Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Rumah Po
1
Suka
52
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Rumah Po berada di kaki gunung, luas lahannya satu hektar dan luas bangunannya tidak sampai setengahnya.  Tidak ada yang pernah memasuki rumah Po kecuali di saat mendesak, misalnya saat dia ingin air kolam renangnya dikuras atau tukang listrik yang melakukan pengecekan berkala. Hal ini karena ada sebuah rumor yang menyelimuti rumah Po. Sejak umurnya 19 tahun, hingga kini sudah hampir kepala tiga, Po hidup sendirian di dalam rumah besar itu. Hidupnya berjalan tanpa kejutan, hal yang sama selalu dilakukannya seolah-olah dia adalah loop. Po selalu menyimpan persenjataan di segala tempat yang kemudian dia sembunyikan, pisau pemotong daging akhirnya ada hampir di segala sudut rumah: dari dapur sampai kamar mandi pribadi. Po pikir dia rentan pencurian, tetapi nyatanya malah orang-orang desa yang takut untuk berurusan dengan rumah Po.

            Pagi itu, seperti biasa, Po bangun pukul tujuh. Dia pun ke halaman belakang untuk mengecek tumbuh-tumbuhannya. Dia melewati tanaman wortel, kembang kol, kemudian berhenti di tomat ceri. "Sudah bisa dipetik," dia bicara pada dirinya sendiri. Dia pun mengambil keranjang dari plastik dan hendak berjalan ke halaman belakang saat dia mendengar ketukan di gerbang rumahnya. Mendadak, Po diam seperti mematung. Dia mempertajam pendengarannya. "Dava?" dia menebak-nebak di dalam pikirannya.

            Suara ketukan tiga kali. Kemudian, empat kali. "Mungkin, dia gak ada di rumah?" Po mendengar suara perempuan.

            "Mana mungkin! Dia selalu ada di rumah, kok!" Po mendengar suara Dava, sepupunya. Po pun merasa lebih tenang. Dava membawa orang untuk mengunjunginya.

            "Kenapa gak telepon?"

            "Dia gak ada nomor HP."

            "Yah! Gimana dong, Dav?"

            Ada keheningan sebentar sebelum Dava berteriak, "Po! Po! Ini Dava dan ini Ania! Dia yang mengurus kebun kopimu. Katanya, ada yang perlu dibicarakan!"

            Po masih berdiri di sana, masih membawa keranjangnya. Laki-laki itu ingat kebun kopinya. Ayahnya sudah lama mempunyai kebun kopi yang diurus oleh seorang kerabat, sepupu dari ibunya. Hasil dari kebun kopi itu biasanya langsung ditransfer ke rekening Po satu sampai dua tahun sekali dan ada pemberitahuan dari email.

            "Beneran gak ada orang di rumah, 'kah?"

            "Udah kubilang, pasti ada. Po gak pernah ke mana-mana, loh, An."

            Po berjalan ragu-ragu ke gerbang rumah, dia meletakkan keranjangnya di kursi. Mereka masih di depan, berpikir akan cara untuk memasuki rumah. Untungnya, pagar rumah Po tidak bolong-bolong dan setinggi tembok rumahnya yang membuat gerakannya tidak disadari oleh Dava maupun Ania. Po pun berusaha tidak membuat suara sedikit pun.

            "Kayaknya emang kamu harus pulang dulu, An. Nanti, aku ke sini lagi. Dia memang gak suka bertemu orang baru."

            "Gitu, ya?"

            Mereka pun terdengar berbalik dan melangkah menjauh. Saat itu, Po mendadak tidak ingin mereka pergi. Po panik beberapa saat sebelum dia memutuskan untuk membuka pintu gerbang. Kunci gemboknya dia sembunyikan di bawah pot bunga kembang kertas, dia mengambilnya dan langsung membuka kunci. Mendengar suara besi berbenturan, mereka pun berhenti berjalan dan menoleh ke belakang.

            "Itu?" tanya Ania tanpa suara. Dava mengangguk.

