Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Semenjak menikah sepuluh tahun lalu, aku dan Mas Ardan selalu membayangkan bagaimana rasanya memiliki rumah tinggal atas jerih payah kami sendiri. Selama dua tahun pertama kami berjuang untuk dapat hidup dengan penghasilan seadanya. Aku yang hanya seorang kasir pada salah satu minimarket dan Mas Ardan yang merupakan seorang pekerja pabrik, tidak punya cukup uang untuk mampu membeli rumah. Namun, seperti yang orang katakan bahwa kedatangan anak akan membawa rezeki, kini aku sudah merasakan hal tersebut benar-benar terjadi. Buktinya, setelah anak pertama kami lahir, Mas Ardan memperoleh kenaikan jabatan. Dan empat tahun kemudian anak kedua kami datang menyusul. Lalu satu tahun setelahnya, Mas Ardan mendapatkan posisi yang cukup baik hingga aku tidak lagi perlu bekerja. Dapat memfokuskan diri untuk mengurus keluarga sepenuhnya.
Dan sekarang, di sinilah kami berada.
Ini adalah rumah yang baru saja kami beli empat bulan lalu. Rumah dua tingkat yang sudah lebih dari cukup. Dari pertama kami datang melihat, Mas Ardan langsung tertarik untuk membelinya. Ia merasakan sebuah kenyamanan yang tak terdeskripsikan. Katanya, ia merasa seperti pulang ke rumah tempatnya dulu lahir. Aku pun sejujurnya ikut bahagia melihat hal itu. Hanya saja, ada satu hal yang terasa mengganjal. Rumah ini memang nyaman, indah, luas, dan memiliki lingkungan yang baik. Tapi, entah mengapa aku merasa ada yang luput dari pengawasan kami.
Satu bulan kemudian, tepatnya tanggal 20 Februari, rumah ini Mas Ardan beli tanpa cicilan. Cash keras! Lalu tiga bulan setelahnya perlu sedikit perbaikan di sana-sini untuk mempercantik keadaan sebelum kami huni. Hari ini, tanggal 25 Juni, adalah kali pertama kami datang untuk menempatinya.
Satu bulan pertama berlalu dengan cepat. Seperti yang Mas Ardan rasakan saat pertama kali datang, memang benar rumah ini sangatlah nyaman. Cahaya matahari pagi akan masuk menerangi hampir seluruh isi rumah dan membawa kesegaran tak ternilai. Lalu ketika siang hari terik melanda, taman di belakang dapat menjadi tempat yang cocok untuk duduk bersantai. Malam tiba, tidak perlu takut udara akan menjadi terlalu dingin atau panas. Karena sebulan penuh ini kami selalu dapat tidur nyenyak, aku mulai tenang dan tidak lagi khawatir atas apa yang dulu sempat terasa. Pasti itu hanyalah ketakutanku atas tempat baru. Dan pada kenyataannya, kekhawatiran itu memang tidak terbukti.
Tanpa terasa waktu berlalu dengan sangat cepat. Rutinitas harian yang kujalani setiap hari kurang lebih pasti akan selalu mirip. Setiap pagi, aku dan Akmal akan pergi mengantarkan Rina ke SD terdekat. Lalu siang harinya kami pergi menjemput. Sore adalah waktu yang dapat selalu kami gunakan untuk bermain. Apalagi jika Mas Ardan tidak pulang terlalu larut, kami akan bermain lebih asyik dan lama dari biasanya.
Hingga akhirnya pada suatu malam, untuk pertama kalinya aku terbangun karena menggigil kedinginan. Padahal malam-malam sebelumnya tidak pernah sekalipun udara terasa sedingin ini. Karena tidak terbiasa memakai selimut, terpaksa aku harus melangkah turun dari ranjang dan mencarinya di dalam lemari. Sebenarnya badan ini enggan untuk melangkah. Namun Mas Ardan tidur terlalu pulas. Tak sampai hatiku membangunkannya.
“Selimut … selimut … di mana, ya, aku simpan selimut?”
Di tengah pencarian yang tak kunjung selesai, aku mendengar suara langkah kaki dari lantai satu. Suaranya ringan, seperti langkah kaki anak kecil. Apakah mungkin kedua anakku yang seharusnya tidur di lantai dua ini terbangun karena perlu sesuatu dari bawah? Tapi … sepertinya aku mendengar lebih dari dua orang anak kecil yang berjalan. Tak mau terus penasaran, kuberanikan untuk melangkah keluar kamar, memastikan buah hatiku masih terlelap di kamar mereka. Mereka masih tidur dengan sangat nyenyak, sampai-sampai ketika aku berjalan mendekati ranjang dan mencium kening keduanya, mereka tidak juga terbangun.
