Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sedari pagi Ibrahim tampak cemas. Bolak balik ia melihat ponsel yang masih saja sunyi. Ia sedang menunggu kabar dari keluarganya. Ibunya, wanita berharga dalam hidupnya, dikabarkan tak sadarkan diri usai sholat subuh tadi. Tak perlu waktu lama, Ibrahim segera mencari tiket pesawat untuk pulang ke kampung halamannya, begitu kabar itu sampai di telinganya. Gelisah Ia menunggu pesawat yang delay dua jam di ruang tunggu bandara.
"Dek, bisa pulang ngga?" tanya suara cemas Kakak tertuanya, Amira.
"Ada apa kak?" tanya Ibrahim yang masih mengantuk.
"Ibu tau-tau ngga sadar. Pingsan, habis sholat subuh tadi. Ini kita lagi jalan ke rumah sakit," jawab Amira masih dengan nada cemas.
"Hah? ko bisa? semalam aku telepon, ibu masih baik-baik aja. Suaranya terdengar ceria," Ibrahim langsung segar dan terduduk.
"Justru itu, Kami juga ngga tau pasti ibu kenapa. Karena subuh tadipun ibu masih sehat-sehat aja. Ngga ada jatuh juga," jawab Amira bingung.
"Terus gimana bisa tau ibu pingsan?" tanya Ibrahim ingin memastikan.
"Pas aku mau bikin sarapan, aku ke kamar ibu. Niatnya mau tanya ke ibu mau sarapan apa. Tapi aku lihat ibu sedang tiduran di kasurnya. Awalnya kupikir ketiduran. Tapi beberapa kali kubangunkan tak bangun-bangun. Kucek nafas dan detak jantungnya masih ada. Lalu buru-buru aku minta tolong Mas Irawan untuk bawa ibu ke rumah sakit," Amira menjelaskan panjang lebar. Ibrahim terdiam tak dapat bicara. Seketika ia terserang panik, pikirannya jadi tak karuan.
Sadar adiknya tak menjawab, Amira berusaha menenangkan, "Dek, sementara ini tenang dulu ya. ngga usah panik. Ini kita udah mau sampai rumah sakit ko. Kalau bisa, usahakan pulang dulu aja karena ngga biasanya ibu begini."
Mendengar kakaknya bicara lagi, Ibrahim buru-buru menguasai diri. "Iya ka, ini aku cari tiket dulu deh. Semoga ibu ngga kenapa-napa. Kabarin aku terus ya, Kak."
"Iya, kamu ati-ati ya," ucap Amira lalu memutus sambungan telepon.
Setelah sambungan telepon terputus, Ibrahim segera membuka aplikasi jual beli tiket pesawat. Ia mencari penerbangan yang paling cepat dan ternyata jadwal penerbangan Surabaya-Jakarta yang paling memungkinkan untuknya ada di pukul dua siang. Ia melihat jam dari ponselnya untuk menghitung perkiraan waktu yang ia perlukan. Masih jam 6 pagi. Perjalanan Surabaya-Jakarta menggunakan pesawat memang hanya memerlukan waktu sekitar 1,5 jam saja. Ia memang masih punya banyak waktu jika mengambil jadwal penerbangan di jam dua siang. Tapi ia tetap harus bergegas karena perlu waktu kurang lebih tiga jam perjalanan menggunakan mobil dari Tuban, kota tempat ia bekerja, menuju bandara di Surabaya.
Selesai memesan tiket, Ibrahim bersiap-siap dan menghubungi sahabatnya untuk minta tolong mengantarnya ke Surabaya. Dimas, kawan seperjuangan Ibrahim, masih tertidur ketika ponselnya berdering berkali-kali. Ia berusaha mengabaikan panggilan itu namun tidurnya kepalang sudah terganggu. Dilihatnya nama yang muncul pada layar ponselnya, 'Baim'. Meski malas ia tetap menjawab panggilan Ibrahim karena dianggap tak biasanya.
"Ya, Im. Ada apa?" suara ngantuk Dimas jelas sekali.
"Duh, Masih tidur ya? Maaf ganggu ni," Ibrahim tak enak hati dan itu nampak jelas terdengar dari suaranya.
