Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Budi dan Iwan berhenti melangkah. Budi memberi isyarat untuk merunduk dan merapat ke tanah. Lalu mereka merayap pelan, bersembunyi di balik rerumputan. Dua bocah laki-laki itu telah melihat sasaran mereka. Mereka melihat rumah tua itu dari kejauhan. Sepi tak berpenghuni.
"Kamu yakin mereka menyimpannya di sana?" tanya Budi.
Iwan tampak ragu, "Nggak juga sih, aku cuma lihat mereka lewat jalan ke rumah itu waktu pulang sekolah."
"Yah, kita nggak akan tahu kalo nggak periksa. Kamu bawa hape buat rekam jadiin barang bukti?"
Iwan mengacungkan ponselnya.
"Ayo!"
Dua bocah itu merayap semakin mendekati rumah tua. Perlahan dan hati-hati. Mungkin kalian tidak tahu, tapi kedua bocah laki-laki itu sedang berusaha menguak kasus hilangnya buku-buku dari perpustakaan sekolah. Mereka mencurigai sekelompok preman yang suka nongkrong di depan sekolah mereka. Mereka harus mendapatkan barang bukti.
Mendekati pagar besi berwarna coklat yang telah berkarat dan kusam warna catnya, Iwan yang semula memang sudah ragu, semakin ragu lagi. Jantungnya berdebar kencang. Skenario terburuk bahkan sudah bermain-main di kepalanya. "Bud, apa perlu sekarang buat melakukannya?" lirih Iwan ragu-ragu dengan napas yang tidak teratur. Kedua tangannya mulai terasa pegal. Otot trisep milik Iwan yang masih kecil itu belum kuat diajak bekerja sama untuk bertingkah layaknya seorang laki-laki yang tengah berlatih dasar-dasar kemiliteran.
Budi menoleh lalu melotot ke Iwan yang saat ini berada di sampingnya.
"Kamu takut?" ucapnya penuh tendensi.
Dengan ragu, Iwan mengangguk. "Gimana kalau kamu saja? Aku tunggu di depan."
Budi memandang Iwan dengan kecewa. "Tapi, kamu kan yang bawa hape. Kalau kamu nggak ikut, gimana kita bisa rekam bukti-bukti, jika bukti itu beneran ada?"
"Sebentar," Iwan memiringkan badannya, tangannya merogoh saku celana belakang dan menyerahkan hape miliknya sendiri kepada Budi. "Kamu bisa pakai hapeku. Tapi, maaf, Bud. Aku belum berani kayak kamu. Aku takut,"
Budi hanya bisa menghela napas yang panjang. Mau bagaimana lagi? Ibunya mengajarkan bahwa memaksakan kehendak sendiri tentu bukan hal yang baik. "Nggak perlu. Kalau kamu nggak ikut, aku nggak mau pakai hape kamu. Kalau hape kamu kenapa-kenapa, aku nggak punya uang buat gantinya. Ya udah. Kalau kamu emang takut, aku pergi sendiri saja."
Tanpa menunggu jawaban dari Iwan, Budi melanjutkan diri untuk merayap, membiarkan Iwan yang sedang berada dalam kebimbangan.
Iwan memandang punggung Budi yang semakin bergerak ke depan. Dia gamang. Menunggu di depan atau mengukuhkan rasa setia kawan sebagai upaya nyata meski ketakutan mendera mental dan pikirannya.
Dengan keyakinan penuh Budi terus saja merayap ke depan tak dihiraukan lagi Iwan mau ikut atau tidak. Sudah kepalang tanggung dia berada di sini. Jadi tak mungkin dia putar haluan tanpa membawa apa-apa.
Setidaknya rasa penasaran dihatinya akan ke mana hilangnya buku-buku itu terjawab.
"Jangan takut mencoba, Nak. Dari mencoba engkau akan tahu sebatas mana kemampuan dirimu." Kembali nasihat sang Bunda terngiang di telinganya mengobarkan kembali semangatnya yang sempat surut akibat provokasi dari Iwan.
Belum lagi mitos tentang rumah tua ini yang begitu terkenal hingga seantero tempat tinggalnya juga, tak mau tinggal diam untuk turut serta menyurutkan keberaniannya.
Kreeeet ....
