Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Ruang Tersembunyi dalam Hati
1
Suka
15
Dibaca

PINTU di dinding belakang hatimu kini nyaris tak terlihat, terselimuti dedaunan lebat yang merambat liar di sepanjang dinding. Sulur-sulur tanaman rambat itu begitu lekat, bersimpul kuat, seperti jari-jari halus yang melilit satu sama lain. Akar-akar kecil di setiap ruas batangnya mencengkeram kuat pada dinding. Ketika aku mencoba menyentuh tanaman rambat itu, sulur-sulurnya melilit semakin erat, dan duri-duri runcing menyembul begitu saja di setiap ruas cabang, seolah menolak kehadiranku dengan tajam.

Tapi aku tetap bertahan, mungkin saja pintu yang kau tutup rapat itu akan terbuka jika aku menunggu. Bukan karena tak tahu cara berhenti, tapi karena aku percaya padamu dan apa yang kita miliki itu nyata.

Karena itu, aku memanggilmu di dinding belakang hatimu, untuk ketiga kalinya hari ini.

“Hai, apa kabar?” bisikku dalam gelap, namun yang menjawab hanya gema dan senyap.

Aku tak lupa ketika pertama kali kau membawaku ke dinding belakang hatimu. Saat itu, tanaman rambat yang menyelimuti dinding perlahan bergeser. Daun-daunnya bergemerisik lembut, seiring akar-akar kecil yang melangkah mundur. Sulur-sulurnya perlahan mengurai diri dari lilitan, melonggarkan simpul yang kuat, hingga sebuah celah terbuka semakin lebar. Lalu tampaklah sebuah daun pintu berwarna hijau tua yang mengayun perlahan, seolah menyambutku untuk melangkah masuk ke dalam.

Ruangan itu gelap gulita, tidak ada lampu maupun jendela. Saat aku melangkah masuk, sejumlah bintang berkilauan muncul begitu saja di langit-langit yang legam. Ajaib! Titik-titik cahaya kecil itu berpendar lembut, memantulkan semburat keemasan pada dinding-dinding ruangan yang seakan lenyap dalam kegelapan. Di bawah kaki, lantai terasa seperti hamparan rumput halus, sejuk, dan lembut, seakan aku melangkah di atas padang terbuka di bawah langit malam.

"Hatiku tersekat menjadi beberapa ruang. Ada ruang untuk keluarga, ruang untuk teman, untuk pekerjaan, hobi, dan satu lagi, yaitu ruang ini,” katamu sambil tersenyum, lalu menoleh menatapku. “Kunamakan ini ruang cinta. Ruang khusus untuk kita.” Jantungku seakan melompat dari dada.

Kau bilang, kau sengaja membangun ruangan ini diam-diam, hanya kita berdua yang tahu. Kau tidak membangunnya di dekat pintu depan hatimu yang mudah diakses, atau di dekat ruang keluargamu yang nyaman dan hangat. Ruangan ini kau letakkan jauh di bagian terdalam hatimu, tersembunyi di balik dinding tebal yang memisahkannya dari ruang-ruang lain. "Agar kedap suara. Agar kita bebas melakukan apa pun di sini," begitu katamu.

Saat itu aku merasakan betapa dalamnya perasaanmu padaku dan aku sadar—bahwa aku telah menjadi rahasia dalam hidupmu.

MALAM itu, ketika kita sedang berbaring menikmati kesunyian bersama pendar bintang, kau tersenyum tipis, seolah sedang memikirkan sesuatu yang manis. 

Kau berkata, “Kita dipertemukan dengan probabilitas yang minim.”

“Bayangkan saja,” lanjutmu pelan. “Jika saja saat itu kau tidak memilih kereta pada jam itu, pada gerbong ketiga, dan tidak memilih kursi bernomor 9A, garis hidup kita tidak akan terjalin.” Matamu menerawang jauh, seolah sedang menelusuri jejak-jejak waktu hingga kita sampai pada titik ini.

