Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Ruang Temu
1
Suka
12
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

[Kamu di mana?]

[Aku sudah sampai di CPB]

Aku mengerang sambil mengacak-acak rambut untuk menyalurkan kekesalanku pada seseorang yang mengirim pesan singkat di 'weekend' sore ini. Langkahku gontai menuju kamar mandi untuk bebersih diri seperlunya, lalu dengan ogah-ogahan mengeluarkan motor dari garasi rumah. Kuperhatikan lagi diriku lewat kaca spion, nyengir sebentar, memastikan tidak ada sisa makan siang yang masih menempel di sela-sela gigi lalu tancap gas, ke taman kota tempat gadis itu menunggu.

Sengaja kupelankan laju motorku agar bisa berlama-lama di jalan. Jujur, aku enggan menemuinya. Entah apa yang dia rencanakan dengan pertemuan ini, aku tidak tahu atau lebih tepatnya aku tidak peduli. Dia seseorang yang sesukanya sendiri dan tipe orang yang selalu mengumbar berbagai hal tentang hidupnya di media sosial. Dalam sehari, setidaknya ia akan membuat tiga status di seluruh akun media sosial yang ia punya.

Dilihat dari sana saja aku tahu kalau dia sangat cerewet walaupun aku belum pernah bertatap muka dengannya setelah kelulusan SMP. Aku saja sudah lupa masa-masa SMP-ku. Tidak terpikirkan juga untuk reunian karena masa itu sudah terlampau lama. Meski kami sudah saling mengenal sejak di bangku SMP, tapi perbincangan kami di pesan bisa dihitung jari. Lebih tepatnya dia yang selalu membalas setiap aku membuat status dan aku selalu berusaha untuk mematikan topik pembicaraan dengannya.

Aku melirik arlojiku sejenak. Sudah pukul 16.45. Mungkin dia sudah lelah menungguku dan akhirnya pulang karena aku tak kunjung datang. Tapi aku tidak tenang jika tidak memastikannya sendiri. Bisa saja dia nekat menungguku hingga larut malam seperti di kebanyakan film drama romansa. Aku tidak sejahat itu, toh aku juga sudah mandi dan mengeluarkan bensin untuk ke CPB.

Jika tidak ada dia, aku malah bisa menelepon teman-temanku untuk nongkrong di sana. Namun tampaknya ide itu harus aku buang jauh-jauh karena saat ini aku melihat wanita bercardigan wol yang sangat kukenali. Cardigan itu persis seperti cardigan yang ia pakai di salah satu feed Instagram-nya.

Dia berdiri melambaikan tangannya dengan ceria. Kubalas anggukan singkat dan senyum simpul. Seketika aku ingin segera pulang untuk mengganti kaos oblong dan jeans belelku dengan kemeja serta celana yang lebih baik.

"Aku kira kamu nggak bakal datang, soalnya nggak balas 'chat' aku yang terakhir."

Suaranya lembut mengalun di telingaku. Yah, niatku pun begitu tapi entah kenapa kakiku membawaku ke sini.

Ia mengeluarkan sesuatu dari totebag-nya. Sebuah tikar yang dia gelar di hadapan kami. Setelah kami duduk nyaman di atas tikar itu, ia mengeluarkan lagi dua buah kanvas berukuran sejengkal tanganku, beberapa kuas, dan cat air. Hanya ada empat warna yang ia bawa: biru, merah muda, putih serta hitam. Aku hanya diam sementara ia sibuk untuk menata peralatannya.

"Kamu cuma boleh pilih satu warna dari dua cat ini."

Dia menyodorkan cat biru dan merah muda itu kepadaku. Tanpa pikir panjang, aku mengambil cat merah muda dari tangan kirinya yang kecil. Ia tertawa renyah.

"Aku nggak nyangka kamu suka warna pink," ledeknya menyebalkan.

Bukan aku yang menyukai warna pink, tapi dia yang menyukai warna biru. Gadis itu sempat membuat status tentang warna kesukaannya di media sosial. Kurasa semua orang yang mengikuti media sosialnya tahu kalau dia sangat menyukai warna itu.