            Gerbang pun terbuka yang langsung memperlihatkan Po: laki-laki itu terlihat rapi dari ujung rambut hingga kaki. Rambutnya memang panjang, tetapi dia ikat ke belakang dan sedikit ada rambut-rambut yang berdiri sehingga dia masih terlihat rapi. Kumisnya dicukur bersih, kebetulan Po bukan laki-laki dengan rambut badan lebat seperti Dava yang mempunyai kumis dan jenggot tipis-tipis. Po bertubuh pendek, kurus tetapi tidak seperti stik, kulitnya kuning langsat, matanya beriris hitam. Wajah Po terlihat sayu, lemah, mungkin karena ujung matanya yang melengkung ke bawah. Satu hal yang membuatnya menarik adalah dia terlihat harum, mungkin karena dia begitu rapi dan bersih.

Sementara itu, begitu melihat Ania sedetik, Po langsung mengalihkan tatapannya pada Dava, kemudian mengalihkannya lagi pada pohon-pohon di belakang mereka.

            "Po, ini Ania. Dia yang ngurus kebun kopimu itu loh. Ada yang mau dibicarakan sama dia," Dava berbicara dengan lambat, seperti malas.

            "Urusan apa?" tanya Po, ragu-ragu.

            "Ehh, itu ... apa namanya-"

            "Ajak ke dalam dulu lah, Po," Dava mendorong Ania ke dalam. Po langsung waspada dan sontak mundur sementara Ania langsung menepis tangan Dava dengan kesal. "Apaan, sih?"

            "Terima tamu dulu, Po. Gak sopan banget kamu. Siapa tahu nih, cocok," katanya menggoda.

            Ania menatap Dava sinis. Ania sudah ada di dalam gerbang. Dava pun menghela napas, "ya udah, pergi dulu, ya. An, kalau ada apa-apa langsung telepon."

            "Iya iya. Makasih, Dav."

            Dava hanya membalas dengan 'hm' lalu menghidupkan motornya dan pergi dari sana meninggalkan hanya Po dan Ania sendirian. Perempuan itu mengingat apa yang Dava ceritakan padanya tentang Po. Sementara itu, Po panik dengan kehadiran sosok baru di rumahnya, bukan tukang AC ataupun tukang kolam, melainkan sosok perempuan cantik yang membuat Po tidak bisa berpikir.

            "Maaf ya aku datangnya mendadak," dia melihat sekeliling. "Jadi, huf, ... sebenarnya masalahnya simpel aja. Orang yang dulu mengurus kebun kopi di dekat PLTA itu ayahku. Ayahku meninggal beberapa hari lalu. Baru aja selesai pemakamannya," Ania berkata cepat antara takut mengganggu tuan rumah lebih lama atau memang ingin cepat-cepat pergi dari sana. Po langsung dibuatnya hanyut dalam pikiran. "Gak apa, kok. Udah ... berlalu ya, gimana juga namanya hidup pasti ada matinya. Sekarang ... kebun kopi itu gak ada yang mengurus, maksudnya buruh-buruhnya itu ... dulu mereka adalah orang-orang di desa yang dipekerjakan ayahku, ayahku kenal akrab dengan mereka. Sekarang ... gak ada yang bisa mengurus kebun kopi itu karena aku sedang kuliah dan sama sekali gak ada rencana untuk melanjutkan."

            Po terdiam. Dia hanya menatap tanah. Diciumnya bau yang familiar dari Ania, dirasakannya juga kelembutan dan kejujuran dalam kegugupannya. Ania menghela napasnya, "maaf, ya. Sebenarnya, itu aja yang mau aku bicarakan. Karena itu tanahnya pure punya kamu jadi kurasa hanya itu keperluanku di sini-"

            "Lalu yang akan mengurus siapa?"

            Ania hanya menatap Po tanpa menjawab. Po pun tahu jawabannya: dia akan diberikan tanggung jawab untuk mencari orang baru yang bisa mengurus kebun kopinya. "Tapi, kalau nanti aku ada kenalan, aku bisa rekomendasikan ke kamu. Mungkin, kamu bisa sambil mencari pengganti."

            Po diam sebentar sebelum mengangguk. Ania pun tersenyum kikuk. "Kalau gitu ... aku permisi dulu, ya?"

            Po tidak menanggapi Ania, tetapi dia melangkah ke pot bunga kembang kertasnya. Kemudian, dia memetik satu bunga dan menyerahkannya pada Ania yang sudah bersiap akan pulang. Ania menatap Po dan bunga di tangannya yang ia sodorkan bergantian. "Eh ... buat aku, ya?"

         "Iya."