Benar, jika memikirkan probabilitas, peluang kita bertemu sangat kecil. Jika saja aku memilih kereta lain atau bahkan sekadar memilih kursi berbeda di baris yang sama, mungkin kita tak akan pernah bertemu. Tapi di antara banyaknya kursi dan wajah asing di kereta itu, aku duduk di sebelahmu.

Kau duduk dengan earphone di telinga, sementara aku tenggelam dalam buku yang kubaca. Pada awalnya kita hanya dua orang asing yang terjebak dalam rutinitas perjalanan yang panjang. Hingga tiba-tiba kau memecah keheningan. Sebuah sapaan kecil yang membuka pintu percakapan pertama kita.

“Novel itu… latarnya di desaku,” katamu, setelah kupergoki kau melirik sampul bukuku.

Aku agak terkejut, namun penasaran. “Serius?”

Kau mengangguk perlahan. “Iya, penulisnya adalah saudaraku.”

Aku tertegun sejenak, merasa sedikit tak percaya. "Penulis ini?" tanyaku sambil menunjuk nama yang tertera di sampul buku, memastikan sekali lagi bahwa kau tidak salah lihat.

Kau tersenyum kecil, tampak menikmati reaksiku. “Tokoh utama dalam novel itu terinspirasi dari seseorang yang nyata di desaku.”

Aku menatapmu, masih mencoba mencerna informasi yang kau berikan. “Benarkah?”

Kau tertawa kecil, “Aku ingat pertama kali membaca naskahnya, aku langsung tahu siapa yang dia maksud.”

Lalu, mengalirlah percakapan kita yang terasa begitu alami, seolah kita sudah saling mengenal lama. Semua kebetulan itu, keputusan-keputusan kecil yang kita ambil tanpa berpikir panjang, membawaku padamu.

“Jadi,” aku menelan ludah, “kita adalah sebuah kebetulan?”

“Tidak ada yang kebetulan di dunia ini,” kau menegaskan. “Semesta memang sudah mengatur agar kita bertemu.” Aku tak heran kau meyakini pertemuan pertama kita sebagai takdir, karena aku pun mengamininya. Aku berharap takdir ini tidak segera berakhir. 

“Begitu juga dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya?” tanyaku.

“Pertemuan-pertemuan selanjutnya adalah keinginanku. Kau dan semesta yang membuatnya terwujud.” Meskipun kau bukan seorang penulis, bukan juga penyair, tapi ada sesuatu dalam caramu berbicara yang membuatku terhanyut.

Aku menatap wajahmu dan menyentuh pipimu dengan lembut. “Aku juga merasa,” kataku pelan, “pertemuan-pertemuan selanjutnya juga keinginanku.”

Kau mendekat, menyentuh bibirku dengan ciuman yang lembut. Sementara itu, satu per satu bintang berkilauan muncul di langit-langit ruangan. Mungkin ada belasan bintang baru yang muncul begitu saja. Mereka berkilauan paling terang di antara yang lain.

Selama ini, bintang-bintang itu tak pernah redup cahayanya dan tak pernah berkurang jumlahnya. Bahkan mereka terus bertambah. Setiap kali aku singgah, bintang-bintang baru akan muncul dengan sendirinya. 

"Seakan semesta merayakan pertemuan kita," katamu tentang bintang-bintang itu.

Lihat, betapa pandainya dirimu memaknai simbol-simbol. Untungnya, kau bukanlah tipe lelaki puitis yang suka menyusun kalimat indah penuh metafora yang membuat wanita terpikat. Jika kau lelaki puitis, mungkin kita justru akan terjebak dalam permainan kata-kata, bukan perasaan.

Aku teringat pada tulisan saudaramu yang seorang penulis fiksi terkenal itu. Katanya, “Gadis-gadis penulis fiksi itu kepalanya dipenuhi oleh teori-teori imajinatif tentang cinta. Berlagak paling tahu soal cinta dan dipenuhi ekspektasi bagaimana seharusnya lelaki mencintai perempuan. Membuat lelaki merasa paling bersalah di dunia, jika ia tidak memenuhi ekspektasi itu.” Saat itu, aku bertanya padamu, apakah aku termasuk dalam golongan gadis penulis fiksi yang seperti itu.

