Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di ujung dunia Niravuna, berdiri sebuah kota bernama Marastra, orang-orang percaya bahwa malam adalah percakapan panjang antara laut dan langit. Ombak adalah suaranya, dan bintang-bintang adalah mata yang berkelip. Orang-orang percaya bila suatu malam bintang benar-benar jatuh dan menyentuh laut, maka dunia akan berubah antara langit dan bumi yang tak lagi berjarak.
Namun sejak badai besar menelan senja dua tahun lalu, keduanya seakan berhenti berbicara. Laut menjadi muram, langit menjadi buta, dan manusia lupa bagaimana cara menatap keduanya dengan harapan.
Di tepi dermaga tua yang penuh dengan kenangan, dalam setiap penghabisan waktu malamnya, duduk seorang gadis bernama Aluna. Sejak kecil, Aluna merasa laut berbicara padanya. Kadang dengan riuh ombak, kadang dengan getaran lembut di dasar hati. Aluna, ia ialah seorang anak nelayan yang telah lama tak kembali, mungkin ditelan laut, mungkin disembunyikan langit. Setiap malam ia datang membawa botol kaca kosong, menatap ke cakrawala yang hampa, menunggu sesuatu yang tak pernah dijanjikan.
“Laut tidak hanya sekadar air”, kata ibunya dulu.
“Laut adalah ingatan. Ia menyimpan segalanya, bahkan cahaya yang pernah jatuh.”
Malam itu dengan angin laut yang berdesir lembut, membawa kedinginan. Aluna memejamkan mata, lalu berbisik lirih,
“Jika laut benar-benar mendengar, kirimlah satu bintang untukku”
Dan malam itu, langit menjawab. Ada satu bintang yang bersinar jauh lebih terang dari yang lain. Sebuah cahaya biru jatuh dari ketinggian, lentera kecil yang berdenyut lembut seperti jantung bayi semesta. Cahayanya memantul di permukaan air, menari, memanggil.
Tanpa pikir panjang, Aluna melangkah ke laut. Ombak merangkul pergelangan kakinya, dingin namun ramah, dan begitu tangannya menyentuh cahaya itu, dunia berubah.
“Jangan takut,” katanya lembut.
Dari lentera kecil itu muncul sosok bercahaya tampak seperti mutiara dan serpihan bintang, bersayap bening seperti gelembung air.
“Namaku Sinaran, Penjaga Bintang Laut, datang dari langit dari dunia di atas, Astravaya. Tempat bintang lahir dan mati. Aku memanggilmu, Aluna, karena kamu satu dari sedikit manusia yang masih menangadah.”
Aluna menatap langit cair yang berkilau bagai kaca.
“Apa yang terjadi pada bintang-bintang itu?”
Sinaran menunduk, matanya penuh dengan kehilangan, suaranya seperti tetes air di tengah hening. Ia menjelaskan bahwa setiap seribu tahun sekali di setiap malamnya, satu bintang padam tanpa sebab, ketika langit sedang kehilangan cahayanya, ada satu roh bintang yang turun ke Niravuna untuk mencari jawaban bahwa laut masih menyimpan cerminan langit.
“Mereka tenggelam. Dunia di bawah lupa bermimpi. Dan setiap kali manusia berhenti berharap, satu bintang jatuh dari langit.”
Hari-hari berikutnya menjadi sunyi tapi penuh dengan cahaya baru. Sinaran tidak kembali ke langit. Ia tinggal di Marastra, berjalan di tepi pantai bersama Aluna, memandangi laut yang memantulkan sinarnya sendiri.
Suatu malam, Sinaran memberikan Aluna seutas benang biru, sehalus embusan napas, berkilau seperti riak yang menyimpan bulan.
“Benang ini adalah sisa harapan laut. Gunakanlah untuk menjahit kembali celah antara langit dan samudra.”
Aluna melangkah. Ia berjalan di atas udara yang lembut seperti permukaan air. Setiap langkahnya menimbulkan lingkaran kecil cahaya, seolah langit sendiri menyambutnya. Bintang-bintang yang retak meneteskan sinar, menyerupai air mata makhluk purba yang lelah bersinar sendirian.
