Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Rumah yang Tak Berharap Kembali
0
Suka
194
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sekala duduk di kursi kemudi, pandangannya kosong menatap jalan yang membentang jauh di hadapannya. Purnama, perempuan dengan senyum lembut yang menenangkan, berada di sampingnya, tenggelam dalam lagu yang diputar di radio. Sudah beberapa tahun sejak dia meninggalkan segalanya—terutama Alina. Ia berusaha menghapus bayangan masa lalu, menata ulang hidup bersama Purnama, namun ternyata tak semua kenangan bisa dihapuskan begitu saja.

Mereka berhenti di sebuah taman kecil untuk beristirahat. Purnama turun lebih dulu, berjalan dengan langkah ringan, menghirup udara yang segar. Sekala masih duduk di mobilnya, merapikan pikiran. Matanya tiba-tiba tertumbuk pada sosok yang tak asing di sudut taman—Alina. Ia memegang es krim di tangan, wajahnya tampak tenang, namun seketika itu juga, dunia Sekala terasa bergetar.

Ia membuka pintu mobil dengan cepat, langkahnya terburu-buru, tapi sesuatu menahannya. Alina melihatnya, dan mereka saling pandang. Mata mereka bertemu, namun alih-alih sapaan, yang terjadi justru kebisuan yang berat. Alina berdiri kaku, matanya membesar, seolah tak percaya melihat wujud Sekala yang kini berdiri di hadapannya. Udara terasa dingin, es krim di tangannya mencair perlahan, tapi Alina tak bergerak. Ia hanya memilih menepi, menunduk, dan melangkah menjauh tanpa sepatah kata pun.

Sekala diam di tempat, tubuhnya beku, dadanya terasa sesak. Bagaimana bisa semua kenangan yang ia coba kubur kembali muncul dengan kekuatan yang sama? Alina menghilang di keramaian, dan Sekala hanya berdiri di sana, merasakan kehilangan yang tak mampu ia ungkapkan. 

Ketika kembali ke mobil, wajahnya muram, penuh dengan pertanyaan yang ia takutkan jawabannya. Purnama meliriknya. "Ada yang salah?" tanyanya lembut, suara penuh kasih sayang. Sekala tersenyum tipis, mencoba menutupi kegundahan hatinya. "Tidak ada," katanya pelan, tapi senyum itu tidak pernah sampai ke matanya.

Di rumah, Sekala melangkah ke kamar, tubuhnya terasa berat. Ia membuka laci meja kecil di samping tempat tidur dan menarik keluar foto usang Alina yang diam-diam selalu ia simpan. Foto itu sedikit pudar, tapi kenangan di dalamnya tetap tajam, menusuk hatinya. Sekala menatap foto itu lama, dan sejenak dunia seolah terhenti. Hanya ada dia dan Alina, meski kini dunia mereka terpisah.

Malam itu hening, hanya suara langkah kaki Purnama yang terdengar mendekati Sekala di kamar mereka. Purnama menghampirinya dengan senyuman lembut, namun matanya menyiratkan keingintahuan yang lebih dalam. "Apa yang kamu sembunyikan selain Alina?" tanyanya, suaranya tetap tenang meski ada ketegangan halus di balik nada lembutnya.

Sekala terperangah, tangannya secara refleks menekan laci tempat foto Alina tersembunyi. Ia berusaha merangkai kata dalam kepalanya, namun semua terasa kacau. "Bukan Alina," bantahnya, mencoba terdengar meyakinkan. "Itu hanya kenangan lama, bukan dia..."

Purnama menatapnya dengan tatapan penuh pengertian, meskipun hatinya mungkin sedikit terluka. Dia tahu kebenaran, bahkan sebelum pertanyaan itu dilontarkan. Dia tahu Sekala masih menyimpan bayangan masa lalunya dengan Alina, tapi ia memilih diam. Purnama tak ingin mendesak lebih jauh. "Aku mengerti," bisiknya lembut, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Sekala. Cinta, bagi Purnama, bukanlah tentang memaksa seseorang melupakan masa lalunya, melainkan menerima semua bagian dari diri mereka—termasuk kenangan yang tak dapat dihapus.

