Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Nama saya Darman. Usia 50 tahun. Saya suami dari Ningsih usia 45 tahun. Baru beberapa bulan usia rumah tangga saya. Saya laki-laki berambut hitam, bentuk mata kecil, bibir tipis, berhidung mancung, berkulit sawo matang, bertubuh ideal dan tinggi. Tapi kata tetangga, saya laki-laki berambut putih, bentuk mata kecil, bibir agak tebal, hidung kurang mancung, berkulit hitam dan bertubuh bongsor. Sedangkan, istri saya perempuan berambut hitam, bentuk mata besar, bibir tipis, hidung mancung, berkulit putih dan bertubuh ramping tapi ini kata saya. Kalau kata tetangga saya, istri saya berambut hitam, sedikit putih, bentuk mata kecil, bibir tipis, hidung kurang mancung berkulit hitam dan bertubuh bongsor. Karena saya berkata, maunya yang baik-baik saja, lalu saya disuruh tes mengunakan cermin paling besar yang ada di rumah tangga oleh tetangga.
"Kenapa baru beberapa bulan usia rumah tangganya, bukannya usianya udah 50 tahun?"
"Apa, sebelumnya ia bujang lapuk?"
"Atau, lelaki hidung belang yang sudah punya istri dan anak sebelumnya."
"Atau, ia adalah seorang duda yang ditinggal cerai atau mati oleh istri sebelumnya."
Dari semua kata tetangga yang paling tepat, saya adalah seorang bujang lapuk. Begitupun dengan istri saya. Beberapa bulan yang lalu, saya ditawarkan seorang istri oleh seorang ibu yang berjualan makanan di kantin kampus. Masih bisa diingat pertanyaan beliau ke saya.
"Bersediakah menjadikan anak perempuan saya menjadi istrimu?"
"Bersedia," jawab saya melebihi kecepatan kilat.
Karena diam-diam, saya sudah mengincarnya jauh saat pandangan paling pertama beberapa bulan yang sudah berlalu. Saya kemudian menghela napas yang panjang, sambil berbicara dan bertanya ke diri saya dalam hati. Hah ... apakah kantin itu sebenarnya tempat perdagangan seorang istri?
Saya bekerja di kampus itu, menjadi seorang PNS staff administrasi. Karena, kerja seharian membuat saya mempunyai rutinitas makan di kantin kampus. Runititas itu, saya tekuni setelah ibu saya sakit-sakitan. Sebelumnya, saya selalu membawa bekal dari ibu. Seorang ibu yang begitu malang karena perkataan tetangga.
"Darman anaknya Ibu Halimah itu pemalu, ga berani buat deketin perempuan. Karena itu, dia belum menikah sampai sekarang."
"Setau saya, Darman itu sempat dijodohkan oleh Ibu Halimah. Tapi, karena dia sudah punya cinta sejatinya, dia menolaknya. Karena itu, dia ga nikah-nikah."
"Bukan karena itu. Darman itu, suka sesama jenis. Karena itu, ia ga nikah-nikah."
Begitu kata tetangga yang selalu sok tau. Padahal, alasan yang lebih tepatnya, saya tidak menikah sampai usia 50 tahun adalah jodoh saya belum sampai.
Ketika saya bilang ke ibu saya sudah menemukan perempuan dan ingin saya jadikannya istri. Begitu terkejut beliau mendengarnya, sampai terkena serangan jantung.
"Duh, kasihan sekali ya. Saking terkejut mendengar anaknya ingin menikah sampai meninggal."
"Ibunya, pasti masih bersikeras ingin menjodohkan anaknya dengan pilihannya sendiri, sampai terkena serangan jantung."
"Bukan karena itu, mungkin ibunya terharu. Karena, anaknya masih normal."
Diam ..., teriak saya dalam hati.
Tidak lama setelah ibu meninggal, saya berniat untuk mencari rumah baru dan tetangga baru. Dengan harapan, saya dan istri saya nanti tidak bernasif sama seperti ibu yang bahkan, sudah meninggal masih saja menjadi omongan tetangga. Namun, pindah rumah ternyata sia-sia. Tetangga di manapun tetaplah menyebalkan.
