Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Rumput (Liar) Tetangga
4
Suka
3,320
Dibaca

Apa cuma aku yang merasa kalau rumput tetangga TIDAK lebih hijau daripada milikku? Aku tidak memiliki rasa iri pada rumput tetanggaku. Sungguh. Apalagi, rumput yang kumaksud di sini adalah benar-benar rumput. Lebih tepatnya, rumput liar. Meski tetanggaku punya banyak rumput liar di halaman rumahnya, aku sama sekali tidak menginginkannya.

Rumput liar itu tumbuh dua kali lebih cepat sejak Nini, sesepuh di rumah sebelah meninggal dunia dua bulan yang lalu. Padahal, saat Nini masih hidup, hampir setiap minggu aku melihat seorang pengasuh Nini, Bi Asih, membersihkan rumput-rumput liar di halaman kecil rumahnya sampai ke luar pagar sebelum jalan. Bahkan, meskipun rumput-rumput liar yang tumbuh itu belum setinggi mata kaki, Bi Asih sudah rajin bebersih. 

Bukan hanya itu, setiap pagi saat membuka gembok pagar, aku selalu melihat Bi Asih sibuk mengelap lantai keramik bermotif batu alam di teras rumah. Wangi segar cairan pembersih lantai rasa lemon menguar sampai ke teras rumahku yang hanya berbatas tembok setinggi satu meter dengan rumah Nini. Meski hidungku lebih senang menghirup udara pagi yang jernih tanpa campuran cairan kimia, lantai keramik Nini yang mengkilap saat terkena sinar matahari pagi selalu sedap dipandang mata. Ya, setidaknya ada kompensansi untuk panca indraku yang lain.

Saat Nini masih ada, bukan hanya halaman rumahnya yang bersih dan mengkilap, tapi juga seluruh isi rumah beserta perabotan-perabotan tua yang menggantung di setiap sudut dinding. Aku mengetahuinya dari setiap kunjungan keluargaku ke rumah Nini saat Hari Raya. Nini yang sudah duduk di kursi roda, memiliki keterbatasan untuk keluar rumah. Makanya setiap ada acara di hari besar, pintu rumah Nini selalu terbuka untuk para tetangga dan kerabat yang hendak bersalam-salaman. 

Kali pertama aku mengetahui suguhan berupa Es Timun Serut adalah saat berkunjung ke rumah Nini. Parutan timun halus dipadukan dengan biji selasih yang memberi rasa geli di mulut. Manisnya sirup gula yang memperkaya rasa, ditambah air soda dan bongkahan es batu menjadi faktor penyegar minuman khas Aceh itu. 

Es Timun Serut itu biasa disuguhkan Nini ketika kami selesai menyantap Nasi Biryani. Lagi-lagi, rumah Nini menjadi tempat pertama bagiku mencoba makanan yang baru. Kata ibu, yang membuat nasi rempah asal Timur Tengah itu berbeda dengan Nasi Gonjleng di daerah kami adalah beras basmati dan minyak saminnya. Meskipun begitu, tetap ada hidangan pendamping untuk Nasi Biryani di rumah Nini yang juga menjadi hidangan pendamping Nasi Gonjleng; ada tempe oreg dan telur, dendeng ikan asin, dendeng daging, telur balado, sambal goreng, ayam goreng bertabur serundeng, dan kerupuk yang sering terlupakan. Namun, aku lebih suka menikmati Nasi Biryani Nini dengan kari ayam, biar lebih terasa masakan Timur Tengahnya. 

Kalau tidak menikmati hidangan Hari Raya di rumah Nini yang selalu berbeda dengan hidangan di meja makan rumahku yang berisi ketupat, sayur lodeh, dan opor ayam, aku akan lupa kalau Nini memiliki darah Aceh di nadinya. Memasuki rumah Nini juga memberi kesan tersendiri bagiku. Banyak perabotan kearab-araban seperti kaligrafi yasin di ruang tamu, foto tokoh-tokoh agama memakai sorban dan berjanggut putih lebat yang tidak kukenal, juga foto ka’bah besar di atas televisi tabung di tengah rumah yang terbuka dan bisa langsung dilihat dari ruang tamu. Pajangan piring-piring kecil dengan motif kaligrafi juga berjajar rapi di ambalan kayu yang menempel pada dinding sebelah kanan di ruang tengah, menjadi pemisah antara dua pintu kamar dari triplek yang dicat cokelat. Bisa kulihat, semua hiasan di rumah Nini selalu terbebas dari debu. Karpet-karpet bermotif etnik yang menutupi lantai keramik polos juga terlihat cemerlang warnanya. Sebuah bukti kalau Nini sangat menjunjung tinggi kebersihan walau semua pekerjaan dilakukan oleh pengasuhnya.  