"Eh," sekali lagi dia tersenyum, "baik- eh, makasih." Perempuan itu dibuatnya bingung, tetapi sebuah sikap kebaikan yang tiba-tiba tidak membuatnya langsung waspada. Ania tiba-tiba merasakan simpati pada laki-laki yang umurnya hampir 10 tahun di atasnya itu, tidak pernah Ania bertemu seseorang seperti Po. Wajah Po yang mulus, hanya ada garis-garis halus di mata dan bibirnya, dan ekspresi yang seakan-akan dia ingin menangis membuat Ania ingin menolong Po.

"Hm ... kalau mau mampir, boleh."

            "Oh, ya?" Ania terkekeh, "ah. Makasih. Hm ... sebentar aja kalau gitu."

            Po mempersilahkan Ania masuk dan menutup gerbangnya yang kemudian dia kunci, membuat Ania kemudian terlihat waspada. Po mengambil keranjangnya dan memasuki rumah yang Ania ikuti dengan ragu-ragu. Rumah Po terbuat dari bata, tetapi terdapat ukir-ukiran kayu pada pintu dan jendelanya yang membuat rumah ini terlihat megah. Terdapat barang-barang antik di segala sudut rumah, mulai dari lukisan dan foto-foto zaman dulu, saat para perempuan masih telanjang dada, hingga hiasan tembok seperti topeng. Ruang tamunya begitu gelap, hanya sinar dari pintu utama yang terbuka menerangi mereka. Po mengajak Ania duduk di kursi kayu segi panjang yang di depannya ada meja.

            "Eh ... bagus juga rumah kamu. Suka ... lukisan, ya?" kata Ania setelah dia duduk, berusaha mencairkan suasana.

            "Ayahku dulu," Po menjawab singkat, membuat Ania mempertanyakan keputusannya untuk singgah.

            "Oh .... Eh, iya! Kamu kenapa bawa keranjang? Mau laundry?"

            "Tadi aku mau petik tomat."

            "Ah! Kamu punya kayak tanam-tanaman gitu, ya?" Ania kembali antusias.

            "Punya. Kebun."

            Mata Ania pun berbinar-binar, "Oh iya, berkebun. Apa aja yang kamu tanam di sana?"

            "Banyak," Po bangun dari kursi, "mau lihat?"

            "Kalau gak merepotkan," Ania terkekeh. Po pun langsung berjalan ke arah halaman belakang tanpa menginstruksi Ania yang membuat perempuan itu kembali dengan ragu-ragu mengikuti Po. Untuk berjalan ke halaman belakang, mereka melewati dapur yang sangat bersih dengan meja dari keramik biru di tengah-tengah dapur dan di atasnya terdapat lampu gantung. Ania pikir dapurnya terlalu rapi untuk dapur laki-laki, tetapi kemudian dia ingat kalau Po tinggal sendirian. Dapur itu terbuka: dua jendela besar yang menghadap ke halaman belakang dan pintunya terbuka membuat dapur itu sama sekali berbeda dengan ruang tamu dari segi pencahayaan. Po lanjut berjalan ke halaman belakang.

            "Di sana," kata Po.

            Ania mengikuti Po yang langsung berjalan ke arah tumbuhan tomat ceri. "Kalau kamu tinggal di sini ... aku kasih," Po berkata tanpa melihat Ania sedikit pun. Ania terkekeh. Perempuan itu bukan tidak terbiasa dengan laki-laki memperlakukannya dengan istimewa. Bagaimanapun, Ania sadar akan keuntungan genetiknya. Perempuan itu tinggi, tingginya hampir sejajar dengan Po, putih kemerahan, hidungnya mancung, matanya sipit. Ania bukannya terlahir dari campuran ras, kedua orang tuanya adalah orang pulau. 

            Kemudian, Po memetik tomat-tomat yang sudah merah dan siap makan. Dia menyerahkan satu buah ke Ania tanpa mengatakan sesuatu. Ania pun mencobanya dan langsung antusias, "manis sekali! Umm! Enak loh, Po.

            Setelah itu, Po berjalan ke dapur, tanpa menyuruh Ania mengikutinya, tetapi seperti anjing, Ania tahu untuk mengikuti Po. Ania berdiri sambil melihat Po mencuci tomatnya dan membiarkannya kering di atas saringan. Setelah itu, Po membuka kulkas dan mengambil botol kaca dan menuangkan isinya ke dua gelas. Po menyerahkan satu gelas kepada Ania.

