Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ada yang bilang musik bisa membuat waktu melaju lebih cepat. Tapi bahkan sudah jedag-jedug pun yang berkumandang dari warung tenda depan kantor, jam dinding di ruangan ini masih saja bergumul di antara pukul sembilan dan sepuluh malam.
Terhitung sudah 30 menit lebih dari bulan lalu, Pak Reza masih sibuk menumpahkan semua kekecewaannya. Aku pribadi menganggapnya sebagai kicauan burung yang agak sumbang. Peduli setan, banyak maunya, tapi gaji kami sebulan malah lebih sedikit dari yang jual badan di pinggir trotoar.
Di perusahaan makanan kaleng ini, kami bekerja bagaikan kuda lumping kesurupan. Semua demi meraup pundi-pundi rezeki yang nominalnya kerap tertera di label harga sepatu. Makanya, misal masih ada yang bersikuku bilang dunia itu adil, entah nikmat mana yang tidak mereka dustakan.
Sementara itu, kami juga dituntut agar terus bisa melebihi target penjualan bulanan. Apabila yang dipaksakan tak terpenuhi, yang punya bisnis bakal memanggil kami—sebelas anggota tim marketing (plus jam dinding), untuk diberkahi dengan kata-kata sok bijak dicampur semerbak jigong penuh penderitaan.
Bagaimana mau berhasil, ikan kaleng yang kami produksi dibanderol dengan harga 20.000,- per-porsi. Kemudian masyarakat kelas menengah dijadikan target pasar. Alasannya? Orang kaya tidak makan makanan kaleng. Mereka lebih suka menyantap hiasan mungil yang mengaku makanan di atas piring. Sebaliknya, tak ada orang miskin yang mau mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk makan tiga biji ikan kecil yang dibumbui sambal tomat.
Pak Reza pernah bilang, “Saya ini mengorbankan banyak hal untuk bisa membangun bisnis ini. Kalau saya gak berusaha, RA Foods gak bakalan pernah ada. Gak gampang saya bisa berdiri di sini.” Padahal keluarganya terkenal sebagai salah satu keluarga terpandang karena isinya kalau bukan sukses jadi dokter, ya jadi pebisnis.
Tiap kali omong kosong berdalih motivasinya berakhir, aku bisa merasakan semua langkah kaki semua karyawan bergerak tak seirama, seperti berlomba dengan bayangan sendiri untuk sampai rumah lebih dulu.
Aku sengaja menitipkan motor di depan toko milik sahabatku sejak SMP. Kebetulan tak begitu jauh dari tempat kerjaku.
Setidaknya butuh dua menit untuk sampai. Aku disambut seadanya oleh Ilham, bos muda pemilik ATK yang lagi naik daun di kalangan mahasiswa karena hasil kerjanya. Tapi Ilham bilang itu semua berkat dua karyawati gemasnya. Kalau saja yang jaga itu pria dengan wajah berhamburan, orang-orang mungkin akan meludah tiap kali lewat depan toko.
Dari dulu Ilham memang senang menelanjangi komputer, sementara aku lebih suka bercumbu dengan kesusastraan. Tapi alih-alih kejuruan, kami berdua malah masuk SMA.
“Kamu gak cari karyawan lagikah? Aku lumayan manis kok,” rayuku memperhatikan Ilham sibuk menari-nari dengan jarinya di atas keyboard komputer.
“Gak bisa!” jawab Ilham sekian detik kemudian. “Kerja di UMKM kek gini tuh, gak bisa besar gajinya. Aku aja yang dikata yang punya usaha, harus mikir-mikir kalau ngeluarin duit—karena untungnya sedikit. Kalau pun ada, palingan dipake restock barang dan bayar hutang.”
Kemudian ia bertanya, “Kenapa tiba-tiba nanya gitu?”
Helaan napasku bisa-bisa membuat dunia merasa tersaingi beratnya. “Aku pengen resign. Aku udah gak tahan ama bosku. Kerjaan belum kelar, udah dikritik sana-sini. Dikiranya karena nulis kata-kata doang, berarti bisa cepet jadinya. Padahal nulis justru kegiatan paling menguras waktu. Kelihatannya doang yang bengong kek orang stres. Belum lagi job-ku sekarang ngerangkap jadi desain grafis karena timnya pada resign. Kek kerja sendiri tau gak.”
Tiap kali mengingat gajiku yang tak naik-naik, bola mataku rasanya hampir keluar. “Gak di tempat kerja, gak di rumah, aku capek dengar orang ngomel mulu. Kayak... bisa gak sih, kita tuh santai sedikit? Kiamat bentar lagi, masa gak ada masa tenangnya sih? Ujian kelulusan aja punya.”
Ilham tampak berpikir sejenak sebelum mulai bercakap. “Kalau kamu kerja di sini, aku cuman bisa bayar sejuta, mentok nambah 200 ribu. Cukupkah misal kakak-kakakmu nyusahin kamu nanti? Kecuali kamu ada tambahan freelance.”
Aku tak langsung menjawab ucapannya. Sejujurnya aku sadar hidup pas-pasan itu tidak cocok untukku.
“Dulu tuh aku pikir dengan jadi copywriter, bakal mengenyangkan impianku yang sulit tercapai sebagai penulis cerita fiksi, toh sama-sama menulis kan kerjaannya. Sayangnya gak sih," jelasku alih-alih.
Ilham mulai merebahkan badannya ke sandaran kursi—meregangkan ototnya. “Jadi kamu berhenti kerja karena mau lanjut nulis lagi?”
“Gak dong. Rencananya mau menulis untuk mengisi waktu luang aja. Resign mah beda urusan. Emang aku udah gak sanggup saja, pengen istirahat dari dunia kerja yang terlampau sibuk. Pengen ngingetin diri sendiri bahwa hidup cuman sekali, jangan dipakai cuman buat kerja.”
Kepalaku runtuh di atas etalase di mana terpajang beberapa jenis pena, pensil, dan penghapus. Andai mengulang kembali hidup semudah menghapus coretan pensil, niscaya sudah kuulang puluhan ribu kali.
“Cuman... aku ngerasa terlalu berisiko. Kesannya bener, kayak aku resign dari kerjaan yang menghidupiku selama dua-tiga tahun belakangan, cuman buat nulis kisah fiksi yang belum dibayar karena masih ngebentuk nama. Dan gak ada yang mastiin aku bakal berhasil. Aku gak seberani kamu buat ngambil keputusan besar, Ham. Tapi kalau menetap di kondisiku yang sekarang, habis mentalku.”
Mulut Ilham maju, dahinya mengerut sebelum ia menanggapi ucapanku. “Ya kalau risiko, semua jalan yang kita pilih pasti ada dong. Tapi tergantung kamu sih, misal yakin dirimu masih kuat bertarung ya... gas kan aja gak sih? Namanya juga berusaha dari bawah, ya emang suka seret jalannya. Percaya deh, tiap manusia punya naluri bertahan hidup.”
Tangannya ia lipat di depan dadanya. “Aku juga takut waktu itu, San. Mutusin berhenti kuliah, kupikir bakal dimarahin aja, ternyata sampe diusir. Susah loh nelan situasinya. Habis itu luntang-lantung gak jelas, padahal orang tua masih ada. Makan, tidur, bahkan napas saja itu kayak gak lancar. Sampai akhirnya aku ditampung orang tuamu untuk sementara. Terus dapet kerja jadi karyawan fotokopi. Belajar bisnis. Belajar minjem duit dari bank demi bikin usaha sendiri. Kalau diceritain kek gini mungkin kedengaran singkat, tapi pas ngejalaninnya itu... muak banget. Dan anehnya... ngeluhnya banyak, tapi tetap berusaha dimenangin juga. Asal udah tahu apa yang kita mau, ya... tinggal jalan. Sisanya berserah diri aja.”
Alisnya mengencang ketika menatapku. “Tapi....” Ilham menopang dagu, lalu melanjutkan kalimatnya, “... kalau aku jadi kamu, dengan semua kemeriahan yang terjadi di kehidupanmu, aku bakal tetap kerja sih. Meskipun makan hati, setidaknya kebutuhanmu terpenuhi kan? Ada sisa buat self reward juga. Dan yang terpenting, karena kamu sudah menolak permintaan bapakmu bantu dia ngurus sawah, dengan alasan dirimu punya rencana lain, mau tidak mau kamu harus buktikan demikian."
Salah satu yang ingin aku ulang adalah hari di mana aku mengatakan kepada bapakku bahwa aku bisa hidup dengan caraku sendiri. Sekarang aku malah butuh diberitahu secara rinci, detail, dan terstruktur, apa yang harus aku lakukan?
