Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Rumah Tanpa Pagar & Pintu
12
Suka
4,385
Dibaca

Aku sangat ketinggalan zaman. Ah, gaya menulisku, maksudnya. Lihatlah, bagaimana penulis masa kini mengekplorasi bentuk cerita, bermain dengan diksi-diksi yang indah, adegan yang membuat penasaran dan uh... Sedangkan aku, terjebak dalam pakem kolot dan usang. Seperti Kafka yang pernah merasa terpuruk dengan tulisannya saat menuliskan Metamorfosis. Begitupun Aku. Kini, aku tidak tahu harus menulis apa. Setiap kali aku mencoba menulis cerita, hasilnya selalu jelek dan terkesan dipaksakan. Tak ada yang mengalir. Bahkan tak pernah sekali pun tulisanku fenomenal. Barang satu saja, seperti Gadis Enam Belas Tahun-nya Si Oki yang ditulis oleh Kawabata Yasunari.

Apakah sekarang masih zaman penulis yang menarasikan dirinya sendiri sebagai Aku tokoh? Aku rasa tidak. Terlebih, jalan hidup yang dijalani oleh penulis kebanyakan biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Teknik itu berlaku hanya untuk penulis-penulis terkenal. Tidak untuk penulis kelas tiga sepertiku. Pasti dengan bertele-tele seperti ini, tulisanku akan langsung ditinggalkan. Sedangkan, naskah yang sangat egois dan cocok untuk segelintir orang saja dan dirinya itu tertolong oleh nama besar si penulis. Alhasil, aku menulis yang seakan-akan aku dengan sosok yang di-idealkan. Penulis pengemis simpati dan penuh dramaturgi. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Jika harus jujur, sebenarnya, aku selalu menulis cerita yang berbenturan dengan sistem dan status quo. Aku selalu utopis. Membentuk suasana melankolis dengan cara mengalahkan sosok Aku di dalam cerita—hanya demi tadi, mendapatkan simpati. Hasilnya nihil dan tidak pernah dilirik oleh siapa pun. Tulisanku sangat menjijikkan. Lihat sekarang pun begitu. Aku mencoba gaya Albert Camus dengan menjadi si narator—Jean Baptiste—yang sedang membuat pengakuan atau mungkin mirip Fyodor dan ke-Dazai-dazai-an. Maaf, jika terkesan alay dan tidak punya ciri khas.

Aku telah kehilangan keorisinalitasan dalam diri. Pasti ini akibat dari aku yang sudah mengaku kalah dan menerima realitas. Coba saja, sekarang kawanku, kamu menuntutku menulis cerita dengan sebuah tema. Lokalitas misalnya. Aku langsung terpikir Delapan Pemandangan dari Tokyou-nya Osamu Dazai. Terkesan Pamer katamu? Ya, kawanku. Aku sangat percaya ucapan Multatuli bahwa penulis adalah mahkluk sombong diantara yang sombong.

Ah, lupakan omong kosong itu. Mari kita memasuki gaya bercerita yang konvensional. Saat ini, kawanku, Aku akan membawamu ke tengah hutan pinus di sebuah bukit yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Nah, ini setting ternyaman yang bisa ku bayangkan. Di atas sini, kita bisa melihat ribuan bintang bertaburan. Ada galaksi bimasakti juga! Kita bisa melihatnya karena jauh dari polusi cahaya. Dengarkan suara jangkrik itu! Di bawah sana sungai jernih mengalir daras. Kita tidak usah risau kalau tiba-tiba kamu kebelet berak, saat sedang mendengarkan aku berceracau. Ingat selalu, ceritaku ini hanya omong kosong belaka. Jadi, tidak usah dianggap terlalu serius.

Kau mau kopi? Biar kuseduhkan sekalian menyalakan api unggun. Nah, sekarang sudah hangat. Udara malam akan semakin dingin di ketinggian. Oh, ya. Tadi kita berbicara tentang Dazai dan Pemandangannya. Anggaplah kita sedang mencoba menulis pemandangan Kabupaten Ciamis dari atas sini. Meski ini bukan Tokyou, tapi setiap orang berhak menceritakan pemandangan tanah kelahirannya bukan? Ah, sayangnya, cerita sebagus itu sudah terlebih dahulu di tulis Dazai. Tapi, biarlah. Kita nikmati saja malam ini dengan pemandangan indah bintang-bintang dan juga kerlip lampu di area padat penduduk yang terlihat kecil seperti kunang-kunang.