            "Oh ... makasih. Ini apa?"

            "Lemon isi madu."

            Melihat Po yang meminumnya, Ania pun ikut. "Bagus, ya, dapur kamu. Suka masak juga?"

            "Lumayan," jawab Po.

            Ania tersenyum atas jawaban Po. "Wuh! Enak banget lemonnya!"

            Po hanya memperlihatkan wajah datar. "Aku mau sarapan," katanya kemudian.

            "Ah ... aku sudah, kok-"

            "Duduk di sana," Po menunjuk meja bundar di luar dapurnya. Meja itu terletak di atas tanah di bawah atap, jadi tidak akan terkena hujan kalau semisalnya. Ania menatap Po ragu tetapi laki-laki itu tidak menghiraukan Ania dan membuka kulkasnya mencari bahan makanan. Po mengeluarkan dada ayam yang sudah dia masukkan ke kotak lalu mencucinya. Merasa ingin membantah, tetapi lebih ingin mematuhi tuan tumah, Ania pun akhirnya duduk di tempat yang sudah Po tunjukkan sambil mencari-cari alasan untuk pulang.

            Dilihatnya Po yang sedang sibuk di dapur. Dia membayangkan Po setelah kecelakaan seluruh keluarganya, pastinya begitu syok hingga laki-laki itu mengurung dirinya di rumah ini. Ania melihat Po penuh rasa kasihan, seperti melihat seekor binatang yang kesakitan. Kemudian, pandangannya beralih ke sekelilingnya: bangunan rumah itu dua lantai, dia kira lantai atas adalah kamar Po. Di sebelahnya ada halaman belakang yang sangat luas dan ada balai di ujung sana, orang baru biasanya tidak akan tahu seluas apa rumah ini memanjang. Didengarnya suara minyak goreng, dilihatnya Po lagi. Laki-laki itu ramping, nyaris seperti perempuan kalau hanya dilihat dari belakang. Namun, Ania menyukai wajah Po yang mempunyai mata sayu, hidungnya mancung tapi kecil, bibirnya tipis.

            Tidak lama, Po keluar membawa nampan dengan dua piring dada ayam goreng, nasi, dan timun. Ada juga mangkok berisi tomat yang tadi dia petik, stroberi, dan anggur. Melihat makanan itu, tiba-tiba Ania merasa lapar lagi walaupun dia sudah makan bubur ayam sebelumnya. Po meletakkan piring Ania di depannya. 

            "Makan saja," katanya.

            "Tapi aku udah bilang kalau aku sudah makan, Po."

            Po terkejut karena Ania memanggil namanya. "Kalau makan sepagi itu pasti hanya untuk ... mengganjal perut. Ini makanan yang sebenarnya."

            "... ya sudah, aku makan demi kamu, ehe. Bercanda."

            Po tersenyum sehingga garis-garis halus di sekitar matanya lebih terlihat. Pertama kalinya Ania melihat laki-laki itu tersenyum sejak tadi, tetapi senyumannya hanya bertahan beberapa detik sebelum Po kembali berwajah tanpa ekspresi, nyaris sinis. Ania pikir senyuman Po sangat manis. Ania menepis pikirannya, berusaha bersikap normal. Sementara itu, Po masih belum menyentuh makanannya, merasa aneh harus makan di depan seseorang.

"Oh iya, Po. Kamu sama sekali belum pernah ke kebun kopi, ya?" tanya Ania, "eh, sebelum jawab, aku boleh cuci tangan dulu di dapur?"

"Oh," Po mengangguk saat Ania sudah berdiri. Perempuan itu pun melesat cuci tangan dan kembali dengan tangan basah karena tidak menemukan tisu. Po terlihat gelisah, masih belum menyentuh makanannya. Laki-laki itu mulai menyesal sudah kelaparan saat ada Ania. "Nah! Maaf, Po! Tadi bicara apa? Oh, iya! Jadi ... belum pernah, ya?"

            "Belum," katanya cepat, tetapi tidak fokus, masih berkutat dengan cara untuk makan di depan seseorang. Kemudian, Po mengingat-ingat kalau mungkin dia pernah ke sana. Setelah itu, pikirannya tiba-tiba kosong. Ania pun mengambil sendok dan garpu yang sudah disiapkan Po. Po biasanya makan dengan tangan, tetapi dia tidak bisa melakukan itu di depan Ania dengan alasan takut perempuan itu berpikir dia primitif.