“Sambil kamu pelan-pelan ngumpul duit beli laptop baru—yang second juga ok. Yang penting itu karyanya, Hasan. Menurutku ya, orang yang punya banyak keresahan, selalu menarik buat dihikmati curhatannya. Tulisanmu itu bagus, gak sok mendayu-dayu yang sampe bikin bingung ngartiinnya. Aku validasi nih,” tandas Ilham melempar dua jempolnya.
Lalu ia bergerak mengambil dua kopi kemasan botol di kulkas depan tokonya, lalu duduk di sampingku. Biasanya kalau makin malam begini jarang ada pembeli. Makanya dua karyawati gemas Ilham hanya kerja sampai jam lima sore. Tapi untuk bikin si rezeki sesak napas, Ilham ambil alih semua jobdesk di malam hari.
“Kalo kerja sambil nulis sedikit-sedikit gak bisakah?” tanyanya.
“Dulu kan juga begitu?” jawabku cepat. “Tahun pertama kerja di Adiwangsa kan aku sambil dengerin bosku ngoceh, sambil nulis sedikit-sedikit. Dan ujung-ujungnya gak selesai, karena semua ide kreatif tuh udah aku tumpahin di saat nulis kata-kata menarik buat ngejual makanan kaleng. Terus pas pulang, gak ada ketenangan juga di sana. Aku ngerasanya ini semacam sabda alam: hidup aja, gak usah banyak mau.”
Aku alihkan pandanganku ke Ilham. “Apa mungkin udah telat kali ya, ngomongin cita-cita? Sekalinya masuk dunia orang dewasa, mungkin memang gak ada jalan keluarnya.”
Ilham memalingkan wajahnya sebentar kemudian menyimpulkan, “Berarti problemmu sekarang adalah kamu pengen berhenti kerja karena capek—dan... mau lanjut nulis lagi. Hanya saja takut bapakmu keburu menghakimi karena let’s say... tulisanmu belum menghasilkan apa-apa?”
Aku mengangguk ragu. Sebenarnya aku juga selalu muak dengan permasalahan hidup yang itu-itu saja sejak lulus SMA. Antara rumah, cita-cita, dan pekerjaan.
Ilham sendiri mungkin jauh lebih muak mendengarkan keluhanku. Dia sudah seperti sebuah gentong raksasa yang siap sedia aku isi dengan air mata, air keringat, atau air ludah. Satu-satunya yang ia tidak tahu adalah bulu pantatku tidak selebat punya dia.
“Kalo yang ngehalangin itu cuman respons bapakmu, coba cari tempat tinggal sendiri gak sih? Yang murah aja. Yang penting bisa fokus merintis tanpa penghakiman dari siapa pun. Modal hidup sendirinya ya dengan kerja lain misalnya jadi admin, kamu kan udah nguasain microsoft office tuh. Dengan begitu, kamu nyelesain masalah rumah dan kerjaanmu sekaligus."
Aku peluk erat lututku sembari menimbang saran Ilham. “Karena aku udah pasti gak akan lagi tinggal sama kamu, mengingat badanku waktu itu dikerubungi tikus pas lagi tidur, aku sih kepikiran lari ke nenekku aja. Cuman agak sungkan. Tiap ada masalah sama bapakku, kita sekeluarga lari terus ke nenekku. Masalahnya selesai, balik lagi ninggalin dia hidup sendirian. Kayak kita gak tahu diri sekali jadi orang.”
“Nenekmu masih gak maukah kamu kerja di usaha kripik pisangnya? Kamu kan bisa bantuin nulis promosinya. Masa punya cucu yang jago copywriting tapi gak mau dimanfaatkan? Kalo kerja sama nenekmu, kamu gak perlu terlalu push diri kamu dengan ide-ide jualan yang out of the box, toh nenek sendiri. Lagian semua orang keknya udah suka kripik pisang, gak perlu diajak-ajak segala.”
“Gak bakalan mau. Nenekku tahu hidup kita susah selama hidup di bawah pemimpin diktator. Makanya dia ngasih kebebasan kita buat bergerak ke mana aja kalau lagi numpang di rumahnya. Ya asal jangan sampai berak sembarangan juga.”
Aku tersenyum malu mengingat kebenaran pekerjaanku sekarang. “Kalau masalah cari kerja lain, emangnya jaman sekarang semudah itu? Kamu juga tahulah sebusuk apa konsep perekrutan pekerja di negara kita—yang aku pribadi sudah lalui dengan penuh kehinaan. Kalau Bapakku dan Pak Reza gak temenan pas SD, mungkin aku masih nganggur sekarang. Aku gak kenal banyak orang buat dijilat.”
Tiba-tiba skenario absurd muncul di kepalaku. “Kalau pun ada ya....” Aku berdiri memperagakan. “Bakal kujilat nih.. slurp! Habis itu aku tampar kanan-kiri—tak tak! Terus aku bilang... nakal ya kamu, makan uang haram terus. Tahu neraka tidak?”
“Ternyata ordal-mu itu ateis. Jangankan siksa neraka, yang bikin nerakanya aja mereka gak anggep ada.”
“TAKUT BANGET LOH! Emang boleh se-ateis itu?!”
Kami menertawai sebentar kemungkinan orang dalam yang tidak percaya Tuhan itu. Tapi di sela-selanya aku memikirkan kenyataan: apa mungkin aku bakal terjebak di tempat kerjaku sekarang jadi budak korporat sampai mati? Ini mengkhawatirkan.
“Aku tuh problematik banget ya? Pengen punya kehidupan ideal tapi gak berani ngorbanin banyak hal. Makin lama perhitungan, malah makin ketinggalan. Andai bisa milih, dari awal harusnya aku gak perlu punya mimpi; gak perlu nganggep pulang itu bisa bikin kita tenang.”
Napasku berembus dalam. “Impianku yang aku usahain sebegitunya. Coba tes sana-sini dari SNMPTN sampai jalur mandiri. Ngarep supaya bisa masuk sastra indo yang pada dasarnya bukan tipikal jurusan yang butuh kualifikasi a,b,c, sampe dongo... tapi gagal total. Berakhir ngambil kursus, beli buku puisi sampai novel buat ambil referensi. Habis itu nulis di blog, upload di berbagai media, bikin akun khusus quotes-quotes yang kupotong dari dialog cerpenku pakai lagu slow reverb yang bodoh amatlah sama arti lagunya yang penting bisa muncul di algorithm medsos orang, tapi tetap gak ada yang notice.”
Aku berhenti sebentar menarik napas. Api yang ada di ujung rambutku aku gaslighting sebentar, bahwa ia adalah es batu, beku, lahir langsung dari sudut paling kecil di antartika.
“ENAM TAHUN! Aku ngarep mimpi sekecil jadi penulis, bukan jadi dokter atau polisi... sampai sekarang masih jadi angan-angan. Mau dilanjutin... udah gak punya tenaga. Tapi kalau nyerah, masa udah berdarah-darah... berhenti di sini? Sia-sia sekali. Gak kebayang sih sama orang-orang yang ngehabisin waktu hidupnya berusaha ngeraih yang dia pengen, tapi Bang Ajal keburu menjemput duluan.”
Asam lambungku mengaku basa, enggan memberiku cemas lagi setelah mendengarku panjang lebar memaki dunia.
“Kok bisa ya... hidupku tuh kek gini, Ham? Perasaan waktu SMP, gigiku ampe kering bilang bakal jadi penulis profesional. Tapi malah dunia gak ngasih cukup waktu untuk meraih yang kuharapkan. Aku malu banget sih sama diriku sendiri. Percaya, asal punya harapan pasti bakal kejadian. Nyatanya gak semua hal bisa terwujud.”
Ilham terdiam cukup lama—kami berdua tepatnya. Nyanyian merdu si nyamuk jadi pengisi kekosongan sementara ini. Tapi percayalah, entah Ilham atau aku, kepala kami berisik.
“Kamu inget gak, San. Dulu itu... aku excited banget ‘kan ngotak-ngatik komputer? Kek tiap sudutnya, bahkan sesederhana tanggal di kanan bawah PC aja tuh sampe kubuka tutup karena penasaran. Tapi entah kenapa selama kuliah, excitement tuh berkurang sedikit-sedikit. Terutama pas akhirnya dekat sama abang-abang fotokopian kampus.”
Mata Ilham meluas, menyebar ke momen titik balik hidupnya yang aku pribadi menganggap itu adalah pilihan terbaik. Entah mengapa orang tuanya tak melihat demikian. Ibarat konsentrasi racun, keluargaku mungkin menyajikannya secara cair; sementara Ilham, bentuknya gas.
“Aku nyadar kalau kesukaanku ngotak-ngatik komputer tuh karena diarahin bapak. Aku gak pernah beneran mau. Jadinya kepikiran, ini hidupku, tapi kok, yang megang setir bukan aku ya? Alhasil gak tahu mau jalan ke mana. Ngobrollah aku bareng Bang Soni FC. Katanya dia sebelumnya pengen jadi pilot, tapi tau-tau kerja di percetakan justru jauh lebih menyenangkan.