Tubuhmu bergetar dan tawamu keluar dengan nada puas sekali, seolah seluruh dunia baru saja dijelaskan dalam satu momen. “Iya, dia memang benar sekali!”

Tawamu tak berhenti bahkan saat aku mengelak bahwa aku bukan gadis penulis fiksi yang seperti itu. Aku selalu berusaha bersikap serealistis mungkin dan tidak pernah memakai kode-kode untuk berbicara denganmu. Aku bahkan tidak pernah menuntutmu untuk bersikap romantis layaknya pangeran berkuda dengan seikat bunga atau layaknya pemain musik dengan lagu rayuannya.

“Iya, tapi ketika kau mulai bersungut, aku bingung setengah mati untuk menghadapimu,” kau berkata lembut, tapi dengan tawa yang masih tersisa dalam matamu.

“Jika aku bersungut, kau bisa memelukku. Mudah bukan? Semua amarahku akan sirna dengan pelukanmu.”

Kau tidak menjawab. Sebaliknya, kau meraih tubuhku dan bergegas menciumku. “Seperti ini?” bisikmu pelan.

Dan lagi, kali ini beberapa bintang baru muncul sekaligus di langit-langit, pendarnya paling terang di antara ratusan titik cahaya lainnya.

Aku masih saja terperangkap dalam bayangan percakapan-percakapan kita. Percakapan di antara ciuman-ciuman yang begitu lembut, namun melantakkanku. Ciuman yang hanya tinggal dalam kenangan. Katanya, rindu itu bukan tentang seseorang, namun tentang momennya, tentang kenangannya. Itulah yang membuatku masih betah kembali memanggilmu di dinding belakang hatimu. Setidaknya sampai saat ini.

Kadang aku membayangkan betapa menyenangkannya jika tiba-tiba kau membuka pintu di dinding belakang hatimu, lalu memelukku dengan mesra seperti dulu. Bayangan itu membuatku betah menunggu, meski aku tahu melunakkan hati seseorang itu tidak mudah. Aku ingin sekali membuka sulur-sulur tanaman rambat yang melilit pintu itu. Namun cengkramannya begitu kuat, seolah menandakan bahwa ruang itu tak lagi untukku. Duri-duri yang dulu tersembunyi kini terlihat tajam, menyakitkan, seakan memperingatkanku untuk tidak mencoba lebih jauh.

Aku bisa saja pergi kali ini, dan mungkin sudah saatnya aku melakukannya. Tapi selalu ada sesuatu yang menarikku kembali dan berharap mungkin kali ini kau akan membuka pintu hatimu. Mungkin kau ingin tahu kabarku? Mungkin kau akan bertanya tentang hariku?

Aku yakin di balik tanaman merambat itu, di balik pintu itu, kau masih menikmati pendar-pendar bintang di ruangan itu. Mungkin saja, kau juga berharap untuk menikmatinya bersamaku, namun terhalang sesuatu yang lain. Mungkin saja, waktunya belum tepat. Aku datang ketika kau sibuk, sebaliknya kau menungguku ketika aku sibuk.

“Bukankah tidak ada orang yang benar-benar sibuk? Ini hanya soal prioritas.” 

Kau benar, tak ada yang benar-benar sibuk, kita hanya memilih apa yang ingin kita dahulukan. Seperti dulu, saat aku masih menjadi prioritasmu. Kau selalu meluangkan waktu untuk bertemu denganku di ruangan itu, untuk sekedar menanyakan hariku atau bercerita tentang harimu.

BAGAIMANA harimu?” untuk kali kedua puluh lima kau bertanya, ketika cerita hari-hariku yang biasa tak pernah membuatmu bosan. Padahal, hari-hariku tak lebih dari rutinitas wanita berumur dua puluh delapan pada umumnya. Pulang bekerja, membereskan pekerjaan rumah, lalu mengetuk pintu hatimu.

