Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kami harus pergi jauh ke kota kecil Enfield, sangat terpencil dari pusat keramaian. Berpindah tempat tinggal mungkin dapat menjadi hal sulit, tapi ayahku tetap tegas pada pendiriannya bahwa kami semua harus pergi; ibuku, dan tentunya aku. Kami adalah keluarga kecil yang selalu hidup di pusat kota, terlena dengan segala hiruk pikuknya dan tentu dengan kondisi cuaca yang cukup menyenangkan untuk berjalan-jalan dipinggiran gedung – gedung pencakar langit.
Namun sekarang kami harus berimigrasi. Tak hanya tempat tinggal, tapi juga gaya hidup. Kami harus berkorban banyak hal semenjak ayah berpindah profesi dari pekerja eksekutif berbaju hitam menjadi seorang kurator bunga. Ya, aku tidak benar-benar memahami apa yang ayahku sebenarnya kerjakan, tapi istilah kurator bunga mungkin sudah cukup mendekati apa yang dilakukannya akhir-akhir ini. Ayah suka mengumpulkan berbagai jenis bunga dan menyimpannya di dalam botol kaca, lalu menilainya dan menganalisis bunga mana yang cocok untuk dilelang kemudian hari. Menurutku hal itu adalah pekerjaan yang aneh. Katanya, “Aku ingin mengikuti passion-ku. Berbahagialah selagi kau bisa.”
Aku berpikir keras saat ayah mengatakannya. Dia benar, setidaknya dengan caranya sendiri. Tapi apa kata orang saat ayah meninggalkan pekerjaan hebatnya menjadi seorang eksekutif elit di gedung pencakar langit? Banyak orang-orang yang kami kenal secara dekat maupun tidak, mereka mencibir idealisme ayah untuk mengejar passion-nya. Ya, kedengarannya cukup buruk.
Kejutan lain menunggu kami di rumah baru itu. Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di teras kayu, aku menemukan kertas usang terpampang di pintu depan berbunyi; “Rumah ini dikutuk, jangan dibuka!”
Ayahku menyeringai dengan ekspresi mengejek saat ia membaca kertas itu, dan ia berasumsi mungkin itu hanya kerjaan usil anak remaja di sekitar sini. Mengingat kota ini dijuluki Sleepy Town saking heningnya suasana disini, bahkan beberapa penduduk yang berpapasan dengan kami sudah mengingatkan tentang rumah kosong ini. Ayah sudah terlanjur membelinya, dia tidak akan mau membuang uang dengan percuma.
Arsitektural rumah ini bergaya Victorian yang terlihat tua dan tak hidup, mungkin karena ada terlalu banyak debu di setiap tempat. Bagaimanapun juga, rumah ini sudah sangat pas untuk ditempati oleh kami, karena ukurannya yang tidak terlalu besar. Namun hal terbesar yang mungkin tak aku sukai dari tempat seperti ini adalah prasangka klise rumah angker dari cerita kuno dan hantu-hantunya. Hal yang lebih aneh lagi; tidak ada satu kaca pun di ruang kamar. Satu-satunya hanya terpampang di ruang tengah, yaitu ruang tamu. Beberapa rumor bertebaran di antara penduduk di kota ini tentang kaca itu. Ya, tentu aku mendengarnya saat kami berhenti di pinggiran kota Enfield untuk makan siang sebelum sampai di rumah ini. Beberapa orang berkata bahwa kaca kuno itu adalah jantung rumah ini. Yang benar saja, siapa juga yang benar-benar percaya hal klenik semacam itu?
Dua minggu telah berlalu, dan belum ada hal aneh yang terjadi. Pagi ini setelah sarapan roti panggang seperti biasa, ibuku kembali dari gudang bawah tanah dengan membawa satu box berisi banyak foto dari pemilik rumah sebelumnya.
Pada hari yang sama, dua ibu-ibu tetangga sebelah datang membawa kue. Mereka baru pertama kali bertamu dan menyambut kami. Ibu-ibu itu banyak bercerita tentang sejarah rumah ini, yang seperti pada umumnya rumah kuno. Mereka juga yang memberitahu bahwa foto-foto di box itu adalah satu keluarga orang Inggris yang pernah tinggal disini lima tahun lalu. Namun tidak ada yang mengerti mengapa mereka tiba-tiba pindah dari rumah ini, atau mungkin karena kota ini terlalu sepi?