Lagi-lagi, suara langkah kaki di lantai bawah kembali terdengar. Jumlahnya menjadi lebih banyak. Seketika bulu kudukku merinding, tak berani membayangkan apa yang ada di sana. Dengan hati-hati aku melangkah kembali ke kamar tidur. Jika terpaksa harus memeriksa, Mas Ardan harus menemani. Namun, betapa terkejutnya ketika aku tiba di kamar, ia sudah tidak lagi berada di sana.
“Mas Ardan …?”
Suara ini terasa seperti tercekik. Aku ketakutan. Untuk beberapa lama aku berdiri diam sembari memperhatikan sekeliling. Tidak ada yang aneh. Kamar kami masih seperti saat aku tinggalkan. Hanya saja udara dingin yang tadi sempat terasa, kini sudah sepenuhnya menghilang. Nyaman, seperti malam-malam biasanya.
“Mel, kamu ngapain berdiri di situ?”
Suara Mas Ardan dari luar pintu berhasil membuatku terperanjat. Lekas aku menoleh ke belakang, menemukan pria terbaik di seluruh dunia ini sudah berdiri di sana. “Kamu dari mana, Mas?”
“Aku abis dari kamar mandi. Tadi kebelet. Tumben, ya, malam ini kerasa dingin banget.”
Baru saja kalimat itu selesai, udara dingin yang sebelumnya kurasakan kembali merangsek masuk ke dalam kamar. Hanya saja, kali ini bukan hanya dingin yang terasa, tapi juga kesunyian yang amat pilu dan menyayat. Lalu tanpa sadar aku melihatnya, sosok gelap yang berdiri di belakang Mas Ardan. Sosok hitam yang merangkul leher suamiku dengan pelukan mesra. Ingin sekali kukatakan bahwa aku melihat sesuatu di belakang tubuh suamiku. Namun, mulut ini membisu. Selebihnya, aku tak ingat apa yang kemudian terjadi.
Ketika terbangun, aku menemukan diriku sudah tidak lagi berada di rumah. Aroma obat tercium kental di udara. Tirai biru menutupi sisi depan ranjang. Meskipun tidak ingat apa yang telah terjadi, tapi tidak salah lagi, aku tengah berada di rumah sakit. Di sebelah kanan, Mas Ardan tertidur sambil duduk. Raut wajahnya tampak amat lelah. Aku mengangkat tangan, hendak membelai lembut rambutnya yang kusut. Tapi, belaianku tidak berhasil menyentuhnya. Gerakan tanganku bergerak menembus kepalanya.
“Aku … aku kenapa?”
Lalu tiba-tiba saja seseorang memberikan dorongan yang amat keras dari belakang, membuatku terlempar jauh menembus tirai. Aku segera bangkit dan berdiri, berjalan menembus tirai yang menutupi bilik tempat aku tengah dirawat. Di sana, aku melihat diriku sendiri. Tangan kananku tengah bergerak membangunkan Mas Ardan, membuat senyuman indah di wajah letihnya. Sosok hitam yang memeluknya tadi malam sudah tidak lagi berada di sana. Karena kini, bayangan itu sudah mendapatkan tempat untuk bernaung. Iblis itu telah mendapatkan tubuhku.
“Ibu ….”
Suara manis Rina berhasil menarik perhatian. “Rina? Kamu … kamu bisa lihat ibu?”
Putriku yang masih kecil ini menundukkan kepala. Ia menangis tersedu. Lalu tak lama kemudian pintu kamar terbuka lebar. Dan dari luar sana aku melihat Rina dan Akmal tengah berjalan bersama Ibu.
“Rina … kamu juga …?”
Tanpa pikir panjang aku memeluknya dengan sangat erat. Pelukanku dapat sampai padanya. Namun kehangatan kami tidak saling bertemu. Ternyata kekhawatiranku bukan sekedar ketakutan belaka. Dan hanya tinggal menunggu waktu hingga Mas Ardan dan Akmal akan menyusul. Karena di belakang mereka, aku melihat puluhan sosok gelap yang sudah siap memangsa. Mereka yang sudah begitu lama menunggu, di dalam rumah kami yang penuh kenangan.