"Ngga apa-apa. Tumben lo nelpon gue ngga brenti-brenti. Pasti ada yang penting. Ada apa?" Dimas menenangkan Ibrahim.
"Lo free ngga hari ini? Gue perlu ke Surabaya. Ke bandara dan harus secepatnya," Ibrahim mulai menyampaikan maksudnya.
"Free. Emang ngga ada rencana kemana-mana juga weekend ini. Kenapa sih?" Dimas langsung segar karena menduga ada hal yang tak beres terjadi pada sahabatnya.
"Ibu gue, Dim," Ibrahim berhenti sebentar, mengatur suaranya agar tak bergetar,"Ibu gue pingsan, belum tau sebabnya apa. Gue belum dapet kabar lagi dari kakak gue. Ngga biasanya ibu kaya gini. Sakit ringan aja, ibu tuh jarang banget. Lo tau sendiri kan?" Ibrahim menjelaskan.
"Yaa Allah. Yaudah, gue siap-siap dulu. Lo jangan panik ya. Abis ini gue langsung jemput lo. Lo juga siap-siap aja dulu," ucap Dimas yang mendadak ikutan panik.
"Iya, makasi ya Dim. Maaf ngerepotin," ucap Ibrahim sebelum memutus sambungan telepon.
Setelah menunggu 30 menit, akhirnya Dimas datang dengan menggunakan mobil pribadinya. Ibrahim langsung bergegas menghampiri Dimas setelah ia mengunci kamar indekosnya. Dengan sigap Dimas merapikan kursi penumpang di sebelahnya agar Ibrahim bisa duduk dengan nyaman selama perjalanan. Dimas tak banyak bertanya karena ia paham apa yang dirasakan Ibrahim. Ia pernah ada di posisi Ibrahim beberapa tahun lalu dan Ibrahim yang menolongnya saat itu.
"Sarapan dulu tuh," Dimas menyodorkan roti isi daging dan isi cokelat lengkap dengan air minumnya. "Gue tau lo belum sarapan, tau juga lo ngga bisa makan. Tapi seengganya, makan aja beberapa potong. Jangan sampe lo ikutan sakit juga," lanjut Dimas melihat Ibrahim yang telah siap untuk menolak makanan dari Dimas. Ibrahim yang semula ingin menolak, mengurungkan niatkan karena ucapan Dimas ada benarnya. Pelan-pelan Ibrahim mulai menggigit rotinya meski rasanya sulit tertelan. Pikirannya sudah jauh di tempat ibunya. Tiba-tiba pesan dari Amira masuk.
"Santai aja ya Im, jangan panik. Ibu udah ditanganin dokter. Masih diperiksa sebabnya apa. Nanti kakak kabarin lagi.Kamu dimana sekarang?" isi pesan dari Amira.
"Semoga ibu ngga apa-apa. Aku udah di jalan mau ke Bandara ka. Tadi ambil penerbangan yang jam 2 siang." Ibrahim membalas pesan kakaknya.
"Oh gitu. Kamu naik apa ke bandaranya?" Amira membalas pesan Ibrahim.
"Naik mobil, diantar Dimas." balas Ibrahim.
"Oh, Alhamdulillah. Bilang Dimas ati-ati nyetirnya. Dan sampein salam kaka, makasi udah mau anter kamu." balas Amira.
"Iya ka." Ibrahim membalas singkat.
"Dapet salam nih Dim dari ka Amira. Katanya ati-ati nyetirnya sama makasi udah mau anter gue," Ibrahim menyampaikan pesan Amira pada Dimas.
"Iya, santai aja." Jawab Dimas santai.
Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Ibrahim tak bisa banyak bicara karena rasa khawatirnya, sedangkan Dimas berusaha memahami itu. Hanya alunan lagu-lagu sheila on 7 yang menemani perjalanan mereka. Setalah tiga jam perjalanan sampailah mereka di bandara. Waktu masih menunjukan pukul 10 pagi. Masih banyak waktu sebelum jam dua siang. Dimas yang masih lapar karena belum makan nasi, mengajak Ibrahim untuk makan berat lebih dulu. Lagi-lagi Ibrahim berniat menolak tapi Dimas tak bosan mengingatkan untuk tetap makan agar tidak ikut sakit.