"Kasihan ya, ga bisa punya anak lagi pastinya. Udah usia 45 tahun, bentar lagi menopause."
"Kalau Allah berkehendak pasti bisa," kata saya, mencoba menenangkan istri saya yang sudah beberapa hari ini memasang emoji menangis di mukanya. Karena omongan tetangga.
Kata emoji, awalnya saya denger dari anak-anak ABG tetangga. Entahlah, saya yang sudah berusia setengah abad ini, tidak tau emoji itu apa? Lalu saya coba cari tau di google. Kata google, emoji adalah tulisan tipografi yang merepresentasikan ekspresi wajah, wajah tersenyum, mata yang terbuka dengan mulut datar, menangis, tertawa, senyum pasti gigi, sedih, marah, dan masih banyak lagi. Saya hanya menghela napas yang panjang sambil berbicara ke diri saya dalam hati. Hah ... unik juga kalau tulisan tipografi emoji bisa diistilah katakan untuk dipasang di muka.
"Atau kita angkat anak saja?" tanya istri saya, tiba-tiba memotong pembicaraan saya dalam hati.
"Baiklah, nanti minggu ini kita ke panti asuhan."
"Dan setelah itu kita pindah rumah."
"Mungkin percuma."
"Apanya yang percuma Mas, kalau tetap di sini. Tetangga akan tetap."
"Stop! Dengerin kata tetangga Ning."
"Kalau begitu percuma juga kita angkat anak."
"Baiklah, setelah angkat anak kita pindah rumah."
Di rumah baru, tangga baru, namun dengan istri tetap yang lama, dan kini bersama anak angkat saya yang kami beri nama Daning. Gabungan dari nama saya dan istri. Daning, anak perempuan berusia 6 tahun.
Daning berambut hitam, bentuk mata kecil, bibir tipis, hidung mancung berkulit putih dan kurus. Memang tidak ada mirip-miripnya sama sekali dengan saya dan istri saya. Saya sudah bilang kalau ini akan memicu omongan tetangga lagi. Tapi, istri saya Ningsih sudah terlanjut sayang dengan anak itu. Katanya, urusan badan kurus anak itu bisa dibikin bongsor dengan diberi makan yang banyak.
"Mulai hari ini namamu Daning, ini bapakmu dan ini ibumu."
Daning hanya mengangguk, terpasang emoji mata yang terbuka dengan mulut datar di mukanya. Mungkin karena belum terbiasa bersama kami.
"Besok kita foto keluarga ya Mas."
"Iya ...."
"Hari ini, beli baju yang samaan buat foto keluarga kita ya Mas. Biar sama kaya foto rumah tangga tetangga, sekalian beli baju dan perlengkapan sekolah buat Daning ya Mas."
Saya menarik uang, dalam kantong celana saya sampai kantongnya bolong. Uang yang hanya tinggal 5 lembar uang 100 ribu. Lalu saya mengintip tanggal di kalender hari ini, yang ternyata masih tanggal 20.
Bulan ini, pengeluaran lebih banyak. Mungkin ada beberapa pilihan untuk mendapatkan uang lagi. Pilihan pertama, menunggu uang gajihan bulan depan. Pilihan kedua, memakai uang tabungan yang entah saya simpan dalam celengan yang mana. Pilihan ketiga, meminjam uang tetangga. Karena istri saya tidak sabaran. Saya bergegas tanpa pikir panjang ingin memilih pilihan yang ketiga.
"Meminjam uang tetangga saja Ning, kalau begitu."
"Memangnya, kita sudah saling kenal Mas?"
"Belum."
"Kita kenalan saja dulu. Nanti kita pinjam uang tetangga kalau sudah saling kenal setelahnya."
"Setelahnya, berapa lama Mas?"
"Belum bisa dipastikan berapa lamanya, yang penting dicoba dulu."