Aluna mengikat setiap bintang dengan benangnya. Setiap simpul yang ia buat melahirkan nyala baru, dan setiap cahaya yang hidup kembali memuat langit sedikit lebih hangat.
Namun ketika ia hampir selesai, angin berubah arah. Langit bergemuruh, dan dari jauh datang badai hitam yang berputar seperti jantung amarah.
Dari badai itu muncul sosok tinggi besar berkulit kelam, dengan mata seperti batu bara menyala. Tarakaa namanya. Penjaga kelam, makhluk purba yang lahir dari laut ketika manusia pertama kali melupakan rasa syukur. Dulu, ia adalah bintang pertama yang menyinari dunia. Tapi ketika cinta dan cahaya menyalakan iri di hati para langit lain, ia jatuh dan menjadi malam itu sendiri. Kini ia menjaga kegelapan agar dunia tidak terbakar oleh terang yang berlebihan.
“Berhenti, manusia kecil,” suaranya berat, bergema di seisi langit.
“Kau turun terlalu rendah, Sinaran,” gumamnya dari balik bayang laut.”
“Cahaya hanya membuat manusia sombong. Tanpa gelap, mereka tak tahu rendah hati.”
“Cahaya tak boleh menyentuh air karena laut akan mencintainya, dan itu adalah kutuk bagi keduanya.”
Aluna berdiri gemetar, tapi benang biru itu masih berkilau di genggamannya.
“Mungkin benar,” katanya pelan, “tapi tanpa cahaya, manusia tak tahu arah pulang,”
Tarakaa tertawa seperti petir yang menyayat. Ia mengangkat tangannya, badai memekik. Benang biru Aluna mulai putus satu per satu. Dalam keputusannya, ia memejamkan mata dan mengingat lagu ayahnya, lagu yang dulu dinyanyikan di antara suara ombak:
“Langit dan laut berjanji di ujung dunia untuk saling mencari bila manusia lupa.”
Aluna menyanyikan lagu itu. Suaranya kecil, namun tulus. Nada-nadanya meluncur di udara, berubah menjadi gelombang cahaya yang menjahit kembali rekaan langit.
Badai berhenti. Tarakaa terdiam. Dalam matanya yang hitam, muncul pantulan bintang pertama malam itu.
“Aku lupa,” katanya lirih, “bahwa bahkan kegelapan pun rindu pada cahaya.”
Ia pun lenyap, seperti debu yang larut dalam laut.
Duduknya Aluna di tepi dermaga dan bintang-bintang di atasnya bergetar seperti ingin jatuh. Sinaran menggenggam tangannya.
“Jika kamu benar bintang itu, kamu harus kembali bersinar. Tapi bila kamu tetap di bumi, langit akan kehilanganmu selamanya.”
Aluna membuka mata. Ia sudah kembali di dermaga. Langit bersih, laut berkilau, dan di tangannya masih ada botol kaca, kini berisi sebutir cahaya kecil yang berdenyut lembut.
Ia tersenyum, menaruh botol itu di permukaan air. Cahaya di dalamnya perlahan tenggelam, tapi tidak padam. Ia melayang di laut, berkilau seperti lentera kecil yang menari bersama ombak.
Malam itu, penduduk kota Marastra melihat keajaiban: Satu bintang benar-benar turun dan terapung di laut.
Lalu esoknya, satu lagi. Dan malam-malam berikutnya, semakin banyak bintang turun, seolah langit menepati janji lama pada laut. Di antara cahaya-cahaya itu, kadang tampak bayangan seorang gadis muda duduk di dermaga, menulis sesuatu di udara dengan jarinya, mungkin doa, mungkin puisi, mungkin sekadar rindu.
Namun setiap kata yang ia tulis menjelma cahaya, dan setiap cahaya yang lahir membuat malam terasa lebih hidup.
Kini orang-orang di Marastra tak lagi takut pada gelap. Mereka tahu bahwa di balik setiap gelombang malam, selalu ada bintang yang sedang berusaha pulang. Dan bila suatu malam kamu berjalan di pantai itu, kamu mungkin akan melihat cahaya kecil terapung di laut, sebuah bintang yang sedang mendengarkan lagu tentang keberanian, tentang kehilangan, dan tentang gadis yang berani menyentuh langit dengan hati yang masih percaya.