Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Rumah
1
Suka
231
Dibaca

Sven tak pernah menyukai gagasan perang sejak awal, menjadi makin muak saat anak kecil dan wanita mulai terlibat dalam pertempuran, apalagi bila bocah perempuan. Salah satunya Cheta, paling menyedihkan di antara bocah-bocah yang pernah ditemuinya, lebih lagi dia harus berada di tengah-tengah para pejuang, mengangkat bambu runcing yang bahkan lebih besar dari badannya, dan bisa saja dia tiba-tiba dipanggil untuk bergabung ke tengah pertempuran kapan pun.

Belanda berkuasa di wilayah ini dan Sven bebas berkeliling ke mana pun dia ingin. Di saat itu juga, dia mendapati sesuatu yang membuatnya menaruh sedikit lebih banyak atensi kepada si bocah menyedihkan. Cheta yang sehari-hari seperti boneka kecil, bermuka datar, dan berjalan ke sana kemari tanpa mengatakan apa pun, apalagi tertawa; kini membuka mata lebar saat anak lain meletakkan sebuah ranting-ranting yang dihias menjadi tiara ke kepalanya. 

Dia tertawa renyah sendiri dengan kencang begitu bahagia. Cheta di depannya, menatap anak itu begitu lekat, kemudian perlahan sudut bibirnya terangkat—dengan cara yang benar-benar tulus.

Sepanjang bulan berlalu saat Sven tak sengaja mendapatinya ketika sedang berpatroli, senyuman Cheta menjadi kian lebar dan perlahan berubah menjadi tawa kecil yang lucu. Sampai tiba-tiba gadis murung lagi—lebih daripada dahulu—dan berkali-kali mengatakan hendak kembali.

"Yang mengizinkan kau untuk kembali atau tidak adalah aku, bukan siapa pun yang lain! Kau tak lupa bahwa wilayah ini berada di bawah kekuasaan Netherland bukan?" begitu kata Sven dengan tegas.

Cheta adalah putri dari seorang prajurit Indonesia, tetapi dia telah kehilangan orang tuanya sejak sangat belia. Kemudian, dia dibawa oleh Loke, seorang pengelola dan penyedia agen mata-mata. Pria itu berada di tengah-tengah, bukan memihak Indonesia maupun Belanda. Dengan kata lain, orang yang justru lebih berbahaya daripada para penjajah.

Cheta dibesarkan layaknya kamera yang memiliki satu tugas, yaitu melihat dan menyimpan semua yang dilihatnya, tanpa ada hal lain dilakukan. Cheta berperan menjadi ribuan orang demi bisa berbaur dan mendapatkan informasi dengan mudah. Dia terlalu belia untuk memahami sebagian besar yang diketahui, tetapi itu tak menjadi masalah lantaran informasi-informasi tersebut lebih dibutuhkan oleh pihak ketiga tempatnya bekerja dan bukan dirinya sendiri.

Cheta tepat sebelas tahun saat ini. Dia pertama kalinya menentang dua bulan lalu, yang membuatnya kemudian dikirim ke pasukan pejuang Indonesia sebagai hukuman—meski sesungguhnya itu hanyalah sebuah kepentingan pribadi antara Loke dengan beberapa petinggi pejuang Indonesia yang membutuhkan tambahan tenaga perang. 

"Aku bahkan tak tahu siapa diriku sendiri…."

"Namun, aku tahu! Aku selalu mengawasimu, Bocah," dan Sven tak paham mengapa dia tiba-tiba mengatakan itu.

Sven membawa gadis itu ke sisi markas KNIL. Ada gudang ditinggalkan di sana. Tak lagi terjamah oleh para Belanda lantaran markas utama mereka telah berpindah dan lahan di sekeliling gudang itu berakhir menjadi kebun dengan banyak pohon buah-buahan yang tumbuh liar.

Gudang itu dahulu digunakan untuk menyimpan berbagai barang milik pribumi yang sempat disita oleh Belanda dengan berbagai alasan. Selagi Sven mengawasinya, Cheta berhasil menemukan beberapa mainan dan benda yang menarik.