“Biasa saja,” jawabku dengan senyum tipis. Sebenarnya, justru pertemuan denganmu lah yang selalu membuatku bersemangat, seperti gejolak masa muda yang terbangkitkan kembali setiap kali kita bersama.

“Aku merindukanmu,” kau berbisik pelan.

“Aku juga,” jawabku tanpa ragu. 

Aku merapatkan tubuh lalu meraih kepalamu agar bersandar pada bahuku. Jari-jariku perlahan mengusap rambutmu. Seketika itu juga, beberapa bintang baru muncul bersamaan di langit-langit.

“Kau tampak lelah, ada apa hari ini?”

Ada jeda sejenak sebelum akhirnya kau menjawab, “Aku membentak Si Sulung sore tadi.”

Kau tampak rapuh saat itu, aku merasakan penyesalan yang dalam dari dirimu. Kupikir bentakan seorang ayah pada putranya adalah hal yang wajar, terutama jika putranya melakukan kesalahan. Namun, kali ini kau tampak sangat menyesali perbuatanmu.

“Sudah minta maaf?” tanyaku pelan, sambil mengusap punggung tanganmu dengan lembut.

Kau menggeleng pelan. “Nanti. Aku sekarang ini hanya ingin bermalas-malasan dan ingin kau elus.” 

Matamu terpejam, kubiarkan kau menikmati elusanku. Sebuah bintang baru berpendar di ujung langit-langit. Sebuah lagi muncul di sisi langit yang lain. Perlahan satu per satu bintang baru muncul seiring dengan usapanku pada tubuhmu.

"Aku tahu, kau butuh waktu. Dan itu tidak apa-apa. Aku tahu kau selalu berusaha menjadi ayah yang baik," kataku pelan, dengan senyum kecil di wajahku.

Kau mengangguk sedikit, namun tetap terdiam. Aku melanjutkan elusanku dengan lembut, aku berharap kau bisa merasa sedikit lebih tenang.

Kau tahu, ada pepatah Jepang yang bilang, setiap orang punya tiga wajah. Wajah yang mereka tunjukkan pada dunia, wajah yang mereka tunjukkan pada orang-orang terdekat, dan wajah yang mereka simpan hanya untuk diri mereka sendiri. Aku sering bertanya-tanya, wajah mana yang kau tunjukkan padaku?

Di luar sana, kau adalah lelaki yang penuh tanggung jawab. Seorang ayah, suami, dan kepala keluarga. Tapi di sini, di ruangan ini, aku yakin inilah satu-satunya tempat di mana aku melihat wajah ketigamu. Wajah yang hanya kau tunjukkan ketika tidak ada yang mengawasi, ketika kau tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain. 

Di sini, kau tidak perlu tersenyum demi dunia atau keluargamu. Kau bisa menjadi dirimu sendiri—rapuh, takut, bahkan marah. Semua perasaan itu muncul dalam ruangan ini. Dan aku tahu, meski kau tak pernah mengatakannya, di sinilah kau merasa benar-benar bebas.

“Minggu depan aku berangkat ke Jakarta. Naik kereta.”

“Sendiri?”

“Iya, sendiri. Mau ikut?” tanyaku, menawarkan sebuah pelarian kecil.

“Mau,” jawabmu. “Mungkin kita bisa mengingat kembali jejak-jejak pertemuan pertama kita di kereta waktu itu. Mungkin juga, kita bisa menikmati perjalanan dengan berpelukan, menyembunyikan diri di balik dinginnya udara.” Kau tersenyum kecil.

“Tapi?”

Kau menghela napas, menatapku dengan mata yang penuh penyesalan. “Kau tahu aku tidak bisa pergi bebas semauku, Sayang.”

Aku tersenyum tipis, mencoba mengusir rasa pahit yang tiba-tiba muncul di dada. Seperti biasa kita merencanakan sesuatu seolah-olah bisa menjadi kenyataan, meski kita berdua tahu itu hanya akan berakhir dalam khayalan.

“Ya, aku tahu,” jawabku akhirnya.

Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya jika kita benar-benar pergi bersama. Kau di sampingku, duduk diam sementara kereta melaju, sesekali menoleh untuk memastikan bahwa aku masih di sana, bersamamu. Mungkin kita akan berbincang tentang banyak hal, atau mungkin hanya menikmati kebisuan yang anehnya terasa nyaman. 

Tapi, itu semua hanya khayalan. Sesuatu yang tak pernah kita wujudkan, dan mungkin tak akan pernah kita lakukan.

HAI, apa kabar?” ini kali keempat hari ini aku memanggilmu di dinding belakang hatimu. Dan aku mulai tak sabar. 

Di sini, waktu seakan berhenti setiap kali aku menunggumu, sementara di luar sana, dunia terus bergerak. Mungkin waktu memang berbeda untuk kita. Bagi aku, penantian ini terasa seperti selamanya padahal mungkin ini hanya jeda singkat di antara kesibukanmu.

Setiap kali aku kembali, aku tahu aku melanggar batas-batas yang kubuat untuk diriku sendiri. Tapi kenapa aku masih terus kembali? Apakah kenangan dan khayalan bersamamu cukup berharga untuk mengalahkan harga diriku?

Aku ingin membebaskan diri, tapi entah kenapa aku merasa begitu terikat padamu. Padahal sejak awal, aku tahu tidak ada komitmen yang nyata di antara kita. Atau mungkinkah ini hanya hasil dari kebiasaan dan ketakutan akan kesepian yang sudah ada sebelum mengenalmu? 

“Kesepian? Bukankah kita lahir bersama kesepian, dan mati juga bersama kesepian?” katamu, seolah memperingatkanku untuk tidak menggunakan kesepian sebagai alasan.

Aku tahu aku lebih dari itu. Mungkin seperti yang pernah dikatakan Freud, aku sedang dalam fase denial, menyangkal sesuatu yang jelas di depan mata karena terlalu menyakitkan untuk dihadapi. Padahal aku tahu kebenarannya, aku tahu bintang-bintang itu tak lagi tumbuh seperti dulu.

Malam itu, ketika kau bersandar padaku, kepalamu di pangkuanku, aku berbisik pelan, "Aku ingin terus memandangmu seperti ini." 

Aku tahu sebuah bintang masih muncul walaupun malu-malu di ujung langit sana.

Kusentuh pipimu dengan lembut, "Kau tahu? Ketika melihat wajahmu, aku selalu ingin memelukmu."

“Iya, aku tahu.”

"Bahkan ketika hanya kita berdua di sini, sedekat ini, aku masih merindukanmu," lanjutmu. "Dan justru saat ini perasaan rindunya semakin besar.” 

Aku menarik napas panjang, "Lalu, bagaimana caranya agar rindu itu reda?"

"Entah. Yang kutahu, selama tidak bisa memiliki sepenuhnya, perasaan rindu itu akan selalu ada," bisikmu. Matamu terpejam. Aku tidak bisa memandang bulat hitam matamu yang selalu membuatku ingin menyelam itu.

Lama, kau terdiam dalam pangkuanku. Lalu kau bangkit, menarik napas perlahan, seolah mencari jeda di antara pikiran-pikiran yang berjejal di kepalamu. Matamu memandang langit-langit, menyusuri bintang-bintang yang berpendar. Sinar bintang-bintang itu memantulkan kilauan lembut di wajahmu, namun ekspresimu tetap tak terbaca. 

Hingga akhirnya, kau menatapku.

Dengan nada halus, kau bertanya, “Jika kau sedang bermain dengan temanmu, lalu ia memutuskan untuk pulang. Apakah kau juga akan pulang?”

Kata-katamu menggantung di udara, memicu kegelisahan di hatiku. Apa maksudmu? Apakah kau ingin mengakhiri semua ini? Atau ini hanyalah percakapan biasa yang tak perlu kubaca terlalu dalam?

“Kau ingin aku pulang?” tanyaku, suaraku nyaris berbisik. Takut mendengar jawabannya.

Kau tersenyum tipis, tapi tidak menjawab. Cahaya bintang-bintang di atas kita mulai meredup, seolah ikut menunggu jawabanmu.