Untuk mengalihkan perasaan yang mulai mendesak di dadanya, Sekala tersenyum dan menggandeng tangan Purnama dengan lembut. "Ayo kita masak sesuatu bersama," katanya, mencoba menghadirkan kehangatan yang pernah mereka bagi. "Aku ingin kita menikmati malam ini, hanya kita berdua."

Purnama menatap Sekala sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah," katanya sambil mengikuti langkah Sekala menuju dapur. Di sana, mereka mulai menyiapkan bahan untuk tomyam, makanan yang penuh rasa dan selalu menjadi favorit mereka berdua. Di sampingnya, mereka juga menyiapkan jus alpukat yang segar dan beberapa camilan kecil untuk pencuci mulut. Saat mereka memasak bersama, kehangatan kembali hadir. Tawa kecil, percakapan ringan, dan keintiman yang sederhana kembali mengisi ruangan.

Malam semakin larut, dan setelah semua selesai dimasak, mereka duduk di meja besar, hidangan terhidang sempurna di hadapan mereka. Purnama mengambil sesendok tomyam dan menatap Sekala, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melontarkan pertanyaan yang sejak tadi mengganjal dalam benaknya.

"Kamu sudah melupakan Alina?" tanya Purnama akhirnya, suaranya lirih, namun penuh dengan ketulusan. Sekala, yang tengah menyuap makanan, mendadak terhenti. Pertanyaan itu seperti petir yang menyambar di tengah ketenangan malam.

Sekala meletakkan sendoknya perlahan, menatap Purnama dengan mata yang sedikit bingung, campur aduk antara rasa bersalah dan kebingungan. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanyanya pelan, meski dalam hatinya ia tahu jawaban dari pertanyaan itu lebih rumit dari yang bisa ia ungkapkan.

Sekala menghela napas, berusaha mengatur kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. "Sungguh, tidak ada apa-apa yang perlu dikhawatirkan terkait Alina," jelasnya, suaranya bergetar. "Dia hanyalah bagian dari masa lalu, Purnama. Hidupku sekarang bersamamu."

Namun, Purnama menatapnya dengan keraguan yang jelas. "Sekala, aku ingin percaya padamu," katanya lembut, "tapi aku merasa ada yang belum kamu ungkapkan. Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Alina? Aku tidak bisa mengabaikan rasa bahwa kamu belum sepenuhnya melupakan dia."

Sekala merasa hatinya terjepit. Ia tahu perasaan ini bukanlah hal yang mudah. "Rasa cintaku padamu adalah sesuatu yang tulus," ujarnya, suara bergetar karena kejujuran yang mendalam. "Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa cinta yang ada untuk Alina—seberapa dalam sekalipun—tidak bisa hilang begitu saja. Dia memiliki ruang tersendiri di hatiku."

Mendengar pengakuan ini, Purnama merasakan getaran cemburu menyelubungi dirinya. "Jadi, kamu benar-benar tidak bisa melupakan dia?" tanya Purnama, suaranya merendah. Ada nuansa iba di matanya saat ia menatap Sekala. "Aku cemburu dengan itu, Sekala. Tapi aku juga merasa iba padamu. Seolah kamu terjebak antara masa lalu dan masa kini."

Sekala merasakan beban yang berat di hatinya. "Cemburu adalah perasaan yang wajar, Purnama," katanya, berusaha meredakan ketegangan di antara mereka. "Aku tidak ingin perasaan ini menjadi penghalang antara kita. Aku mencintaimu, dan aku ingin kita membangun masa depan bersama. Tapi aku juga tidak bisa menafikan apa yang pernah ada."