Setelah selesai makan, Dimas dan Ibrahim ngobrol santai sejenak. Dimas berusaha menghibur dan menenangkan Ibrahim yang memang khawatir tak henti-henti.
"Im, gue paham banget lo khawatir. tapi usahain jangan bengong. Tetep fokus dan tetep makan ya," Dimas membuka percakapan.
"Iya." Ibrahim menjawab singkat. "Eh, iya. Gue belum izin ke kantor. Lo bisa tolong bilangin ke kantor ngga? nanti gue juga akan hubungi bos sih." Ibrahim tiba-tiba ingat tentang pekerjaannya.
"Tenang aja, nanti gue bantu bilang ke pak bos." Dimas menjawab.
Jam sudah menunjukan pukul setengah dua belas. Ibrahim berpamitan pada Dimas untuk masuk ke bandara karena ia ingin sholat dzuhur dulu. Ketika Dimas mulai berjalan ke parkiran mobil, Ibrahim masuk ke dalam bandara dan mencari mushola. Ia menunggu waktu dzuhur di mushola sambil terus mendoakan ibunya. Sesekali ia mengecek ponselnya dan mengirim pesan pada Amira untuk mengetahui kabar ibunya. Namun Amira tidak membalas dan menambah kepanikan Ibrahim. Ia berusaha menghubungi semua kakaknya melalui sambungan telepon tapi tidak ada jawaban.
Setelah selesai sholat dzuhur, Ibrahim segera menuju gate dan menunggu. Tapi belum lama ia duduk, ada informasi bahwa pesawat yang akan ditumpanginya akan terlambat untuk lepas landas dikarenakan cuaca buruk. Hatinya mencelos, tidak nyaman. Ia segera mengabari kakaknya bahwa pesawatnya akan terbang terlambat. Namun, tetap saja tak ada jawaban. Ibrahim menunggu dengan gelisah yang luar biasa.
Akhirnya, panggilan kepada para penumpang mulai terdengar. Dengan terburu-buru Ibrahim berjalan menuju pesawat meski ia tahu secepat apapun ia masuk pesawat, keberangkatan tetap sesuai dengan pilotnya. Setelah duduk, Ibrahim menelepon Amira sekali lagi. Tapi tetap saja tak ada jawaban. Dengan putus asa, ia mengubah mode ponselnya menjadi mode pesawat lalu menyimpan ponselnya di dalam saku celana. Sepanjang perjalanan Ibrahim berdoa untuk keselamatan sang ibu. Dzikirpun tak lepas dari bibirnya. Sesekali matanya berkaca-kaca menahan tangis membayangkan hal buruk yang tidak pernah ia inginkan. Namun selalu buru-buru ia menghilangkan pikiran buruk itu dari kepalanya. Kenangan dua tahun lalu tiba-tiba muncul. Hari dimana akhirnya Ibrahim di terima kerja di perusahaan Negara yang ada di Tuban. Ibrahim si anak bungsu yang sebelumnya tidak pernah jauh atau berpisah lama dari ibunya, ragu untuk mengambil kesempatan ini. Ia tak ingin meninggalkan ibunya, meskipun rumah ketiga kakaknya berdekatan dengan rumah sang ibu.
"Bu, Baim diterima kerja di Tuban," Ibrahim mengabari ibunya dua tahun lalu.
"Wah, alhamdulillah. di perusahaan negara bukan?" tanya sang ibu.
"Iya," Ibrahim menjawab singkat.
"Kenapa? ko kamu keliatan ngga senang? bukannya emang udah lama kamu mau kerja di sana?" tanya ibunya lagi, bingung melihat ekspresi Ibrahim yang tampak murung.
"Baim senang sih bu. Bersyukur sekali malahan. Tapi kalo Baim ke Tuban, ibu di sini sama siapa?" Ibrahim menjelaskan kekhawatirannya.
"Duileee ... Anak emak banget ini," Amira meledek yang saat itu kebetulan memang sedang kumpul acara keluarga.
"Kesempatan ngga datang dua kali, Im," Musa, Kakak kedua Ibrahim ikut nimbrung.