Terdengar derit pintu kayu tua yang disangga engsel-engsel berkarat, begitu nyaring terdengar seperti derit pintu di film-film horor yang pernah di tontonnya.
Dan bulu kuduk Budi seketika berdiri tanpa permisi saat dia merasa ada sesuatu yang bergerak-gerak di punggungnya. Spontan Budi berbalik. Dalam temaram sinar hape, ia melihat, lalu ....
"Aaaaaaaaa ...." Jeritnya sekuat tenaga.
"Ssssttttt," Iwan menempelkan jari telunjuk di mulut Budi agar tak bersuara keras.
"Ah, kamu Wan. Tadi katanya nggak mau ikut?" Tanya Budi pelan.
"Lebih menakutkan sendiri di luar, Bud. Ayolah, masuk, tapi jangan tinggalin aku, ya?"
Masih dengan rasa ragu dan takut, kedua bocah itu perlahan memasuki rumah tua. Mereka memicingkan mata agar bisa melihat di dalam yang sedikit gelap. Dari mulut ke mulut, dikabarkan bila rumah itu angker, banyak hantunya. Mungkin karena itu Budi dan Iwan tidak punya keberanian mutlak untuk memasukinya.
Blang.
Baru melangkah melewati pintu, tiba-tiba pintunya menutup sendiri dengan menimbulkan suara yang keras. Budi dan Iwan berbalik kaget. Terlebih Iwan yang sejak awal sudah merasa takut, dengan kejadian barusan membuatnya semakin takut.
"Pintunya menutup sendiri, Bud," Iwan berbisik dengan suara yang gemetaran.
Tanpa menunggu Iwan, Budi memeriksa pintu dengan perasaan takut. Handle pintu diputar kemudian mencoba mendorongnya pelan, tapi pintu itu tak bergerak.
"Gimana, Bud?"
"Sepertinya macet, Wan. Nggak bisa dibuka."
Iwan semakin takut, hampir tak ada cahaya dalam rumah itu ketika pintunya tertutup.
"Wan, kamu melihat sesuatu yang bergerak barusan?" Bisik Iwan.
"Kamu jangan menakut-nakuti gitu, Wan. Nggak ada cahaya gini mana bisa melihat dengan jelas," desis Budi.
Mereka terus memasuki ruangan memanjang seperti koridor rumah sakit. Namun, terasa gelap, lembab, dan wingit. Budi berkata demikian hanya untuk menetralkan suasana dan juga rasa takut dari temannya. Padahal sudut matanya pun menangkap sekelebat bayangan yang bergerak tadi.
Tangan kiri Iwan beberapa kali mencengkeram kulit hasta Budi. Sementara tangan kanannya memegang ponsel untuk penerangan.
Rumah tersebut memang berukuran cukup besar, dengan beberapa ruangan tertutup di sisi koridor utama rumah. Bangunannya masih kokoh meskipun lawas. Dibangun di atas tanah seluas empat ratus meter persegi. Mereka melihat banyak barang usang yang berserakan.
"Wan, kamu itu cowok, jangan kayak cewek!"
Budi berbisik sambil menyingkirkan jemari tangan Iwan. Ia tetap mencoba bersikap tenang, serta berpikir realistis meski juga ia merasakan sesuatu yang tidak wajar saat baru memasuki area dalam rumah. Dalam benaknya terpikir tentang beberapa sosok.
Langkah mereka makin melambat saat berada di dekat sebuah pintu tertutup yang berwarna merah. Seketika itu juga penerangan ponsel di tangan Iwan mengalami disfungsional. Cahayanya terus berkedip, seperti terjadi adanya gangguan elektromagnetik pada ponsel.
“Aaaaaahhh!” Budi dan Iwan menjerit bersamaan karena terkejut dengan ruangan yang tiba-tiba gelap. Sepertinya ponsel Iwan kehabisan daya sehingga fitur senter yang menerangi sekitar ikut padam.
“Iwan! Kenapa hapemu nggak di-charge dulu sih sebelum ke sini?” Budi menggerutu kesal. Bagaimana tidak, satu-satunya benda penerang mereka sudah tidak berfungsi dan mereka terjebak dalam kegelapan yang pekat.
“Ma-maaf, Bud. Tadi soalnya buru-buru, jadi nggak lihat. Terus, gimana ini ...?” Suara Iwan mulai merengek.
