Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bagai bertaruh di antara hidup dan mati, Haris berlari sekuat tenaga melintasi platform satu Stasiun Gambir. Terlambat barang sedikit saja akan menerbitkan sesal berkepanjangan di hatinya. Beruntung ia dapat meraih gerbong penumpang tepat sebelum kereta jurusan Jakarta-Bandung itu beranjak pergi. Haris mengambil posisi duduk sesuai tiket yang ia pesan. Napasnya memburu. Jantungnya berdetak kencang. Keringatnya mengalir deras. Pakaiannya sedikit lembab. Namun, senyumnya mengembang lebar seolah sebuah kemenangan besar baru saja ia torehkan.
Ia pandangi lagi beragam oleh-oleh dalam genggaman. Angannya mengawang jauh ke sebuah tempat yang hanya mampu dijangkau oleh pikirannya. Kembali, ia tersenyum semringah membayangkan orang-orang yang akan segera ia temui. Rindu dalam hatinya yang telah menggunung akan segera tertunaikan.
Detik demi detik berlalu seiring roda kereta yang berjalan cepat. Dari kaca jendela, Haris menyaksikan pemandangan malam Kota Jakarta yang seolah melangkah menjauhinya. Perlahan, kedua kelopak mata hari Haris tertutup. Lelah akhirnya membawa kabur kesadarannya.
***
Di pelukan tubuh Rani, Haris menumpahkan semua keletihan hidup. Pada istrinya itu, Haris mengadu, bercerita, dan bermanja. Satu menit dalam belaian lembut tangan Rani mampu mengentaskan segala kelelahan jiwa dan raga Haris. Di tengah lautan pekerjaan yang tak ada habisnya di Jakarta, bertemu keluarga di Bandung pada libur akhir pekan adalah kenikmatan surga bagi Haris. Maka, meski harus bolak-balik menempuh perjalanan Jakarta-Bandung dengan kereta setiap minggu, Haris tidak pernah absen.
Lepas dari pelukan sang istri, Haris lantas menggendong Yuda, putra tunggalnya yang berusia lima tahun. Haris lantas membuka bingkisan yang dibawanya dari ibu kota. Sebuah mainan mobil balap keluaran terbaru siap berada di samping Yuda untuk menemani hari-harinya.
Haris mengedarkan pandangan ke sudut-sudur rumah. Segalanya tampak nyaman dan asri. Namun, ia tersenyum getir. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
“Kalau bukan karena janji pada mendiang Ibu dan Bapak untuk tidak meninggalkan rumah ini, aku pasti sudah membawa kamu dan Yuda tinggal di Jakarta,” ucap Haris pada Rani.
“Mas, rumah ini adalah peninggalan orang tuaku. Dan, mereka mempercayakan aku untuk merawatnya. Aku harus menghormati wasiat mereka. Aku juga tidak keberatan tinggal di rumah ini selamanya. Yuda pun pasti demikian,” jawab Rani seraya tersenyum.
“Aku akan mencoba mencari kerja di Bandung. Biar kita tidak hidup terpisah seperti ini.” Haris berkata sebelum ia kembali mengistirahatkan raga dan jiwanya dalam dekapan Rani.
Selama berada di Bandung, Haris menghabiskan seluruh waktunya bersama Rani dan Yuda. Sedari pagi hingga malam, semenjak membuka mata hingga kembali menutupnya, ia bercengkerama dengan istri dan anaknya di dalam rumah. Telah seringkali Haris mengajak Rani dan Yuda untuk bertamasya keliling kota dan menonton film di bioskop. Namun, Rani selalu menolak ajakan itu. Ia lebih memilih untuk berada di rumah. Menurutnya, uang yang ada lebih baik ditabung untuk keperluan yang lebih besar di masa depan. Haris sempat kecewa dengan penolakan Rani. Namun, ia tahu bahwa istrinya tak bisa dipaksa. Dan, ia lebih memilih meluluskan keinginan sang istri daripada egonya sendiri. Toh, yang paling penting baginya adalah berada di sisi Rani dan Yuda.