“Ayo, tambah lagi es timunnya, di rumah mah nggak ada," seru Nini kepadaku yang sedang menyeruput sisa-sisa biji selasih di gelas es, lengkap dengan logat Sunda di daerahku.

“Hehe, iya, Ni. Enak esnya,” balasku malu-malu. 

Secara pribadi, aku menyukai Nini. Meski tidak terlalu akrab, tapi keberadaan Nini sebagai tetangga samping rumahku memberi kesan seolah aku tinggal bersebelahan dengan nenek kandungku. Saat tersenyum, kerutan di sekitar mulut dan matanya membuatku ingat pada senyuman nenekku yang seumuran dengan Nini. Rambut putih Nini yang selalu ditutupi ciput berwarna hitam di kesehariannya juga sangat mirip dengan yang sering dilakukan nenekku. Saat Hari Raya, ciput itu menjadi dasar untuk jilbab besar berwarna merah bata polos yang dipakai Nini bersama gamis berwarna senada, dengan renda putih di bagian ujung kakinya.  

Hal lain yang membuatku merasa seperti pulang ke kampung nenek saat sedang berkunjung ke rumah Nini adalah tanaman lidah mertua yang mencuat dari tanah sepanjang samping rumah Nini yang langsung berbatasan dengan tembok tetangga sebelahnya, persis seperti halaman rumah nenekku di kampung. Saat melewati pagar rumah Nini yang hanya setinggi pinggang orang dewasa, aku akan disambut oleh sebatang pohon kamboja besar yang bunganya berwarna merah muda, persis seperti pohon kamboja di rumah nenekku yang ada di halaman rumahnya. 

Aku tidak pernah menyangka kalau Hari Raya tahun ini menjadi Hari Raya terakhir bagiku berkunjung ke rumah Nini. Dua bulan setelah Hari Raya, Bi Asih masih melihat Nini pergi ke kamar mandi saat Subuh. Namun, saat Bi Asih kembali dari kegiatan rutinnya mengelap teras, pintu kamar Nini di ruang tengah terbuka sehingga penampakan Nini yang sedang tidur di atas ranjang terlihat dengan jelas. Tidur selepas sembahyang Subuh adalah satu hal yang tidak pernah dilakukan Nini. Oleh karena itu, Bi Asih merasa heran. Bi Asih lantas menyimpan kain pel dan ember di dekat lorong yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur, lalu menghampiri Nini di kamarnya. Bi Asih melonjak sambil memegang dadanya saat mendapati Nini mengorok. Firasatnya langsung tidak enak.

Waktu itu hari Sabtu. Aku diberi tugas belanja ke pasar oleh ibu. Sebelum berangkat, aku mendengar sayup-sayup suara orang mengaji di rumah Nini. Saat itu aku belum terpikir akan hal aneh karena di rumah Nini memang biasa diadakan pengajian setiap hari Sabtu. Lalu, saat aku kembali dari pasar sambil memegang satu keranjang anyaman penuh sayur dan satu kantong plastik sedang berisi ikan mas hidup, aku melihat dengan sekilas sebuah mobil Inova hitam parkir tepat di depan rumah Nini. Tak ada waktu untuk mencari tahu pemilik mobil, karena aku sedang kerepotan sendiri.

Setelah menyimpan semua belanjaan di dapur, barulah aku kembali teringat dengan Inova di di rumah Nini. Kulihat ibu sudah siap mengeksekusi ikan mas di dapur, dengan sebuah talenan kayu dan pisau di tangan kanannya, berdiri di hadapan meja dapur yang langsung terhubung dengan wastafel. Aku membantu ibu mengeluarkan ikan mas ke dalam baskom berisi air di dalam kotak wastafel. Mulut ikan langsung megap-megap mengambil napas.

“Bu, tadi aku lihat di depan rumah Nini ada mobil hitam. Sepertinya anak Nini yang di Jakarta datang ke pengajian, ya? Tumben.”

Ibu mengambil sebuah batu di dekat baskom, mengeluarkan satu ikan mas hidup dan menidurkannya di atas talenan, lalu tanpa ba-bi-bu lagi ibu memukul kepala ikan. Ekor ikan mas itu sempat menggelepar sebelum akhirnya mati di tangan ibu dengan mata terbuka. “Iya? Anaknya? Aneh juga.” 

“Benar, bu.”

“Bagus, atuh. Sesekali nengok ibunya." Tanpa menatapku sejenak, Ibu melanjutkan eksekusinya untuk lima ikan mas lain.

