Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Saat Tidak Punya Apapun Lagi yang Bisa Hilang dalam Hidup Ini
9
Suka
3,751
Dibaca

Sudah tujuh bulan sejak Kania dan Andra memutuskan untuk berhenti saling menjadi rumah satu sama lain. Tujuh bulan sejak Andra, dengan mata yang tak sanggup menatap langsung, mengatakan bahwa cinta mereka tak cukup kuat untuk bertahan. Tujuh bulan sejak Kania berhenti menerima pesan selamat pagi dan mendengar gumaman “jaga diri baik-baik” dari mulut yang dulu begitu akrab.

Namun, tujuh bulan itu tidak berhasil membuat Kania berhenti datang ke rumah Andra.

Rumah itu, di sudut gang kecil dengan pagar putih yang catnya mulai mengelupas, adalah tempat Kania menemukan kehangatan. Tidak hanya dari Andra, tapi dari seluruh keluarganya. Pak Dani yang selalu menyambut dengan senyum dan sapaan hangat. Bu Ratna yang sudah seperti ibu sendiri. Gama yang cerewet tapi selalu bisa membuat Kania tertawa. Zara yang gemar curhat soal gebetan di sekolah, dan Amar, si kecil yang tak pernah lelah memanggil Kania setiap kali ia datang: “Kak Kaaaniaaa!”

Andra memang tidak lagi berbicara padanya. Mereka tak saling menyapa, bahkan jika berpapasan di ruang tamu. Andra akan segera mengalihkan pandangan, masuk ke kamarnya atau pura-pura menelepon seseorang. Tapi Kania tidak datang untuk Andra. Atau setidaknya, itulah yang ia yakini setiap kali menginjakkan kaki di teras rumah itu.

“Kania, kamu nggak perlu maksa datang kalau kamu nggak nyaman,” kata Bu Ratna suatu sore, saat mereka berdua sedang duduk di dapur, membuat bakwan untuk cemilan sore.

“Aku nyaman, Bu. Justru... di sinilah aku merasa masih punya keluarga,” jawab Kania lirih, matanya menatap adonan yang ia aduk.

Bu Ratna tak menjawab. Hanya meraih tangan Kania dan menggenggamnya.

Gama, si sulung yang dua tahun lebih muda dari Andra, punya caranya sendiri membuat Kania tetap merasa dibutuhkan. Setiap kali skripsinya mentok, ia akan mengirim pesan atau menelepon, merengek seperti anak kecil.

“Ka, tolongin dong. Aku buntu banget, sumpah. Aku tahu kamu jago bikin kerangka teori. Bantuin ya, plis. Nanti aku traktir kopi,” katanya suatu malam.

Zara pun sama. Ia sering mengirim voice note berisi keluhan tentang tugas sekolah atau gebetan yang tak kunjung peka. “Kak, aku tuh kesel banget sama Dito. Dia kayak nggak ngerti kalo aku suka. Padahal aku udah ngode parah. Kakak pernah nggak sih kayak gitu dulu sama Kak Andra?” pertanyaan yang menusuk tapi tak pernah ia tolak.

Lalu Amar. Si kecil yang polos, yang belum paham soal patah hati. Yang masih berlari memeluk Kania setiap kali ia muncul di pintu pagar.

“Kak Kania, aku bikin gambar! Nih, aku gambar kita sekeluarga. Ada Kak Kania juga!”

Gambar krayon itu masih disimpan Kania di dompetnya.

Suatu sore, Kania datang lebih awal. Ia ingin membantu Bu Ratna memasak karena keluarga itu akan mengadakan makan malam kecil-kecilan untuk ulang tahun Pak Dani. Saat sedang memotong wortel, Kania mendengar suara motor di depan rumah. Ia menoleh dan melihat Andra turun dari motor bersama seorang perempuan.

Perempuan itu tinggi, berambut panjang, dan mengenakan blouse putih bersih. Wajahnya manis, dan ia tertawa kecil ketika Andra membukakan pagar.

“Oh...” suara itu lepas begitu saja dari mulut Kania. Tangan yang menggenggam wortel tiba-tiba terasa beku.

Bu Ratna menoleh dan ikut melihat ke luar jendela. Lalu ia menepuk tangan Kania perlahan. “Itu Dinda, temen kantornya Andra. Kayaknya mereka lagi dekat.”

Kania tersenyum. Atau mencoba.

“Cantik, ya,” katanya pelan.

“Tapi kamu tetap Kania. Anak yang kami sayang.”

Malam itu, Kania membantu menyajikan makanan di meja. Ia duduk di samping Gama, mendengarkan candaan Amar, dan menjawab pertanyaan Zara tentang nilai ujian. Andra duduk berseberangan dengannya. Dinda duduk di samping Andra. Mereka terlihat serasi. Terlalu serasi.

Saat makan malam selesai dan semua orang tertawa, Kania pamit lebih awal.

“Aku harus pulang, Bu. Besok ada kerjaan pagi-pagi.”