“Terus selama nongkrong tuh... aku sering ngelihat proses kerja dan bagaimana Bang Soni berkomunikasi sama pelanggannya. Aku ngerasa untuk pertama kalinya nemuin sesuatu yang bikin aku senang pas ngebayanginnya: seru kali yak, kerja di fotokopian gini. Meskipun kesannya kek tetap doktrin, tapi beda banget bebannya. Kejadian atau gak, ya gak apa-apa. Ekspektasiku pun juga gak tinggi.”
Senyum Ilham rekah pekat. Aku iri rasa bahagia apa yang muncul di kepalanya perihal masa itu. Di bahu Ilham seperti ada dua buah batu besar, melekat, abadi. Entah bagaimana caranya ia duduk setegap itu.
Ilham menatapku tajam, ada api di bola matanya.
“Dua tahun nyemplung di dunia percetakan—dari jadi karyawan toko sampai akhirnya enam bulan terakhir punya usaha sendiri, aku jadi paham kenapa kerja di toko ATK kek gini menyenangkan banget. Aku bisa ketemu sama banyak orang dari beragam rentang usia dan pekerjaan. Akhirnya aku nyadar... gila ya... dunia... kita semua dipaksa nyari hidup di tengah segala macam upaya dan kebodohan ini. Tapi setidaknya kita punya kita buat sekadar saling menyadarkan kekuatan masing-masing.
“Apalagi pas hujan... banyak yang singgah berteduh. Aku berdiri di belakang ngelihatan mereka, terus mikir... kira-kira dari semua orang yang berdiri ini, cerita siapa yang bisa bikin aku lebih bersyukur sama hidupku? Umpama gak hidup sendirian kek gini, aku mungkin gak bakalan tahu rasanya setegang apa dikejar cicilan buat balikin uang bank. Astagfirullah, kacau deh. Emang dasarnya merintis itu gak enak. Kalau ada yang bilang seru, bisa dipastikan siapa pun itu bukan orang miskin.”
Aku jadi teringat dengan sosok pria kecil yang menjual susu murah meriah dengan mobil pribadi milik keluarganya. Menyala perintisku!
“Nah... selain Bang Soni dan aku... ada pelanggan setiaku dari jaman aku masih karyawan. Dia itu jualan pukis keliling. Tiap tahun... dia selalu daftar CPNS. Batas usia CPNS itu ‘kan 35 tahun, nah tahun kemarin, umurnya dia lebih dari 35. Dia lahir Mei, pendaftaran CPNS itu sekitar Agustus atau September kalau gak salah. Tapi dia ngurus berkasnya antusias banget. Kadang bahkan sambil nyeritain teman-temennya udah keterima duluan. Kamu tahu... dia... senyum, San. Padahal kalau dari kacamata kita, dia itu udah kalah kan sebenarnya?”
Aku mengangguk pelan.
“Nah... akhirnya aku ngomong waktu itu—tapi masih pakai nada bercanda—keren masnya, pantang nyerah sekali. Terus katanya dia itu cuman coba-coba. Siapa tahu keterima, dia gak perlu susah payah keliling jualan lagi. Soalnya katanya, dia berusaha lamar pekerjaan di mana aja, gak keterima. Ngarep, kalau lamar di pemerintah, bisa kebantu. Well... sadly, it is not.”
Ilham membasahi tenggorokannya dengan beberapa teguk kopi, artinya kita sudah sampai pada kesimpulan kisah-kisah Ilham.
“Nah... ini aku gak minta kamu ngubah impianmu ya... apa pun keputusanmu, sebagai teman yang berusaha baik, aku selalu dukung.” Tangannya ia taruh di depan dadanya. “Tapi... menurutku, merasa tertinggal itu bisa terjadi kalau hidup cuman fokus ngejadiin satu tujuan sebagai batas kebahagiaan—kalau gak kecapai, hidup berarti sengsara. Padahal... selama masih hidup, ‘kan gak ada yang ngelarang ya, nyobain banyak hal sekaligus? Fokus ngejar satu hal mungkin terkesan ‘berpendirian’, tapi ada kalanya justru itu yang bikin orang-orang takut lebih ekspresif sama hidupnya.
“Contoh yang sudah kusebut: aku, Bang Soni, dan Mas Pukis. Ketiganya berangkat dari orang yang punya impian, tapi untuk se-men-ta-ra ‘endingnya’ beda-beda. Aku mungkin bisa kamu jadikan contoh yang cukup berhasil ngeraih yang kupengen, dibalik durhakanya aku ke orang tuaku. Bang Soni, gagal meraih impiannya, tapi dia akhirnya nemuin kenyamanan lain di kerjaannya. Mas Pukis... orang yang masih berusaha... meskipun sudah tahu wajah dunia yang asli itu seperti apa. Kadang cara kita buat membiasakan diri dengan keterpaksaan, bisa aja nyiptain bentuk kebahagiaan lain yang gak pernah kita pikirkan sebelumnya.”
“Memang sih gak bisa dipungkiri, nasib orang beda-beda. Tapi mana tahu nasib kamu misal belum dicoba? Entah mau meneruskan impian, atau coba melangkah di jalan lain, rencana dan keputusan yang kamu ambil gak bisa disalahin. Kamu nyoba yang sekiranya bisa kamu jalanin. Pada akhirnya semua tergantung yang punya dunia,” tandasnya.
Aku telan sebentar ucapannya; kukunyah pelan supaya bisa aku serap penuh maknanya. Ujung bibir dalamku sebelah kiri, aku gigit lembut. Sementara kepalaku sibuk membuang apa yang bisa dibuang.
Pandanganku seolah-olah meluas. Kopi yang kuteguk, tidak semua orang bisa minum kopi ini gratis. Beberapa yang pulang menempuh jarak dengan kakinya, berdoa untuk punya motorku. Atau tempat aku dan Ilham duduk berdua malam ini, tidak semua orang punya waktu dan kesempatan untuk berada di posisi ini.
“Jadi Hasan... susahin orang yang beneran bisa kamu susahin. Kamu bisa balas budi nanti. Sesekali egoislah, asal gak bikin mati orang, kayaknya gak apa-apa deh. Gak usah dengerin orang tentang gak bersyukur dan lain hal. Gak ada satu pun dari mereka yang ngerti rasa capek yang kamu rasain. Dan Fakta kamu kepikiran ngelakuin mau menulis lagi setelah banyak gagalnya, bukannya justru itu pertanda dunia mau ngelihat kamu kali ini bakal berusaha sekeras apa? Yang salah itu misal kita pura-pura enjoy dengan keadaan yang seharusnya bisa kita perbaiki. Kita cuman diem saja ngelihat diri kita sakit. Jangan jahat ke dirimu sendiri.”
***
Selama lima belas menit aku berkendara di tengah malam, potret dari berbagai macam luka yang tergeletak di trotoar sampai emperan toko-toko jadi konfirmasi bahwa dunia memang tidak adil—bahwa bersyukur adalah perkara lain.
Ketika memperhatikan gubuk tempatku dibesarkan, aku merasakan nuansa berbeda: tenang dan asri. Kedamaian seperti sudah lama menetap di situ. Aku yakin ini tidak sesederhana hari yang sudah makin larut sebab bahu perempuan yang merokok di teras rumah itu kelihatan menanggung banyak beban. Ada ribuan makian yang melayang di udara bersama asap rokok yang ia embuskan.
Aku menghentikan motorku tepat di hadapannya. Saat aku menatapnya, mukanya ia buang.
“Bagi dong!” pintaku. Ini perempuan sudah tua, tapi rokoknya kencang sekali. Sebungkus cuman tersisa lima batang saja. “Kenapa lagi?”
Alih-alih menjawab, Ibu memilih menghisap lebih dalam rokok di tangannya. Aku yakin dibalik rahangnya yang tak pernah kendur, ia menyimpan malu. Berpuluh tahun suaranya diredam oleh pria yang katanya mencintainya.
“Dimarahin ‘kan? Aku udah bilang jangan pulang terlalu malam,” kataku membuka ruang agar dia bisa menumpahkan kekesalannya hari ini. “Ibu pulang jam berapa tadi?”
“Baru. Kalau laper Ibu bawa makanan sisa tadi,” jawabnya memonyongkan bibir ke dalam rumah.
“Jadi? Bapak bagaimana?”
“Gak tahu. Kata Sri keluar beli makan. Sudah dari tadi.”
Masalah besar ini. Lama menikah dan bergantung kepada istrinya, pria itu kini kehilangan kemampuannya untuk menggunakan tangannya sendiri.
“Mbak Sri gak masakkah?”