Saya tiba-tiba sadar, kalau pikiran pendek itu sangat tidak baik untuk kelangsungan masa depan yang panjang untuk rumah tangga. Karena itu, saya mencoba memanjangkan pikiran saya dan mencoba mencari pilihan lain. Mencuri di rumah tetangga. Apa saya harus mencuri di rumah tetangga? Menjadi pencuri lalu ditangkap polisi dan masuk neraka.
Setelah memanjangkan pikiran saya. Saya dapat pilihan lain yang malah lebih menyulitkan rumah tangga saya di masa depan yang panjang.
"Ning, kita pilih-pilihan yang pertama saja." Dengan kecepatan kilat saya berucap ke istri saya. Saya tidak berani mendengarkan sahutan dari Ningsih. Saya langsung bergegas pergi ke kantor.
"Mas tunggu dulu, Mas ...."
Meskipun Ningsih memanggil saya, saya tetap menyalakan sepeda motor, tanpa menghiraukannya.
Hari berlalu, minggu berlalu, bulan berlalu, yang pada akhirnya gajih saya akan masuk ke kantong celana saya yang bolong. Untung, saya masih diberikan kesadaran penuh untuk tidak memasukannya ke dalam kantong celana bolong itu. Saya menyimpannya ke dalam tas selempang pria ukuran kecil, pemberian Ningsih.
"Mas ini tas untukmu."
Kali ini, karena terharu saya tidak menghela napas yang panjang, saya hanya berbicara ke diri saya dalam hati.Ternyata istri saya punya sisi romantis juga. Memberikan hadiah ke saya padahal bukan hari ulang tahun saya. Tapi, setelah Ningsih berkata ini, saya meragukan sisi romantisnya.
"Iya Mas, tas itu buat menyimpan gajih Mas."
Saya menganggukkan kepala dan di muka saya terpasang emoji senyum pasta gigi.
"Sebagian uangnya nanti untuk keperluan masuk sekolah SD Daning," katanya lagi.
Saya dan Ningsih mendaftarkan Daning ke sekolah SDN yang tidak jauh dari rumah. Hanya dengan melewati 20 rumah tetangga bisa sampai ke sekolahan SD itu.
"Mulai besok kamu sudah boleh masuk sekolah," kata Pak Guru kepada Daning.
Daning mengangguk dan terpasang emoji senyum di mukanya.
Pulang dari mendaftarkan sekolah Daning. Istri saya melebihi kecepatan kilat meminta untuk pergi ke pasar. Katanya, mau membeli baju dan perlengkapan sekolah untuk Daning.
Saya mau tidak mau mengantarkannya. Daning duduk di depan sepeda motor saya dan istri saya duduk di belakang. Di muka saya terpasang emoji murung sedangkan di muka Ningsih dan Daning terpasang emoji senyum pasta gigi. Lalu ada hembusan angin kencang melawan arah jalan yang kami lewati. Sesampai di pasar, saya sesekali mengintip uang di dalam tas sebelum uang itu keluar dan berpindah tempat, pastinya ke tempat yang akan Ningsih datangi.
Hampir setengah hari saya, Ningsih dan Daning berada di pasar untuk memindahkan uang.
"Ning."
"Sepertinya sudah Mas, saatnya kita pulang ke rumah."
Setelah mendengar perkataan dari Ningsih, kini saya yang melebihi kecepatan kilat menuruti perkataannya.
Hari berlalu, minggu berlalu, bulan berlalu. Daning sudah berusaha kami beri makan yang banyak. Tapi, anaknya tidak mau menurut, dia tidak terlalu suka makan. Sukanya hanya menggambar, sangat berbeda dengan kami.
Sampai tetangga saya mempertanyakan ketidak miripan kami dengan anak kami, Daning.
"Apa yang saya bilang dulu, kejadian juga kan. Ketidak mirip kita dengan Daning memicu omongan tetangga lagi."
"Lalu Mas nyalahin saya."
"Bukan nyalahin Ning, bukan. Paling tidak kalau tubuh kita bongsor gemuk, yang kita angkat jadi anak kita, anak yang bertubuh bongsor juga. Tapi kamu sendirikan yang memilih Daning."