“Ssst! Diam dulu, Wan! Aku jadi nggak bisa mikir ini!” tegas Budi yang berusaha mempertajam indra pendengarannya. Sejak tadi dia merasa ada orang yang mengawasi mereka. Mereka tidak sendirian di rumah ini.
Hantu? Ah, omong kosong dengan hantu. Aku lebih percaya pencuri-pencuri itulah yang tinggal di sini. Tunggu saja, kami akan menangkap kalian! Budi sudah bertekad di dalam hati.
Namun, belum sempat niat itu terlaksana, tiba-tiba saja dia tidak bisa bernapas. Ada yang membekap mulut dan hidungnya. Meski tangan dan kakinya bergerak-gerak hendak melepaskan diri, tenaga yang menariknya pergi lebih kuat.
Debam benda berat yang terdengar dari kejauhan, menyadarkan Iwan bahwa dia kini seorang diri.
“Bud? Budi? Kamu di mana, Bud? Jangan bercanda, Bud! Jangan tinggalin aku!” Suara Iwan yang seperti menangis membahana ke seluruh ruangan.
Tatapan Iwan luruh. Dia memberanikan diri berjongkok mendekati sesosok tubuh yang tergeletak tak jauh darinya. Di antara remang cahaya ruangan, ia melihat wajah Budi yang pucat pasi.
"Ka ... Kamu kenapa, Bud?" tanya Iwan panik.
"Kaki aku, kamu injak, tolol!
Iwan buru-buru melonjak ke belakang. Pada saat yang bersamaan, lampu tiba-tiba menyala dengan terang. Seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh, datang menghampiri mereka. Di atas pundak lelaki itu, sebuah besi panjang terbentang. Pada bagian tengahnya, menggantung besi tajam lain yang melengkung.
"Akhirnya kalian datang juga. Bagaimana? 1500 per kilo mau apa kagak?" ujar lelaki tua itu sambil terkekeh.
Iwan melirik Budi yang masih nampak kesakitan setelah kakinya terinjak, tentu saja sambil mengangkat kakinya yang menekan ibu jari kaki Budi.
Hanya dalam hitungan detik, wajah Iwan sudah nyaris menempel ke telinga Budi. Ia membisikkan sesuatu pada Budi, yang direspons dengan raut wajah berbinar.
Kakek berpakaian lusuh itu seolah tidak sabar mendengar jawaban keduanya.
"Buruan, Tong, mau apa kagak?" tanyanya.
"Mmmm ... Tunggu dulu, Kek. Saya coba tanyain ke teman saya ini," jawab Iwan.
Budi kemudian berdiri. Lagaknya terlihat seperti orang yang sedang mempertimbangkan sesuatu.
"Gini Wan, sebenarnya kemarin tuh Bang Mandra nanyain buku yang ini, katanya dia mau beli dua ratus ribu rupiah," bisik Budi ke Iwan, lalu dia mengeluarkan beberapa buah buku dari dalam tasnya.
Iwan memikirkan perkataan Budi, kemudian dia bertanya pada kakek tua.
"Kakek mau mencari buku bekas buat apaan, Kek?" tanya Iwan pada pria tua berpakaian lusuh.
"Gini, Tong, buku-buku itu bakal Kakek jual kiloan, duitnya buat makan."
Iwan mencolek lengan Budi, mereka kembali saling berbisik. Keduanya seperti sangat serius membahas sesuatu.
"Gini aja, Kek, teman saya ini mau jual bukunya dua ratus ribu, soalnya dia butuh buat beli sepatu sekolah," kata Iwan.
"Nah, kalau kakek mau, Kakek boleh beli semua buku ini dua ratus lima puluh ribu," sambung Budi.
Si kakek terlihat penasaran pada salah satu buku yang kata kedua anak itu laku dua ratus ribu rupiah. Ia memegang buku bersampul warna biru kusam tersebut, lalu membolak-baliknya.
"Resep Rahasia Kuliner Nusantara," demikian judul buku yang dipegangnya.
"Apa-apaan lu, Tong, masa buku resep doang mau dijual dua ratus rebu, yang bener aja lu!!!"