“Ibu aja gak dikasih uang. Tadi subuh sudah Ibu bilang sama bapakmu, sini uangnya—nanti saya ke pasar terus masak memang karena pulangnya bakal lama. Namanya juga pesta nikahan keluarga, pastilah pulang malam.”
“Affan bagaimana? Gak makan apa-apa dari tadi pagi?”
“Katanya temennya Sri datang tadi sore, dibawa jalan-jalan sambil makan. Sri itu gak perlu khawatir, dia punya banyak orang baik di sekelilingnya.”
“Ya memang. Dia gak beruntung aja sampai harus join di keluarga kita,” ketusku seketika mendapat lirik tajam dari Ibu. Tapi hanya sebentar sampai matanya tertunduk, ia setuju—selalu setuju.
Rokok masing-masing kami jadikan pelarian. Angin malam yang berembus syahdu jadi penambah kedamaian. Bunyi kodok di ujung perumahan jadi penanda larut malam.
“Bu. Tentang yang aku bilang semalam...,”
Disentilnya rokok di atas asbak. “Kamu yakin? Memangnya kamu bisa gak bakalan megang duit lagi tiap bulan? Karena kalau kamu mikirnya bisa minta sama Ibu, ya kamu tahulah... Ibu juga ngarepnya cuman dari kamu sama bapakmu.”
Suara pintu mengalihkan perhatian kami sejenak. Mbak Sri baru saja keluar dari kamar dengan wajah yang meraut lelah. Sudah tiga hari Affan demam tinggi. Sri mengurus sendiri karena suaminya nyaman untuk tidak berguna.
“Ya aku sih gak masalah. Tapi takut Bapak malah ngamuk.”
“Ngamuk gimana? Selama ini kamu pernah ngelihat bapakmu perhitungan kalau masalah uang? Marlo saja yang sering pulang pergi tiap tahun, hampir baku pukul terus, tapi kalau sudah tinggal seminggu bapakmu biarkan dia makan dari uang hasil sawahnya.”
Sesaat ia embuskan asap rokoknya, ada rasa geram yang ikut keluar. Sekelebat aku lihat asap itu membentuk kalimat, ‘Empat pria bajingan ini akan jadi beban seumur hidupku’.
“Hasan? Ibu baru inget, kamu ada uang 300 ribu?” tanyanya mengubah topik pembicaraan—yang jarang terlontar. Biasanya uang dariku ia berusaha tolak. “Marlo. Istrinya hamil lagi. Mau check up katanya. Nanti diganti asal dia sudah kerja di bengkel temannya.”
Nomornya kublokir dari kotak panggilanku, ujung-ujungnya Marlo punya jalan lain untuk meminjam uang.
“Ibu percaya bakal diganti?”
Patung Ibu sejadi-jadinya. Lalu kepalanya mulai menggeleng. “Gak. Ibu cuman nyampein pesannya doang. Mau kamu bantu saudaramu itu atau gak, terserah kamu. Ibu juga sudah capek nyariin duit.”
Marlo memang begitu. Tidak pernah tinggal di rumah karena selalu berkonflik dengan Bapak. Sekalinya pulang, alih-alih menggantung malu di depan wajahnya, ia malah menenteng hutang yang sudah menggunung—kadang juga kutang dengan gunung-gunungnya.
“OBAT ANAKMU MANA?!” gertak Ibu tiba-tiba. Matanya terbelalak melihat sesuatu di arah belakangku.
Rupanya ada Anton yang hampir tiba di rumah—berjalan sempoyongan mirip orang tolol. Ia kerap membuang kewarasannya untuk sebentar, tapi selalu ingat jalan pulang. Mungkin selesai menjadi bapak betulan yang bekerja mencari nafkah sebagai kuli di sepanjang hari, Anton kembali sebagai anak yang meniru bapaknya: dari fisik, sifat, cara makan, berak, bernapas, jalan, bicara, sampai ke bentuk-bentuk atom yang tak terlihat, mirip bukan kepalang.
Sri kini hinggap di ambang pintu sambil menopang tangannya di atas pinggang, menatap suaminya yang kelelahan bermain-main dengan dosanya. Anak mereka yang masih kecil harus berkelahi dengan para bajingan problematik yang tak andal membentuk keluarga.
Uang yang harusnya halal, sering Anton coba perbanyak lewat permainan haram. Lalu dibelikan makanan, minuman serta barang-barang yang diperlukan balitanya. Ironis ketika aku menyadari bahwa Affan lahir lewat jalur zina dan tumbuh besar dengan uang haram.
Sri menahan geram, “Aku berharap setidaknya ada sedikit yang kamu simpan. Aku udah bilang dari tadi pagi, kamu gajian hari ini jangan lupa obat anakmu, ingat?”
Anton tidak menjawab. Kepalanya sudah hampir jatuh saking mabuknya.
“Anton!” gertak Sri sambil memukul keras pundak suaminya.
“Minta sama Ibu dulu!” balas Anton sedikit menggertak.
Anton mendorong istrinya dan masuk ke dalam rumah. Matanya sempat melirik padaku dan Ibu yang hanya bisa menahan marah dan malu.
“Kamu mau sampai kapan kita minta uang ke ibu-bapakmu?!” teriak Sri dari dalam rumah. Meskipun terhalang gorden ruang tamu, aku bisa lihat jelas wajah Sri yang menahan radang. “Affan itu tanggung jawab kita. Aku yang rawat, kamu yang cari uangnya. Itu pun sudah gak adil buat aku, tapi aku ngalah demi kamu!”
Suara Sri gemetar mau menangis. “Anton aku sudah gak tahan tinggal di sini. Kalau kamu gak becus ngurus aku, mending aku pulang ke ibuku.”
“Jadi gaji kamu semua hari ini ke mana?” sambung Sri menginterogasi suaminya yang makin kehilangan akal. Sementara kulirik mata Ibu, agaknya mengerti perasaan Sri sebab sebelumnya Bapak juga pemabuk.
“Habis. Aku kalah,” ujar Anton mengadu kesal.
Sri hampir tumbang, dari wajahnya bisa kulihat dunianya yang hancur dan tak bisa lagi diselamatkan. Ia terjebak di sini selamanya kalau tidak segera pergi. Kadang aku berpikir Mbak Uswa, istri pertama Marlo, ada hikmah baiknya ia berpulang lebih dulu.
Anton bergegas keluar, matanya terkunci padaku. “Pinjem duit lo dulu!”
“Dih. Lo yang beranak kenapa harus gue yang tanggung.”
“Yaelah, San. Ini untuk keponakan lo juga.”
“Uang yang lo pakai main judi itu uang buat anak lo! Kenapa jadi gue yang jahat?!”
“Sudah!” Dengan semua yang ia tidak punya, Ibu menegaskan, “Biar saya yang beliin obat. Gak usah berisik. Udah malem ini.”
Anton melangkah masuk seolah masalah yang ia ciptakan sudah menemukan solusi paling membantu. Sri tumbang di sofa ruang tamu, sampai beberapa detik kemudian Affan mulai merengek lagi.
Kalau bisa sekalian ditelan, rokok di tangan Ibu sekiranya sudah sampai di ulu hati.
“Bu... masalah yang tadi malam. Menurut Ibu aku berhenti saja atau lanjut?!”
“Gak tahu!” ucapnya sedikit menaikkan volume. “Ibu juga gak tahu, San. Terserah kamu maunya gimana. Selama ini juga kamu putusin semuanya sendirian. Apa pun itu Ibu setuju.”
Segera ia masuk ke dalam rumah membawa asbaknya.
Nuansa malam ini seolah tengah menghina hidupku; gerah, pekat, lengket.
Kenapa yang sedarah justru jauh lebih sulit untuk diajak bicara?
***
“Assalamualaikum, man rabbuk?” sapaku melihat Khusnul yang sibuk melayani pembayaran pembelinya. “Es teh ya, satu aja.”
Sehabis itu aku memutar badan mencari letak kursi di mana setidaknya akan ada tiga pecundang tengah malam yang rajin mengadakan perkumpulan di warung pecel lele milik Khusnul sekeluarga ini.
Tapi aku agak terkejut menyadari membludaknya pengunjung warung malam ini. Misalkan kebanyakan manusia berkegiatan di akhir hari begini, bisa-bisa temaram tak lagi mendapat ketenangannya.
“Sebelah kanan lo, paling ujung!” sahut Khusnul mengoper kembalian ke pelanggannya. “Kacamata lo mana sih, San?!”
“Patah,” jawabku seadanya lalu mendatangi tiga orang yang aku maksud. Sayangnya hari ini mungkin mereka tidak dapat kursi favorit kami. Biasanya tepat di depan kasir supaya Khusnul juga punya momen untuk ikut berbincang—sebisanya melibatkan yang tersisa. Maklum, kami hanya tersisa berlima sehabis masa SMA.