Hampir genap dua hari di Bandung, Haris berpamitan kepada Rani dan Yuda pada Minggu sore. Ia harus masuk kerja di Jakarta esok hari. Haris mengecup kening istrinya lembut. Ia peluk perempuan itu sekali lagi dengan erat. Haris sungguh amat mencintai istrinya. Jika saja bisa, ia ingin lebih berlama-lama lagi bersama Rani. Namun, keterbatasan waktu tak memberinya izin melakukan hal itu.
Setelah melepas pelukan sang istri, Haris lantas melakukan hal yang sama pada Yuda. Pada putra kesayangannya itu, Haris tersenyum lebar. “Yuda, jangan nakal, ya. Yuda harus patuh sama Bunda. Minggu depan, Ayah datang lagi bawain mainan baru buat Yuda.”
Yuda mengangguk semringah seraya memamerkan gigi-giginya yang belum penuh.
Haris beranjak meninggalkan rumah dengan melambaikan tangan pada anak dan istrinya. Selang beberapa langkah, ia bertemu dengan Yudi dan Riyanti, sepasang suami istri yang tinggal di sebelah rumahnya.
“Sore, Pak Haris,” sapa sepasang suami istri itu.
“Sore, Pak Yudi, Bu Riyanti,” jawab Haris ramah.
“Sudah mau berangkat ke Jakarta lagi, Pak?”
“Iya, Pak. Tapi minggu depan juga ke sini lagi buat nengokin Rani dan Yuda.” Haris melihat jam di pergelangan tangannya. “Yaudah, Pak, Bu, saya pamit dulu. Saya harus mengejar kereta.”
“Hati-hati, Pak Haris.” Yudi dan istrinya berkata serempak.
Setelah melihat Haris menghilang di tikungan jalan, buru-buru sepasang suami istri itu melangkah ke rumah Haris. Mereka membuka pintu rumah yang ternyata tak terkunci. Rumah itu terlihat berantakan. Beragam mainan anak-anak mulai dari lego, kartu-kartu, kereta api kecil dan rel, rumah-rumahan, hingga sepeda anak tercecer di berbagai titik rumah. Nampak pula sebuah mobil balap mini baru yang kemarin dibawa Haris.
Melihat itu semua, Yudi dan istrinya menggeleng-gelengkan kepala sembari berdecak berkali-kali.
“Kasihan Pak Haris itu, ya, Pak. Sepertinya dia masih belum bisa menerima kenyataan.”
“Iya, Bu. Padahal dia masih muda, tapi tingkahnya sudah seperti orang kurang waras. Rumah ini, kan, kosong. Terus setiap kali ke sini, dia bertemu dengan siapa?”
“Entahlah, Pak. Ibu jadi ngeri lama-lama di sini. Ayo kita pergi, Pak.”
Yudi mengikuti langkah istrinya yang bergegas meninggalkan rumah kosong itu.
***
Kejadian satu tahun lalu itu masih terasa segar dalam ingatan Haris. Ia tengah menikmati hari libur bersama Rani dan Yuda dengan berkeliling Kota Bandung. Rupa-rupa kegiatan dari mengunjungi taman hiburan, belanja di mal, hingga menonton film keluarga bersama ia lalui dengan penuh sukacita.
Hari itu nampak sangat sempurna bagi keluarga kecilnya. Hingga petaka itu datang tiba-tiba. Ketika tengah mengendarai mobil di jalan raya, sebuah mobil lain tahu-tahu menghantam mobil Haris dari samping dengan amat keras. Mobil Haris terguling beberapa kali sebelum menabrak mobil lain di depannya. Rani dan Yuda meninggal seketika. Sementara Haris berada dalam keadaan kritis dan mengalami koma selama beberapa hari.
Saat tersadar, Haris tak percaya pada cerita para tetangga yang mengatakan istri dan anaknya meninggal dan telah dikebumikan. Bahkan ketika para tetangga mengantar Haris ke pusara Rani dan Yuda, Haris tetap memegang teguh keyakinannya. Ia malah menuduh orang-orang mengabarkan berita bohong padanya. Nyatanya, ia masih melihat istri dan anaknya tinggal di rumah mereka.
Bagi Haris, Rani dan Yuda tidak pernah meninggal. Mereka berdua masih hidup dan mengharap kepulangannya di setiap hari libur kerja. Dan seolah tak ingin mengecewakan kedua orang yang dikasihinya itu, Haris tak pernah terlewat untuk mengunjungi mereka manakala akhir pekan tiba.
***