Purnama mengangguk, memahami kedalaman konflik yang dihadapi Sekala. "Mungkin yang kita butuhkan adalah waktu untuk saling memahami, untuk belajar bagaimana mengatasi masa lalu dan menghadapi masa depan," ujar Purnama, suaranya lembut, namun penuh kekuatan. "Karena aku ingin kita berdua bahagia, meskipun itu berarti menerima semua bagian dari diri kita."

Purnama menatap Sekala dengan hati yang dipenuhi kecemburuan dan kesedihan. Di balik senyumnya yang berusaha tegar, ada perasaan yang bertentangan, tapi dia memilih untuk menerima Sekala apa adanya, dengan semua kisahnya. 

Seiring berjalannya waktu, Sekala merasa ada yang kurang, sebuah panggilan yang tak tertahankan untuk mencari Alina. Setelah beberapa minggu berpikir dan merenung, ia pun menghubungi teman-teman lamanya, berharap mendapatkan informasi tentang Alina. Dari salah satu temannya, ia mendapatkan kabar bahwa Alina sudah kembali ke rumahnya dan telah tinggal di sana cukup lama.

Rasa harap dan keraguan menyelimuti Sekala saat ia memutuskan untuk mengecek rumah itu. Minggu tiba, dan keberaniannya membawanya ke tempat yang dulu penuh kenangan. Saat ia tiba, ia melihat Alina duduk di teras rumah, menatapnya dengan tatapan sinis yang menusuk. "Apa maksudmu kembali ke sini, Sekala?" tanyanya, suaranya datar namun tajam.

Sekala menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar. "Aku tahu rumah ini sudah sepenuhnya milikmu," ujarnya. "Tapi aku ingin tahu, ke mana saja kamu selama ini?"

Alina menatapnya, matanya memancarkan ketidakpedulian. "Aku hanya ingin berdamai dengan diriku sendiri," jawabnya singkat, tanpa mengubah ekspresi wajahnya.

Percakapan di antara mereka berlangsung tegang, penuh dengan kenangan dan emosi yang tak terucapkan. Akhirnya, Sekala mengumpulkan keberaniannya dan bertanya, "Apakah masih mungkin untukku kembali kepadamu, Alina?"

Namun, Alina hanya memalingkan wajahnya, seolah pertanyaannya tidak ada artinya. "Kembali pulanglah, Sekala," ujarnya, menekankan kata-katanya dengan tegas.

Sekala merasa hatinya hancur saat ia menengok ke dalam rumah, dan matanya terhenti pada sosok seorang laki-laki yang dikenalnya. Di situ berdiri sahabat lama Sekala, seseorang yang pernah berbagi tawa dan cerita bersamanya. Ketika ia menyadari bahwa laki-laki itu adalah kekasih Alina sekarang, rasa terkejut dan sakit hati menghantamnya seperti gelombang besar. 

Sekala terdiam, menghadapi kenyataan pahit bahwa sahabat yang pernah dekat dengannya kini telah mengambil tempatnya di hati Alina. Dia merasa seolah dikhianati oleh dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Dalam kekosongan yang tiba-tiba menyelimuti, Sekala memahami bahwa jalan kembali ke Alina semakin menipis, dan masa lalu yang ingin ia bangun kembali telah berlalu selamanya.

Sekala melompat ke dalam mobilnya dengan perasaan campur aduk. Kecepatan tinggi mobilnya menyusuri jalanan, membuat angin menerpa wajahnya seakan berusaha menyapu pergi segala kepedihan. Setiap detik terasa menyesakkan, setiap tikungan mengingatkannya pada Alina. Ia berusaha mengabaikan semua kenangan yang berputar dalam pikirannya—senyuman, tawa, dan saat-saat kecil yang terabadikan di dalam hati. Tapi saat-saat itu kini seperti bayangan yang membebani pikirannya.

Di sisi lain, Purnama pulang ke rumah dengan hati yang berat. Dia tahu ada yang berbeda dalam diri Sekala, tetapi tidak pernah membayangkan akan berakhir seperti ini. Ketika membuka pintu rumah, perasaannya semakin memburuk. Pandangannya jatuh pada meja, di mana terdapat sebuah amplop putih bersih, tergeletak dengan tenang seakan menunggu untuk dibaca.