“Katanya gak mau join. Capek. Ujung-ujungnya ke sini juga,” singgung Maria. Paha ayam di atas piringnya sudah dianiaya sampai tak berbentuk.
Wandi melempar sinis. “Ngapain lo ke sini? Sana aja... sama Ilham lo itu. Kita memang cuman second choice.”
“Najis lo, Wan! Sok cantik gila.” Kursi plastik di samping Maria aku biarkan menadah pantatku.
“Jadi dunia mana lagi ini yang runtuh?” sahut Fauzan seraya mengurut-urut pelan ulu hatinya dengan minyak kayu putih yang ia pegang. “Gue penasaran deh obrolan lo sama si Ilham itu... se-deep apa sih, sampe bisa bikin elu yang overthinker senior bisa merasa tenang.”
“Kenapa? Lo mau make jasa Ilham sebagai pendengar lo juga?” ejek Wandi.
Maria tertawa, “Fauzan lama tinggal sama bokapnya, pulang-pulang punya banyak masalah. Emangnya bokap lo separah itu ya, Zan?”
“Gue nanya doang, kocak! Kurang ajar ini perempuan!” celetuk Fauzan. “Well... setidaknya gak separah bokapnya Hasan. Najittssss... takut.”
Wandi tergelak sembari memukul-mukul lututnya. Suara tawanya lebih pedih dari gosip di meja tetangga.
“Suuuttt... Jangan begitu, cok!” sela Fauzan berikutnya. “Bokap gue lagi sakit. Jangan dibecandain. Dia rada toxic tapi tetap bokap gue.” Sejatinya berkorban adalah moto hidup Fauzan sebagai anak tertua dari tiga bersaudara yang resmi meraih gelar ‘produk broken home.’
Khusnul datang membawa nampan dengan es tehku di atasnya.
Wandi memasang wajah seriusnya tatkala melihat Khusnul. Aku sudah tahu apa yang akan dia katakan. “Gue keganggu sih sama make up lo. Habis BO kah?”
Khusnul menimpali sambil ia simpan gelas teh di hadapanku, “Wandi... orang kalau udah miskin jangan sok asik juga.” Kemudian bergegas ke meja kasir untuk melayani pembayaran. Percayalah, mereka melakukan ini tiap ada perkumpulan. Rencananya dunia akan kami hancurkan apabila sejoli tukang rundung itu tidak berakhir bersama.
“Eh ngomong-ngomong tentang Ilham...,” Maria memicingkan mata padaku, “gue tadi siang tuh singgah di tokonya buat ambil orderan pembukuan customer gue, dia itu... makin teduh ya? Seingat gue tiap kali dia ke kelas gak segitunya deh. Dia progresif gak sih masalah agama?”
“Bukannya lo sudah punya pacar?” protes Fauzan sambil memukul pelan pundak Maria.
“Cadangan, Zan. Siapa pun itu... plislah... gue sudah gak sanggup jadi independent woman. Gue pengen diurus.”
Meskipun namanya Kristen-able, tapi Maria lebih sering ikut buka puasa gratis di masjid asal bulan Ramadhan. Lumayan katanya, untuk menghemat, soalnya titel yang didapatnya sejak lima tahun belakangan, kini makin disombongkannya: ‘Maria Yacobus, Yp., A. (Yatim Piatu Absolut).’
“Progresif kok. Kelihatannya aja kayak kaku. Dari jaman SMP Ilham emang softboy parah. Makanya gue lebih suka deep talk sama dia daripada lo semua. Dia paham banget sama mental orang!” ujarku menggebu-gebu. “Sekalian gue belajar ngurangin ngomong kasar. Lumayan bekerja.”
Maria bersemangat. “Berarti lo ngomong ama dia pakai aku-kamu?”
Wandi menyahut, “Aneh banget cowok ngobrol berdua pakai aku-kamu. Gak takut dituduh botikah?”
“Itulah anehnya orang jaman sekarang. Banyak cowok yang lebih milih mendem keresahan hatinya karena takut dikatain lembek. Curhat ke cewek—malu, ke cowok—takut disangka bencong. Padahal ngobrol doang loh itu, gak sambil nyepong. Sekalinya mentalnya rusak karena kebanyakan nahan dan sok kuat, malah ngerusak cewek, malu-maluin keluarga, MBA, jadi patriarki, tukang pukul. Kalau kasusnya kek gitu siapa coba yang lebih laki?! Masih lebih tegas boti—mereka jujur sama sisi feminin mereka. Paling rumitnya pas nanti ketemu Tuhan.”
“Gokil Hasan! Freedom abis!” Wajah Fauzan kelihatan masam. “Makin hari makin progresif.”
“Tapi serius...,” suaraku memberat, “curhat itu penting tahu. Kebanyakan orang gila jaman sekarang masih pada muda-muda.”
“Alay!” ketus Khusnul membawa semangkok soto ayam di hadapanku. “Gratis, dari nyokap. Dia tadi nanya kenapa lo kelihatan makin kurus, mau gak mau gue jujur kalo ortu lo sudah gak ngurus lo lagi. Semangat, ya. Semua ada hikmahnya.”
Pernyataan Khusnul langsung disambangi tawa getir dari anak-anak yang lain. Sulit untuk sakit hati dengan gurauan Khusnul yang suka terkesan kelewat batas. Sebab setelah menghina, korbannya ia peluk erat. Bukan sebuah gimmick, tapi dia memang punya cita-cita jadi pelawak cabang roasting orang. Itu kenapa kami selalu jadi bahan latihan. Sayangnya dia harus terjebak jadi kasir warung pecel lele.
“Sabar dong... masa marah sih?” centilnya sambil mengalungkan tangan ke pundakku. “Bukannya akhir-akhir ini lo lebih sering bergaul sama Ilham? Harusnya hati lo udah tenang dong, San?”
Fauzan mendekatkan badan di depan meja. “Btw, San... lo tuh terbilang sabar banget loh. Karena kata Raihan, sepupu jauh banget gue... fetish paling ideal dari para ex karyawan Adiwangsa tuh pengen berak di atas kepala CEO-nya. Gak kebayang sih semenjengkelkan apa itu orang sampe kepikiran... mau berak loh, berak cuy, di atas kepala.”
Dua pegunungan beranjak dari pundakku. Ada yang ingin membayar.
“Ya tipikal pewaris yang sok merintislah. Sebenarnya ucapannya gak ada salahnya. Cuman karena tokoh yang ngomong tuh lahir berlimpah privilege, jadi ya kerasa salah.”
“Tapi lo nyaman kan? Ini tahun ketiga ‘kan lo kerja di sana?” tanya Maria.
Fauzan mengompori, “Bagiin dong tipsnya meng-handle kerjaan meskipun atasan kek saiton. Siapa tahu gue akhirnya bisa gabung korporat.”
“Gak bangsat!” Kepalaku langsung panas. “Gak gue handle sumpah. GUE CAPEK! Dari dua bulan yang lalu gue nyiapin surat resign. Tinggal ngumpulin doang ini.”
“Jangan cok!” tanggap Wandi dengan suara meninggi. “Dari kita berlima, lo yang kerjaannya paling mendingan, dengan gaji paling banyak. Lo mau ngelepas begitu aja cuman karena bosnya rese? Lulusan SMA kayak kita tuh setengah mati buat masuk korporat. Kalau lo berhenti, ujung-ujungnya suatu hari nanti lo pasti butuh kerjaan lagi. Syukur kalo pengalaman lo bisa ngegantiin syarat pendidikan yang gak memenuhi, kalau gak? Berakhir kerja jadi kayak kita. Dan gue sudah gak perlu ngasih tahu lo—lo udah seringlah dengerin kita anjing-anjingin pelanggan. Apalagi gue yang kerja di ritel, di mana tiap barang hilang, gue yang ganti. Lo cuman ketemu sama satu iblis. Kita ini, yang kerja startup atau UMKM, semua orang adalah musuh.”
“Gue sudah gak tahan. Lagian gue berhenti juga punya rencana panjang. Gue punya tabungan kok. Meskipun gak banyak setidaknya cukup untuk biaya hidup gue. Bisa juga buat ikut kursus...,”
“NULIS LAGI?!” serbu Wandi sebelum aku menyelesaikan kalimatku. “Lo udah ngikutin berapa banyak kursus nulis gue tanya? Sampe sekarang jangankan tulisan tembus, lo punya kenalan sesama penulis saja kagak bangsat.”
“Bedalah kalau gue berhenti kerja. Gue bisa fokus di situ, ngembangin skill, nyari cara supaya tulisan gue bisa menjangkau banyak orang. Waktu itu gue gak bisa, karena terbebani tanggung jawab pekerjaan. Plus gue gak enak udah diterima lewat bokap malah gak becus kerjanya.”