"Tapi, harusnya kamu juga sadar Mas, kamu cuman kasih uang jajan dikit. Gimana saya bisa beliin makanan yang enak buat Daning. Harusnya, sesekali kita kaya tetangga yang makan di restoran mahal, biar anak kita bisa lahap makannya."
Saya menghela napas yang panjang sambil berbicara dalam hati saja. Hah ... baiklah di rumah tangga ini hanya saya yang salah.
Hari berlalu, minggu berlalu, bulan berlalu sudah selama itu saya, Ningsih, Daning dan tetangga bertetangga. Dan ternyata di manapun rumah tangga yang kami tinggali pasti ada saja tetangga yang menyebalkan.
Saya menghela napas yang panjang sambil berbicara dalam hati. Hah ... kalau begini, percuma saja pindah rumah, karena tetangga pasti ada di samping rumah, bahkan tinggal di hutan belantara sekalipun mungkin tetap akan ada tetangga. Pastinya hewan buaslah yang akan menjadi tetangganya.
"Mas mulai minggu ini, saya diajak arisan sama tetangga, katanya biar uangnya tar bisa digunain buat lengkapin rumah tangga."
Padahal, di rumah tangga saya, sudah cukup lengkap. Ada rumah dan ada tangga. Yang sudah saya tukar dengan keringat saya sendiri. Sampai tetangga saya bertanya.
"Berapa harga keringat saya?"
Saya hanya menghela napas yang panjang sambil berbicara dalam hati. Hah ... tetangga ini kepo. Selain kepo juga sudah bikin tangga di rumah saya mungkin hampir patah.
"Darman, gajihmu kapan naiknya sih?"
"Saya malu, kalau ditanya tetangga berapa uang jajan perbulan?"
"Darman, kapan kamu bisa beliin baju baru buat saya dan Daning?"
"Malu, dilihat tetangga baju ini mulu."
Kurang lebih begitu, celotehan istri saya Ningsih. Setelah mendengar omongan dari tetangga.
Sepertinya, istri saya lebih takut tetangga dari pada saya. Dan saya selalu dibuat menghela napas yang panjang sambil berbicara dan bertanya ke diri saya dalam hati. Hah ... sebenarnya rumah ini, rumah tangga saya atau rumah tangga tetangga.
"Kita kapan, bisa renovasi rumah kita kaya tetangga Mas. Jangan sampai rumah kita dinobatkan menjadi rumah paling buruk rupa di komplek ini, di mana saya taruh muka saya, di mana Mas? malu saya malu."
"Istighfar Ning, istighfar. Astaghfirullah'aldzim ... Astaghfirullah'aldzim."
"Alah ..., istighfar, istighfar, emang istighfar bisa bikinin kita rumah baru. Kasih makan aja tidak bisa. Kalau bisa, makan tuh istighfar Mas."
"Astaghfirullah'aldzim, Ningsih."
"Udahlah Mas, malu kedengaran tetangga. Sekarang gini aja. Pokoknya, saya tidak mau tau. Rumah kita harus bisa direnovasi. Mas harus bisa beliin baju baru untuk saya dan juga Daning. Bagaimanapun caranya. Mau Mas, harus cari sampingan kerja kek, apa kek, jangan suruh saya istighfar mulu Mas," kata Ningsih, dan di mukanya terpasang emoji cemberut.
Hari berlalu, minggu berlalu, bulan berlalu, tapi matahari tidak mau ikut-ikutan berlalu di kalender rumah tangga, maunya cuman di langit saja. Sedang asik-asiknya duduk di depan teras memandangi langit tiba-tiba ada yang menghampiri saya.
"Bapak Darman ... Bapak Darman ... eh Bapak Darman," ucap yang menghampiri saya. Lalu ia duduk di dekat saya sambil mengisap rokok. Bapak Uman namanya. Ia tetangga yang suka curhat. Curhat tentang masalah rumah tangganya. Ia selalu tanya apa masalah rumah tangga saya. Tanpa basa dan basi, ia bilang akan lebih tenang jika masalah rumah tangga saya lebih banyak ketimbang rumah tangganya.
