Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Saat Sedang Basah-basahnya
1
Suka
275
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

When It's Wet

(Saat Sedang Basah-basahnya)

oleh Cléa Rivenhart

22:56, Sabtu, 24 Mei 2025

Menangis di bawah hujan. Berteriak saat petir menyambar. Mungkin sudah jadi gambaran usang, sesuatu yang hanya dilakukan tokoh-tokoh drama yang terlalu sering menyentuh sisi melankolis kehidupan. Tapi kali ini, ia tak peduli. Klise pun bisa menjadi obat, jika itu yang paling dibutuhkan.

Dan nyatanya, itulah yang paling ia inginkan malam ini.

Ia butuh tempat untuk membuang bising yang riuh di kepalanya. Bukan ruang sunyi dengan lampu temaram dan aroma kayu manis seperti di kafe-kafe yang kerap disarankan dalam artikel kesehatan mental. Ia butuh langit yang mencuci tubuh dan pikirannya sekaligus. Ia butuh suara gemuruh dan kilat yang membelah langit, seperti cara Tuhan menyindirnya secara langsung.

Ia keluar tanpa jas hujan. Bahkan tanpa sepatu. Tak membawa apa-apa kecuali dirinya yang setengah rapuh dan setengah tak peduli. Setiap tetes hujan yang menghantam kulitnya terasa seperti tamparan lembut yang mengingatkan bahwa ia masih hidup. Masih di sini. Masih bisa merasa.

Hujan semakin deras. Angin membungkus tubuhnya yang mulai menggigil, tapi ia tidak berniat berhenti. Ia justru merasa tenang. Sesuatu yang selama ini mengganjal di dadanya—yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, apalagi dibagi ke siapa pun—perlahan larut, menyusup ke dalam jalanan yang basah.

Malam itu, ia mengajak luka-lukanya berjalan-jalan. Menemani rasa lelah yang tak pernah sempat tidur. Hujan tak mengusir kesedihannya, tapi setidaknya membuatnya tak lagi merasa sendirian.

Ia terlihat seperti orang kehilangan waras. Tapi, bahkan orang gila pun terkadang tahu kapan harus berteduh. Mereka mencari pohon rindang atau emperan toko yang ditinggal tutup. Sementara dia—dia memilih tetap di bawah hujan, seolah sedang menantang dunia. Atau menantang dirinya sendiri.

Petrikor menyusup ke inderanya, bercampur dengan bau tanah dan aspal basah. Sementara petir menari-nari di langit, memantul di genangan jalanan seperti cermin. Sesekali, kilatan itu terasa sangat dekat, seakan ingin menyambar pikirannya yang kacau, mengejeknya yang kalah bahkan sebelum sempat benar-benar berperang.

Tapi untuk pertama kalinya, ia tidak merasa kalah. Justru merasa hidup.

Tubuhnya menggigil. Bajunya lekat pada kulit. Namun dadanya terasa lebih lapang dari biasanya. Ia tertawa kecil—tawa yang getir, tapi jujur. Untuk apa terus menyiksa diri karena hidup tidak berjalan sesuai harapan? Bukankah setiap orang punya rahasia yang tak pernah terlihat dari luar?

Ia tahu ia tak sendiri dalam rasa bingung ini. Tapi ia juga tahu, tak ada gunanya terus membandingkan hidupnya dengan milik orang lain. Yang bisa ia lakukan hanya satu: menjalani hidup yang ia punya, dengan seluruh ketidaksempurnaan dan luka yang menyertainya.

Langkahnya melambat. Air hujan masih turun, tapi tidak lagi membuatnya berat. Justru seolah mendorongnya untuk terus berjalan. Ia menengadah, memejamkan mata, dan membiarkan air hujan membasuh wajahnya yang basah entah oleh air mata atau sekadar hujan biasa.

Ia sudah selesai dengan tangis. Selesai dengan teriak. Kini ia hanya ingin pulang. Bukan ke rumah, tapi ke dirinya sendiri.

Dan malam itu, di bawah hujan paling deras yang pernah ia temui, ia akhirnya menemukan jalan pulang.

***

Setelah berjam-jam berjalan, kadang berhenti sejenak menikmati akar-akar petir yang menjalar di langit, Juwita mulai kelelahan. Kakinya pegal, tubuhnya gemetar. Ia memelankan langkah, memeluk tubuh sendiri, seperti hendak menyatukan serpihan-serpihan dirinya yang retak. Yang berderai bukan lagi air mata, melainkan hujan yang semakin deras, mengaburkan pandangan dan menyusup ke seluruh pori-porinya.

Dari kejauhan, cahaya samar mendekat. Pantulan lampu kendaraan di riak air jalanan. Sebuah motor berhenti di sampingnya. Juwita tetap berjalan, meski tangannya dicolek agak keras oleh pengendara motor itu.