Saat itu, Mpus, kucing putih peliharaanku mendekat. Dia memang memiliki hak spesial untuk masuk ke dalam rumah. Mpus membelit di kakiku. Sambil mengeong, dia mengelus kepalanya ke betisku. Manja. Aku berjongkok dan membalas kemanjaannya dengan mengelus-elus atas kepala, bawah leher, dan badannya yang mengurus karena baru melahirkan. Lalu, tiba-tiba terbersit ide dalam benakku. 

Aku menggendong Mpus ke teras depan. Dengan sebuah bola plastik kecil berwarna biru, aku mengajak Mpus bermain. Meski mataku memperhatikan Mpus dan mulutku berusaha menarik perhatiannya, telingaku awas pada suara-suara di rumah Nini. 

Dari sini, aku bisa mendengar seorang pria berumur sekitar 40-an akhir menelpon di depan mobil. “Ya, saya lagi pulang kampung. Tolong diurusi dulu itu. Ya. Tidak tahu sampai kapan, nanti kalau sudah selesai urusan di sini, saya kabari. Ya. Ya. Terima kasih.”

Aku hampir mengenal pria itu. Kalau ingatanku tidak salah, dia adalah menantu Nini yang bekerja di televisi – sebuah logo stasiun televisi terpasang jelas di baju dinas hitamnya. Lagi, kalau pengetahuanku tidak salah, Nini memiliki tiga anak perempuan yang semuanya menetap di luar kota. 

Aku meneruskan laga bermain dengan Mpus selama satu jam kemudian. Namun laga ini harus berhenti saat cacing-cacing di perutku merongrong, minta makan. Selain itu, tidak ada suara lain yang bisa dikuping dari rumah Nini selain suara orang mengaji yang tanpa henti. Sebenarnya, kalau bukan karena anak Nini yang dari Jakarta itu datang, aku bisa saja langsung mengunjungi rumah Nini dan melihat sendiri kenapa acara pengajian rutin itu belum berhenti juga. Namun, kedatangan anak Nini yang tiba-tiba memantik rasa penasaranku. Kalau bukan Hari Raya, anak-anak Nini jarang sekali berkunjung. 

Menjelang sore, ibu mendapat pesan di grup Whatsapp kalau Nini sedang dalam kondisi koma. Aku hampir tak bisa mengatupkan mulut saat mendengar berita itu dari ibu. Akhrinya selepas Magrib, aku dan ibu berkunjung ke rumah Nini. Ruang tamu yang biasanya berisi meja kaca bundar dan kursi-kursi kayu di sekelilingnya, kini hilang, menyisakan karpet etnik cemerlang yang sejak dulu memang di sana – dan warnanya semakin terlihat cemerlang tanpa meja dan kursi yang menumpangnya. 

Dari ruang tamu, aku bisa melihat Nini berbaring di atas ranjang yang digeser ke ruang tengah. Selang oksigen menyumpal kedua lubang hidungnya, sementara matanya terpejam dan mulutnya rapat. Nini masih memakai ciput dan daster batik yang sering kulihat, sementara dari perut sampai kakinya diselimuti kain batik warna cokelat. Aku tak kuasa menahan tangis. Kuraih tangan ibu dan kudekap dengan erat.

Aku dan ibu bersalaman dengan keluarga Nini, yang sebetulnya tidak semuanya kukenal karena jarang bertemu mereka. Kulihat wajah-wajah sembab itu, mata merah, dan hidung yang terus mengisak. Salah satu anak Nini, berkata kepada ibu, “Maafin mamah ya, tante. Mohon do’anya.” Ia mengambil tangannya dari tangan ibu. 

Sejujurnya aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan sedih anak-anak Nini. Mereka semua tinggal di luar kota, datang hanya saat Hari Raya atau tanggal merah nasional lain yang juga belum pasti ketiga anaknya datang di hari yang sama. Lalu, kini mereka pulang saat Nini sudah tidak bisa membuka mata. Setiap anak yang merantau pasti ingin pulang untuk bertukar cerita. Namun kini, mereka hanya bisa menangis dan menunggu keajaiban. 

Aku dan ibu tidak berkunjung lama. Sebelum pualng, ibu sempat membisikkan pamit di telinga Nini. Sebagai sosok yang juga dianggap ibu oleh ibuku, Nini memang memiliki tempat tersendiri di hati kami. 

Selang satu jam setelah aku dan ibu kembali ke rumah, suara pecah tangisan menerobos jendela, daun pintu, dan lubang-lubang angin di rumah Nini. Aku dan ibu terkejut. Kami tergopoh-gopoh lari menuju teras dan melongok ke halaman rumah Nini untuk mengetahui apa yang terjadi. Saat itulah, kami tahu Nini sudah pergi. 