"Istri saya maunya cuman makan makanan yang ia masak sendiri. Bagus sih, kalau menu tiap hari diganti. Tapi ini gak, itu mulu dalam satu minggu. Katanya biar hemat, selain itu uang jajan anak-anak juga dibatasi, anak-anak malah protes ke saya."
"Kau ceritalah sekali-kali masalah rumah tangga kau Pak Darman. Lebih parah atau banyakan siapa? Biar saya tau, kalau lebih banyakkan masalah kau, saya akan lebih tenang."
"Eh enggak ... enggak ... maksudnya biar saya enggak ngerasa sendirian punya masalah rumah tangga."
Setelah mendengar ucapannya. Saya hanya menggela napas yang panjang sambil berbicara ke diri saya dalam hati. Hah ... egois, memang egois.
"Pak Darman ...," panggilnya.
Tapi, saya beranjak masuk ke dalam rumah, tanpa menghiraukan panggilan Bapak Uman. Saya menghela napas yang panjang sambil berbicara dan bertanya dalam hati. Hah ... apa ada cara untuk menghindari omongan tetangga?
Saya berbaring sendirian di kamar, sambil mencoba mencari caranya di google hp saya. Kurang lebih begini kalimat yang tertulis di google.
"Cara menghadapi omongan tetangga dengan elegan. Pertama, jangan mudah untuk terpancing emosi, dibawa santai saja dan bersikaplah biasa saja. Kedua, hindari bersikap takut. Ketiga, jangan sekali-kali membalasnya. Dan keempat bila sudah keterlaluan, ajaklah tetangga untuk berbicara bersama."
Kemudian, melebihi kecepatan kilat saya bangun dan menghampiri istri saya yang sedang duduk nonton tv di ruang tamu. Di sana, juga ada Daning yang sedang asik menggambar.
"Ningsih," sapa saya ke Ningsih.
"Apa Mas," sahut Ningsih singkat saja. Di mukanya masih terpasang emoji cemberut.
"Mas, tau cara menghadapi omongan tetangga dengan elegan."
"Gaji Mas udah naik ya, atau Mas udah dapat sampingan kerja ya?" tanya Ningsih. Dengan melebihi kecepatan kilat yang tadinya terpasang emoji cemberut di mukanya, kini berubah menjadi emoji senyum pasta gigi.
"Bukan itu, mungkin ini lebih dari itu. Karena caranya berjumlah empat. Dengerin Mas dulu ya."
Kemudian, saya membuka google di hp saya. Lalu mengetik kalimat ini, cara menghadapi omongan tetangga dengan elegan di kolom pencarian yang ada di google.
"Pertama, jangan mudah untuk terpancing emosi, dibawa santai saja dan bersikaplah biasa saja. Kedua, hindari bersikap takut. Ketiga, jangan sekali-kali membalasnya. Dan keempat, bila sudah keterlaluan, ajaklah tetangga untuk berbicara bersama kita."
"Ya, kalau Mas mau, Mas aja ikutin saran google," kata Ningsih yang di mukanya kembali terpasang emoji cemberut.
Saya menghela napas yang panjang sambil bicara dalam hati. Hah ... apa ada cara lain lagi untuk menghindari omongan tetangga.
Hari berlalu, minggu berlalu, bulan berlalu. Saya mengela napas yang panjang sambil berbicara dan bertanya ke diri saya untuk ke sekian kalinya dalam hati. Hah ... Apa ada cara lagi untuk menghindari omongan tetangga?
Saya melamun dan setelah tersadar penglihatan saya tertuju ke arah tumpukan buku pelajaran Dading.
Saya hanya menghela napas yang panjang sambil berbicara dan bertanya ke diri saya dalam hati. Hah ... mungkinkah ada buku tentang cara untuk menghindari omongan tetangga?