"Kamu masih muda, kejar karir dulu. Kumpulin pengalaman, kumpulin uang. Mumpung masih single juga," Erika, Kakak ketiga Ibrahim tak mau ketinggalan. Ibrahim hanya diam mendengar komentar dari ketiga kakaknya.
Melihat Ibrahim yang masih bimbang, Ibunya mencoba meyakinkan Ibrahim, "Im, Bogor Tuban ngga yang jauh banget ko. Kamu masih bisa sering pulang buat nengok ibu. Kan belum keluar negeri kayak kakakmu Musa. Musa aja ngga apa-apa kerja dan tinggal di Korea. Pulang setahun sekalipun ngga masalah."
"Baim sama kak Musa kan beda bu. Sejak dulu Kak Musa emang udah terbiasa jauh dari ibu. merantau dari kota ke kota sejak SMA," ujar Ibrahim sambil mengerucutkan bibirnya.
"Bedanya apa Im? kamu kira dengan kakak merantau sana sini, kakak ngga pernah khawatir sama ibu? kakak ngga kangen sama ibu? ya samalah. Kakak juga kan anaknya ibu. Pasti kangen, pasti khawatir kalo denger kabar ibu sakit. Tapi Im, kita ini udah dewasa. Harus punya jalan sendiri juga. Selain buat diri sendiri ya buat ibu juga ko. Kalo kamu udah berkeluarga ya buat keluargamu juga," ucap Musa panjang lebar.
"Musa benar Im. Lagian, Kakak dan dan Kak Erika dekat sama ibu. Rumah kami hanya beda blok saja. Rencananya malah Musa mau beli rumah yang di depan tuh. Biar kalo lagi balik dari Korea ya bisa dekat dengan ibu," Amira menambahkan sambil menunjuk rumah di depan rumah ibu mereka.
"Apa yang dikatakan kakak-kakakmu benar Im. Pikirkan masa depanmu. kesempatan ngga datang dua kali, pengalaman belum tentu terulang. Kamu masih muda, masih panjang langkah. Sedangkan ibu mah udah tua, tinggal menunggu waktu dengan ibadah aja." Kalimat terakhir ibunya membuat Ibrahim semakin terdiam.
Ibrahim menghela nafas panjang, lalu bicara lagi, "Baiklah." terdiam sejenak, lalu melanjutkan. "Jadi ibu ngga apa-apa kalo Baim pindah ke Tuban? Ibu ngga apa-apa kalo di rumah jadi sendirian?"
"Ngga apa-apa Im. Kamu kejarlah karirmu." ibunya meyakinkan Ibrahim. Lalu melanjutkan, "Tenang aja, kan ada Amira, Erika sama cucu-cucu juga. Ibu ngga benar-benar sendirian."
Setelah percakapan itu, Ibrahim memutuskan untuk bekerja di Tuban hingga hari ini. Setiap sebulan sekali ia pulang ke Bogor untuk menengok ibunya. Tak pernah ada masalah serius selama dua tahun terakhir. Semua terasa baik-baik saja meski seringkali ia merindukan sang Ibu. Namun, tiba-tiba saja ia mendapat kabar bahwa ibunya tak sadarkan diri. Hal yang selalu ia takuti. Kematian ibunya. Penyesalan tiba-tiba menguasai dirinya saat ia kejadian dua tahun lalu. Ia mengutuk dirinya sendiri yang memutuskan mengambil kesempatan untuk bekerja jauh dari ibunya.
Selain memang karena bakti terhadap orangtua, alasan lain yang membuat ia tak bisa jauh dari ibu adalah karena ia menyaksikan bagaimana sang ibu ditinggalkan oleh ayah mereka saat dirinya masih berusia dua belas tahun. Dengan jelas ia melihat Sang ayah pergi bersama wanita lain yang lebih muda dari ibunya dan juga seorang balita perempuan yang diakui ayahnya sebagai anak sang ayah dengan wanita muda itu. Saat itu Ibrahim meminta ayahnya untuk tidak meninggalkan ibunya namun sang ayah tak peduli. Justru malah memukul Ibrahim yang berusaha menahan ayahnya untuk tidak pergi. Ketika itu Ibrahim hanya berdua saja dengan ibunya, karena kakak-kakaknya sedang merantau keluar kota untuk pekerjaannya masing-masing. Ingatan itu sulit hilang dari pikirannya hingga saat ini dan sejak saat itu, Ibrahim berjanji pada dirinya untuk selalu berada di sisi ibunya. Tapi, janji itu terpaksa ia ingkari karena ibunya meminta ia untuk mengejar karirnya.