Kepala Wandi menggeleng, senyumnya tampil remeh, “Gila lo....” Ia tak segera melanjutkan kalimatnya. Keningnya merapat, seperti tersadarkan sesuatu. Dadanya yang tadi kembang-kempis kini meraih tenangnya.
“Kok gue kayak marah banget ya?” tanyanya kemudian. “Terserah lo, San! Berhenti, berhenti aja dah, kesehatan mental yang paling penting. Gak apa-apa gak makan enak yang penting isi kepala gak ribut. KOCAK!”
“Sumpah, Wan. Gue ikut ngerasa dimarahin. Ampe diem loh gue,” ujar Fauzan yang ditimpali setuju oleh Maria. Mereka bertiga tertawa. “Itu artinya lo peduli sama Hasan. Ciee....”
Asam kulempar dari ujung bibirku. Mataku teduh menatap Wandi sambil berkata lirih, “Makasih ya. Aku jarang banget loh diperhatiin. Love you... muah.”
Selain berteman sejak SD, walaupun mikrofon tak terlihat yang terpasang di atap rumahku untuk menyebarkan aib keluarga—dicopot, Wandi akan tetap tahu tetek-bengek keluarku karena jendela kamarnya hanya berjarak sepuluh jengkal dari pintu dapurku.
“Berak!” hujat Wandi sambil melempar tisu bekasnya padaku. “Maksud gue tuh lo pikirin sampai hangus dulu keputusan resign lo itu. Berhenti kerja bukan hal sederhana cok jaman sekarang. Apa-apa lo butuh duit.”
“Lo keluar rumah dan singgah di dua tempat saja, uang parkirnya sudah bisa dipakai beli makan,” tambah Maria.
“Kita yang capek kerja, mereka cuman modal ngemis udah bisa hidup, bajingan!”
“Istigfar, Wandi. Astagfirullah,” ujar Fauzan, masih dengan urut-mengurut ulu hatinya.
Tangannya yang kerap dingin, dadanya yang sering panas, pula napasnya yang tak luas, rupanya menurut google itu semua merupakan sebagian dari tanda-tanda menjelang kematian. Informasi tersebut kemudian mematangkan kecemasan Fauzan dengan sempurna. Sejak saat itu pula Fauzan rutin—dari tiga bulan lalu—mulai mendekati Tuhan.
Fauzan membuka mulut. “Tapi emang kacau sih. Gue aja yang dikata rangking satu mulu di kelas, gak dianggep anjir karena gak ada titel. Udah ribuan surat lamaran gue sebar, dilirik juga mungkin enggak. Bahkan yang ada titel pun, kayak anak tetangga gue, ujung-ujungnya jaga kios. Bukan bermaksud merendahkan sebuah pekerjaan ya, cuman ‘janji’ yang disuarakan mengenai pendidikan tinggi tuh gak selalu berbanding lurus dengan realitas. In this economy... asal lo gak disuruh telanjang, pertahanin aja sih. Orang-orang bisa sok bijak karena gak lagi di titik terendah hidupnya."
“Realita misal punya wujud manusia, gue bakal melakukan pembunuhan pertama gue,” ketus Wandi. “Liat noh Maria. Padahal dari kita berlima yang keterima SNMPTN ‘kan cuman dia. Dia dulu punya kesempatan, ambisinya gede buat jadi designer, punya skill juga, tapi tetap harus nunduk sama keadaan.”
“Ya gue beda kasuslah, Wan. Ortu gue udah gak ada. Kalo gue kuliah siapa yang mau biayain? Kelarin SMA aja tante gue saling pindah tangan yang mau biayain gue. Beasiswa juga susah karena gue dongo dalam pelajaran. Mau gak mau gue harus kerja demi bisa hidup sendirian.”
Di bola mata Maria tampak jelas keikhlasan yang terlampau menyiksa di sana.
“Tapi bukan berarti gue nyerah sama cita-cita gue ya... gue cuman tidak berusaha lagi,” dalihnya. “Misal suatu hari nanti entah bagaimana gambar-gambar gue bisa nyampe ke designer terkenal dan dia mau ngajarin gue kayak di film-film, ya gue terimalah. Skenario palsu begituan masih sering muncul di kepala gue.”
Maria kemudian menoleh padaku, “Gue yakin perasaan yang menggebu-gebu di hati lo tuh persis seperti yang gue rasain tiap kali mengkhayal misal karya kita ada yang apresiasi. Apalagi di saat throwback ke karya-karya yang kita buat, kayak... damn... gue seberbakat ini, masa dibiarkan terkubur begitu aja? Mubazir gak sih?”
Aku hanya mengangguk pelan sembari berupaya menerjemahkan senyuman Maria yang tampil bak Monalisa.
“Cuman kalau gue... jangan sampai skenario itu bikin kehidupan gue yang sekarang kayak gak pantes dijalani. Andai sampai akhir hayat impian gue gak tercapai pun, sejujurnya hidup gue yang sekarang jauh lebih melegakan. Sesederhana gue bisa beli makanan yang waktu kecil gak bisa tuh, udah jadi kepuasaan tersendiri di batin gue.”
Pandangan Maria kemudian meluas memperhatikan tiga pria gagal yang mengelilinginya. “Makanya ganti pandangan kalian terhadap gue. Alasan gue sekarang keren soalnya: gue berhenti berusaha punya kehidupan ideal, karena kehidupan realistis gue juga patut untuk dijalani. Kita percaya Tuhan itu baik tapi kok kayak ragu-ragu sama hasil tangannya?
“Lo bertiga masih punya peluang anjir. Gak semua orang berkesempatan untuk jadi beban keluarga. Sense of ‘tahu diri’ kayaknya bakal terbentuk secara alami asal lo lahir di keluarga yang judgemental, dan sepertinya kalian bertiga sangat-sangat-sangat memenuhi kriteria tersebut. Jadi berusahalah. Kalau udah gak punya tenaga dan sumber daya, gabung sama gue. Kita jadi kumpulan orang gagal yang punya alasan filosofis demi membuat semua fine-fine ajah.”
Kini aku yakin alasan dinamakannya ia ‘Maria’, sebab ibu-bapaknya mungkin tahu akan ada hal bijak yang mekar di hatinya di kemudian hari. Konon luka-luka tak kasat mata bisa bikin manusia jauh lebih menghargai hidup. Tapi apa takarannya?
Bunyi panci dari seberapa brutalnya Tante Lia menumis masakannya mendominasi. Obrolan-obrolan meja tetangga jadi jauh lebih nyaring. Khusus untuk meja kami, dunia seperti berhenti sejenak.
“Gue gak yakin deh ada seorang pemimpi yang ketika ngehadepin realita, bener-bener bisa ngerelain mimpinya. Pasti ada satu titik kecil yang selalu berharap itu terjadi.” Jari telunjuk Maria lalu menghakimi Wandi yang sedari tadi menundukkan matanya. “Lo juga pasti masih ngarep kan!? Cita-cita Wandi dulu tuh apa sih?”
“Pemain bokep,” jawabku seketika.
Wandi terkekeh, “Tapi peran gue jadi suami yang berangkat ke kantor.”
Fauzan langsung menghibahi, “Wadu. Sad banget.”
“Ha?” celetuk Maria.
“Maria sok polos anjing! Padahal itu tontonan wajibnya sebelum tidur,” balas Fauzan.
“Bah, katanya udah tobat,” ujarku memicingkan mata ke Fauzan. “Masih saja nakal kau ya.”
Wandi ikut menyudutkan, “Istigfar, Zan. Mati gak ada di kalender.”
“AH MULAI LAGI DEH!” geram Fauzan seketika mengurut kembali ulu hatinya dengan minyak kayu putih—sugestinya: membuat malaikat maut menunda penjemputannya.
“Emangnya lo masih takut mati, Zan?” tanya Maria.
“Manusia mana yang gak takut mati?! Stres ini perempuan.”
“Bukan begitu bego! Maksud gue bukannya lo udah berobat? GERD ‘kan itu?”
“Yes. Cuman gue kurang sreg anjay. Masa gue udah bayar hampir 500 ribu, dikasih obat lima jenis—tapi sampai sekarang gue masih suka keringat dingin. Kayak sia-sia banget anjir uang segitu bisa dipakai hidup. Harusnya waktu itu gue tahan saja sampe terbiasa.”
“Ya gak apa-apalah. Nyokap lo pasti ikhlas kok. Gak mungkin ada orang tua yang senang anaknya gelisah,” ucapku.
“Ya pasti itu. Cuman di gue-nya saja yang gak enak. Anak tertua laki-laki bukannya ngegantiin nyokap cari uang, malah ngehamburin uang. Gue pen bantu jualan, tapi mana tahu gue jualan sayur begitu. Gue jadi kepikiran harusnya dulu gue fokus pelajari kerjaan nyokap aja, supaya lulus sekolah bisa langsung tukaran tempat. Malah yang gue fokusin cuman dapetin nilai bagus doang, gak kepikiran mau dikemanain itu nilai. Tolol banget jadi orang!