Dengan tangan yang bergetar, Purnama mengambil surat itu. Saat membukanya, ia mulai membaca kata-kata yang tertulis dengan rapi. Sekala mengungkapkan semua perasaannya, mengakui bahwa di balik senyum dan kasih sayangnya, ada rasa cinta yang selalu tertinggal untuk Alina. 

“Purnama, aku menyukaimu dengan segenap hati. Namun, tidak ada yang dapat menggantikan tempat Alina di dalam hidupku. Dia adalah masa lalu yang indah, dan meski aku mencintaimu, bayang-bayangnya selalu mengikutiku.”

Purnama merasakan jantungnya berdegup kencang. Kecemburuan dan sakit hati merobek-robek perasaannya. Ternyata, di tengah usaha untuk mencintainya, Sekala masih terperangkap dalam kenangan Alina. Purnama menahan air matanya; ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Ia ingin menjadi sosok yang kuat bagi Sekala, tetapi surat itu menyakiti jiwanya seperti belati tajam.

Melanjutkan bacaannya, Purnama menemukan permintaan yang menyentuh hatinya. Sekala meminta agar Purnama menyerahkan surat terakhir kepada Alina, sebagai penutup kisah cinta yang tak terwujud. 

“Purnama, jika ada kesempatan, tolong sampaikan surat ini padanya. Ini adalah perpisahan yang harus aku lakukan untuk selamanya. Aku harus melanjutkan hidupku, meski berat. Terima kasih telah menjadi pelangi di kehidupanku yang kelabu.”

***

Purnama berdiri di depan rumah Alina, menatap pintu yang tertutup rapat. Hatinya berdebar, bergetar seperti petir di langit mendung. Di tangannya, ia memegang surat dari Sekala, sebuah amplop putih sederhana yang menyimpan sejuta rasa—cinta, penyesalan, dan harapan. Ia masih ingat bagaimana Sekala menyerahkan surat itu, tatapannya penuh air mata. “Tolong, berikan ini padanya,” ujarnya dengan suara bergetar, seakan setiap kata adalah sebuah keinginan terakhir yang tak dapat ditolak.

Dengan langkah pelan, Purnama mendekati teras rumah Alina. Di sana, Alina duduk bersila, tampak jauh dalam pikirannya. Rambutnya yang panjang terurai, wajahnya terlihat pias di bawah sinar matahari sore yang redup. Purnama merasakan beban yang berat di hatinya. Ini bukan hanya tentang memberikan surat; ini tentang dua jiwa yang terjebak dalam kenangan dan rasa sakit.

“Alina,” panggil Purnama dengan suara lembut, berusaha mengangkat kesunyian yang menyelimuti. Saat nama itu keluar dari bibirnya, ia merasa seolah mengucapkan mantra yang penuh harapan. 

Alina menoleh, tatapannya bingung. “Siapa kamu?” tanyanya, suaranya datar dan penuh curiga. 

“Namaku Purnama. Aku… teman Sekala,” jawabnya, merasakan berat saat mengucapkan nama itu. “Dia ingin aku memberimu sesuatu.” Purnama mengulurkan surat itu dengan tangan yang sedikit bergetar, merasa seakan ia sedang menyerahkan beban dunia kepada Alina.

Alina menerima surat itu, namun ia tampak ragu. Matanya menyipit seolah mencoba membaca maksud di balik sikap Purnama. “Mengapa dia tidak datang sendiri?” tanyanya, suaranya bergetar antara rasa ingin tahu dan kekecewaan. 

Purnama menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan getaran di hatinya. “Karena… mungkin ini adalah cara dia untuk melepaskan. Untuk memberi penjelasan yang sulit untuk diungkapkan secara langsung,” ujarnya, suara lembutnya berusaha menembus kesedihan yang menyelimuti.