Kemudian, melebihi kecepatan kilat saya berlari dan menghampiri sepeda motor saya. Lalu menyalakan dan menjalankannya sampai ke toko buku murah di samping rumah tetangga.
"Permisi Bu."
"Iya Pak, silahkan mau cari buku tentang apa?"
"Saya mau cari buku tentang cara untuk menghindari omongan tetangga untuk istri saya."
"Oalah ... itu to Pak," sahut ibu penjual buku. Terlihat di mukanya terpasang emoji tertawa dengan air mata.
"Dalam hidup, kita tidak bisa menghindari omongon tetangga. Baik atau buruknya kita, tetap saja tetangga akan ngomongin kita. Sibukan diri dengan membaca dua kalimat syahadat, melaksanakan sholat, menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan pergi haji jikalau mampu. Dengan itu kita bisa legowo dengan omongan tetangga."
Saya hanya menghela napas yang panjang sambil berbicara, dan menyimpulkan ke diri saya dalam hati, Hah ... benar juga kata ibu ini. Dengan melebihi kecepatan kilat, saya bergegas menghampiri sepeda motor saya. Lalu menyalakan dan menjalankannya untuk kembali pulang ke rumah.
Lima puluh lima rumah tetangga sudah saya lewati sampai akhirnya saya tiba di rumah tangga saya.
"Ning ... Ningsih," panggil saya. Mungkin di muka saya sedang terpasang emoji senyum pasta gigi.
"Iya Mas," sahut Ningsih yang sedang menyapu di ruang tamu dan saya lihat masih terpasang erat di muka Ningsih emoji cemberut.
"Mulai hari ini sibukan lah dirimu dengan membaca dua kalimat syahadat, melaksanakan sholat, menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan pergi haji jikalau mampu. Dengan itu diri bisa legowo dengan omongan tetangga."
"Kamu ngomong apa Mas? tanya Ningsih, yang tiba-tiba emoji cemberut yang terpasang di mukanya terlepas berganti dengan emoji bertanya-tanya.
Saya belum sempat menjawab pertanyaannya. Melebihi kecepatan kilat Ningsih bertanya lagi.
"Apa Mas udah dapat kerja sampingan jadi guru agama ya sekarang?"
Saya hanya menghela napas yang panjang sambil berbicara dan menyimpulkan ke diri saya dalam hati. Hah ... Ningsih memang istri yang sulit untuk diberi nasehat.
Ningsih tiba-tiba memengangi dadanya. Dan terlihat mencoba menarik napas.
"Ning, kamu kenapa?"
"Napas saya agak sedikit sesak Mas," jawab Ningsih sambil batuk.
Saya lihat ada asap yang masuk ke rumah dari arah luar. Saya menghela napas yang panjang sambil berbicara dan bertanya ke diri saya dalam hati. Hah ... apakah, asap ini azab dari Allah untuk istri yang sulit diberi nasehat?
Saya berjalan menuju pintu keluar. Untuk memastikan asal usul asap itu. Ketika saya buka pintu, saya melihat ternyata ada tetangga lagi bakar sampah.
Saya hanya menghela napas yang panjang sambil berbicara dan menyimpulkan ke diri saya dalam hati. Hah ... ternyata azab ini datang dari tetangga.
"Ya ampun ... saya belum angkat jemuran," teriak istri saya.
"Tenang Ning, biar saya saja yang angkat jemuran. Kamu diam dan istirahat saja."
Saya melangkah menuju jemuran yang terletak di samping kiri halaman rumah kami. Jarak antara kobaran api sama jemuran sangat dekat. Untung tidak ada angin kencang yang menerbangkan pakaian kami. Kalau ada, mungkin sudah ikut terbakar.
"Wah ... Pak Darman. Em sory menyori Pak. Ai tak melihat ada jemuran yu tergantung di samping kobaran api ai."
Saya hanya menghela napas yang panjang sambil berbicara dan menyimpulkan ke diri saya dalam hati saja. Hah ... sudahlah mungkin saya yang salah bikin jemuran di samping halaman rumah dekat tetangga, harusnya di atas atap saja.