“Kita akan bermain games, kamu hanya bisa melukis dengan tiga warna ini: putih, hitam, dan pink, sedangkan aku akan melukis dengan warna putih, hitam, dan biru.”

Aku diam saja, mengamati gadis itu yang kini sibuk membagi peralatan lukisnya kepadaku.

Demi Tuhan.

Ketidaktahuanku akan tujuan gadis ini membuatku semakin curiga. Kurasa kami tidak begitu dekat hingga dapat bermain-main atau sebatas tertawa riang di taman kota. Kami hampir tidak saling mengenal dan dia bersikeras mendekatiku dengan perasaan sepihaknya. Namun aku terlalu lelah untuk menolak, jadi kubiarkan saja gadis itu melakukan apa yang dia mau agar pertemuan ini cepat berakhir.

Lama kami saling terdiam dan fokus pada kanvas masing-masing. Sesekali aku melirik tangannya yang memegang kuas, sibuk mengaduk warna biru dan putih. Tangan itu lebih kurus dari perkiraanku.

“Kamu suka melukis, kan? Aku pernah melihat 'story'-mu tentang itu.”

Dia berkata riang memecah keheningan.

Tidak. Jika definisi ‘suka’ baginya seperti dia menyukai tulisan, kurasa aku tidak menyukai lukisan sedalam itu. Aku hanya memilih hal itu sebagai salah satu hobi.

“Hm … nggak juga,” jawabku setelah terdiam beberapa saat.

Gadis di sampingku mengangguk kecil.

“Begitu ya,” gumamnya.

Lalu kami terdiam lagi.

Kesunyian itu membuatku tidak nyaman, tetapi berbeda dengan gadis itu yang kini bersenandung pelan. Dia tetap fokus pada lukisannya, seakan-akan tidak sadar jika aku tengah diliputi kecanggungan, atau … mungkin dia memang tidak sepeduli itu denganku.

“Sembilan tahun ….” Ia bergumam.

“Sembilan tahun aku menyukaimu, tapi sampai saat ini aku nggak tahu apa-apa tentang kamu.”

Gadis itu menoleh menatapku dengan senyum manis hingga lesung pipi kanannya terlihat.

“Sepanjang masa itu, aku hanya bisa menerka-nerka apa yang kamu suka, bagaimana sifat kamu, apa yang kamu impikan, bagaimana ….”

Ia terdiam sebentar lalu melanjutkan, “tipe ideal kamu.”

Aku mengalihkan pandanganku pada lukisanku ketika tatapan matanya berubah sendu. Ia tidak perlu tahu sebanyak itu tentangku karena itu tidak ada gunanya. Toh, aku bukan siapa-siapa.

“Kamu tahu nggak, sih? Semua tokoh utama di ceritaku adalah kamu. Itu semua adalah perwujudan kamu dalam imajinasiku.”

Aku tahu.

Siapa yang tidak menyadarinya jika dia selalu menyelipkan tanggal kelahiranku dan inisial namaku di dalam karya-karyanya? Namun semua tokoh yang dia buat terlalu berlebihan sebagai gambaran diriku yang hanya manusia biasa.

Aku tidak sekeren Irham yang memenangkan pertandingan basket nasional apalagi pada tingkat SMA. Aku bukan Ilyas, Kesatria Armaghan yang tak terkalahkan di dunia fantasinya. Aku juga bukan Ivan, laki-laki penuh ketegaran ketika kehilangan orang tersayang. Aku hanya manusia biasa, pemilik kafe di pinggir pelabuhan kota yang sepi.

“Ketika aku masih suka sama kamu, menjadikanmu sebagai tokoh utama dalam setiap tulisanku adalah hal paling membahagiakan. Kita nggak pernah saling kenal dekat, tapi perasaan itu begitu dalam hingga tanpa sadar baik aku atau karya-kayaku terikat pada bayang-bayangmu. Sekarang aku nggak yakin apakah aku benar-benar menyukaimu atau hanya menyukai ilusi tentangmu yang kuciptakan sendiri, atau aku hanya menyukai diriku yang penuh warna ketika membayangkan aku sedang jatuh cinta.”

