Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Rutinitas
0
Suka
70
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di sore yang cerah ini, aku sedang menyirami tanamanku yang tumbuh lebat di halaman depan rumahku. Entah tanaman apa, aku tidak tertarik untuk mencari tahu. Aku hanya ingin menyiraminya. Biar terkesan peduli lingkungan, peduli penghijauan, bahkan jika yang kusiram ini hanya tumbuhan liar sekalipun.

Aku mengenakan headset yang tengah memutar musik-musik klasik. Entah karya siapa, dibuat tahun berapa, apa judulnya. Itu semua bukan urusanku. Yang penting aku sedang mendengarkannya.

Seekor ulat bulu berdiam di salah satu daun tanamanku. Aku tidak tahu apakah namanya memang ulat bulu. Yang jelasnya ia seperti ulat dan ia berbulu. Aku berjongkok untuk mengamatinya. Lebih tepatnya untuk mengancam dengan terus-menerus manatapnya dengan mataku yang sipit. Siapa tahu dia mengerti. Dan saat itulah aku menyadari, ternyata ia tidak sedang berdiam diri. Ia sedang berjalan. Aku bisa melihat tubuhnya yang bak gerbong mini itu serupa ombak dan kaki-kakinya yang menjulur ke samping. Dan perlahan tapi pasti, ia bergerak maju.

Tanpa kusadari, aku mulai menahan nafas. Menatap wajahnya yang dingin dan gerakannya yang sangat amat lambat itu membuatku merasa seperti sedang berjalan di belakang seorang kakek tua tuli yang berjalan sangat amat lambat dan ia tidak menoleh sedikitpun ke belakang untuk memastikan apakah ada orang yang terganggu dengan jalannya atau tidak. Seperti jalanan dan waktu adalah miliknya.

Astaga! Aku sedang mengamati! Apa untungnya bagiku mengamati? Toh, tidak ada pengaruhnya bagiku jika hewan berbulu ini bergerak sangat lamban dan indah serupa ombak. (Apa aku baru saja mengatakan ‘indah’?) Aku berdiri. Mendengus kesal. Kesal karena baru saja membuang nyaris satu menit waktuku untuk ‘mengamati’. Salah satu hal yang kubenci karena tak berguna bagiku.

Aku berbalik untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Namun dendam sering sekali hinggap di dalam hati tanpa diinginkan. Seperti jatuh cinta pada pandangan pertama (meski aku tak percaya ada jatuh cinta pada pandangan pertama).

Bayangan ulat bulu bergerak lamban berwajah dingin – dan ironisnya aku mengetahui itu semua karena aku baru saja mengamatinya – membuatku gusar. Sehingga, dengan penyiram tanaman yang ada di genggamanku, kuhantam tubuhnya hingga terpental dari dedaunan tempatnya berpijak. Ia mungkin jatuh ke tanah atau tersangkut di dedaunan lainnya, aku tak peduli. Membayangkan wajah kaget saat ia mendapatkan sensasi ‘terbang’ itu membuatku berbalik cepat dengan senyum penuh kemenangan. Aku puas.

Di malam harinya, aku terbaring di tempat tidurku. Menarik selimut hingga ke leher. Di luar sedang hujan deras. Dentuman keras guntur dan kelebatan kilat sedang berlomba dengan sangat kompetitif. Aku lagi-lagi mendengus. Padahal sore tadi cerah sekali. Kenapa langit ini begitu tidak konsisten? Plin-plan. Sesukanya mengganti siaran cuaca. Bagaimana bisa ia menurunkan hujan di saat bukan musim penghujan?

Aku meringkuk di balik selimut. Mungkin secangkir teh hangat akan sedikit menyenangkan. Maka aku keluar dari kamar dengan selimut masih membungkus tubuhku – serupa kepompong. Menuju dapur. Melakukan prosedur standar pembuatan teh. Lima menit, tehku telah jadi. Atau mungkin bukan lima menit yang terasa seperti lima menit. Atau mungkin bukan lima menit yang juga tidak terasa seperti lima menit namun aku hanya ingin menyebutnya lima menit

Memangnya kenapa? Toh, aku tidak dirugikan apa-apa. Mau kusebut satu jam kek, dua jam kek, bahkan mau kubilang aku butuh waktu satu tahun untuk membuat secangkir teh pun tidak akan mendatangkan kiamat ‘kan?

Tanpa kusadari aku malah mengomel sendiri sepanjang jalan menuju kamar.