"Eh... orang, beneran orang," gumam pria itu, panik. Matanya celingukan, bolak-balik memantau sekitar. Wajahnya waspada, seolah takut ini hanya jebakan begal.

"Mbak? Mbak?" tanyanya akhirnya.

Ia terus mengikuti dari samping, sambil tetap duduk di atas jok motornya, memapah gerak Juwita dengan pelan.

“Mbaaak...” Nadanya seperti anak kecil yang ngajak main.

Terus saja memanggil, hingga petir besar membelah langit dan mengagetkan mereka.

“Tuh kan, Mbak. Ditegur Tuhan, loh. Enggak takut apa kesamber petir? Ini jalan, loh. Kalau ketabrak gimana?” Suaranya terdengar panik, tapi juga kesal.

Juwita hanya ingin petir itu benar-benar menyambar. Tapi sedari tadi Tuhan seolah hanya mengguyur tubuhnya dengan hujan dan menertawakannya lewat tarian kilat.

"Mbak mau ke mana? Kenapa hujan-hujanan begini?"

Juwita tetap diam.

"Mbak, saya ngomong sama Mbak, loh. Masa enggak digubris?"

"Mbak, ini udah malam. Serem loh di sini, makin sepi, makin bahaya."

Juwita akhirnya meliriknya dengan tatapan tajam. Pria itu nyaris terjungkal dari motornya.

“Eh, maaf, Mbak. Saya enggak ada maksud ganggu, beneran. Tapi saya kasihan. Dingin kan? Besok mungkin harus sekolah, kerja... Kalau sakit gimana? Kasihan orang rumah juga. Kasihan Mbaknya.”

Dari penampilannya, motor seadanya, jaket tipis, Juwita menduga pria itu buruh dari PT entah apa. Ia menepi, mengisyaratkan agar pria itu pergi saja. Tapi pria itu tak bergeming.

“Saya antar pulang ya? Atau ke mana gitu? Saya enggak tega liat Mbak kedinginan gini. Tangan udah keriput gitu. Kata Mama saya, kalau tangan udah keriput, artinya main airnya udahan. Mama Mbak juga pasti bilang gitu kan?”

Juwita menarik napas dalam. Hampir mencekik dirinya sendiri. Tapi akhirnya ia bicara.

“Aku enggak butuh perhatian dari kamu. Enggak perlu pertolongan. Anggap saja enggak pernah lihat aku. Lanjut aja jalanmu.”

Pria itu ikut menarik napas.

“Mbak, saya udah lihat Mbaknya. Berarti Mbaknya tanggung jawab saya. Saya ini laki-laki, bukan cowok.”

Juwita memerah. Geram.

“Kita enggak saling kenal. Dan kamu enggak perlu merasa bertanggung jawab apa pun. Pergi saja.”

“Saya enggak bakal bisa tidur di rumah nanti. Serius. Atau saya telepon damkar ya? Biar Mbaknya dijemput truk merah, viral, masuk TikTok: ‘Cewek main hujan dijemput Damkar—versi lengkap.’”

Ia mengeluarkan HP-nya. Juwita menjerit dan melompat-lompat, frustrasi. Pria itu malah makin gemas.

“Enggak,” kata Juwita singkat, napasnya terengah karena kalah oleh suara hujan.

Angin ikut menggila. Badai kecil menyusup perdebatan mereka.

“Saya serius, Mbak. Saya enggak pergi sebelum Mbak terima tawaran saya. Satu aja.”

Juwita diam. Matanya merah, tubuhnya menggigil.

“Ini HP dan KTP saya, kalau enggak percaya.” Ia menyerahkan plastik ziplock berisi identitas dan ponselnya. “Masih enggak percaya?”

Juwita melirik kanan-kiri. Ia sudah terlalu jauh berjalan. Tak tahu sekarang di mana. Tanpa ponsel, tanpa uang, pulang adalah kemustahilan.

Ia mengambil ziplock itu dan menyimpannya di saku celana yang sudah menyatu dengan kulitnya. Tanpa berkata, ia naik ke motor.

Pria itu menahan senyumnya. Ia nyalakan mesin.

“Jadi... mau ke mana kita?” tanyanya, terlalu ceria.

Juwita hampir turun lagi.

“Eh! Jangan-jangan! Oke, ke mana pun saya ikut,” cepat-cepat ucapnya. Motor melaju, hujan mulai mereda. Hening menemani perjalanan.

Beberapa kali motor oleng. Juwita hampir pingsan. Pria itu berhenti, mengeluarkan tali dari tasnya.