"Ya udah, kalo Kakek nggak mau, nggak apa-apa sih. Tapi coba deh perhatiin, itu tuh buku rahasia, Kek. Yang namanya buku rahasia pasti mahal," ucap Iwan menambahkan
Si kakek kembali membolak-balik buku itu.
"Bener juga nih anak. Kalau aku ambil, siapa tahu bisa laku lebih mahal," ucapnya dalam hati.
Iwan menatap si kakek dengan harap-harap cemas.
"Lu yakin, ni buku kalo gue jual lagi bakal laku gede?" tanya si kakek.
"Pasti, Kek!" Iwan menjawab mantap. "Itu buku edisi spesial. Limited edition. Cuma orang-orang tertentu yang punya,"
Kakek itu tampak berpikir. Meski bibirnya menyungging senyum aneh.
"Sayangnya, Kakek sedang tidak bawa uang sebanyak itu,"
"Atau, Kakek bisa menukarnya dengan buku yang Kakek punya," tiba-tiba Budi menyahut.
Matanya melirik pintu merah itu sekilas. Sepertinya ia belum lupa dengan tujuan awal ke rumah ini. Ya. Misteri hilangnya buku dari perpustakaan sekolah belum terpecahkan, bukan?
"Oh," si Kakek sekilas seperti menangkap lirikan Budi, lalu ia pun menoleh ke arah pintu merah. Tanpa diduga, ia malah menuju pintu merah itu.
"Kalian pasti berpikir kalau Kakek menyembunyikan buku-buku itu di sini, ya?" Ia bertanya retoris, tetapi tanpa menunggu jawaban, ia langsung membuka pintu merah tersebut.
Sontak cahaya terang benderang menyeruak diiringi suara bising mesin. Beberapa lembar kertas keluar, bahkan banyak sekali, hingga bertumpuk-tumpuk. Tampak ada beberapa orang juga di dalamnya. Beberapa di antaranya terpaksa menghentikan aktivitasnya dan melihat keluar.
"Yah, sebenarnya inilah yang kami kerjakan. Bisnis yang sangat menguntungkan dengan mencetak ulang buku-buku mahal dengan harga murah. Jauh lebih menguntungkan daripada menulis buku yang royaltinya tidak seberapa," kakek itu menoleh ke arah Budi dan Iwan.
"Kakek sudah kapok jadi penulis. Menulis capek-capek, eh, ditolak terus. Ikut lomba juga nggak ada yang menang. Padahal, Kakek sudah mengeluarkan banyak modal. Tapi penerbit-penerbit selalu Ve-Ha-Ve. Memangnya penulis tidak butuh makan?" Senyum si kakek semakin terlihat misterius.
"Apa itu 'vehave'?" Iwan tampak bingung.
"Vemberi haravan valsu," kakek semakin menyeringai.
"Nah, sekarang kalian sudah tahu, kan apa yang kami kerjakan di sini? Dan karena kalian sudah melihatnya, maka kalian tidak akan keluar dari sini lagi,"
Budi dan Iwan berpandang-pandangan. Namun, ketika para pekerja mulai keluar satu persatu dari ruang berpintu merah dengan tatapan garang, keduanya pun sadar. Situasi tidak baik-baik lagi.
Perlahan, keduanya mundur. Kemudian ....
"LARI!" Iwan menarik lengan Budi.
Iwan berlari lebih dulu ke arah pintu, mencoba membuka paksa pintu, tapi tetap saja pintu itu terkunci dengan rapat.
"Bagaimana ini, Bud?" tanya Iwan dengan suara gemetar dan tangan yang tremor.
Sementara para pekerja itu makin mendekat.
"Habislah kita," kata keduanya saling berpelukan.
"Kalian sudah mengetahui sindikat kami, maka kalian tidak akan kami lepaskan," kata kakek tua itu. Seringainya persis seperti serigala yang lapar.
"Tuhan, selamatkan kami," doa Budi.
"Bunda tolong Iwan," airmata Iwan mulai bercucuran, mengalir bersama derasnya keringat.
"Jangan takut, Wan. Kita harus berani, ayo, kita lawan mereka!" kata Budi dengan gagah berani, padahal sebetulnya dia juga takut, tapi kalau dia menunjukkan ketakutannya, orang-orang itu akan dengan mudah melumpuhkannya.
"Mereka banyak, Bud. Sementara kita cuma berdua," kata Iwan yang sudah pasrah dan putus asa.