Lihatlah, mercusuar yang menyala paling terang itu! Itu stadion bola. Sepertinya sedang ada pertandingan. Ada sinyal? Tidak? Oh, ya tentu. Kalau saja proyek jaringan super cepat kemarin tidak dikorupsi, mungkin kita bisa bercerita sambil ditemani komentator bola menceritakan jalannya pertandingan dari sini. Ah, kawan. Jika nanti kita pulang. Kita harus menikmati kuliner pada malam minggu di sekitar stadion. Beragam. Kamu mau mencoba Tahu Gejrot Mang Entank, tidak? Enak loh. Aku jadi teringat sesuatu. Sekitar lima ratus meter dari stadion berwarna ungu itu, kita akan sampai di museum yang dulunya merupakan Keraton Kerajaan Galuh.

Sekitar sebulan yang lalu, aku pergi ke sana sendirian. Aku mencoba mencari sumber dan manuskrip kuno di sana. Aku ingin sekali menulis cerita sejarah seperti Pram. Kata Max Lane, sebelum menulis Tetralogi di Pulau Buru, Pram melakukan riset sejarah terlebih dahulu. Hal yang patut dicontoh oleh penulis kelas tiga sepertiku ini. Jadi, Aku memutuskan untuk datang ke Museum. Setibanya di sana, Aku di sambut dua patung harimau yang siaga mengawasi. Aku langsung teringat kepada para teoritikus agama yang menyebut kepercayaan kita termasuk dalam kategori Animisme. Dan, dua patung harimau itu adalah totem kita. Perwujudan sakral dari masyarakat sunda yang dinasabkan kepada Maha Prabu Siliwangi.

Seharusnya, jika Sang Harimau merupakan totem, dia tidak diusik, diburu bahkan sampai punah seperti ini. Aku tidak mengerti. Harga mahal dari kulit harimau bisa menerobos batas kesakralan. Siapa yang harus bertanggung jawab atas itu? Tan Malaka? Tidak. Meskipun dia menyebut masyarakat kita masih terjebak dengan Logika Mistik, tapi, tahukan? Akses kepada buku sangat sulit di negeri ini. Buku hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang mampu dan yang pernah menginjakkan kaki di bangku kuliah saja. Selebihnya, abai. Berbagai program dilaksanakan. Namun, hasilnya nihil. Nyatanya, lihatlah, kebanyakan dari masyarakat kita masih mempercayai kesurupan harimau sebagai suatu berkat dari leluhur. Kita masih membanggakan harimau sebagai simbol. Omong kosong, jika nyatanya hewan sakral itu tidak pernah terlihat batang hidungnya lagi!

Di dalam museum, terdapat beberapa benda bersejarah yang bisu. Mereka menatapku dingin dari balik etalase. Ada batu pemujaan, arca, gong, tombak raja dan perkakas lainya yang entahlah, apa itu. Aku ingin sekali mengadakan konferensi dengan mereka. Menanyai satu persatu benda itu. Coba jika kamu juga bisa bicara dengan mereka, hal apa yang ingin kamu sampaikan? Kalau aku? Aku ingin sekali mendengar kesaksian yang sebenarnya tentang masa lalu. Tidak peduli. Aku ingin sekali mengetahui intrik yang terjadi di abad tujuh belas. Tentang bagaimana kerajaan kita bisa dikalahkan oleh Kesultanan Banten dan berakhir di tangan Mataram Islam. Tidak. Aku tidak sedang menyinggung SARA. Ini tentang sejarah, kawanku. Jika dicermati, cerita Mahabarata sangat lekat dan identik dengan apa yang terjadi pada sejarah kita dahulu. Apa menurutmu teori bahwa bangsa kitalah yang sebenarnya menulis Mahabarata itu nyata? Dan, bisa saja di abad itu, benar-benar ada sengkuni yang menjelma menjadi sosok yang entah siapa. Lalu, bangsa kita diadu domba begitu saja.