“Buat keamanan, ya. Bukan buat yang aneh-aneh.” Ia melilitkan tali ke tubuh Juwita dan tubuhnya sendiri, tiga kali lilit. Cukup kencang, membuat mereka melekat.

Setengah jam berlalu. Hujan kembali deras. Mereka berhenti di bawah lampu jalan. Di pinggir kanan, ada gerobak mengepul. Bukan bakso, bukan mie ayam. Cuanki, mungkin.

Juwita hampir tumbang. Pria itu segera melepas ikatan, membantu duduk di bangku pembeli. Menatapnya lama, memastikan dia masih hidup. Juwita menjawab dengan tatapan tajam.

“Masih kuat ngambek, ternyata,” gumamnya, tertawa pelan.

“Bang, jualan apa?”

“Cuanki, A.”

“Dua, komplit,” katanya.

“Siap!”

Juwita tetap diam, menggigil. Pria itu mendekat, ingin membantu.

“Mau apa kamu?!” teriaknya.

“Itu... bajunya. Diperas. Biar enggak makin dingin. Galak banget, sih.”

Juwita mulai memeras bajunya pelan-pelan. Tapi bagian lengan susah dijangkau.

“Mau saya bantu?” Pria itu sudah memperhatikannya diam-diam dari tadi. Penuh kesabaran.

Juwita menyodorkan tangannya. Ia memelintir lengan baju Juwita satu per satu. Bahan wol yang tebal mempermainkan mereka, menyulitkan. Tapi mereka tak menyerah.

Cuanki datang. Mereka menyambut mangkuk bersamaan. Seperti kembar. Satu tersenyum, satu cemberut. Kuahnya menghangatkan tubuh mereka. Tiga kali tambah kuah, sampai sendawa.

Pria itu tertawa. Juwita tetap kaku. Rencana healing-nya berantakan total. Dan sekarang, ada orang asing yang duduk di sisinya sambil mengolok-olok petir.

Kang cuanki dan pria itu saling melempar tawa, seolah dunia tidak punya beban. Mereka tertawa ke arah langit, menantang hujan.

Sementara Juwita tetap menatap riak air di aspal. Genangan itu mengingatkannya pada batu-batu sungai tempat ia biasa diam saat kecil.

Dan malam ini, ia pun kembali diam. Meski perasaannya perlahan—meski sangat perlahan—mulai hangat.

***

Tak lama setelah mereka selesai makan, semakin banyak orang melirik ke tempat mereka berteduh dan memutuskan untuk ikut membeli cuanki. Bertambah dan terus bertambah, hingga mereka merelakan tempat duduk mereka untuk para peneduh baru. Ada yang baru pulang kerja, ada yang baru keluar rumah untuk berjalan-jalan tapi dihentikan hujan, ada pula keluarga yang baru pulang entah dari mana. Beberapa lainnya seperti mereka—sepasang sejoli yang canggung dan salting (salah tingkah).

Mereka berdua berdiri sementara para peneduh lainnya ada yang jongkok, ada pula yang duduk. Karena kondisi Juwita terlihat lebih mengkhawatirkan—basah kuyup sejak awal hujan dan kini sudah lebih dari dua jam—si Kang Cuanki pun merelakan satu-satunya tempat duduk untuknya. Dengan susah payah, Juwita duduk dan mulai gemetar lagi.

Pangeran memakaikan helm ke kepalanya, agar angin tidak semakin kejam membuatnya kembung. Semakin pegal, Pangeran tak enak diam. Ia terus berganti posisi—jongkok, berdiri, loncat-loncat, memutar, meregangkan badan dan otot. Sampai akhirnya, Juwita peka dan mempersilahkannya untuk duduk bergantian.

"Serius???" tanyanya dengan mata berbinar.

Pria itu segera membuka jaketnya dan duduk. Ia menatap Juwita dari balik punggungnya sambil tersenyum, lalu melipat jaket tipisnya menjadi empat lipatan tebal, meletakkannya di atas pahanya, dan menarik Juwita dengan lembut tapi cepat agar ia duduk di pangkuannya tanpa sempat menolak.

Terdengar suara seperti anak kucing jatuh dari atas kursi.

Lucu sekali.

Pria itu menahan tawa, sementara pipi Juwita merah merona. Orang-orang sempat mencari-cari asal suara, lalu sadar melihat posisi mereka yang berubah. Namun segera kembali sibuk dengan semangkuk cuanki pedas dan kuah gurih yang hangat, sambil sedikit terkesan.

Juwita benar-benar malu, dan kali ini jantungnya berdetak sebagaimana seharusnya. Bukan sekadar berdebar tak berguna seperti yang biasa ia artikan.