Selang dua bulan kejadian itu adalah hari ini. Di mana aku, dengan dua sarung tangan kebun di tanganku, memegang sebuah arit dan ember, berjalan dari halaman belakang menuju pintu pagar depan. Rumput-rumput liar sudah mulai meninggi di luar pagar rumahku, berbarengan dengan munculnya tunas bunga tapak dara dan pohon jarak. Sepertinya bibit kedua tanaman itu dibawa angin dari rumah tetangga depan yang lebih dulu memiliki tanaman sama. Agar tidak terlihat seperti ruyuk, aku mencoba membersihkan rumput-rumput liar yang ada. 

Aku tinggal di sebuah perumahan yang dibangun pertama kali di kota ini tahun 1975. Luas bangunannya 300 meter persegi, dan kami masih mendapat lahan kosong di belakang rumah. Dalam satu gang yang lebar jalannya satu setengah meter, hanya ada enam deret rumah berhadap-hadapan. Jalur selokan berada tepat di bawah pagar-pagar rumah. Ada yang memberi penutup agar tidak menguar bau, seperti rumahku dan beberapa rumah lain, ada juga yang membiarkannya terbuka seperti di rumah Nini. Di depan pagar rumahku, berbatasan langsung dengan jalan, sengaja dibuat taman kecil di atas selokan yang kemudian ditanami pohon kemangi, tomat, dan cabai oleh ayahku. Bunga tapak dara dan pohon jalak yang ikutan tumbuh di sana kemungkinan besar dibawa angin dari rumah tetangga depan Nini yang juga menutup selokan dan menanam berbagai macam tanaman, mulai dari bunga kertas, kriwil, pohon jarak, tapak dara, sampai pohon kamboja ada di sana.

Aku mulai memotong rumput-rumput liar di depan pagar sepanjang rumahku. Rasanya cukup melelahkan karena biasanya pekerjaan ini dilakukan ayah. Oleh karena ayah sedang sering lembur dan bahkan masuk kerja di hari Sabtu, aku berinisiatif mengambil alih pekerjaan ayah di rumah. Aku mengabaikan arit untuk rumput-rumput kecil yang masih bisa ditarik sampai akar. Sejalan dengan itu, mataku melirik halaman depan rumah Nini yang sudah ditumbuhi rumput dan ilalang setinggi pagar. Dua bulan sejak kepergian Nini, rumah itu memang dibiarkan kosong. Entah di mana Bi Asih yang biasa membersihkan rumput lebih rajin dari ayah. Aku juga mulai merindukan wangi cairan kimia di pagi hari saat membuka gembok pagar. Wangi pagi yang terlalu bersih dan alami ternyata malah membuatku sepi. 

Rumah Nini menjelma bangunan angker dan kotor. Seseorang mencuri bohlam teras rumah Nini, membuat rumah itu semakin gelap saat malam. Minggu lalu, seekor kucing jantan tiba-tiba terjatuh dari langit-langit teras rumah Nini yang rupanya sudah rapuh, menyisakan bolong besar dan pecahan plafon di lantai keramik bermotif batu alam itu. Tanaman lidah mertua di samping rumah mulai ditenggelamkan rumput ilalang yang tumbuh lebih cepat darinya. Begitu pula rumput liar dan ilalang di depan pagar Nini yang tumbuh setinggi pagar. 

Di sepanjang gang ini, hanya rumah Nini yang kosong dan tampak angker. Tanah yang ditumbuhi ilalang dan rumput liar itu juga sering beralih fungsi menjadi toilet umum para kucing. Alhasil, harum kotoran kucing menguar ke jalan dan menjadi bahan gunjingan ibu-ibu yang belanja di tukang sayur. 

“Anak-anaknya nggak ada yang peduli gitu, ya? Masih mending kalau jadi tempat pup kucing, kalau jadi sarang ular? Kan ngeri juga, ya,” ucap seorang ibu yang bertetangga depan dengan rumah Nini.

“Iya, kemarin ada yang hampir masuk ke rumah. Segitu juga halaman rumah saya mah bersih, apalagi itu. Ruyuk begitu,” bibi yang rumahnya paling ujung dan berbatasan dengan kebun Pak RT menimpali.

“Anak-anaknya kemana emang, bu?” tanya tukang sayur, ikut meramaikan pergunjingan.

“Pada tinggal di luar kota semua, sih. Tapi padahal kan tiap Sabtu masih ngadain pengajian. Masa liat rumput liar begitu dibiarin aja, ya.”

“Ya, pengajian juga cuma di dalam rumah, bu. Lagian habis itu juga mereka langsung pada pulang, kan. Nggak lama-lama di sini.” 