"Makanya gue selalu berdoa semoga umur gue panjang. Pengen sih gue hidup lama. Gue masih perlu bayar hutang budi ke nyokap yang sudah berjuang sendirian ngebiayain tiga anaknya. Bakal jadi perjuangan panjang, tapi gue ikhlas," pungkas Fauzan.
“Ahh... sweet banget Fauzan,” lembut Maria.
“Tapi sayang bentar lagi mati.”
“Wandi setan!” gertak Maria.
“Setan aja kayaknya tersinggung kalau Wandi disebut serupa sama mereka,” timpalku. “Kek... Oohh... bitch, who said that!?”
Untuk sebentar, kami menertawai setan yang tersinggung itu. Kadang aku takjub betapa masa bodohnya kita dengan lingkungan sekitar asal sudah berkumpul seperti ini. Dari pembahasan ringan, guyonan mesum, sampai keresahan masing-masing kerap tumpah ruah di atas meja tanpa peduli meja lain mendengar atau tidak.
Maria kembali bertanya. “Kayaknya Wandi gak pernah bilang deh mau jadi apa?!”
“Hasan di saat-saat seperti ini gue harap mulut lo tertutup rapat.”
Ini adalah sebuah keajaiban. Sosok yang menghakimi dunia kini menyorakkan sebuah harapan.
“Tapi kenapa sih, lo gak coba deketin Mbak Sukma aja, ngebentuk koneksi?!” tanyaku alih-alih.
Aku belum pernah melihat matanya menengok serendah ini.
“Gak usah dibahas lah, San. Gue serius. Please.”
Wandi memang jarang membicarakan masa depannya. Tiap kali dia bilang ingin menjadi seorang aktor, orang-orang bahkan keluarganya akan tertawa. Seolah-olah ada manusia di dunia ini yang tidak boleh bermimpi. Tiap kali dia diam-diam ikut casting, rahangnya yang terlalu lancip selalu jadi perbincangan para kru. Mungkin memang tidak ada tendensi untuk menghina, namun kata Wandi, “Apa bedanya?” Sakitnya masih sama.
Semua mempertanyakan bentuk fisiknya seolah Wandi tahu jawaban mengapa ia diciptakan demikian. Itu kenapa dia menyerah. Pada akhirnya dia setuju bahwa wajahnya tak indah ditatap lewat kamera apa pun.
“Misalnya bermimpi itu bisa bekerja untuk semua orang, menurut lo semua, masih bakal ada gitu orang yang hidup di jalanan?” Mendung singgah di bola mata Wandi. “Kayak... adakah orang yang waktu kecil bercita-cita jadi pengemis? Semua orang pasti pengen kehidupan yang lebih baik. Tapi kita bisa apa? Takdir bukan kita yang tulis. Entah bagian mananya yang adil, tapi kita disuruh terima saja, dan itu yang sedang gue lakuin.”
“Tapi kalau suatu hari nanti tiba-tiba lo punya kesempatan ngejar yang pen lo kejar?” Maria bertanya.
Mulut Wandi maju ke depan, diputar-putarnya kedua bola matanya sebelum menjawab. “Sampai terwujud pun rasanya gak bakalan sama. Masa indahnya tuh udah lewat soalnya. Dan sayangnya... kebanyakan hal memang kayaknya datang pas kita sudah kehilangan gairah. “
“Bukan berarti gak patut disyukuri dong?” tanyaku cepat.
Wandi melempar jeruk dari ujung bibirnya.
“Disyukuri aja deh, San. Supaya lo seneng.” Punggung Wandi setelah itu rebah di senderan kursi. Beban di punggungnya bisa-bisa membuat helaan napasku yang mengalahkan dunia, merasa tersaingi beratnya.
Bagaikan alam mendengarkan hiruk pikuk dunia-dunia yang telah runtuh di tiap-tiap dari kami, dua orang pengamen jalanan masuk ke warung untuk menebar sentosa. Alunan gitar, serak suara, dan keikhlasan mereka untuk (mungkin) menerima takdir hidup menyatu di udara.
“Berat ya, jadi orang dewasa? Perasaan dulu topik kita kalo enggak tentang PR, ya ngejulidin guru-guru. Sudah gede semua kita. Kayak cepet banget,” resah Maria menerawang lewat kepalanya.
“Memang hidup kayak begitu kan?” tanyaku. “Kita lahir dan nangis bentar tiba-tiba udah bisa jalan. Belajar makan sendiri, tiba-tiba udah masuk SD. Nangis karena gak ada ibu di sekolah, tiba-tiba udah SMP. Penasaran dikit, tiba-tiba hampir 20. Ketawa-ketiwi, tiba-tiba umur kita sudah 30. Jatuh cinta, tiba-tiba 40. Ngeluh beras mahal, tiba-tiba sudah 50. Batuk dikit, 60. Bengek dikit, meet and greet sama Pak Raqib dan Atid. Semua ini hanya untuk mati.”
“Yailah, kematian lagi,” keluh Fauzan.
“Gue jadi keingat tugas bahasa Indonesia deh yang nyuruh kita untuk tulis apa jadinya kita di 10 tahun mendatang,” ujar Maria mengalihkan topik. “Ternyata gue jadi ojol.”
“Gue pengangguran!” sahut Fauzan.
“Karyawan ritel abadi.”
“Jadi budak korporat yang bercita-cita berak di atas kepala bosnya.”
Perhatian kami satu persatu lalu terpaku pada satu sosok di belakang meja kasir. Senyumnya yang manis itu jarang kami lihat tatkala makian melimpah dari bibirnya. Mata kami dibalasnya dengan heran.
“Misal dia beneran nerusin ini warung sebagai generasi selanjutnya—artinya masa depan kita sudah aman. Nanti harga beras makin naik, kita ngutang makan aja di sini,” ujarku melihat pancaran sinar putih bersih di belakang Khusnul.
Khusnul yang mungkin risi dengan tatapan empat orang pecundang ini, lalu mengunjungi meja dan bertanya, “Mau pesan lagikah?”
“Gue... beruntung banget punya sahabat kayak lo, Nul,” ucapku lirih. “Soto gue dibungkusin aja, ya? Mau gue panasin nanti di rumah.”
“Makasih ya udah jadi saudara perempuan buat gue.”
“Semoga perteman... NO... persahabatan erat-banget-mampus kita bertahan lama ya, Nul?” tambah Fauzan.
Khusnul makin kebingungan. Dia melempar kode mata kepada Wandi yang sejak tadi hanya terduduk sambil tertawa kecil. Tapi tak kunjung ia diberi penjelasan.
“Stres lo semua!!”
Khusnul, manusia mana yang tidak stres hidup di dunia yang seberantakan ini? Misal sehabis mati kita bisa memilih pintu yang akan dimasuki, niscaya tangisan pertamaku di dunia tak akan pernah berkumandang.
***
Pandanganku mungkin boleh terkesan kosong, lamun kepalaku dibelah, ada bapak dan bosku yang kubuat sedang saling pukul. Di hadapanku, di atas meja, ada surat pengunduran diri yang sudah kusiapkan—rencananya akan aku antarkan hari ini.
Sementara Mbak Sukma pasti masih berbunga di dalam rumahnya setelah membintangi film pertamanya di usia 45 tahun—Bapak, sedang berada di halaman depan rumah kita memukul paksa tiang rumah dengan palu-palu. Tadi subuh dia pulang sambil mendeklarasikan kekecewaan yang sangat dahsyat.
“KALIAN INI! SUDAH SAYA CAPEK-CAPEK KERJA SAMPE TUA BEGINI, GAK ADA YANG HORMAT! Kalau kalian sibuk begitu sampe gak mau lagi ngurusin saya, keluar saja dari sini! Mending saya bongkar ini rumah. Gak ada gunanya ini semua!”
Semua kekecewaan itu benar berakar dari istrinya kemarin malam pergi selama 12 jam demi membantu pesta keluarganya, sehingga lupa untuk pulang lebih cepat. Sebesar itukah kesalahannya?
“Kamu anak gadiskah?! Ha!?” gertak Bapak kala imam di masjid tengah membaca doa kunut dalam sholat subuh. “Pulang kok sampe tengah malam, lupa sama suami. Sampe saya kelaparan di sini."
Ibu sempat membela diri, “Saya kan sudah bilang, mari uangnya, saya ke pasar subuh-subuh untuk masak memang. Supaya kamu gak perlu keluar rumah. Kamunya gak ngasih duit. Semua harus salah sayakah?”
“GAK USAH BANYAK NGOMONG KALAU DIKASIH TAHU.”