Entah berapa lama aku termenung memandangi benda-benda bersejarah itu. Seperti putaran waktu telah dipotong oleh Batara Kala dan aku terputus dari realitas dunia ini. Hasilnya kembali lagi, nihil. Mereka tidak berbicara sepatah kata pun. Meski begitu, aku sangat yakin, mereka merupakan saksi dari peradaban maju di zaman dulu. Biarlah, nilai filosofis dari nenek moyang kita, terabadikan di dalam esensi mereka. Peduli setan, mau dibaca kembali atau diterapkan, atau ditempelkan saja sebagai cangkang oleh generasi mendatang.

Tak terasa, hari mulai sore, aku memutuskan pulang saja. Berjalan ke arah stadion lagi. Lalu berbelok ke utara. Aku singgah di alun-alun yang baru saja direvitalisasi sebanyak dua kali.

Berkeliling taman dengan tatapan kosong memandang pancuran air berbentuk bunga Raflesia. Jadi intinya, Aku harus menulis apa? Tidak ada yang bisa kutulis lagi. Terutama tentang sejarah. Semua terkubur dan berupa asumsi belaka. Aku duduk di tangga sambil memandang langit yang bersapuh lembayung. Ada hal yang sangat menyita perhatianku. Ada empat pilar menjulang dengan tulisan yang janggal. Aku baru menyadari tertanyata ada kata yang terlewat dari: Pakena Gawe Rahayu, Pakeun Heubeul Jaya Di Bhuana. 8

Aku tertawa kecil menikmati kekonyolan itu. Siapakah orang di masa mendatang yang akan berbuat kebaikan itu dan menjadi jaya di semesta? Tidak tahu. Aku? Tidak mungkin. Belum banyak hal baik yang kulakukan. Dan, aku tidak merasa sesuperior itu. Namun, jika aku menulis cerita tentang itu, bisa sajakan? Ya, akhirnya aku mendapat beberapa ide tentang kisah heroik.

Akhirnya, aku merasa lega lalu memutuskan pulang begitu saja dengan naik Bus jurusan Cirebon turun di Kawali. Gila. Ini merupakan kearifan lokal sesungguhnya. Si supir membuat para penumpang sepanjang perjalanan berdzikir. Bagaimana tidak!? Dia ngebut sambil bantik stir ke kiri dan ke kanan. Menyalip mobil dengan ugal-ugalan sampai hampir masuk jurang.

Ah, kawan sesampainya di rumah—Nah, kita sebentar lagi memasuki inti dari omong kosongku—Kau tidak akan percaya ini, Aku melihat pintu di rumah sudah di bongkar dan berserakan di halaman. Bapak sedang membawa martil. Dia berlari ke arah pagar lalu menghantamnya keras-keras sambil berteriak, “pokoknya, Aku tidak setuju Ciamis diganti namanya menjadi Galuh lagi!”

Awalnya, aku terkejut. Pertama, karena perbuatan Bapak yang diluar nalar. Apa bisa dibenarkan dengan ketidak setujuannya ia seenaknya merusak rumah, tidak, bukan? Kedua, bapak ku ini adalah tokoh adat yang sangat klenik. Setiap hari dia memakai pangsi dan ikat kepala. Malam jum’at rutin berziarah ke Astana Gede. Mengajar silat. Kurang nyunda apalagi bapak saya ini? Namun, saat seharusnya dia merasa bahagia dan bangga nama kabupaten kita berganti dengan nama aslinya, dia malah marah dan menggila—Ah, maaf aku tidak sopan berkata begitu kepada bapak sendiri, sepertinya pada titik ini aku berbeda pandangan dengan Kafka, mungkin.