Lamunannya buyar ketika terdengar pemberitahuan bahwa pesawat akan segera mendarat karena sudah hampir sampai di tujuan. Ibrahim segera mengaktifkan ponselnya begitu peswat benar-benar berhenti. Banyak notifikasi masuk dan semua dari keluarganya yang meminta ia untuk segera ke rumah sakit begitu tiba di Jakarta. Erika memberitahu di mana ibu mereka dirawat. Tapi dari semua kabar yang masuk, tak ada satupun yang memberitahu kondisi ibunya. Bahkan, ketika Ibrahim membalas salah satu pesan kakaknya, tetap masih tak ada jawaban. Ibrahim mulai emosi, ada marah dan sedih menjadi satu dalam dadanya.
Butuh waktu dua jam untuk sampai di rumah sakit tempat ibunya di rawat karena lalulintas cukup padat malam itu. Begitu sampai di rumah sakit, Ibrahim langsung menuju loket informasi untuk bertanya di ruangan mana ibunya dirawat. Ternyata ibunya berada di ruang ICU. Pantas saja tak ada satupun dari kakaknya yang memberitahu keadaan ibunya. Ibrahim langsung tersadar dengan kondisi sang ibu. Sependek pengetahuannya, semua pasien yang sudah masuk ruang ICU biasanya hanya menunggu waktu meski memang tak selalu begitu. Badannya mendadak terasa lemas, namun ia terus berusaha menuju ruangan yang dimaksud. Tangisnya sudah pecah sejak ia dapat info tentang ruangan sang ibu. Begitu tiba di depan ruang ICU, suasana hening tampak mencekam. Aura sedih semakin terasa. Terlihat semua kakak dan kakak iparnya sudah berkumpul. Amira dan Erika segera menyambut kedatangan Ibrahim dengan pelukan dan tangis. Keadaan semakin jelas bagi Ibrahim meski tak ada yang bicara. Setelah melepaskan pelukan pada adik bungsunya, Amira mengajak Ibrahim menuju ruangan untuk menemui ibunya. Musa yang ada di dalam ruangan, segera keluar untuk bergantian dengan Ibrahim. Ia meremas bahu Ibrahim ketika berpapasan untuk menguatkan.
Ibrahim berdiri di samping ibunya yang sudah dibantu alat untuk bernafas. Seperti sudah tahu anak bungsunya telah datang, mata sang ibu yang sejak tadi terpejam tiba-tiba terbuka perlahan.
"Sakit ya bu?" tanya Ibrahim dengan nada sangat cemas. Sang ibu hanya menggeleng.
"Apanya yang sakit bu? Bilang aja ya. Kalo susah, ibu bisa ngangguk saat Baim pegang bagian yang emang sakit bu," ucap Baim sambil memegang wajah, tangan, perut, kaki sang ibu. Berusaha memastikan kondisi ibunya. Namun, lagi-lagi ibunya hanya menggeleng tapi kali ini sambil memegang tangan Baim yang masih sibuk memeriksa. Isyarat agar Ibrahim berhenti mengecek dan cukup tatap wajah ibunya saja.
"Ibu ... Sehat," ibunya berusaha bicara meski tak ada suara yang keluar karena tertutup alat yang menutup hidung dan mulut sang ibu. Tapi Ibrahim bisa membaca gerak bibir ibunya. Panik tiba-tiba menyerang Ibrahim. Ia menggenggam tangan ibunya dengan erat lalu bertanya, "Ibu mau apa? ibu perlu apa? Baim belikan ya bu. Ibu harus sehat lagi ya."
Lagi-lagi ibunya hanya menggeleng. Air mata keluar dari sudut mata sang ibu dan dengan susah payah ibunya melepas alat bantu pernafasan lalu berkata pendek, "Baim, Maaf. Sehat terus ya," suara sang ibu terdengar begitu pelan dan lemah.