Tangan Alina memegang surat itu dengan cermat, seolah takut jika ia membukanya, semua kenangan akan kembali menghantuinya. Purnama melihat pergelangan tangannya bergetar, dan ia merasa bahwa surat itu adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan—sebuah peluang bagi Alina untuk menemukan kedamaian yang mungkin telah hilang.

“Aku harap kamu bisa membacanya,” Purnama melanjutkan, suara hati-hatinya meluap dengan keinginan agar Alina mendapatkan kejelasan dari Sekala. “Dia ingin kamu tahu bahwa meski kita berusaha melanjutkan hidup, tidak ada yang bisa menggantikan tempatmu di hatinya.”

Alina menatap surat itu sejenak, ada kekosongan dalam matanya yang membuat Purnama merasakan kesedihan yang mendalam. Dengan langkah pelan, Purnama berpaling, meninggalkan Alina dengan surat yang penuh harapan dan penyesalan. Di dalam hati, ia berharap agar Alina menemukan ketenangan, meski dalam keremangan hatinya, dia tahu bahwa tidak semua kisah harus berakhir bahagia.

Surat untuk Alina

Kepada Alina yang pernah mengisi hatiku,

Hari-hari berlalu tanpa kehadiranmu, dan di setiap detik yang berlalu, aku mendapati diriku terjebak dalam kenangan. Saat menulis surat ini, aku merasakan beratnya setiap kata yang harus kutuangkan. Begitu banyak hal yang ingin kukatakan, namun kata-kata seakan menempel di tenggorokanku, sulit untuk dilafalkan.

Alina, saat aku menuliskan surat ini, aku sadar bahwa aku harus melepaskanmu. Kamu tidak akan pernah menemukan Sekala dalam bentuk apapun dan di mana pun. Keberadaan kita seperti dua jalur yang tidak akan pernah bersinggungan lagi. Dalam kesunyian ini, aku memohon maaf atas segala kesalahan yang mungkin telah menyakiti kita berdua.

Biarlah aku menempatkan semua kenangan kita di tempat yang dalam, di sudut hati yang akan kukunci rapat. Kamu adalah bagian dari masa laluku, dan meski sakit untuk melepaskan, aku harus melakukannya demi diriku dan demi kebahagiaanmu.

Selamat tinggal, Alina. Semoga kamu menemukan kebahagiaan yang layak kau dapatkan.

Dengan segala penyesalan dan cinta yang terpendam, Sekala.

- Selesai

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Rumah yang Tak Berharap Kembali
Sayidina Ali
Novel
Gold
Fallen
Republika Penerbit
Novel
If You Were Him
Farahiah Almas Madarina
Novel
Playlist Patah Hati Kalingga
irma nur azizah
Novel
Bronze
She
Yunda pramukti
Novel
When Cammelia Bloom
Chacha
Novel
Lustfull Night
Arinaa
Flash
Bronze
Bunga Terakhir
Ecah
Novel
YOU AND ME
Safinatun naja
Novel
Bronze
C I N T A R A
Little Zombie
Flash
CAMPERNIK
zae_suk
Cerpen
Bronze
Terbungkus dalam Sunyi: Mencintai Dalam Diam
Vincentius Atrayu Januar Dewanto
Novel
Bronze
Senandung-senandung cinta
Zainur Rifky
Novel
Bronze
Bahagia Bersama Luka
Desy Atalina
Flash
Pelangi di Ujung Senja
Ika Karisma
Rekomendasi
Cerpen
Rumah yang Tak Berharap Kembali
Sayidina Ali
Novel
Cinta dalam Cerita
Sayidina Ali
Novel
Kita dalam Kehidupan Bumi & Bulan
Sayidina Ali
Cerpen
Rumah yang Tak Kunjung Pulih
Sayidina Ali
Cerpen
Bayang-Bayang Kesempurnaan
Sayidina Ali
Cerpen
Antara Bumi & Angkasa
Sayidina Ali
Cerpen
Bernasib Seperti Socrates
Sayidina Ali