Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setiap pagi, aku selalu melangkah cepat menuju warung kecil di ujung gang. Aku nggak pernah beli banyak, hanya sepotong roti manis dalam bungkus kertas putih. Bukan buat diriku sendiri, tapi untuk ibuku tercinta.
Waktu itu umurku baru 8 tahun. Masih terlalu muda untuk benar-benar paham istilah seperti “kista ganas” atau “kanker”, tapi cukup mengerti bahwa kondisi ibu makin hari makin lemah. Ibu pernah dibawa ke rumah sakit, tapi karena kami hidup sederhana dan hanya mengandalkan BPJS, rasanya mustahil bisa mendapat perawatan segera. Perempuan tangguh yang dulu selalu menggendongku, kini cuma bisa terbaring lemah, mengerang pelan, dan menyambutku dengan senyum tipis saat aku datang bawa roti.
“Ibu harus makan biar cepat sembuh,” kataku penuh harap, meletakkan roti itu di piring kecil. Di benakku, aku menanti kabar baik dari rumah sakit: jadwal operasi yang belum kunjung keluar.
Ibu mencoba menggigit sedikit, walau sering kali cuma bisa mencium aroma rotinya.
“Manis ya, roti ini,” bisik ibu sambil tersenyum kecil.
Hari-hari berlalu, kabar dari rumah sakit belum juga datang. Kesehatan ibu malah makin menurun. Aku tetap pergi ke warung yang sama. Pemiliknya, nenek bernama Bu Sari, tahu betul bahwa roti yang kubeli itu bukan untukku. Sejak saat itu, ia mulai menyelipkan kertas kecil berisi pesan semangat di dalam bungkus rotinya.
“Semangat terus ya, Bu Hasbul!”
Suatu pagi, aku datang lebih cepat dari biasanya. Mataku bengkak, wajahku kusam. Aku berdiri diam di depan warung tanpa sepatah kata.
“Hasbul... roti manisnya, ya?” tanya Bu Sari dengan suara lembut.
Aku mengangguk pelan. “Satu aja, Bu... yang terakhir.”
Bu Sari tak banyak tanya. Ia membungkus roti itu dengan hati-hati dan menyerahkannya tanpa meminta bayaran. Aku memeluk bungkus roti itu erat-erat, seolah takut jika jatuh, hancur bersama perasaanku yang juga sudah retak.
Tapi kali ini, aku nggak langsung pulang. Aku berjalan ke taman kecil di dekat rumah sakit, duduk di bangku kayu yang mulai lapuk, dan membuka bungkus rotinya perlahan. Ku tatap roti itu, lalu berbisik,
“Bu, hari ini aku makan roti ini sendiri. Tapi aku bakal ngebayangin Ibu duduk di sampingku, tersenyum, dan bilang kalau rotinya enak.”
Gigit demi gigit, rotinya terasa pahit karena air mataku terus jatuh. Setiap kunyahan seperti membentuk ruang kosong yang makin lebar di dalam dada. Suara ibu cuma bergema di kepalaku, “Rotinya enak ya, Nak…”
Langit yang tadinya cerah mulai berubah kelabu. Aku tetap duduk di sana, memeluk lututku. Bungkus roti kosong tergeletak di sampingku. Aku nggak sanggup pulang karena di rumah, tak ada lagi ibu yang menungguku pulang sambil tersenyum.
Tak lama kemudian, Bu Sari datang. Entah bagaimana ia tahu aku ada di situ.
“Hasbul,” panggilnya pelan, penuh rasa iba. Aku hanya menggeleng dan menangis. Ia duduk di sampingku, mengusap kepalaku perlahan.
“Ibumu pasti bangga sama kamu,” ucapnya lirih.
Aku hanya bisa diam. Dalam hati, aku berharap ibu bisa bangun kembali, walau aku sadar itu mustahil.
Setelah beberapa lama, aku berdiri. Kuambil bungkus roti yang kosong dan kulipat rapi.
“Aku mau bawa ini pulang... buat kenang-kenangan,” bisikku.
Bu Sari mengangguk, menggenggam tanganku dengan hangat. Aku melangkah pulang pelan-pelan, melewati gang sempit yang biasa kulewati dengan harapan. Tapi hari itu, yang kubawa cuma kenangan.
Sesampainya di kamar, aku taruh bungkus roti itu di samping foto ibu. Aku menatap wajah ibu yang tersenyum dari balik bingkai.
“Bu... besok aku nggak beli roti lagi. Tapi aku janji, aku bakal terus ingat rasa roti ini... dan senyum ibu.”
Aku duduk di lantai, memeluk bingkai foto itu erat. Di luar, hujan turun, seolah langit ikut merasakan kesedihanku. Malam itu, aku tertidur di samping foto ibu, dalam sunyi.
Pagi berikutnya, untuk pertama kalinya sejak sekian lama, aku tidak ke warung Bu Sari. Tidak ada langkah kecil tergesa, tidak ada suara bungkus roti yang berkeresek. Yang ada hanya keheningan.
Aku melangkah ke dapur. Masih ada dua piring kosong di meja. Kursi ibu masih tergantung selimut tipisnya. Aku duduk, menyandarkan kepala di meja. Hujan masih turun di luar sana lambat, lirih, menyayat.