Hari-hari berikutnya berjalan biasa saja, sampai suatu malam, aku berdiri di depan kaca kuno itu dan mengingat apa yang dikatakan ibu-ibu tetangga saat itu, “Anak-anak dari keluarga Inggris itu gila, dan mereka menjadi sakit semenjak tinggal di rumah ini.”
Tentu saja itu hanya sebuah rumor basi, setidaknya menurutku; si orang awam. Untungnya ayahku tidak ikut menemui tamu waktu itu, karena dia sangat skeptik dengan hal-hal aneh semacam cerita hantu, sedangkan ibuku sangat termenung dengan cerita itu dan akhirnya mempengaruhiku untuk sama-sama bergidik ngeri.
Aku melihat bayangan diriku di kaca, menggenakan gaun piyama putih. Aku termenung sendiri, berdiri memikirkan semua cerita itu. Sentuhan dingin mengaggetkanku dari belakang, membuatku bergidik, dan lalu jengkel saat sadar bahwa itu hanyalah ibuku yang datang menyelinap.
“Lena, kamu harus tidur. Ini sudah malah,” ibuku bergumam.
“Tidak, aku belum mengantuk, bu.”
Penolakkanku membuatnya menggelitiki perut langsingku, sampai tak sengaja saat aku terhempas ke kaca dan memecahkannya seketika. Kami terdiam pucat. Lalu sedetik kemudian, ibuku memarahiku, namun mataku justru menemukan kejangkalan dari balik potongan kaca itu. Ada sebuah kertas yang disembunyikan disitu.
Teka-teki ini membuat kami semakin pucat penuh ketakutan tentang misteri apa yang ada di rumah ini. Aku memberanikan untuk membaca secarik kertas dengan gaya tulisan tangan kuno bercetak miring tersebut;
Condemn us, God has eyes on you.
Slaughter us, Evil’s will have your heart.
Aku sempat berpikir saat ibu-ibu tetangga bercerita, pasti ada petunjuk misteri yang disembunyikan, dan kertas ini pasti petunjuk tersebut. Lalu ibuku menyaut bahwa ia membaca tulisan yang sama pada kertas di dalam box penuh foto.
Kami memang bukan detektif, tapi hal ini memang aneh. Jadilah kami memeriksa box yang menyimpan foto pemilik rumah sebelumnya itu pada pagi berikutnya. Rupanya kami berdua telah menemukan secarik kertas surat berisi teka-teki misterius.
Jelas saja tidak ada satupun orang di kota ini yang berani memeriksa kebenaran tentang rumah ini semenjak rumor buruk lebih cepat berhembus seperti sengatan sekelompok lebah. Apa yang kami temukan justru sebaliknya; surat itu adalah ucapan selamat tinggal yang ditulis oleh pemilik rumah pertama ini pada tahun 1977. Salah satu rahasia itu terkuak saat aku membaca baris terakhir dari surat itu;
I cursed those who kept so many mirrors since this loneliness has haunted me, I’ve buried the beautiful souls under the floor for them who wander in the dark.
Sebuah ide menyergap kepalaku seketika. Aku berdiri dan segera mencongkel lantai kayu di ruang tengah. Memang gila, tapi aku merasa harus melakukannya, jadilah kedua orang tuaku berteriak-teriak marah, dan baru berhenti saat mereka melihat ada hampir ratusan botol kaca berisi bunga-bunga layu di bawah lantai.
Ibuku seperti disambar petir, sedangkan ayahku berteriak, “Tuhan, apa yang terjadi?!”
Aku berpikir hal yang sama dengan mereka. Penemuan bunga-bunga dalam botol kedengarannya seperti bagian dari takdir kami, seperti halnya yang dikerjakan ayah sebagai seorang kurator bunga.
Mungkin ini jawaban Tuhan, semacam berkah tersembunyi. Pekerjaan baru ayah semakin mendapatkan banyak apresiasi di kota ini, terutama semenjak ia memperdagangkan bunga-bunga layu menjadi objek wisata rumah misterius Enfield. Ayah berhasil meluruskan cerita yang benar tentang rumah itu, bahwa si sang pemilik pertama merasa kesepian dan punya masalah terhadap kaca, jadilah ia menyimpan ratusan bunga yang entahlah bagaimana bisa dikubur dibawa lantai kayu rumah Victorian itu, sebagai simbolis kebahagiaan. Sejak para penduduk terbiasa mendengar cerita klenik, tentu saja awalnya ayah dan ibu harus menjual cerita kuno dahulu sebelum akhirnya dipercaya. Karena kebudayaan apapun akan menetap pada akarnya.
TAMAT.