“Kau belum menjawab pertanyaanku,” desakmu.

“Baiklah,” kataku berusaha menenangkan diri. “Untuk saat ini, aku masih ingin terus bermain denganmu. Kau jangan pulang.”

Kau menghela napas, terdiam sejenak. Tanpa menatapku, kau berbisik, "Jangan jatuh cinta padaku terlalu dalam."

Kata-katamu menghantamku begitu saja. Membangkitkan getaran di dadaku. Keheningan yang semula hangat, mendadak pecah menjadi kekosongan yang dingin dan menusuk.

“Tapi kau yang memulai,” balasku, suaraku bergetar. 

"Maaf…" hanya itu yang keluar dari bibirmu, datar dan hampa.

Kau menatapku. Lama. 

Lalu, dengan gerakan yang tak terduga, kau meraihku ke dalam pelukmu. Sebuah bintang berkedip redup di langit-langit—hanya satu bintang baru. Biasanya, saat kau memelukku, beberapa bintang muncul sekaligus dan berkilau paling terang di antara yang lain. Kali ini hanya satu! Dan redup!

“Lucu sekali,” aku berbisik dengan getir. “Tapi kau yang memulai ini semua, bukan aku. Jangan minta aku untuk menanggung semuanya sendirian.”

“Aku tidak akan pergi,” bisikmu datar.

“Tapi?”

“Tidak ada tapi, aku akan tetap di sini setiap kali kau datang. Seperti biasanya.”

“Bagaimana dengan perasaanmu?” desakku. “Apa kau masih punya perasaan yang sama denganku?”

“Perasaan bukanlah hal yang penting.”

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katamu. Perasaan bukanlah hal yang penting? Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin kita sampai di titik ini, jika bukan karena perasaan? 

“Aku tidak mengerti,” gumamku, menuntut penjelasan darimu.

"Aku cukup bahagia bisa mendengar ceritamu, kabarmu, dan hari-harimu." 

Aku menatapmu dalam-dalam, mencoba mencari jawaban di balik matamu yang kini tampak tenang, bahkan datar. "Hanya itu?" 

"Aku tidak pernah meminta apapun darimu." Kata-katamu seakan menegaskan bahwa aku pun tidak boleh berharap lebih.

"Jadi, semua ini hanya permainan?"

“...”

Kau tak menjawab, dan keheningan yang meresap terasa semakin pekat. Percakapan itu terhenti begitu saja. Pada saat itu, tak ada lagi bintang baru yang muncul di langit-langit. Bahkan, beberapa bintang yang tadinya bersinar terang kini meredup, ikut merayakan duka yang tak terucap.

INI kali kelima hari ini aku berdiri di depan pintu yang terselimuti dedaunan merambat di dinding belakang hatimu. Aku menunggu dalam keheningan yang semakin terasa berat. Sulur-sulur tanaman yang menyelimuti pintu di dinding hatimu semakin tebal, menutupi hampir seluruh permukaan pintu yang dulu pernah terbuka untukku. Duri-durinya semakin tajam, seolah memberitahuku bahwa tak ada lagi tempat untukku di sana. 

Hatiku terasa berat, penuh dengan harapan yang mulai memudar. Aku menarik napas panjang, mendesah pelan. Aku tahu, kali ini pun tak akan ada perubahan.

Maka, sudah saatnya aku mengakhiri permainan yang kau mulai ini. Barangkali, selama ini kita hanyalah sebuah persinggahan, sebuah bintang yang muncul sesaat dalam kegelapan, atau sebuah perjalanan kereta yang harus berakhir di stasiun tujuan. 

Kali ini, di dinding belakang hatimu, aku tak lagi menunggu pintu itu terbuka dan tak lagi memanggilmu. Bukan karena aku tak mencintaimu, tapi karena aku mulai mencintai diriku sendiri.

Perlahan, aku berbalik badan, melangkahkan kaki menjauh dari pintu itu.