Jam menunjukkan pukul setengah dua belas—waktu pasti bagi Cinderella untuk pulang tanpa cedera. Hujan pun seolah mengiyakan, karena ia mulai mereda setelah menyatukan sepasang kekasih baru—harapannya. Satu per satu peneduh mulai pulang, sambil membungkus satu dua keresek cuanki sebagai tanda terima kasih. Senyum si Kang Cuanki pun melengkung, ditemani pelangi yang tercipta dari pantulan lampu merkuri.

"Bang, saya juga dua ya. Masih ada, kan?" tanya Pangeran.

"Sebentar... Oh, ada. Pas, kebetulan tinggal dua. Jodohnya."

Mereka pun tertawa. Sementara Juwita kembali frustasi karena tawa itu terdengar terlalu keras dan ceria.

Cuanki pun siap. Ia segera menggantungnya di motor dan mempersilakan Nona Manis untuk naik. Kali ini tanpa protes, tanpa perlawanan.

"Arah rumahnya ke depan apa ke belakang?"

"Pakai nanya lagi," jawab Juwita sinis.

"Oh iya, tadi kita dari belakang ya. Lupa-lupa. Maaf," katanya sambil menahan tawa geli.

Mereka pun melaju, dengan Juwita sebagai navigator.

"Di depan," ucapnya kemudian.

"Okay," sahut Pangeran sambil mengerem pelan. "Akhirnya sampai."

Pria itu melihat sekeliling, memastikan bahwa pemberhentiannya bukanlah kompleks kuburan.

"Alhamdulillah, rumah manusia semua," gumamnya, sambil menatap layar dan menandai peta di ponsel—jaga-jaga jika ada kabar kematian bunuh diri.

"Sudah pergi," ucap Juwita tiba-tiba.

"Kamu... ngusir saya?" tanya Pangeran, tak percaya.

"Iya, siapa lagi?"

Pangeran pura-pura sakit hati. Ia mengelus dadanya, lalu menyerahkan satu keresek cuanki yang masih hangat.

"Ini ucapan terima kasih dari saya," katanya dengan penekanan.

"Terima kasih," sahut Juwita dengan nada yang sama.

Mereka nyaris tertawa, tapi ditahan. Namun setelah saling bertatapan—

"Enggak usah ditahan," ucapnya pelan, memancing.

Tawa mereka pun pecah. Dengan malu, Juwita segera menggeser pagar rumahnya dan berlari terbirit-birit ke arah pintu belakang.

"Selamat malam, jangan lupa mandi ya!" teriak Pangeran lantang.

Ia lupa menutup gerbang. Turun lagi dari motor dan menutupnya. Tak sadar, bayangan Juwita terlihat dari jendela, sedang mengintip.

"Besok-besok aku boleh main ke sini, kan?" tanyanya sambil menancap gas.

Juwita tersenyum-senyum, pipinya kembali merona.

Sejak hari itu, setiap kali ada kiriman cuanki ke rumahnya, Juwita selalu tersipu-sipu.

Kali ini, meski tanpa harapan, hidupnya berjalan lebih maju—bahkan lebih bahagia. Setelah sekian lama tak mengharapkan apa-apa, kini ia merasa apa pun tak lagi penting, selama ia diberi kesempatan kedua untuk bahagia bersama pria yang satu ini. Dan ia sudah siap untuk kembali berjalan di tengah derasnya hujan—kapan pun itu datang.

Niat awalnya untuk melepaskan beban berat dalam hidup, untuk menyembuhkan mentalnya yang hancur dengan menapaki alam, telah dijawab Tuhan... lewat seorang pria paling kocak dan suka bercanda yang datang ke dalam hidupnya yang kaku. Betapa hidup, alam, rencana Tuhan, dan perempuan memang sulit ditebak.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Mimpi Tanpa Tapi
VelouRa
Cerpen
Saat Sedang Basah-basahnya
Cléa Rivenhart
Novel
MisStar
Envy (Yo Wes Ben)
Flash
Obsesi Sang Rahwana
Yuliani
Flash
Binar
Adrikni LR
Cerpen
Bronze
I Wish
Gita Karmani
Novel
Gold
Song in the Wind
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Setelah Kamu Pergi
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Beauty and the Beast
Mizan Publishing
Novel
Bronze
WISTERIA - Cinta Sang Penguasa
Felice
Cerpen
Bronze
TUNGGU AKU DI SANA
muhamad zaid
Novel
Di Antara Bintang Di Langit
Lirin Kartini
Novel
Menantimu di ujung rindu
Neya Adjie
Novel
Bidadari sekolah
fabian
Cerpen
Bronze
untuk SASTRA.
rimaberliana
Rekomendasi
Cerpen
Saat Sedang Basah-basahnya
Cléa Rivenhart
Cerpen
Zaman Membara
Cléa Rivenhart