            "Kalau mau, aku ajak, yah, walaupun aku sudah tidak ada hubungan dengan kebun kopi itu ataupun kamu tapi aku sering main di sana waktu kecil. Tempatnya bagus, di bawahnya ada sungai. Dulu, aku sering ke sungainya buat mandi," jelas Ania sambil menyendokkan nasi ke mulutnya. Dilihatnya Po yang masih diam, berkutat dengan pikiran, masih belum menyentuh makanannya.

            "Pernah lihat buah kopi?" Ania melirik piring Po sambil mengunyah. Po sadar akan setiap kunyahan Ania, setiap daging ayam dan nasi itu dihaluskan dengan giginya dan dikulum dengan lidahnya. Po membayangkan lidah dengan saliva Ania, membuatnya merasa tidak nyaman.

Po menunduk, "belum."

"Itu warna merah. Kamu tahu, kata ayahku dulu, kalau buah kopinya diolah bukan hanya dijual mentah itu keuntungannya akan lebih besar. Dia ingin sekali bisa mengolah buah-buah kopi itu dulu, tapi ya, ayah tidak ada waktu ... gak ada tenaga juga soalnya dia memang sakit-sakitan dari dulu."

Ania kembali memasukkan makanan ke mulutnya dan kembali mengunyah. Po mengalihkan perhatiannya ke tumbuhan semangka yang belum berbuah di belakang Ania. "Sakit apa?" tanyanya seolah peduli padahal pertanyaan itu keluar begitu saja.

"Banyak," Ania terkekeh, "saraf kejepit, pengapuran dulu. Sudah tua soalnya ayahku. Terakhir, dia meninggal setelah ada tumor di ... kepala," ekspresi Ania berubah sedih, Po bisa melihatnya walaupun hanya sekilas. Ania melirik piring Po lagi, bergiliran dengan Po yang masih menatap pohon semangka. "Gak dimakan, Po? Kok aku aja yang makan, padahal kamu yang lapar."

"Udah kenyang."

"Yah! Kenapa gitu! Malah kamu maksa aku makan!"

Ania cemberut, Po pun merasa terpojok. Wajahnya mendadak tegang. "Ayo, Po, makan. Lihat, nih, aku udah mau habis kamu masih utuh. Ayo, makan, ya?"

Ania yang menyuruhnya makan seperti menyuruh bayi makan itu membuat Po semakin tertekan dan ditambah kesal. Po menggigit daging di dalam mulutnya dan menatap ke pohon semangka dengan semakin intens. Dada Po naik turun tidak beraturan dan suara Ania terdengar samar hingga tiba-tiba perempuan itu menyentuh tangan Po yang membuat laki-laki itu terhenyak. "Ah. Masak aku sendirian yang makan?"

"Gak mau ya gak mau!" Po membentak, Ania langsung melepaskan tangannya dari tangan Po dan duduk di kursinya seolah ciut. Sebuah benda logam memantulkan cahaya matahari ke arah mata Po, laki-laki itu mengambil benda logam itu dan menancapkannya ke tangan Ania. Dalam sekali hentakan, garpu itu menembus masuk ke kulit Ania. Ania menjerit, tetapi dia badannya seolah-olah membeku. Po menarik garpu itu, sontak saja darah mengalir dari tiga lubang di tangannya. Kesadaran Ania kembali, dia menarik tangannya dari meja dan berdiri.

Jeritan Ania pun membangunkan Po dari kemarahannya. Laki-laki itu langsung menyadari apa yang sudah dia lakukan, tetapi Ania sudah berlari ke pintu dapur dengan darah yang mangalir ke sikunya. Po mengejar perempuan itu, garpunya lupa dia letakkan kembali. Darah dari garpu itu menetes ke rumput lalu lantai. "Hei ... hei," Po menangkap tangan Ania yang tidak terluka. Ania tidak menjawab, dia harus menggigit bibirnya agar tidak menjerit kesakitan.

"M-maaf, maaf! Aku tidak sengaja," Po melihat luka itu kemudian wajah Ania yang sudah dipenuhi air mata. Po menggerakkan satu tangannya ke wajah Ania, Ania pun mengelak, tetapi kemudian perempuan itu diam setelah Po hanya mengusap air matanya dengan lembut. "Aku ada obat. Aku obati, ya?" tanya Po, suaranya bergetar.