Namun, tepat saat aku hendak meninggalkan tempat itu, aku mendengar suara yang samar—suara dedaunan rambat yang bergemerisik lembut, bergerak hidup. Juga terdengar suara derit engsel pintu yang perlahan mengayun. Langkahku terhenti. Sejenak, aku merasa ragu. Apakah aku hanya berimajinasi? Atau apakah pintu itu benar-benar terbuka?

Aku menoleh, dan di sana, kulihat pintu yang selama ini tertutup rapat mulai mengayun terbuka. Sulur-sulur tanaman yang melilitnya bergerak, memberi ruang bagi pintu itu untuk terbuka lebih lebar. Di balik pintu, aku melihat kilauan cahaya lemah dari ruangan yang dulu penuh dengan bintang-bintang. Namun, kali ini bintang-bintang yang kau ciptakan dari perasaanmu itu tidak lagi secerah yang kuingat. Sebagian besar telah memudar, dan yang tersisa hanya pendar kecil yang nyaris tak terlihat.

Aku terdiam memandangi celah pintu yang terbuka itu. Tapi anehnya, hatiku tak lagi dipenuhi harapan. Mungkin sekarang, aku sudah terlalu lelah untuk menunggu. Aku sudah tak ingin masuk ke dalam ruangan dengan pendar bintang itu.

Sudah cukup.

Aku menghela napas panjang dan berbalik lagi, kali ini dengan langkah yang mantap. Aku memilih untuk pergi. Untuk pertama kalinya, aku tak lagi merasa terikat pada ruangan itu. Pintu yang dulu begitu kutunggu terbuka, kini tak lagi berarti apa-apa. 

Aku kembali ke rumah hatiku, tempat suami dan anakku menunggu, di mana cinta tidak membutuhkan ruang tersembunyi. Di rumah hatiku, tak ada sulur-sulur berduri yang melilit, tak ada pintu yang harus kubuka dengan harapan semu. Di sana, segalanya terlihat jelas, cinta yang kubangun setiap hari bersama mereka tumbuh tanpa perlu disembunyikan.

Dedaunan merambat perlahan menyelimuti pintu masuk rahasia menuju ruang cinta tersembunyi di dalam hatimu, sementara aku meninggalkannya untuk selamanya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Gold
Mantan
Bentang Pustaka
Cerpen
Bronze
Antara Musuh dan Cinta
Alexsa Putri Kurniawati
Cerpen
Ruang Tersembunyi dalam Hati
Cheri Nanas
Novel
Tahta Untuk Raja
Serenade
Novel
Bronze
My Suspicious Neighbour
Serenade18
Skrip Film
Aku seorang pelajar SMA dan kamu seorang mahasiswi
Nurfadillah
Novel
Bronze
Forget Me Not
Muala
Novel
Bronze
Azka & Adeeva
Oktaviana
Novel
Bronze
Stone Tower
Ananda Putri Safitri
Novel
Bronze
Hello, mr. Arthur
mayasyafii
Flash
Rahasia Cahaya Pertemuan Jiwa
Shinta Larasati Hardjono
Novel
Jeffrey dan Sacha
Four
Novel
Dialog Pertama
kaarha
Novel
Friendzone
Adella adha
Novel
Bronze
Terpikat Pesona Berondong Targetku
Brille23
Rekomendasi
Cerpen
Ruang Tersembunyi dalam Hati
Cheri Nanas
Flash
Runway Lights
Cheri Nanas
Flash
Hujan Pertama
Cheri Nanas
Flash
Arti Hujan
Cheri Nanas
Flash
Percakapan di Atas Gedung
Cheri Nanas
Flash
Tangent
Cheri Nanas
Flash
Jantungku Berdebar
Cheri Nanas
Flash
Awan
Cheri Nanas
Flash
Anonim di Argo Parahyangan
Cheri Nanas
Flash
Rahasia Kucing
Cheri Nanas
Cerpen
Sup Ikan Gurame
Cheri Nanas
Flash
Potret
Cheri Nanas
Flash
Ketika Gerimis Bermula
Cheri Nanas
Flash
Ruang Tersembunyi dalam Hati
Cheri Nanas