“Ah, sudahlah, kasihan Nini kalau diomongin begini. Bang, belanjaan saya berapa, nih?” tutup ibuku sembari menyodorkan terong ungu dan satu papan tempe.

Aku kembali menundukan kepala dan fokus mencabuti rumput-rumput di depan pagar rumah. Terakhir, kulihat gerombolan ibu-ibu, termasuk ibuku, telah selesai berbelanja dan pulang ke rumah masing-masing. 

Selesai mencabuti rumput, aku masuk ke rumah untuk bersih-bersih dan mandi. Segar sekali rasanya mandi pagi di hari libur setelah mencabuti rumput, alias badanku penuh keringat padahal hanya mencabut rumput yang tidak seberapa! Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya mencabut rumput liar di rumah Nini yang sudah setinggi pagar. 

 Selepas mandi, aku kembali teringat gunjingan ibu-ibu di tukang sayur tadi. Aku membenarkan perkataan ibu-ibu yang mempertanyakan kepedulian anak-anak Nini terhadap kebersihan rumah ibu mereka. Rasanya sayang sekali kalau rumah yang dibangun tahun 1975 itu harus mati karena rumput liar. Apalagi, rumah Nini adalah satu-satunya rumah di gang ini yang masih mempertahankan bentuk aslinya 100%. Selintas terpikir juga olehku, kenapa rumah Nini tidak dijual saja kalau memang mereka tidak bisa merawatnya? Setidaknya, kalau ada penghuni di rumah itu, rumput liar dan ilalang setinggi pagar bisa segera dilenyapkan. 

Sambil memberi makan Mpus yang baru selesai menyusui tiga bayi kucing kembar berwarna oranye, aku mengurai pertanyaan-pertanyaan yang kusut di kepalaku kepada ibu yang sedang menyiram tanaman hiasnya di halaman belakang. “Bu, benar juga ya kata ibu-ibu tadi, anak-anak Nini tuh tidak peduli dengan kebersihan rumah Nini. Ilalang sudah setinggi pagar, tapi mereka cuek saja,”

“Bingung mungkin, mereka kan tidak tinggal di sini.”

“Loh bingung kenapa? Kan bisa panggil tukang kebun saja. Selesai urusan.”

“Ya memanggil tukang kebun juga kan perlu diawasi. Mungkin mereka belum ada waktunya.”

“Atau, kenapa tidak dijual saja?”

“Ehm.” Ibu menyimpan gembornya di atas rumput gajah yang memenuhi hampir seluruh halaman belakang rumah andai tidak ada teras di sana. “Kalau itu ibu tidak tahu. Lagian menjual rumah kan tidak semudah menjual kacang.” Ibu berpaling dariku dan gembor hijaunya, lalu mengambil gunting tanaman. Daun-daun aglonema yang menguning pupus dipotong ibu.

Aku mengelus-elus dagu Mpus, ia pun keenakan. Badannya semakin merendah, lalu berakhir berbaring di lantai dekat kakiku yang sedang berjongkok. Anak-anaknya sedang tidur di dalam kardus bekas air mineral yang kuberi tilam handuk kecil warna biru laut. Mereka lucu sekali. Ketiga anak Mpus berwarna oranye semua. Tidak ada bedanya. Padahal Mpus berwarna putih. Entah kucing jantan siapa yang menjadi bapak dari ketiga anak Mpus. Tapi, pelaku yang membolongi atap rumah Nini beberapa waktu lalu adalah seekor jantan oranye. Bisa jadi dia. Lagipula Mpus tidak pernah bermain terlalu jauh, dan di gang rumahku hampir tidak ada kucing selain Mpus dan jantan oranye itu. 

Halaman belakang ini adalah taman surga bagi ibu. Berbeda dengan halaman depan yang menjadi tanggung jawab ayah, di halaman belakang ini semua peralatan kebun dipegang kendali oleh ibu. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah karena banyak anak ibu di sini. Janda bolong, gelombang cinta, anggrek bulan, suplir, kuping gajah, sikas monyet, aglonema, sampai hanjuang yang biasa ada di kuburan, tumbuh menjulang di halaman belakang. Rumput-rumput gajah ini sengaja dipilih ibu untuk menutup kemungkinan tumbuhnya rumput liar. Selain itu, perawatan rumput gajah juga lebih mudah daripada jenis rumput lain, hanya perlu sedikit pupuk, tahan terhadap injakan kaki, dan bisa tetap tumbuh meski panas matahari tidak menyorot tanah seluruhnya. 

