian paling kerasnya ada di pasar. Beberapa hari setelah pertemuan dengan Gan Min, akhirnya, Ujang ditugaskan untuk berjualan buah-buahan di pasar induk. Perintah itu langsung dilaksanakan oleh Ujang. Karena sudah diberikan modal yang lumayan banyak oleh Gan Min, ujang berspekulasi, akan menyisakan banyak uang dari belanja pertamanya. Dia beranggapan, akan dipermudah jalannya oleh Gan Min, seperti: Mendapat harga murah dengan barang bagus dari Makelar buahnya Gan Min. Tidak perlu menyewa lapak pasar apalagi membayar uang keamanan.

Ternyata, julukan Gan Min sebagai Penguasa Pasar bukan isapan jempol belaka. Ujang harus membeli buah di Makelarnya Gan Min dengan harga yang sangat mencekik. Ujang juga harus membayar lapak kios di pasar. Ujang juga harus membayar keamanan kepada preman. Dan yang paling utama, Ujang harus mengembalikan uang Gan Min dengan bunga sepuluh persen setiap bulannya. Bayangkan, semua uang berputar dan menumpuk di kantung milik Gan Min. Sejatinya, para pedagang di Pasar Induk ini, yang berhutang kepada Gan Min, tidak ubahnya sebagai budak pendulang emas. Gan Min tinggal berlenggang di singgasana ditemani selir-selirnya sambil menunggu budak-budaknya itu membayar upeti.

Leher Ujang dan pedagang lain seperti diikat rantai besi tak kasat mata. Mereka harus beramah tamah karena sebuah dalil “pembeli adalah raja” yang selalu di tekankan oleh Gan Min. “Ingat citra kota kita harus bagus! Jadilah pedagang yang ramah! Begitu amanat dari Pak Bupati” pesan Gan Min meneruskan keinginan Bupatinya itu.

Akhirnya, terbentuklah suatu karakter yang melekat di masyarakat, bahwa pedagang di Pasar Induk adalah orang yang ramah. Mereka sangat memanfaatkan hal itu. Terutama kepada Ujang yang memiliki senyum paling manis dan selalu meloloskan harga murah ketika ditawar. Sebenarnya, karena sikap Ujang yang seperti itu, buah yang dia jual selalu ludes. Ungkapan “buah busuk” hanya sebuah trik untuk membuat ujang merasa bersalah dan mau mengalah. Suatu sikap masayarakat yang picik. Akibatnya, Ujang tidak pernah membawa “untung” ke rumah. Ujang hanya berpasrah dan tidak kuasa melawan. Akal sehatnya sudah direnggut. Tetangga dan saudaranya semakin mencibir, “tuh, liat Si Ujang, katanya, lulusan ekonomi, tetapi, pas dagang malah buntung!”

Keadaan itu semakin diperparah dengan kejadian kebakaran di Pasar Induk. Lapak milik ujang juga ikut terbakar. Dagangan yang ia simpan di sana jadi tidak bisa dijual kembali. Ujang harus membeli “barang” baru dari si Makelar jika ingin berjualan. Harus. Jika tidak, dari mana Ujang bisa membayar hutangnya ke Gan Min, si Penguasa Pasar itu? Memang, Pemerintah Kota C memberi bantuan kepada para pedangan itu, tetapi, melalui perantara Gan Min. Sudah pasti, si Penguasa Pasar itu menyunat dana bantuan itu terlebih dahulu. Sehingga, pedagang yang terkena bencana itu, yang berhutang kepada Gan Min, hanya diberi jatah sedikit. Itu pun mereka bayarkan kepada Gan Min untuk setor bulanan. Sehingga, yang sebenarnya terjadi adalah: Gan Min memakan semua uang itu.

Pasar Induk selesai di renovasi beberapa bulan kemudian. Ujang yang tidak memiliki penghasilan lain terpaksa meminjam uang kembali kepada Gan Min untuk membayar cicilannya itu. Sehingga kini, hutangnya semakin berlipat ganda. Saat pasar sudah normal kembali, Ujang meminjam lagi uang untuk keperluan modal awal. Gan Min sangat merasa tidak keberatan, karena semakin banyak Ujang meminjam kepadanya, maka, semakin banyak pula bunga yang harus dia bayarkan. Gan Min berkata kepada pala selirnya itu, bahwa ini adalah cara cepat menjadi kaya. Lalu dia berkelakar. Dan, bercumbu dengan mereka satu per satu.

Suatu hari di musim penghujan. Langit pagi itu sudah mend ung. Jalanan di Pasar Induk Kota C jadi becek. Sayur mayur dan buah-buahan yang busuk di buang sembarangan oleh pedagang di sana ke depan kios mereka. Mengundang lalat berkerumun. Ujang melamun di dalam kiosnya. Tatapannya kosong. Dia mencoba mengingat kembali perjalanan hidupnya. Lalu mempertanyakan kenapa dia bisa berakhir seperti ini? Ada berbagai pemikiran yang terlintas. Terutama perihal mekanisme pasar. Posisi sentral pasar bagi masyarakat setempat. Dia semakin menyadarinya. Ujang akhirnya tersenyum. Seperti telah menemukan jawaban dari permasalahan hidupnya. Tiba-tiba, di tengah kebahagiaannya itu ada yang menyadarkan Ujang dari lamunan panjang tentang kehidupan.

“Jang, ayo kita demo!” ajak seseorang yang Ujang kenal sebagai pedagang buah di samping kiosnya.