Mata Budi jelalatan ke sekeliling ruangan, berharap bisa menemukan sesuatu untuk dijadikan senjata, tapi nihil. Tak ada apa pun yang bisa dia gunakan untuk melawan, sementara jarak antara Budi, Iwan, dan para pekerja itu makin bertambah dekat.
Iwan, membalikkan tubuhnya, sekali lagi dia berharap pintu dapat terbuka.
"Tolong, tolong," teriaknya membabi buta.
"Siapa pun yang berada di luar, tolong kami," Budi ikut-ikutan berteriak, dengan suara yang jauh lebih kencang.
Praaang ....
Tiba-tiba kaca jendela pecah, ada seseorang yang melemparkan batu ke arah jendela. Disusul dengan suara tembakkan sebanyak tiga kali. Sekejap para pekerja dan kakek tua terdiam di tempat. Tak lama terdengar suara sirene mobil dan suara seseorang yang memberi peringatan.
"Angkat tangan dana keluarlah satu persatu, kalian sudah dikepung!"
"Jangan coba-coba berlari, kalian sudah dikepung!"
Wajah kakek tua dan para pekerja langsung pucat pasi, mereka berkumpul di sudut ruangan sambil mengangkat tangan.
"Ada polisi!" seru Iwan, matanya melotot ke arah Budi. "Tapi siapa yang lapor polisi ya?" tanyanya lagi.
Budi menggeleng. "Sudah jangan banyak tanya, ayo, kita kabur," Budi langsung menarik tangan Iwan.
Iwan dan Budi menggunakan kesempatan ini untuk kabur dari ruangan itu, mereka berlari mencari jalan keluar dari pintu lain, rupanya pintu belakang rumah itu tidak terkunci. Budi dan Iwan langsung kabur.
Sampai di luar Iwan dan Budi bengong. Tidak ada polisi, yang ada hanya teman-temannya yang sedang bermain perang-perangan. Suara sirene mobil dan orang yang memberi peringatan berasal dari suara kaset rekaman milik Ucok, kaset itu adalah kaset bekas milik papanya.
"Kalian tahu dari mana kalau kami terkurung di sini?" tanya Iwan.
"Susi melihat kalian masuk ke rumah ini dan lama tidak keluar. Kami sedang bermain perang-perangan saat Susi memberitahu kami," cerita Wisnu. Susi yang juga ada di situ mengangguk. Ternyata suara tembakan tadi berasal dari suara petasan yang dibawa Susi.
Budi dan Iwan saling tatap. Keduanya mengangguk-angguk serempak. Tiba-tiba saja Budi punya ide cemerlang untuk meringkus sindikat penyebar buku-buku ilegal tersebut
"Ayo, kita pergi! Tempat ini berbahaya!" Wisnu sudah mulai memacu kaki, tapi Budi mencekalnya.
"Tunggu, kita sudah di sini. Kita sudah tahu apa yang terjadi pada buku-buku yang hilang. Penjahat sudah di depan mata, masa kita pergi gitu aja!"
Wisnu termenung. "Terus kita harus gimana?"
"Menangkap mereka, dan serahkan ke polisi sungguhan kali ini!" Iwan yang selalu menjadi sahabat karib Budi, tentu saja langsung setuju, padahal Susi di sebelahnya mengernyit khawatir, sementara Ucok memeluk kaset rekaman.
"Gimana caranya? Kita cuma anak kecil!" tanya Susi khawatir.
Tiba-tiba, wajah Budi dipenuh tekad, yang langsung menular pada Iwan. "Kita emang cuma anak kecil, tapi para penjahat itu juga bukannya orang-orang kuat ....
Iwan menyambar, "Mereka tua bangka!”
Selanjutnya Budi dan teman-temannya berembuk, bocah itu menceritakan ide cemerlangnya yang memang terdengar masuk akal terutama di telinga Iwan, walaupun wajah Wisnu, Susi, dan Ucok masih tidak yakin. Mereka saling mengangguk satu sama lain, setelahnya Susi pun berlari ke arah pemukiman penduduk. Sedangkan, Budi, Iwan, Wisnu, dan Ucok berpencar.