Po meletakkan garpu berdarah itu di wastafel dan mengambil kotak di atas kulkas. Kotak dari kayu dengan stiker bertuliskan 'P3K'. Laki-laki itu pun terlihat panik, dia berkali-kali memastikan Ania masih berdiri di tempatnya. "Kamu ... kamu harus bersihkan pakai air, lalu ... aku perban." Po menepi dari wastafel, Ania pun berjalan ke sana dan mengaliri lukanya dengan air, cairan merah pun mengalir ke dalam pembuangan. Belum beberapa detik, Ania langsung menarik tangannya begitu merasa perih. Dia kembali menangis, "kamu ada apa sih, Po!?"

"Maaf, Almia."

"Namaku Ania! Astaga!" Ania kembali mengaliri lukanya dengan air, bahunya bergetar, mata dan hidungnya memerah.

Begitu Ania selesai membersihkan lukanya, Po membalutinya dengan perban dan memotong perban itu dengan gunting. Masih ada bercak darah dalam perban Ania yang Po tatap dengan mata nanar. Setelah itu, Ania hanya memberikan Po tatapan sinis sebelum berbalik dan menuju ke arah ruang tamu. Namun, Po kembali mengejarnya.

"Setelah ini kamu akan apa, Ania? Ania!"

"Apa lagi? Aku akan pulang ke rumah!" Ania berhenti karena Po kembali menahan tangannya, "kamu takut aku akan lapor polisi? Tenang aja. Aku masih kasihan sama kamu jadi aku gak akan lapor polisi."

"Kenapa kasihan? Kalau kamu marah, kamu bisa lapor polisi," Po menatapnya, pertama kali tanpa merasa ragu-ragu yang membuat Ania merasakan ketulusan kata-kata Po. "Kita lanjut makan, ya? Aku akan makan di depanmu. Tadi ... aku malu jadi aku tidak bisa. Tapi, sekarang .... Ayo? Ayo, Alnia. Jangan pergi dulu."

Ania menatap Po tidak habis pikir, "gila, ya? Ngapain aku harus makan sama kamu lagi?" tanyanya dengan kesal sampai-sampai dia menyampingkan fakta kalau Po memanggil namanya dengan salah lagi.

"Sejujurnya, tadi, kamu mengingatkanku pada ibuku yang sering memaksaku makan. Dia sudah meninggal bersama ayah dan adikku. Pesawat mereka jatuh di Laut Bali. Jadi, kamu tahu, 'kan, Alnia? Barusan, aku melihat ibuku. Wajahnya sangat seram," Po berkaca-kaca, dia menatap ke arah lain selain Ania, wajahnya mendadak pucat.

"Kamu gila, Po. Kamu harusnya ke psikiater."

"Aku tidak gila, Alnia," Po menggeleng, melirik Ania sekilas, "memang aku masih melihat mereka. Bagaimana tidak? Mereka keluargaku dan mati begitu! Saat itu, aku menolak ikut ke rumah nenekku karena aku ingin bermain game. Ayahku marah dan ibuku kecewa, tetapi aku tetap pada pendirian. Adikku yang masih SD kelas 2! Kelas 2! Dia membujukku, memohon-mohon agar aku ikut!" air matanya pun keluar, bibirnya bergetar. Ania kembali merasa kasihan pada Po.

Laki-laki itu melanjutkan, "dia ke kamarku tapi aku usir. Aku usir!" Po terjatuh ke lantai, berlutut dan terisak. Namun, dia masih melanjutkan ceritanya dengan segenap tenaga, "harusnya aku ikut mereka, 'kan, Alnia? Pesawat mereka jatuh di Laut Bali dan mayat mereka ditemukan. Yang pertama itu ibukku, kemudian adikku, lalu ayahku! Kamu tidak bisa membayangkan kondisi mereka. Aku melihatnya! Dava itu ... ibunya pingsan saat melihat mayat ibuku, adiknya. Alnia, di saat-saat seperti ini biasanya aku akan melihat mereka lagi, lebih jelas, lebih dekat!" Po melihat ke arah pintu utama. Ania pun ikut melihat ke belakangnya, kosong.

"Jangan pergi sekarang, Alnia! Tunggu sebentar."

"Kamu ada gangguan jiwa, Po."