Ujang menatap pria itu dengan penuh keheranan. Terutama dengan pakaian yang dikenakannya. Dia hanya memakai kain berwarna putih. Semacam Himation. Ujang hanya bisa melongo. Dia baru menyadari, semua orang menggunakan pakaian seperti itu.

“Ayo, jangan hanya melamun. Selama ini kita dipermainkan dan diperbudak oleh lintah darat itu. Ayo, saatnya kita melawan! Kita gaungkan sabda pasar! Jadi hanya mau jadi seorang medioker. Bahkan Budak!”

Ujang semakin kaget. Ternyata dirinya juga sudah berpakaian seperti itu. Akhirnya, dia beranggapan bahwa demo ini memang sudah direncanakan sebelumnya, akan tetapi dia lupa karena terlalu banyak pikiran di kepalanya. “Ah, iya juga, yah, ayo aku ikut!”

Mereka berjalan beriringan. Di tengah jalan pedagang pasar yang lain pun bergabung. Membuat sebuah barisan rapat dan tidak bisa diterobos. Mereka menuju markas Gan Min si Penguasa Pasar. Derap langkah mereka teratur, seperti barisan tentara yang siap berperang. Hidup atau mati. Sesampainya di sana. Dengan dipimpin oleh Ujang mereka berorasi menghadap para demonstran. Dan, munculah sang empu rumah. Semua orang terdiam. Ujang berbalik arah dan semakin terkaget. Dia kenal betul Gan Min. Namun, sekarang di hadapannya muncul sosok manusia setengah lintah.

“Lihat saja rupanya itu adzab!”

“Ya! Lintah darat sialan! Dia yang membuat kita hidup menderita. Bakar saja bajingan itu!”

Jelas sekali kemarahan para demonstran. Tanpa berpikir panjang mereka langsung menyeruduk Gan Min. Menangkapnya dan mengikatnya.

“Kita apakan dia?” tanya salah seorang dari mereka!”

“Bakar saja! Aku yakin. Pasar milik kita dibakar olehnya juga!”

“Ya! Kasih garam saja biar dia meleleh!”

“Ya!”

“Ayo bawa ke tengah pasar! Kita hajar dia sampe mampus di sana!”

“Ya! Orang ini mempermainkan pasar yang suci! Kita harus memberinya pelajaran! Sabda Pasar sudah turun kepada Ujang untuk mengeksekusi orang ini!”

“Ujang sebaiknya kita apakan dia?”

“Kasih garam! Lalu bakar!” jawab Ujang mantap.

Serentak mereka pun mengambil persediaan garam dari gudang tempat kios sembako. Melempari Gan Min dengan itu. Tubuhnya bereaksi. Menyusut. Lalu, dia dibakar habis oleh semua pedagang pasar. Semua orang puas termasuk Ujang. Rasa sakit di dadanya seperti sembuh seketika. Dia sangat yakin tidak akan memukul-mukul dadanya itu. Ujang merasa lega dan dia tertawa. Terbahak-bahak. Di ikuti oleh semua orang. Suara mereka menggema... Menggema di kepala Ujang.

*

Di pagi hari itu. Seorang langganan kios Ujang hendak berbelanja ke pasar. Ia berjinjit karena jalanan becek dan bau. Sesampainya di kios milik Ujang, mendapati Ujang tidak ada di sana. Akhirnya, Ibu itu bertanya kepada pedagang sebelah. Karena, dia merasa heran, melihat kios itu terbuka tetapi pemiliknya tidak ada.

 “Ke mana si Ujang?” tanya ibu itu.

“Tuh,” tunjuk si pedagang itu ke arah yang sangat jauh. Ujung telunjuknya mengarah tepat kepada seseorang yang sedang berjongkok, “dari tadi pagi, Si Ujang ketawa sendiri. Mungkin udah gini,” lanjut si pedagang itu sambil mengukir tanda miring di kepalanya. Si ibu mengangguk. Kemudian beralih ke kios milik pedagang sebelah. Dia berbelanja sangat banyak.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Dua Jendela
Dhiyaunnisryna
Cerpen
Bronze
Coba Kau Lihat ke Arah Ban, Nak!
Nuel Lubis
Cerpen
A MAN WITH FEMALE BIRD
dito bagas
Cerpen
Bronze
Mendekap Surga
Trippleju
Cerpen
Pahlawan Tanpa Tanda Apa-apa
Wina Alda
Cerpen
Bronze
Apakah Salah Untuk Pasrah?
godok
Cerpen
Staf Admin (gak) Support
Maya Suci Ramadhani
Cerpen
Bronze
LALAT-LALAT BERSAYAP DURI
Sri Wintala Achmad
Cerpen
CALON MANTU
Ani Hamida
Cerpen
Cinta yang Tersisa
SURIYANA
Cerpen
Cerita Toko Kopi Padma
Ananda Putri Damayanti
Cerpen
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Salah yang Menghapus Kebaikan
Lianhua Xien Yi
Cerpen
Tetanggaku Alien
rintan puspita sari
Rekomendasi
Cerpen
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Balada Tiga Hyang
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Di Penghujung Hari
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pasar Bisa Diciptakan
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Balada Cinta Gila
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Oh, Nani, Mastrubasi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pemangsa Paling Kejam
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sisifus Erostus not Ereksi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Simulasi Mati
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku dan Hantu Fyodor Dostoevsky
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Aku Bersimpuh di Hadapan Kopi yang Tengah Ku Seduh
Galang Gelar Taqwa