Gadis itu ternyata sangat menyukai tali rambut, dia mendandani boneka-boneka yang ditemukannya secantik mungkin; dan sedikit pun tak menyentuh rambutnya sendiri. Satu hal yang tak disangka akan menggelitik: keesokannya Sven kembali menemui gadis itu dengan muka agak sebal lantaran hari lalu kelupaan akan rambutnya yang masih diikat oleh Cheta saat kembali ke markas dan berakhir ditertawai oleh para prajurit KNIL lain. Lalu yang membuatnya lebih tak percaya, Cheta tertawa begitu lepas mendengar ceritanya, dengan sebuah senyuman paling lebar yang pernah ditunjukkan anak itu.

Namun, keesokannya, Cheta tak bisa ditemukan, mau ke mana pun Niklaus mencarinya. Gadis itu bukan menghilang, melainkan dijemput oleh Loke. Dia sudah hendak dibawa kembali ke pusat para anak agen mata-mata milik pria itu, saat seorang prajurit pejuang Indonesia yang melatihnya setiap hari, Haldan, menariknya balik. Itu pun dengan muka Cheta yang masih tampak ketakutan.

Keberadaan Sven di dekat Cheta memang telah mulai diketahui oleh beberapa orang, termasuk Haldan, salah satu petinggi di pasukan pribumi. Itulah alasan Loke mengambilnya kembali. Pria itu menganggap Cheta mulai kehilangan apa yang seharusnya ada di dalam diri gadis itu dan dia hendak mengembalikan Cheta seperti semula.

"Kau tak pergi ke tempat Sven?" kata Haldan saat akhirnya Sven menemukan gadis itu, dengan wajahnya yang begitu khawatir, saat pria prajurit Indonesia tersebut hendak mengajak ke kediamannya.

Anak itu hanya menggeleng, dengan wajahnya yang masih tampak murung. Dia bahkan tak menatap Sven sama sekali.

Sven mendengus, mukanya masih tegas dengan mata tajam yang galak seperti biasa. Namun, saat dia melangkah pergi, punggungnya tak bisa berbohong. Jangkahnya tidak seperti seorang KNIL yang sigap setiap saat, melainkan hanyalah seorang pria yang kehilangan bagian besar dari hidupnya.

Sven begitu memikirkan anak itu, tetapi agaknya memang Cheta lebih tepat berada di tangan seorang Indonesia. Sementara dia adalah seorang Belanda, yang seharusnya menjadi lawannya. Dia terlalu egois untuk merebut Cheta.

"Cheta, mengapa kau tak ingin kembali ke Sven?" kata Haldan tepat setelah membuka pintu kediamannya.

Cheta berdiri di depan pintu, berhenti, belum melangkahkan kaki memasuki tempat itu sedikit pun. "Tuan Loke pasti begitu marah… aku tak ingin melibatkan Sven. Dia orang yang baik. Dia tak seharusnya terluka."

"Baiklah," katanya. "Ayo, kemarilah. Aku juga memiliki anak seumuranmu, Adonia. Kalian bisa menjadi saudara yang baik. Kau tak perlu khawatir lagi, sekarang ini adalah rumahmu."

Gadis yang dimaksud muncul dari sisi lebih dalam bangunan, berjalan menuju ambang pintu. Benar kata Haldan, dia gadis yang ramah dan senang berteman, terlihat ketika dia dengan begitu gembira ingin mengetahui lebih banyak mengenai Cheta. Pasti tak akan sulit baginya untuk menjadi dekat dengan gadis itu.

"Malam ini, akan kutunjukkan semua mainan kesukaanku padamu. Ayo temani kami juga, Ayah! Lain hari, jangan pergi terlalu lama, bisakah? Aku ingin besok Ayah pulang cepat!"

"Iya, iya… Adonia sudah pasti selalu mencari Ayah, ya….”

Gadis itu tersenyum begitu lebar, “Karena Ayah adalah favoritku! Tak ada lainnya yang kuinginkan selain Ayah!”