"Aku tahu," Po menunduk, "tapi jangan pergi sekarang. Tunggu sebentar saja, sepuluh menit lagi aku kembali normal."

Ania melihat Po seperti melihat anjing dengan kaki pincang: kasihan. Namun, tiba-tiba Po menjerit kencang-kencang dan menjambak rambutnya lalu memukul-mukul kepalanya, dia menutup matanya rapat-rapat. "Pergi! Pergi! Pergi ... pergi Rani!"

"R-Rani?" Ania melihat sekitarnya dengan takut, tidak ada siapapun. "P-po?" Ania ingin mendekati Po, tetapi rasa takut mengalahkannya, dia malah mundur ke arah pintu utama sementara Po mulai membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Perempuan itu menutup bibirnya dengan telapak tangan, kini dia menangis tapi bukan karena tangannya.

"Pergi, Rani! Sudah kamu menghukumku? Begini, 'kan, maumu!?" dia melemparkan badannya ke tembok hingga terpental dan mengulanginya lagi dan lagi.

"P-po!" Ania berusaha memanggil, tetapi dia semakin dekat dengan pintu utama. Ania pun keluar dari bangunan rumah dan dengan panik berusaha membuka gerbang yang terkunci. Ania ingat kuncinya di bawah pot kembang kertas, dia pun hendak berjalan ke sana tetapi Po dengan kepala berdarah keluar dari bangunan rumah dan menatap Ania. Ania pun seolah-olah membatu.

"Mau ke mana, Alnia?"

"P-po ... aku tahu kamu sedih," dia berusaha merangkai kata-kata, "mereka gak nyata, Po."

"Jangan pergi ... aku takut, Alnia," Po menatap Ania nanar. Hati Ania pun remuk dibuatnya. Namun, perempuan itu terlalu takut untuk terlibat dengan apapun masalah Po. Perempuan itu berjalan pelan ke arah pot dan berhasil mengambil kuncinya sementara Po hanya menatap Ania dari ambang pintu.

"Aku akan hubungi Dava-"

"Dava akan membawa orang untuk menyuntikku lalu aku akan dikurung di kamar. Mereka juga ada di kamar!"

"Oh ... Po," Ania sampai meneteskan air mata membayangkan apa yang sudah dialami Po. Namun, dia tetap berjalan ke gerbang dan berusaha membuka gemboknya yang dilihat oleh Po tanpa berusaha menghentikan Ania.

Po terisak sambil menundukkan kepalanya, "mereka ada di belakangku, menungguku menoleh ke belakang."

"Astaga, Po! Kalau begitu kamu keluar dari sana sekarang!"

Po menggeleng, "kalau aku keluar, mereka akan memakanku, Alnia. Aku akan tetap ada, tetapi aku sudah tidak akan sadar, seperti zombie."

Gerbangnya terbuka. Ania menyelinap keluar dan memberikan Po tatapan terakhir. Namun, saat itu dia dapat melihat tiga sosok di belakang Po. Seorang wanita, pria, dan anak kecil. Ania pun langsung menutup pintu gerbang. Jantungnya berdetak kencang. Kemudian, dia mendengar jeritan Po yang memanggil namanya.

Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Rumah Po
Desp
Novel
Gold
Fantasteen Scary Hole of Darkness
Mizan Publishing
Novel
Bronze
SUMI
Nimas Rassa Shienta Azzahra
Novel
Gold
The Motion of Puppets
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Jendral & Sang Pendengar
Karma
Novel
Gold
Fantasteen Pangeran Mimpi Zera
Mizan Publishing
Novel
Gold
Fantasteen Ghost Dormitory in Sidney
Mizan Publishing
Novel
LUMINOUS: A World Full Of Mystery and The Darkness
Dito Bagus Chandra
Novel
Lanjutkan Kisahku
Diyah Islami
Cerpen
Bronze
Aku Dan Siapa
SUWANDY
Novel
Kumpulan Cerita Horor
Narya
Cerpen
Setan Jabal Rokok
Eka Nawa Dwi Sapta
Novel
Sekolah sambil Nyantri?
Sumaiyah
Skrip Film
Hotel Angker
Kelana Kaheswara
Cerpen
Bronze
The Game of Ghost
Rama Sudeta A
Rekomendasi
Cerpen
Rumah Po
Desp
Flash
Seperti Bintang
Desp