Tak ingin menunggu matahari untuk bergegas ke terminal bus yang jaraknya tak jauh dari pasar, Sri menumpang ke Pak Ridwan yang baru mau berangkat ke pasar membawa jualan ikannya. Sri hanya ingin pulang ke pelukan ibunya. Anton sempat menyusul, namun ia pulang dengan tangan kosong dengan alasan akan membujuknya lain hari. Semudah itukah wanita menurutnya?
“Saya itu salah apakah? Sampai kamu giniin saya?” gertak Bapak lagi kemudian saat fajar baru saja menampilkan jidat bagian atasnya. Beliau memang tidak suka dengan ketenangan.
“Giniin maksudnya apa? Heran. Kok saya kayak berdosa sekali. Ada yang matikah?! Berlebihan sekali. Kamu ngurus diri sendiri sehari saja gak bisa? Atau gak mau?!”
“Kalian urus diri kalian sendiri juga kalo begitu! Kalian emangnya bisa hidup tanpa saya?! Kalau masih butuh ditanggung tuh dengarkan, suami dilayani baik-baik. Nanti saya tinggalkan baru tahu rasa. Kamu tahu gak, saya harus minjem motor tetangga buat pergi beli makan. Kalo saya ada apa-apa di jalan bagaimana?”
Pertengkaran mereka kemudian berhenti di situ. Ibu tak lagi menanggapi. Sementara Bapak, mengungkit seberapa kotor budak-budak yang ia rawat. Mengenai usahanya dia menafkahi keluarga, sifat-sifat buruk istrinya yang menurutnya tidak bersyukur mendapat suami yang tidak perhitungan pasal makanan, beberapa kali juga menyinggung anak-anaknya yang menjadi bajingan seiring beranjak dewasa. Apa beliau tidak merasa semua itu berakar padanya?
Sementara Mang Ujang di kelilingi ibu-ibu yang kerap brutal dalam menawar harga sayuran yang ia jual, Bapak memulai pembongkaran rumah dengan palu-palunya. Sepertinya ia tak peduli kemungkinan rumah ini roboh apabila satu pilar di teras ia hancurkan.
Saat ini aku tak tahu sudah sejauh mana progresnya sebab sejak tadi dimulai terbangun, mandi, kemudian memasukkan semua pakaianku ke koper, aku terlupa menghitung berapa kali hantaman palu yang kudengar.
Aku bergerak menuju dapur di mana Ibu tengah menggoreng pisang. Di atas meja ada makanan yang ia bawa dari pesta—visualnya tak lagi menggugah. Gemercik minyak panas aku anggap sebagai bentuk pelarian Ibu supaya tak perlu mendengar jelas hantaman palu di halaman depan.
“Kamu mau ke mana?” tanya Ibu sambil meniriskan pisang goreng yang matang ke atas piring beralas tisu.
Untuk sejenak batu kulempar dari ujung bibirku.
“Aku takut, Bu.”
Bagaikan ada dua lempengan besi yang menekan seluruh isi perutku, aku berkata, “Hari ini dia pegang palu. Besok apa? Pisau? Golok? Ibu juga pasti gak nyangka kan dia sampe kayak gini? Biasanya dia cuman ngebentak doang. Tapi ternyata bisa segila ini.”
Air basi menetes dari sudut bola mataku. “Mau sampai kapan Ibu pura-pura kalau keluarga kita baik-baik aja? Bapak itu narsistik, Bu! Harga dirinya yang paling tinggi dari kita semua. Ibu nyinggung dia sekecil pulang telat aja sudah bikin dia ngamuk. Kalo kita tetap di sini, bisa-bisa suatu hari nanti kita mati di tangannya, Bu.
“Gak ada yang bisa kita ubah dari semua ini, tapi kita masih bisa pergi. Ibumu orang berada, Bu. Kamu butuh apa masih keras kepala menetap di sini? Untuk anak-anak Ibu? Kita semua sudah gede. Terus karena cinta? Mungkin Ibu masih, tapi orang di luar itu sudah gak, Bu. Kalian gak capekkah kayak gini? Karena kalo tanya aku... aku capek sekali. Aku bahkan lebih nyaman pulang ke teman-temanku daripada ke sini.”
Alih-alih menanggapiku, Ibu lebih sibuk untuk menyirami tehnya dengan air panas dari termos.
“Aku mikir misal bapak kita diganti, kira-kira hidup kita semua bakal lebih baik gak ya?” tanyaku mengupas kulit mati di ujung jariku.
“Jangan ngomong begitu! Kalau bapakmu denger malah makin ngamuk.”
Aku makin tak habis pikir dengan Ibu. “Kenapa sih? Malu? Jaman sekarang perceraian bukan aib lagi, Bu. Kalau Ibu kehujanan, cari payung... jangan malah mandi hujan!”
Kakiku bergerak leluasa sembari mengangkat koper, meninggalkan Ibu yang masih mematung memegang termos. Tunduk matanya bisa-bisa membuat harga dirinya merasa tersaingi keruntuhannya.
“Aku tunggu di rumah Nenek, Bu,” pungkasku.
Aku pribadi tidak peduli eksistensiku hilang andaikan Ibu tidak menikah dengan Bapak. Pada akhirnya ketika pertahanannya dihancurkan apabila palu itu justru mengarah ke kepalanya, mau tidak mau Ibu juga akan tetap menanggung malu. Bahkan dicap sebagai perempuan bodoh. Ini bukan doa. Tapi salah satu kemungkinan.
Meskipun sudah berusaha bergegas secepat kilat, Bapak tetap saja menyadari kehadiran koperku.
“Kamu mau ke mana?” tanya Bapak yang kini sudah setengah selesai menghancurkan teras yang ia bangun lewat jerih payahnya mengelola sawah peninggalan orang tuanya. Ubin-ubin sudah terlepas dari bekas cor-corannya.
Aku bergeming. Entah kenapa rasanya seperti sesuatu menahanku untuk membuka mulut. Tapi situasi ini perlu diluruskan.
“Bapak gak pernah terpikirkankah, semua yang Bapak lakuin sekarang, bakal berpengaruh di masa tuamu, Pak?” tanyaku selembut mungkin.
Gigih palunya perlahan bergeming.
“Kira-kira dengan sifat ini, siapa yang mau jagain Bapak kalo tua nanti?” tanyaku berlanjut.
Di saat akalnya mungkin pelan-pelan kembali, lehernya menanggung malu lantaran para tetangga kini tampil di depan gorden rumah mereka.
“Durhaka tuh udah pembahasan lain. Aku takut nanti mungkin aku yang berakhir jagain Bapak. Aku lagi nyuapin, tapi buburnya kepanasan, lidah Bapak kebakar—Bapak marah terus ambil garpu dan nusuk leherku... dan matilah aku di situ. Kelakuan Bapak sekarang ngebuktiin gak ada yang gak mungkin.”
Sambil menaikkan koper ke atas motor, aku berandai, “Aku tuh pengen ada satu momen kita bisa ngobrol dengan tenang. Pengen tahu isi kepala Bapak; bagaimana Bapak dibesarkan; apa yang membentuk Bapak sampai jadi sosok seperti ini; kenapa kadang seberlebihan ini; kenapa selalu menarik simpulan seperti ini. Jadi pendengar tuh gak bakalan bikin Bapak kehilangan harga diri. Bapak jahat saja kami masih di sini kok. Aku pribadi juga selalu... masih berusaha untuk kelihatan layak. Tapi apa gunanya? Bapak saja gak pernah berusaha jadi layak!”
“Jadi menurutmu saya gak ngelakuin apa-apa? Saya ngehabisin masa muda saya untuk bekerja—demi kehidupan kalian.”
“Betulkah? Bukan supaya Bapak ada yang layani? Aku berterima kasih dengan semua usaha Bapak membesarkan kita semua. Cuman semua yang Bapak kasih itu cuman bersifat material. Kita semua bahkan kesulitan buat mengekspresikan emosi selain marah, karena Bapak gak pernah tunjukin caranya. Bapak tahu... Bapak juga gak pernah cukup buat kita. Makanya berhenti minta kita semua harus sesuai dengan standarmu, Pak.”
Aku naik ke motorku, tak peduli akan berapa lama durasiku kali ini meninggalkan rumah. “Misalnya Bapak gak mau berubah demi keluarga—demi Ibu, setidaknya coba pikirkan untuk berubah demi masa tuamu, Pak.”
Keputusan Marlo untuk pergi dari sini bertahun-tahun lebih awal—dibalik kesengsaraan yang dia rawat—adalah satu-satunya keberhasilan yang ia punya.
Aku baru menyadari mengenai kegelisahanku. Misal diperlukan melepaskan satu dari dua hal paling beracun di hidupku—yakni rumah ini atau pekerjaan, sepertinya mengorbankan keduanya adalah pelarian paling melegakan.