Hari-hari berjalan lambat. Sekolah jadi hal yang sulit. Tidak ada ibu yang membangunkan atau memberi pesan sebelum berangkat. Rumah terasa hampa.
Bu Sari tetap hadir sesekali. Membawakan makanan, atau sekadar duduk menemani. Ia tak banyak bicara, tapi kehadirannya membuat rumah ini tak sepenuhnya kosong.
Suatu sore, saat aku pulang dengan baju basah karena hujan, kulihat ada sebungkus roti di atas meja. Dibungkus kertas putih. Ada secarik kertas kecil:
“Untuk Hasbul. Roti ini tetap manis, meski dunia sedang pahit. – Bu Sari.”
Aromanya masih sama. Tapi kali ini, rasanya berbeda. Bukan lagi tentang harapan yang kugenggam tapi tentang kenangan yang tak mau hilang.
Beberapa minggu kemudian, Bu Sari mengajakku duduk di beranda rumahnya.
“Hasbul, kamu tahu kan, ibumu pasti pengen kamu kuat. Sekolah lagi. Hidup lagi. Kamu bukan cuma kenangan buat beliau kamu itu harapan yang masih hidup.”
Aku menunduk. Tapi dalam hati aku tahu, ibu nggak mau lihat aku terus larut.
Malam itu, aku tulis surat kecil buat ibu. Kusalipkan di belakang bingkai foto.
“Bu, aku ikut lomba puisi tadi. Aku bacain puisi tentang roti dan tentang ibu. Semua nangis, Bu. Tapi aku senyum. Karena aku yakin ibu nonton dari atas sana. Dan ibu pasti bangga…”
Sejak hari itu, aku mulai beli roti lagi. Tapi bukan untuk ibu. Kadang buat temanku yang nggak bawa bekal, kadang buat anak kecil di taman. Kadang buat siapa pun yang butuh sedikit kehangatan.
Tahun demi tahun berlalu. Sekarang aku punya warung roti sendiri, bersama Bu Sari. Namanya “Roti Ibu.” Di setiap bungkus rotinya, kami sisipkan pesan-pesan kecil, seperti dulu Bu Sari lakukan untukku.
“Untuk kamu yang sedang berjuang.”
“Untuk kamu yang merindukan pelukan.”
“Untuk kamu yang sedang kehilangan.”
Dan di sudut warung, ada bingkai foto ibu. Senyumnya tetap hangat seperti dulu.
Karena hidup memang nggak selalu manis, tapi sepiring roti bisa jadi pengingat bahwa cinta, harapan, dan kenangan tak pernah benar-benar hilang.
Dan setiap kali aku menggigit roti manis itu… aku masih bisa dengar suara ibu di kepala:
“Enak ya, rotinya manis.”
Tahun-tahun berganti. Usia semakin bertambah. Warung kecil itu bukan hanya tempat jual beli roti berubah menjadi ruang pengingat, tempat banyak orang singgah, bukan sekadar karena lapar, tapi karena rindu, karena butuh cerita.
Beberapa pelanggan mulai datang bukan hanya untuk roti, tapi untuk membaca pesan-pesan kecil yang kami sisipkan di tiap bungkus. Ada yang menangis diam-diam, ada yang tersenyum kecut, ada pula yang pulang dengan membawa harapan yang sedikit lebih hangat. Dan setiap kali itu terjadi, aku merasa... ibu masih hidup, lewat kebaikan kecil yang ditinggalkannya dalam hidupku.
Suatu malam, saat aku sedang membereskan etalase warung, seorang anak kecil berdiri di luar. Hujan turun pelan. Wajahnya pucat, bajunya basah. Aku membukakan pintu dan mempersilakan dia masuk.
“Kamu kehujanan?” tanyaku sambil menyodorkan handuk kecil.
Anak itu hanya mengangguk. Dia memandangi rak roti, lalu menunjuk satu yang dibungkus paling rapi.
“Itu... boleh aku ambil? Tapi aku nggak punya uang.”
Aku tersenyum dan mengambil roti yang dia tunjuk. Lalu kuberikan padanya.
“Ambil aja. Tapi jangan lupa baca pesannya, ya,” kataku.
Dia membuka bungkus roti itu, membaca pelan-pelan, lalu mendongak padaku dengan mata berkaca-kaca.
“‘Untuk kamu yang kehilangan seseorang, semoga roti ini jadi pelukan kecil yang hangat.’”
Aku terdiam. Pesan itu kutulis beberapa hari lalu. Tapi ternyata hari itu, pesan itu menemukan orang yang tepat.
Anak kecil itu bercerita, ibunya baru saja meninggal beberapa minggu lalu. Ayahnya kerja jauh. Dan sejak saat itu, dia sering berjalan sendirian ke taman hanya untuk duduk, berharap bisa mendengar suara ibunya lagi.
Aku merasa melihat diriku di masa lalu di anak kecil itu. Sama-sama kehilangan, sama-sama mencari kehangatan di tengah dunia yang tiba-tiba terasa dingin.
Malam itu, kami duduk berdua di bangku kayu dalam warung. Sama-sama memakan roti pelan-pelan, tak banyak bicara. Tapi keheningan itu tak lagi terasa menyakitkan. Karena kami berbagi kehilangan, dan lebih dari itu, berbagi kekuatan.