Lalu tiba-tiba, Cheta berlari pergi. Adonia begitu terkejut dan hendak mengejarnya, tetapi Haldan menahan sang putri. Dia tampak begitu bingung, tetapi kemudian terdiam saat pria itu berkata, “Seorang anak gadis memang yang paling bisa membantu memahami mengenai anak gadis lain, bukan? Terima kasih, Adonia, kau melakukannya dengan baik. Cheta memang tak seharusnya berada di sini, dia sudah memiliki tempat terbaik untuknya… dan selamanya tak akan berubah.”

Sven sampai di depan kediamannya dengan waktu yang terasa begitu singkat, pintu yang dibuka menjadi berat. Dia harap, waktu bisa bergerak dengan sedikit lambat, atau bahkan mundur, kembali ke saat-saat di mana Cheta tertawa lebar. Sayangnya, semua telah berakhir, tepat ketika dia setelah ini menutup pintu.

Namun, pintu itu tidak tertutup. Sven terpaksa menahannya, saat tiba-tiba datang seorang anak. Dia kemudian mendongak menatapnya, dengan tatapan mata yang begitu dikenal oleh Sven, “Tempat ini … bolehkan aku menyebutnya sebagai rumah? Aku pulang!”

Cheta benar-benar tumbuh menjadi seorang anak yang menyerupai Sven. Dia berbicara dengan tegas layaknya prajurit, senang membagikan makanan dengan anak-anak lain, bahkan mengajak beberapa teman untuk bermain di rumahnya. Selain itu, dia mulai berbicara menggunakan bahasa Belanda. 

Ketika keadaan antara pribumi dan kolonial Belanda memanas dan Haldan memanggil Cheta—serta beberapa anak lain yang juga seumurannya—bergabung dengan pasukan pejuang untuk bersiap akan pertempuran, gadis itu dengan sendirinya maju ke garis terdepan. “Halo, Pappje! Minggirlah… atau pasukanku akan menusukmu, lho!” katanya sambil memegang sebuah bambu runcing yang masih saja lebih tinggi darinya, sambil terkikik begitu polos.

“Aku tak setua itu! Tetapi, panggilan itu agaknya terdengar begitu manis… mijn lieve dochter.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Rumah
Adinda Amalia
Novel
DIKEJAR DOSA
Donny Sixx
Novel
Bronze
Melawan Lupa Mereka Bilang Ayahku Penghianat
Emma Kulzum
Novel
BERNGA
Charlotte Diana
Cerpen
Bronze
Catatan Akhir Pekan: Nyai Ronggeng Pulungsari
Galang Gelar Taqwa
Novel
Mawar Derana, Arum Lara
Anisha Dayu
Novel
Bronze
MEI
Nurinwa Ki. S Hendrowinoto
Novel
Juuni
Andin FN
Novel
Gold
Meditations
Noura Publishing
Flash
MALINGGUNA : The Story Of Wasim.
Nur Rama Data Kapentas
Novel
Dahlia Merah di Penghujung Abad
tuhu
Novel
Indonesia Terbakar
Eunike Mariyani
Novel
Bronze
Garis Waktu yang Terulang
Dimas Adiputra
Novel
Bronze
Langit Berdarah
Amelynzah
Novel
Komsi Komsa
Falcon Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Rumah
Adinda Amalia
Skrip Film
Suatu Kehormatan
Adinda Amalia
Cerpen
One Time Whisper
Adinda Amalia
Cerpen
Anak Siapa Kau?
Adinda Amalia
Cerpen
Kepada Siapakah Berpijak?
Adinda Amalia
Novel
Sinkronisasi Jiwa
Adinda Amalia
Cerpen
Ubur-ubur Mundur
Adinda Amalia
Flash
Akuarium Air Laut
Adinda Amalia
Cerpen
Anak Siapa Ini?
Adinda Amalia
Novel
Remains Nameless
Adinda Amalia
Cerpen
Restate
Adinda Amalia
Cerpen
Adalah Suatu Kehormatan
Adinda Amalia
Cerpen
Wonder Blossom
Adinda Amalia
Novel
Tuan Lori
Adinda Amalia
Cerpen
Delution Memories
Adinda Amalia