Ibrahim semakin panik, ia memanggil-manggil dokter, perawat serta seluruh kakaknya sambil membujuk sang ibu untuk memakai kembali alat bantu nafasnya, "Dok, Sus, kaak, tolong ibu!" wajahnya menoleh ke arah luar, "Bu, tolong pake lagi ya," ia menyodorkan alat bantu nafas pada ibunya tapi sang ibu menolak. Ibrahim semakin panik.
Sang ibu menggeleng lalu berkata nyaris tanpa suara, "Allah, Allah, Allah." Ibrahim yang sudah paham kondisinya langsung menuntun ibunya untuk melafalkan kalimat tahlil sambil menangis. Tiga kali Ibrahim mengucap kalimat tahlil namun ibunya hanya sanggup mengucap kata "Allah" saja, lalu dalam tiga kali tarikan nafas, sang ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Badan Ibrahim seketika bergetar hebat, tangisnya begitu keras. Banyak hal yang belum ia lakukan untuk ibunya. Sedih dan penyesalan bercampur jadi satu. Dokter dan perawat datang untuk menangani ibunya, semua kakaknya berusaha menenangkan dan menguatkan Ibrahim.
keesokan harinya, sang ibu dikebumikan sebelum waktu dzuhur. Ibrahim dan Musa ikut dalam proses penguburan. Meski kesedihan luar biasa dirasakan oleh mereka, namun mereka tetap bisa bertahan saat proses pemakaman berlangsung. Selesai proses pemakaman, satu per satu yang hadir mulai meninggalkan pemakaman. Tersisa Ibrahim dan keluarga besarnya yang masih berjongkok mengelilingi makam ibunya. Semua wajah tampak berduka. Ibrahim terpukul bukan main dan sulit menghentikan tangisnya.
Tiba-tiba tangan kecil keponakannya mengusap air mata di pipi Ibrahim dan dengan polosnya anak perempuan yang masih berusia 4 tahun itu bertanya, "Om, kenapa nangis terus?"
Ibrahim terkejut lalu tersenyum kecil ketika sadar siapa yang mengusap pipinya, "Eh, om cuma sedih. Ngga bisa ketemu nenek lagi."
"Kenapa sedih? kan kita bisa sering nengok nenek di sini om. Kata mamah, rumah nenek sekarang di sini. Nenek juga udah tenang istirahat di sini," ucap anak kecil di depannya masih dengan kepolosannya.
Tangis Ibrahim semakin pecah mendengar kepolosan dari keponakannya. Nayla, keponakannya seketika panik dan buru-buru memeluk leher sang paman dengan kedua tangan mungilnya, "Om, Nay salah ya? kenapa om malah tambah nangis? maafin Nay ya om."
Sambil menggeleng, Ibrahim balas memeluk Nayla dan berkata, "Nay ngga salah ko. Om cuma sedih aja dan ngerasa kalah sama Nay. Nay pinter banget, makasi ya."
Nayla tampak lega mendengar jawaban pamannya lalu bicara lagi, "kata mamah, nenek ngga pergi om. Nenek cuma istirahat di tempat yang lain. Nenek juga ngga pernah hilang, karena nenek selalu ada di sini", Nayla menunjuk dada pamannya yang berarti hati. Ibrahim mengangguk sambil kembali memeluk Nayla.
*****
Ibrahim tetap menjalani hari-hari seperti biasa setelah ibunya meninggal. Meski situasinya tak lagi sama, bahkan sering ada rasa kosong dalam dirinya, ia sadar bahwa melanjutkan hidup dengan baik adalah keinginan sang ibu. Sesekali ia membuka galeri pada ponselnya untuk melihat lagi kenangan yang pernah ia simpan bersama ibunya. Ketika rindu melanda dan tidak bisa ditahan, ia menangis sejadi-jadinya. Namun tangisnya segera terhenti saat teringat ucapan polos keponakannya di hari pemakaman sang ibu. Perkataan Nayla memang benar. Ibunya tidak benar-benar pergi meski ia tak bisa lagi bertemu atau tak bisa lagi saling bertukar cerita. Rumah yang terasa hilang, sebenarnya masih bisa ia rasakan keberadaannya. Karena memang sang ibu selalu ada dalam hatinya.