“Ayah pulang larut lagi, jadi kita makan duluan saja,” ibu memberi informasi sembari menyiapkan peralatan makan di atas meja. Sementara aku mencari bungkus makanan Mpus yang tinggal sedikit. Menurut perhitunganku, makanan itu cukup untuk malam ini sebelum membeli yang baru.

“Bu, kok makanan Mpus nggak ada, ya? Ibu pindahin?” Aku berjalan melewati pintu kaca transparan yang menjadi sekat antara dapur dan halaman belakang, tempat Mpus dan anak-anaknya mengeong meminta makan.

“Nggak, ibu mah mana pernah pegang-pegang peralatan kucing kamu. Geli, hih,” ibu menggidikkan bahu. “Memangnya kamu simpan di mana?”

“Di samping kardus. Tinggal sedikit, kan, jadi aku taruh di situ saja.”

Sayup-sayup suara plastik terdengar dari halaman belakang. Aku langsung melesat menuju asal suara. Firasatku tidak enak. Si kucing oranye sedang aktif sekali mendaki atap-atap rumah. Pernah satu kali, dia juga mencuri ikan tongkol ibu yang masih terbungkus plastik di atas meja dapur. Saat itu, selepas belanja, aku menaruh barang belanjaan di atas meja dapur dan langsung ke kamar karena cuaca sedang panas-panasnya. Aku melihat ibu masih sibuk dengan suplirnya yang mengering. Lalu, tiba-tiba ibu berteriak sambil menyebut-nyebut nama si oranye. Rupanya kucing yang langkahnya ringan itu berhasil menggondol satu buah ikan tongkol dengan mencabik-cabik kantong kresek yang melindunginya.

Kali ini, aku menduga pelaku dari hilangnya makanan Mpus adalah si kucing oranye itu, tepat saat bunyi plastik menggema di halaman belakang. Aku juga mendengar Mpus mengeong dengan nada yang berbeda, sebuah tanda kalau ia sedang dalam keadaan takut. Kucing betina yang baru melahirkan, biasanya memang takut akan kehadiran kucing jantan. Takut anak-anaknya akan jadi santapan.

Setelah celingak-celinguk mencari sumber suara plastik, aku menemukan kucing oranye di balik pot-pot suplir ibu! Benar saja! Dia berhasil menyeret bungkus makanan Mpus ke sana, mencabik-cabiknya, dan menelan semua butir-butir makanan berbentuk donat itu. Aku menyesal tidak memindahkan isi makanan Mpus ke dalam kaleng atau wadah lain karena awalnya kupikir ribet. Aku juga menyesali plastik bungkus makanan Mpus yang sangat tipis, sehingga bau ikan olahan masih bisa tercium bahkan sejak sebelum segel dibuka.

Aku mengadu kepada ibu, karena tidak mungkin juga memarahi kucing yang lapar.

“Yasudah sekarang giliran Mpus yang makan tongkol. Dicampur nasi, biar dia kenyang.”

Dengan lengkungan bibir yang turun, aku menuruti saran ibu. Ini adalah kali pertama Mpus makan nasi dan ikan tongkol. Ikan lain yang pernah dimakan Mpus adalah pindang bandeng, tapi tanpa nasi. Namun, karena aku tidak suka ikan bandeng yang banyak tulangnya – meski ibu bilang tulangnya halus dan bisa ditelan – jadi ibu jarang sekali membeli ikan bandeng. Pengalaman pertama Mpus itu adalah bentuk penyelamatan atas diriku yang tidak ingin memakan ikan bandeng, dan untungnya dia suka.

Aku meremat-remat sepotong pindang tongkol dengan nasi hangat. Campuran nasi dan ikan tongkol itu lalu aku pindahkan ke dalam mangkuk makan Mpus di halaman belakang. Si kucing oranye sudah menghilang, menyisakan sampah plastik bungkus makanan kucing yang sudah tidak berbentuk di sela-sela pot suplir ibu. 

Setelah melihat Mpus menjilati makanan yang kuberi, barulah aku berjalan kembali ke meja makan dengan tenang. Aku melanjutkan makan malam bersama ibu; sepiring nasi hangat, pindang ikan tongkol yang digoreng, sambal merah, dan sayur asem. Sebenarnya ini makanan sisa tadi siang, tapi kalau ibu yang masak, dihangatkan untuk makan malam juga tetap sedap!

Keesokan harinya, setelah membuka gembok pagar dan kembali terlelap, aku dibangunkan oleh suara mesin pemotong rumput. Mataku langsung bulat. Tubuhku duduk tegap. Dan tanpa mencuci muka, aku berlari ke teras depan. Kulihat dua orang laki-laki memakai kaos sebagai penutup kepala dan sebagian wajah mereka. Hanya tersisa alis dan mata yang terlihat. Salah satunya menggendong sebuah mesin yang terhubung dengan pisau pemotong rumput di genggaman tangannya, sedang telinganya juga memakai penutup. Sementara yang lain memperhatikan dari jarak aman sambil memegang kantong sampah hitam setinggi pinggang.