Di rumahku tidak ada jam. Aku hanya mengira-ngira waktu. Lagipula tidak masalah. Waktu akan terus bergulir tanpa perlu aku tahu. Dan aku bisa tetap hidup tanpa diusik oleh waktu. Aku dan waktu bisa mengurus diri masing-masing tanpa perlu ada yang merasa terusik. Kami cukup tahu keberadaan masing-masing. Sayangnya, aku dan waktu tidak bisa beriringan selamanya. Aku punya ujung jalan. Waktu tidak. Ia bebas mengembara kemana saja. Kemana saja dan di mana saja.

Mungkin lain kali aku harus menyapa waktu. Kita bisa mengobrol (sambl minum teh/ kopi). Lalu aku akan bertanya mengapa ia ada dan untuk apa. Mungkin ia juga akan bertanya mengapa aku ada dan untuk apa. Tapi, aku belum menemukan jawaban apa yang akan kujawab nanti. Maka kutunda saja dulu niat mengobrolku dengan waktu ini. Lain kali saja saat aku bisa menjawab pertanyaanku sendiri ketika itu dilemparkan balik padaku (agar aku punya alasan untuk mendesaknya menjawab).

Rumahku ini gelap. Tidak pernah kunyalakan lampu. Bahkan tidak pernah ku berusaha melakukan itu. Entah lampunya berfungsi atau tidak. Tidak ada ingatan di kepalaku bahwa lampu di rumahku ini pernah menyala. Tapi tidak pa-pa. Aku tidak masalah dengan itu. Aku masih bisa melihat dalam gelap. Mungkin salah satu kekuatan superku (di samping aku mampu mengatakan apa saja yang kuinginkan tanpa merugikan siapa-siapa).

Aku ini makhluk pagi-siang-sore-malam. Aku tidak begitu memerlukan tidur. Bahkan sepanjang ingatanku, aku belum pernah tidur seumur hidupku. (Mungkin juga salah satu kekuatan superku). Hanya meringkuk tidak jelas di balik selimut di malam hari dan keluar dari selimut saat matahari menyapa langit. Aku tetap terjaga. Tidak terlelap sedikitpun. Apa yang kulakukan selama rentang waktu itu, aku tak ingat.

Wajar jika manusia melupakan pikirannya sendiri ‘kan ? Manusia memang seringkali hilang akal.

Sekarang aku tengah duduk di tepi ranjang. Meletakkan kopiku di meja di samping ranjangku. Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba tehku berubah menjadi kopi. Entah lidahku yang berubah, atau akalku yang berubah, atau sejak awal aku memang tidak membuat teh, melainkan kopi. Terkadang memang aku sendiri tidak mengerti dengan diriku ini. Tapi aku tidak masalah dengan ke-tidakmengerti-anku. Aku menikmatinya.

Aku menyesap kopiku. Pahit. Tidak masalah. Aku menyukainya. Bukan berarti aku benar-benar menyukai kopi pahit. Praktisnya aku menyukai semua jenis kopi. Bahkan kalaupun ada kopi rasa nanas, aku tak keberatan. Cukup tahu bahwa itu adalah kopi, maka aku akan meminumnya. Dengan senang hati. Aku menerima kopi yang kuminum apa adanya.

Pagi sudah tiba. Aku tidak ingat lagi apa yang kulakukan semalam selain menghabiskan kopiku di balik lilitan selimut. Lalu, tiba-tiba matahari sudah terlihat dan cangkir kopiku telah kosong. Seperti biasa, kulepas lilitan selimutku. Beranjak menuju kamar mandi. Buang benda cair, padat, dan gas. Mengganti kaos oblong dan celana tidur dengan jaket dan celana training. Lalu berlari mengelilingi kompleks yang masih sepi itu (meski sepnajang ingatanku kompleks ini memang selalu sepi).

“Aku selalu mengandalkan ingatan ‘kan? Aku memang selalu mengndalkan ingatan. Karena tidak ada yang bisa kulakukan tanpa ingatan.”

Apa maknanya? Jangan tanya. Aku pun tak tahu. Ia hanya tertanam begitu saja dalam kepalaku. Terpatri begitu saja di salah satu lipatan otakku. Soal mengapa dan bagaimana, mari kita bahas masalah lain saja!

30 menit waktu yang kuhabiskan untuk mengelilingi kompleks. Lalu aku berhenti di depan rumahku. Aku tidak ingat apakah aku menyiram tanaman ini setiap hari. Yang jelasnya ia tumbuh begitu subur. Oh ya, ternyata semalam hujan turun sangat deras. Ternyata itu maksudnya toh.

‘Langit, tidak buruk.’

Aku lalu melangkah masuk ke dalam rumah, menuju kamar, menuju kamar mandi. Mandi. Menghabiskan waktu 15 menit di dalam sana, lalu keluar dengan lilitan handuk. Aku berpakain, lalu keluar dari kamar dan menonton tv sambil menghabiskan popcorn yang entah datang dari mana, namun ada di lemari persediaan makananku.