“Dianterin Andra, ya?” tanya Pak Dani.

Andra dan Kania sama-sama menggeleng.

“Aku naik ojek online aja, pak. Nggak apa-apa.”

Pak Dani tampak ingin berkata sesuatu, tapi mengurungkan niatnya.

Di depan rumah, saat Kania menunggu ojeknya, Gama menyusul.

“Kamu baik-baik aja, Ka?”

Kania mengangguk, lalu menatap langit malam yang tampak lengang. “Aku udah nggak punya apa-apa lagi buat hilang, Gam. Jadi ya... aku baik-baik aja.”

Hari demi hari berlalu. Kania masih datang sesekali. Tapi intensitasnya mulai berkurang. Ia mulai menjaga jarak, sedikit demi sedikit. Tapi setiap kali ia pergi, Zara akan mengirim pesan, “Kak, minggu depan datang lagi, ya?” dan Amar akan merekam suaranya, “Aku kangen Kak Kania.”

Sampai suatu hari, Kania datang dengan mata sembab. Ia baru saja kehilangan pekerjaannya karena perusahaannya melakukan PHK besar-besaran. Dan ia tidak tahu harus ke mana.

Rumah itu, lagi-lagi, menjadi tempatnya berpulang.

Bu Ratna memeluknya erat. “Kamu bisa tinggal di sini dulu kalau mau.”

“Nggak, Bu. Aku Cuma... butuh pelukan.”

Andra melihat semua itu dari atas tangga. Ia tak berkata apa-apa. Tapi malam itu, ia meletakkan secangkir teh hangat di depan kamar tamu tempat Kania tidur.

Tanpa sepatah kata pun.

Malam-malam panjang itu tak bisa selamanya menenangkan. Tapi bagi Kania, rumah itu adalah satu-satunya yang tersisa. Ia tak bisa memaksa Andra untuk mencintainya kembali. Tapi ia juga tak bisa memaksa hatinya berhenti peduli pada keluarga yang telah menjadi separuh hidupnya.

Suatu hari, saat Andra duduk sendirian di teras, Kania memberanikan diri duduk di sampingnya. Lama mereka terdiam, sebelum akhirnya Andra berkata, “Kenapa kamu masih datang?”

“Karena aku sayang mereka.”

“Tapi itu menyakiti kamu sendiri.”

“Lebih menyakitkan kalau aku harus kehilangan semuanya. Aku udah kehilangan kamu, Dra. Tapi keluargamu... mereka tidak pernah melepas aku.”

Andra menatap Kania. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, mata mereka bertemu.

“Aku minta maaf.”

“Aku udah memaafkan kamu sejak lama.”

Waktu terus berjalan. Dinda masih ada di sisi Andra. Dan Kania menerima itu. Ia mulai menata hidupnya kembali. Mendapat pekerjaan baru, menulis lagi di blognya, dan perlahan mengisi dirinya dengan cinta yang tak bergantung pada siapa pun.

Ia tetap datang sesekali, membawa kue untuk Amar, mendengarkan curhat Zara, membantu Gama dengan CV-nya, dan mengobrol dengan Bu Ratna dan Pak Dani di sore hari sambil menyeruput teh hangat.

Ia tahu, ini bukan cinta yang romantis. Tapi ini cinta yang tidak akan pernah hilang.

Karena ketika semua hal pergi darimu, satu-satunya yang tersisa adalah keberanian untuk tetap mencintai, meski tak lagi dimiliki.

Dan Kania... sudah tidak punya apapun lagi

yang bisa hilang dalam hidupnya.

Kecuali dirinya sendiri. Dan itu akan ia jaga sekuat yang ia bisa.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
LARA ARUNIKA
Izna R Ashvia
Cerpen
Saat Tidak Punya Apapun Lagi yang Bisa Hilang dalam Hidup Ini
Uhdia Pancananda
Novel
Prahara di Langit Borneo
Raida Hasan
Komik
My Demonic Angel
Zsa Zsa MI
Skrip Film
LOST BUT FOUND
Nadya Octaviana
Novel
Sampai Ujung Sembilu
Yuna
Skrip Film
Surga Yang Bersembunyi (Script Film)
Silvia
Skrip Film
Nanti 9 Tahun Lagi (Script)
Ineza Sativa
Flash
CINCIN PERKAWINAN
Embart nugroho
Flash
Lintang
Jasma Ryadi
Cerpen
Memahat Jalan
Ron Nee Soo
Cerpen
Malam yang Tak Pernah Usai
yuli asari
Novel
Bronze
Jatuh Dari Langit
Joannes Rhino
Komik
Ayahku Ternyata Mafia
Baiq Desi Rindrawati
Skrip Film
FIRASAT
RIZKY AMANDA PUTRI
Rekomendasi
Cerpen
Saat Tidak Punya Apapun Lagi yang Bisa Hilang dalam Hidup Ini
Uhdia Pancananda