Awalnya aku senang. Akhirnya rumput di rumah Nini dipotong juga. Aku berharap anak-anak Nini akan selamanya peduli seperti ini, kalau mereka memang tidak berniat menjual rumah ini kepada orang lain yang pasti akan merawatnya. Namun, pandanganku teralihkan oleh sosok putih yang menyelinap di balik sela-sela ilalang setinggi pagar. Sekali lihat saja aku tahu, itu Mpus!

Aku berusaha menghentikan laki-laki yang memegang mesin, takut dia salah potong. Namun percuma saja, suara mesin yang berisik kalah dengan suaraku yang terbatas, apalagi laki-laki itu juga memakai penutup kuping. Aku berusaha memanggil Mpus, tapi dia tidak peduli. Hidungnya sibuk mengendus rumput-rumput di depan pagar Nini, dekat selokan yang kering. Jaraknya dengan pisau rumput itu memang masih aman, tapi tetap saja perasaanku was-was. 

Aku kemudian menyaksikan Mpus menggigit-gigiti rumput di sana. Seketika aku merasa bersalah karena belum mengisi mangkuk makannya pagi ini. Akhirnya, tanpa malu karena belum cuci muka apalagi memperhatikan pakaian tidurku yang sudah belel, aku segera berlari keluar pagar dan mengejar Mpus. Laki-laki yang sedang memegang pisau rumput terkejut dengan kehadiranku, lalu membuka penutup telinganya, “Kenapa, neng?”

“Maaf, pak, itu ada kucing saya di sana.”

Mukanya yang panik barulah menaikkan rasa maluku. Kalau bukan garar-gara Mpus, aku tidak akan berlari compang-camping seperti ini.

Aku menggendong paksa Mpus yang tidak biasanya memberontak di pelukanku. Sesampainya di halaman belakang, Mpus langsung meronta turun dan menyisakan cakaran panjang di lengan kananku. Aku ingin marah, tapi juga bingung menyaksikan tingkah Mpus selanjutnya yang seperti Reog. Mpus batuk-batuk, kepalanya miring ke kiri dan tenggorokkannya naik turun. Ia seperti hendak muntah! 

Aku yang panik dengan atraksi pertama Mpus langsung memanggil ibu dan ayah. Mereka berlari tergopoh-gopoh ke arahku.

“Kenapa kenapa?” tanya ayah cepat.

“Itu Mpus kenapa, yah?”

“Ih, kenapa itu? Ibu mah takut, ah!” Ibuku yang tidak suka hewan malah berlindung di balik punggung ayah.

“Oh, nggak papa itu mah. Dia mau muntah.”

“Muntah? Jangan di teras ibu atuh, ih!” Ibu panik. Takut taman surganya kotor oleh muntahan Mpus. Aku setengah terhibur dengan respon ibu yang seperti itu.

“Habis makan apa, gitu?”

“Makan rumput! Aku baru mengambilnya dari depan rumah Nini tadi, dia menggigit-gigiti rumput!”

“Sebelum itu?”

“Nggak ada. Atau nggak tahu. Tadi aku lihat dia makan rumput!” Aku bersaksi dengan semangat kepada ayah, menyalahkan rumput di depan rumah Nini yang dimakan Mpus. 

“Kalau semalam makan apa?”

“Semalam aku kasih tongkol sama nasi. Soalnya makanan dia habis.”

“Oh, ya mungkin karena dikasih tongkol atau nasi. Baru pertama kali, kan, Mpus makan itu? Mungkin perutnya merasa tidak enak atau ada tulang yang menyangkut di tenggorokan, jadi dia makan rumput untuk memancing keluar apa yang terasa tidak enak di dalam tubuhnya.”

Aku melongo mendengar penjelasan ayah. Hampir tidak masuk akal. “Tapi, yah, emangnya bisa? Lagipula kalau cuma makan rumput, kenapa tidak rumput gajah ibu saja? Lebih dekat dari sini.”

“Soalnya dia takut diusir ibu kalau rumput gajahnya sampai berantakan," jawab ibu dengan percaya diri.

“Hahaha. Bukan, bukan. Rumput ibu kan sudah terpapar bahan kimia, diberi pupuk, dan lain-lain. Kalau rumput liar di rumah Nini, kan masih alami. Alih-alih jadi racun, justru bisa jadi obat atau pencahar alami untuk kucing. Tuh, tuh coba kamu lihat, Mpus mulai muntah.”