***
Seorang kakek yang berjaga di pintu belakang berusaha keras menahan kantuk. Dia tengah menunggu dua bocah penyusup yang tadi kabur, kalau-kalau mereka kembali. Nyatanya, setengah jam berlalu tanpa terjadi apa-apa, si kakek penjaga memutuskan untuk menutup mata sejenak, tak lama malah terdengar suara dengkur. Dengkuran itu berubah menjadi dengkingan seperti babi, begitu si kakek terbangun akibat suara menggelegar.
"Astaga Komodo!!! Apa itu!!!
Di hadapannya, berdirilah sosok tinggi besar tertutup kain. Tak berlengan, tapi mempunyai sisi berjumbai di kiri dan kanan. Sosok itu mulai mengeluarkan suara serak dan berat.
"Waktumu, sudah habis, Pak Tua!"
"Si—siapa kau!" Si kakek penjaga gemetaran.
"Akulah, malaikat pencabut nyawa orang-orang tua!"
"Toolooong!!!"
Si Kakek penjaga memacu kaki hingga sampai ke satu pintu, membukanya tanpa basa-basi. Ternyata di situlah tempat Kakek Pemimpin dan beberapa kakek-kakek lainnya tengah membereskan buku-buku jarahan mereka
"Kenapa lu? Kayak habis ngeliat setan!" hardik si Kakek Pemimpin.
"Kita semua yang jadi setan kalau nggak cepat-cepat kabur!"
Bersamaan dengan itu kegaduhan terjadi di seluruh ruangan itu, berikut suara-suara lenguhan dan jeritan. Selanjutnya, sosok di pintu depan tadi muncul di ambang pintu sehingga para penjahat lansia ikut memekik. Tidak bisa dibedakan lagi mana suara hantu dan mana suara jeritan para penjahat.
"Inilah balasan bagi orang tua yang mencuri buku dari anak-anak," Si sosok hantu menggeram. "Hadapilah maut yang mematikan dari Malaikat Pencabut Nyawa, Orang Tua!"
"Jangan, Malaikat! Saya masih punya kucing untuk diberi makan!"
"Dan saya harus ke tukang urut minggu depan karena ada diskon!"
"Kami janji nggak bakal mencuri buku-buku lagi! Asalkan beri kami waktu hidup lebih!
Para penjahat memohon silih berganti, dan sosok hantu pun berpikir sejenak.
"Baiklah, kalian aku ampuni. Asalkan kalian lari sekuat tenaga lewat pintu belakang. Dan jangan pernah memperlambat lari kalian!
Tanpa basa-basi, Para penjahat lansia yang berjumlah empat orang itu berlari sekuat tenaga menuju pintu belakang. Tidak berpikir dua kali untuk mendobrak pintu. Sementara di luar sana sudah ada Susi bersama warga yang siap meringkus para penjahat.
Sosok menyeramkan keluar setelahnya, melepas kain besar yang ternyata menutupi Budi yang menggendong Wisnu di pundak. Iwan dan Ucok menyusul setelahnya, ternyata mereka biang kegaduhan di ruangan untuk efek dramatis. Sedangkan, Susi kebagian mengumpulkan warga untuk menggrebek bandar buku curian tersebut.
Para penjahat itu langsung ditangkap warga untuk diserahkan kepada pihak yang berwajib, berikut semua barang bukti yang ada.
“Hore, berhasil!” seru Iwan, Budi, Wisnu, Ucok dan Susi. Kelimanya saling tos, meluapkan kegembiraan.
"Ternyata kita hebat juga ya," kata Budi dengan bangga, yang tentu saja disetujui teman-temannya.
***
Catatan
Cerpen ini hasil dari sambung cerita di Komunitas Warkop Kwikkita. Yang ditulis oleh dua belas orang penulis.
1. Donny M. Ramdhan
2. Febri
3. Susanti
4. Pairun
5. Rudi
6. Lirin
7. Bakasai
8. Teh Manis
9. Kurniawan Eka Mulayana
10. Nadya
11. Nimas Rassa
12. Irma
Bisa saja kan, dalam keadaan terdesak, seorang yang penakut akan nekat jadi pemberani, karena tidak ada jalan lain, selain menolong diri sendiri. Itu yang kupikirkan pas ngedit naskah ini.
Keren pengamatanmu, Mbak. Semoga ini akan jadi perkembangan baik buat kita semua. Aamiin.