Kupikir hari ini mood-ku sedang baik. Aku tidak mengomel sebanyak kemarin. Aku tidak ingat mengapa aku begitu banyak omel kemarin. Yang pasti, mood-ku benar-benar sedang buruk kemarin. Tapi hari ini, aku akan menebar kebaikan. Aku hanya tersenyum pada televisi meski ia sedang mewartakan berita tentang pencabulan seorang anak SD. Keji memang. Tapi mood-ku yang sedang baik ini memaksaku hanya tersenyum. Bukan tampang menyedihkan. Bukan berarti aku orang cabul, atau aku senang dengan kejadian ini. Aku bahkan melaknatnya. Seandainya Tuhan akan mengabulkan doaku, aku akan berdoa agar kejadian seperti itu dihapuskan saja dari muka bumi. (Tapi aku tidak tahu Tuhan akan mengabulkan doaku atau tidak. Aku belum pernah mengujinya). Tapi mood-ku yang sedang sangat amat baik ini memaksaku untuk tetap tersenyum meski kejadian yang sangat tidak menyenangkan itu yang diwartakan di depanku.

Aku berjalan ke luar rumah. Berdiri di beranda rumah. Memandangi tumbuhanku yang tumbuh sangat subur. Ia kini terlihat seperti hutan mini. Mungkin sebaiknya aku menyiraminya lagi. Kuambil penyiram tanamanku dan mulai menyiram. Saat menyiram, aku melihat ulat berbulu lagi (entah ulat berbulu yang kemarin atau bukan). Aku tidak tertarik untuk mengamatinya lagi. Jadi aku hanya melanjutkan kembali kegiatan menyiram tanamanku. Tidak berhenti sampai di sini saja, kebaikan hatiku memaksaku untuk menyiram tanaman di rumah lainnya juga. (Semua rumah di kompleks ini terlihat begitu tua dan usang, juga sepi. Aku tidak mengerti). Maka aku berkeliling kompleks, membawa penyiram tanaman, menyirami semua tanaman yang tumbuh subur di halaman satu kompleks. Hingga, saat sampai di ujung kompleks kulihat dua ibu yang sedang mengobrol. Maka aku mendekat, ingin sekedar menyapa.

Aku mengembangkan senyum. Dari jarak 1,5 meter ini mereka tidak memerhatikanku. Masih sibuk mengobrol.

“Ini tempat angker itu, ya?”

“He-em. Yang ada orang gila yang membunuh semua warga kompleks. Terus, orang gila itu bunuh diri. Katanya sih, banyak arwah yang masih suka gentayangan.”

Saat aku mendekat mengeluarkan sapaan selamat siang. (Meski aku tidak yakin ini siang atau sore), kedua ibu itu telah beranjak dari tempatnya, meninggalkanku.

Rupanya, kebaikanku sedang diuji.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Rutinitas
Fatimah Ar-Rahma
Cerpen
Penukar Raga
Eve Shi
Flash
Bronze
Janin
Bakasai
Novel
Gold
The Motion of Puppets
Mizan Publishing
Novel
Drowning in Blood
Zhein24Art
Novel
Bronze
GHOST FAMILY
Herman Sim
Novel
Bronze
Perjanjian~Novel~
Herman Sim
Novel
Bronze
Luk Thep ~Novel~
Herman Sim
Novel
Bronze
Zona Zombie -Novel-
Herman Sim
Novel
Bronze
Deso pager lawang
Ciplukzz
Novel
MAYDARA
Rudie Chakil
Novel
Bis Kota
Faizal Ablansah Anandita, dr
Novel
Bronze
SELAMAT MALAM, KANIA
Rosi Ochiemuh
Novel
HORRIBLE NIGHT ( SEASON 1 )
Audhy R.H
Flash
Aku Ingin Melihatmu
Fia Shofia
Rekomendasi
Cerpen
Rutinitas
Fatimah Ar-Rahma
Flash
Maghrib
Fatimah Ar-Rahma
Flash
Pada Suatu Pagi
Fatimah Ar-Rahma
Flash
Percakapan Dua Ikan Kecil
Fatimah Ar-Rahma
Flash
Danau
Fatimah Ar-Rahma
Flash
Bronze
Takluk
Fatimah Ar-Rahma
Flash
Bronze
Kucing Kelas
Fatimah Ar-Rahma
Flash
Bronze
Pikiran yang Penuh
Fatimah Ar-Rahma
Flash
Bronze
Biskuit Kelapa
Fatimah Ar-Rahma
Flash
Jam Pelajaran
Fatimah Ar-Rahma