Melihat tingkah Bapak yang tidak biasa, Ibu menjerit histeris di sudut beranda rumah. Aku langsung menghampirinya. Lalu menatap nanar ke arah Bapak yang terlihat berlari ke arah pagar

8 Berbuat Kebaikan Untuk Menjadi Jaya di Semesta

yang tersisa. “Jangan Pak, jangan! Istigfar!” jerit Ibu sambil berderai air mata. Nafasnya terhenti di tenggorokan. Dia kehilangan kendali barang untuk bernafas dengan benar. Untungnya, aku tidak melihat ada memar di badan ibu. Andai saja, ada bekas tamparan di pipi Ibu, aku akan langsung membenci Bapak seperti Kafka. Di situasi seperti ini, aku merasa serba bingung. Tetangga ku berdatangan. Mereka memasang perasaan sama saat melihat tingkah Bapak ku itu. Tidak ada yang berani menghampirinya. Aku melihat seseorang dari mereka berlari. Tepat, kawan. Dia memanggil ketua RT. Setidaknya, jika berhadapan dengan tokoh masyarakat, bapak bisa melunak. Dan, benar saja. Bapak bisa diajak bicara saat itu dan meluapkan kekesalannya. Aku mendengarkan dari dalam kamar yang sudah tidak ada pintunya. Aduh, aku jadi canggung dan tidak bisa onani sembarangan!

Tapi, dengarkanlah, kawanku, apa yang Bapak utarakan saat itu. Dia meresahkan kondisi bangsa kita hari ini. Dia juga marah jika hanya menggunakan nama Galuh untuk mencari sensasi saja. Intinya, untuk apa berlindung di balik nama besar itu jika tidak bisa menjaga isi nilainya. Jika ditarik ke hal yang lebih universal, Bapak ku sedang memperagakan simulasi dari globalisasi, ah, jeniusnya. Tetapi, gila, sih, jika harus berbuat sedemikian ekstrim. Ah, maaf, pak, aku tidak bermaksud mengumpat bapak sendiri.

Sungguh, aku terpukau dan mendapatkan serpihan inspirasi dari peristiwa ini. Namun, kawan, aku bingung bagaimana caranya menulis cerita ini. Sampai sebulan lamanya aku tidak menulis kata sedikit pun. Akhirnya, aku memutuskan untuk berkhayal mendaki Gunung Syawal sendirian, berkhayal juga tentang cerita rumah itu. Dan, kau pun tiba-tiba hadir dari dalam kabut. Aku tidak akan di bawa ke negeri Kappa seperti Akutagawa, kan? Tentunya, sekali lagi ini bukan jepang dan ini hanya dalam khayalanku. Ah, kamu tersinggung. Tunggu, jangan pergi dulu. Sekali lagi, aku ingin bertanya, “bagaimana caranya aku menulis cerita ini menurutmu?” Ah, ya, benar, Aku harus pergi ke Rumah Koclak sebelum berangkat kerja yang mengikis dan membunuh kepribadianku sedari kontrak telah terbit dan mengikat leher ini.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Rumah Tanpa Pagar & Pintu
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Abaikan Dengan Buku
Yooni SRi
Cerpen
Bronze
Kognisi
Arba Sono
Cerpen
Bronze
Atap
Titin Widyawati
Cerpen
Serial Killer? : Hal Baru
Rumpang Tanya
Cerpen
Bronze
Bingkai Tak Berujung
Jasma Ryadi
Cerpen
Janji Manis Penguasa dan Caleg
Yovinus
Cerpen
Bronze
Pendar
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Jalur Langit
lidia afrianti
Cerpen
Zaman Membara
Cléa Rivenhart
Cerpen
Bronze
Aku Dan Ariadne
Vitri Dwi Mantik
Cerpen
Sepatu tak Bertali
Zurriatin Toyyibah
Cerpen
Bronze
Rezeki di Tepi Jalan Kisah Kakek Sarno
Putut Dwiffalupi Sukmadewa
Cerpen
Raenna
Hilda Pratiwi
Cerpen
Jalan Itu Lagi
nazila ardiani
Rekomendasi
Cerpen
Rumah Tanpa Pagar & Pintu
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Semestaku yang Porak-poranda Karenamu
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Kujang
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Buku-Buku di Penjara
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pemangsa Paling Kejam
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bintang Mati
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pietist
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pada Hari Minggu yang Cerah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Simulasi Mati
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sisifus Erostus not Ereksi
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Darahmu Tetap Saja Berwarna Merah
Galang Gelar Taqwa