"Pak Darman, sekali lagi sory menyori."
"Eh iya Pak Subarto, sama sekali tidak masalah," sahut saya dengan memasang emoji senyum pasti gigi di muka.
"Bukan Pak, tapi Mister Subarto."
"Eh iya Mister Subarto."
Mister Subarto adalah tetangga yang menyebalkan tapi unik. Dia selalu ngomong dengan gaya bule ngasalnya. Tapi sedikitpun tidak ada bulenya sama sekali. 100 persen, ia asli orang indonesia. Tapi, kata tetangga lain ia sangat terobsesi ingin menjadi seorang bule.
Hari berlalu, minggu berlalu, bulan berlalu, tapi matahari tidak mau ikut-ikutan berlalu di kalender rumah tangga, maunya cuman di langit saja. Hah, sedang asik-asiknya duduk di teras depan memandangi langit tiba-tiba ada yang menghampiri saya.
"Bapak Darman ... Bapak Darman ... eh Bapak Darman," ucap yang menghampiri saya, lalu ia duduk di dekat saya sambil mengisap rokok. Ya siapa lagi, kalau bukan si Bapak Uman, tetangga yang suka curhat.
"Istri saya diam-diam punya tabungan sendiri. Tapi, yang bikin saya kecewa dia tidak mau jujur kepada saya. Apa dia takut kalau saya ambil uang tabungannya? padahal uang tabungannya itu juga berasal dari uang saya. Kau ceritalah sekali-kali masalah rumah tangga kau Pak Darman, lebih parah atau banyakan siapa?"
"Tapi, saya rasa rumah tangga kau tidak ada masalahnya sama sekali. Beruntung sekali dikau."
Saya hanya menghela napas yang panjang sambil berbicara ke diri saya dalam hati. Hah ... saya juga ada masalah Pak Uman.
Hari berlalu, minggu berlalu, bulan berlalu. Omongan tetangga kembali membuat istri saya marah ke saya.
"Udahlah Mas, kalau gini-gini aja saya sudah tidak sanggup lagi berumah tangga dengan kamu Mas."
"Ning, istighfar Ning. Istighfar, Astaghfirullah'aldzim ... Astaghfirullah'aldzim."
"Mau sampai kapan Mas istighfarnya?"
Tiba-tiba saya teringat kata-kata ibu penjual buku. Lalu saya mencoba mengucapkan kata ibu itu ke Ningsih.
"Dalam hidup kita tidak bisa menghindari omongon tetangga. Baik atau buruknya kita, tetap saja tetangga akan ngomongin kita. Sibukkan diri dengan membaca dua kalimat."
"Sudah berapa kali Mas nyuruh saya untuk sibukin diri. Memangnya, Mas tidak tau saya sudah sangat sibuk. Nyuci, jemur, masak, beresin rumah, rawat Daning, sesekali jalan kaki jemput Daning pulang sekolah, bantuin Daning ngerjain PR. Kalau Mas sih enak kerjanya cuman satu aja."
"Lalu, mau kamu apa Ning?"
"Kalau Mas tidak bisa cari kerja sampingan ya, saya mau pulang saja ke rumah orang tua saya."
"Jadi kamu ngancam Ning, ya sudah Mas juga tidak sanggup lagi berumah tangga denganmu."
Kemudian, melebihi kecepatan kilat di muka Ningsih terpasang emoji menangis.
Hari berlalu, minggu berlalu, bulan berlalu. Kini di rumah tangga saya hanya ada saya dan Daning.
"Daning sedang apa kamu Nak?"
"Sedang menggambar Pak."
"Coba bapak lihat, Daning menggambar apa?"
"Gambar rumah, dan tangga yang patah, kata Bapak tangganya patahkan."
Saya hanya menghela napas yang panjang sambil berbicara ke diri saya dalam hati. Hah ... maafkan Bapak Daning. Tetangga sudah leluasa mematahkan tangga di rumah kita. Entah rumah tangga ini rumah tangga kita atau rumah tangga tetangga.
Aku paka emoji senyum Pepsodent wkwk