Gadis itu berhenti sejenak. Ia menatapku lekat dengan senyuman simpulnya yang sulit kuartikan. Semakin gadis itu mengungkapkan perasaannya, semakin ia terlihat bersinar. Dan seperti yang diketahui orang-orang, di mana ada cahaya, di situ ada bayangan. Aku menjelma sebagai bayangannya yang terus berubah lebih legam seiring dengan cahayanya yang semakin terang.

Aku menelan ludah getir. Semakin ingin mengubur dalam-dalam diriku. Entah ini efek samping dari berada di dekatnya atau tidak, suara hatiku kini berubah jadi lebih melankolis.

Mengapa gadis di hadapanku ini sangat terobsesi padaku? Padahal aku bukan siapa-siapa. Aku bahkan bukan sarjana seperti dirinya, atau seniman yang dikenal banyak orang seperti dirinya. Aku hanya orang biasa yang bertahan hidup dengan upah minimum di kota ini. Tidak ada yang istimewa.

“Tapi terima kasih, Ham. Karena kamu … aku menemukan diriku yang paling bersinar. Aku berhasil meraih impian yang begitu aku dambakan.”

Ketulusan terpancar dari setiap kata-kata yang ia lontarkan. Aku semakin ciut. Kupercepat kegiatanku untuk menyelesaikan lukisan yang tengah kubuat.

“Nggak perlu berterima kasih, aku kan nggak melakukan apa pun,” kataku.

Bukankah dia yang berusaha melakukan semuanya? Aku tidak berbuat apa-apa atas kesuksesannya. Jadi kata terima kasih itu seharusnya tidak ditujukan kepadaku.

“Tetap saja aku harus berterima kasih karena kamu telah menjadi inspirasiku sejak lama … sejak aku masih dikenal sebagai Anggun yang suka menulis, bukan Lail si penulis. Karena itu, terima kasih telah ada di hidupku … dan membuatku menyukaimu.”

Angin berembus di sekitar kami, menerpa rambut panjang gadis itu. Sejenak aku terpaku pada rona di wajahnya, senyum manisnya, dan tawa riangnya. Ia menunjukkan hasil lukisannya kepadaku. Pesawat kecil yang melintas di tengah-tengah angit biru dengan sapuan halus awan putih. Lukisan itu terkesan luas ... dan kosong secara bersamaan.

Aku balas memperlihatkan hasil lukisanku. Pohon sakura yang lebat, di bawahnya ada siluet seorang gadis bercardigan putih yang sedang bersandar.

Gadis itu memperhatikan lukisanku lebih lekat.

"Bagusnya ... aku ingin memilikinya," ujarnya dengan mata berbinar.

"Kau boleh memilikinya."

Ia sumringah. "Beneran?"

Aku mengangguk.

"Kalau begitu kamu boleh menyimpan lukisanku juga," ujarnya antusias.

“Eh, ini harus diabadikan gak, sih?”

Ia berseru semangat, cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari totebag-nya. Tanpa aba-aba, ia menarik lenganku yang sedang menggenggam lukisan itu, membuat jarak di antara kami terhapus. Dari rambut panjangnya, tercium aroma 'woody' yang samar, menenangkan.

Kuperhatikan lagi dirinya yang sibuk memotret dua lukisan yang baru kami selesaikan dari berbagai 'angle'. Memperhatikan tingkahnya membuatku tersenyum. Pertemuan ini … sejujurnya tidak buruk juga.

“Sudah sejak lama aku ingin menciptakan kenangan yang nyata tentang kamu. Tentang kita. Yah, walau baru kesampaian sekarang, sih.” Kamu terkekeh, pandanganmu masih tertuju pada layar ponsel.

“Aku selalu senggang kalau 'weekend'.”

Entah setan apa yang merasukiku hingga menjawab seperti itu. Padahal sebelumnya aku ingin pertemuan ini cepat berakhir. Mendengar jawabanku, gadis itu menatapku. Kumohon, jangan salah paham.