Aku dan ibu memandang ke arah teras yang menjadi tempat Mpus beratraksi. Aku melihat dengan penasaran, sementara ibu melihat dengan ngeri. 

“Aduh, kamu yang ngepel nanti ya,” ibu melirik ke arahku. 

“Tuh, ada rumputnya, kan? Itu berarti pengobatannya berhasil.” 

Aku kembali memperhatikan muntahan Mpus yang seketika kembali berlaku normal. Mpus menjilati bulu-bulu kaki depannya, lalu mengeong menuju kardus tempat anak-anaknya berada.

“Uh, bau tongkol!” Semerbak baru anyir menguar dari muntahan Mpus.

“Yasudah ayah mau mandi. Bersihkan muntahannya, ya. Kalau ibu marah, bisa-bisa kamu tidak dapat jatah makan siang,” ayah menggodaku.

Aku menarik tangan ke atas kepala, memberi sikap hormat. “Siap ayah!”

Harum muntahan Mpus tergantikan oleh harum mentega dan telur dadar yang dimasak ibu untuk sarapan. Aku mengelus-elus bawah leher Mpus yang bermanja di kakiku. 

Sembari menunggu sayur sop ibu matang, aku berinisiatif menyapu teras. Tentu sembari memasang awas mata dan telinga. Kulihat, dua orang laki-laki tadi sudah masuk ke halaman depan rumah Nini. Mereka sedang mencabuti rumput di dekat tanaman lidah mertua, lalu memasukkan rumput-rumput itu ke dalam kantong sampah besar berwarna hitam tadi. Seorang tetangga yang keingintahuannya lebih besar dariku, berjalan mundar-mandir di depan rumah Nini akhirnya melontarkan pertanyaan, “Nggak dibakar aja itu rumput-rumputnya?”

Aku langsung menatap tajam pada yang bertanya, sayangnya dia tidak melihatku.

“Nggak, pak. Mau buat pakan kambing di kandang,” jawab salah seorang laki-laki yang pekerjaannya tertunda karena pertanyaan si bapak. Aku mengangguk paham. Ternyata rumput liar bisa punya manfaat juga.

“Oh, ya, bagus,” ucap bapak itu bersila tangan. “Lalu itu spanduk apa? Mau dijual rumahnya?”

“Sepertinya begitu, pak. Kami cuma ditugaskan memasang saja.”

“Oh, ya, bagus.” Setelah rasa ingin tahunya terjawab, si bapak akhirnya pergi. Sementara aku langsung mengambil seribu langkah menuju ibu.

*** 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@anggaarandita : selamat menikmati, kak. terima kasih 🙌
Asik juga aku baca dari awal, biasa baca genre action, terus baca yang genre slice of life jadi kek ngalir gitu bacanya.
@vdmantik : Terima kasih 🥰
Suka dengan diksinya yang baku dan rapi. Bikin nyaman di kepala, dan penasaran untuk terus membaca.
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Rumput (Liar) Tetangga
Dhea FB
Cerpen
DUDUK DAN TUNGGU
Magnific Studio
Cerpen
Kalung Ini Ruby Pinjam
Rizky Siregar
Cerpen
Bronze
Pendar
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Kisah Rubah
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Rajo Angek Garang
Gia Oro
Cerpen
Bronze
Cinta Tanpa Batas
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Mutasi
Nadya Wijanarko
Cerpen
Bronze
Ibu Jangan Tinggalkan Adek
Yona Elia Pratiwi
Cerpen
Genggaman Makanan
Talita Shafa Arifin
Cerpen
Perspektif
Nidaul Ainiyah
Cerpen
Bronze
AKU PULANG, MAK
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Diari Raka
zain zuha
Cerpen
Terlahir Kembali
zain zuha
Cerpen
KEAJAIBAN TETANGGA KOMPLEK
R Hani Nur'aeni
Rekomendasi
Cerpen
Rumput (Liar) Tetangga
Dhea FB
Novel
Lara Kama; Kisah Anggrek Bulan dan Tuan Sepatu Cokelat
Dhea FB
Flash
Belum Beranjak
Dhea FB
Cerpen
Pergi Untuk Selamat
Dhea FB
Flash
Sang Rembulan
Dhea FB
Flash
Senyum Sabit
Dhea FB
Cerpen
Bronze
perempuan yang merengkuh kosong
Dhea FB
Flash
Di Balik Kaca Mobil
Dhea FB
Flash
Pria yang Mendua
Dhea FB
Flash
Surat Untuk Tuan Mura
Dhea FB
Novel
Ambar Merah
Dhea FB