Dia terdiam sebentar sebelum mengeluarkan sesuatu dari totebag-nya. Sebuah tiket penerbangan ke London.

“Ini ….” Mulutku tercekat. Aku tidak tahu harus berkata apa di situasi seperti ini.

“Aku memenangkan penghargaan Internasional Booker di Britania Raya, dan besok waktunya aku terbang ke sana.”

“O-oh, kalau begitu selamat … itu hal yang bagus.”

Aku tersenyum getir. Harusnya aku ikut bahagia atas pencapaiannya, atau setidaknya aku bisa mengucapkan kata selamat dengan tulus kepadanya, tapi apa yang keluar dari mulutku hanyalah kata-kata tak bermakna.

Gadis itu mengangguk. Senyumnya cerah.

“Makasih! Dengan kenangan ini, aku merasa aku bisa mengingatmu lebih lama. Aku tahu kalau pertemuan ini hanya karena keegoisanku, tapi aku harap kamu juga menganggap pertemuan ini sama berkesannya dengan peristiwa-peristiwa penting lain di hidupmu.”

Setelah itu, kata-katanya terngiang di kepalaku dalam waktu yang lama, merebut kesadaranku hingga batas waktu yang kami punya. Kini hanya salam selamat tinggal yang belum kuucap.

“Kau akan kembali, kan?”

Dari pertanyaan yang tanpa sadar kulontarkan itu, terselip harapan atas pertemuan selanjutnya. Di pertemuan selanjutnya, aku akan bertanya tentang gadis itu lebih jauh, mendengarkan cerita-ceritanya tanpa bosan, dan memotret senyum manisnya sebanyak yang ia mau.

Gadis itu menoleh padaku lantas menggeleng. Ia menunjukkan jari manisnya yang tersemat cincin berlian.

“Aku akan hidup di sana untuk waktu yang sangat lama,” jawabnya disertai tawa ringan.

Dia melambaikan tangannya, tanda selamat tinggal kepadaku, kemudian berlari menjauh hingga keberadaannya tak lagi terlihat.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Ruang Temu
Lail Arahma
Cerpen
Riwayat Penghuni Pohon Nangka
Haryati SR
Cerpen
Bronze
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Sang Penghianat
LSAYWONG
Cerpen
Bronze
Rezeki di Tepi Jalan Kisah Kakek Sarno
Putut Dwiffalupi Sukmadewa
Cerpen
Déjà Vu
Firman Fadilah
Cerpen
Langkah baru di ujung jalan
vilah sari
Cerpen
Bronze
Astrophile
lidia afrianti
Cerpen
MENUJU JALAN SETAPAK
Septia Arya Nugraha
Cerpen
Bronze
Sebatang kara
Novita Ledo
Cerpen
Bronze
LANDAK MINI SANG PENOLONG NAN PEMBERANI
Olaf A Gerrits
Cerpen
Bolehkah Aku Hidup Di Belakang Gigimu?
Sabrina Sabila Dwi Hikmah
Cerpen
Lost In Translation (Karena kamus saja tidak cukup)
Lada Ungu
Cerpen
Bronze
Bau yang Menyeruak dari Mayat Sahabatku
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Pendar
Shinta Larasati Hardjono
Rekomendasi
Cerpen
Ruang Temu
Lail Arahma
Flash
Sebuah Bayangan Mengusikku (surat 1)
Lail Arahma
Cerpen
Kisah Kancing Nenek
Lail Arahma
Flash
Dreamcore Room
Lail Arahma
Cerpen
Oiran and The Summer Crow
Lail Arahma
Flash
A Rose and A Bride
Lail Arahma
Cerpen
Armaghan Knight and The Fertility Goddess
Lail Arahma
Flash
Perspectives on Love
Lail Arahma
Cerpen
Cara Teraman Mencintaimu
Lail Arahma
Cerpen
The Supposer
Lail Arahma
Flash
Bahagia Bukan Hanya Soal Rasa (surat 2)
Lail Arahma
Flash
In His Memories
Lail Arahma