Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Arghhhh!!!”
Sesosok wanita pucat pasi itu kembali mengintip di balik cermin. Wajahnya sendu dan perlahan-lahan ia mendekat dan selalu hendak memeluk Citra Kirana, seorang gadis yang yang saat ini masih belajar di salah satu universitas terkemuka di Indonesia dengan jurusan seni sebagai pilihan favoritnya.
Gadis itu terdiam sambil memejamkan matanya, ia bisa merasakan jemari-jemari dingin menggerayangi kepalanya seolah mencari sesuatu.
“Balekno nduk!!” Suara lirih itu terdengar dengan jelas ditelinga citra.
Prang!!!
Suara langkah barang pecah di luar sana mengembalikan citra yang sedari tadi tidak bisa bergerak… air mata berlinang di pipi citra, gadis yang memiliki kulit sawo matang dengan rambut hitam panjang yang cantik itu perlahan bisa menggerakkan tubuhnya, jantungnya masih berdegup dengan cepat seolah hendak berontak dan lari dari tempatnya untuk bersembunyi di sudut ruangan.
“Haa …haa… hiks…”
suara tangis citra pecah malam itu, sudah 3 hari ia terus dihantui oleh seseorang dengan perawakan yang menyeramkan, dan perlahan hantu itu terus mendekati citra tidak kenal waktu. Citra tidak menyangka, sisir yang ia beli dengan paksa di pasar loak malah membuat hidupnya berada di dalam bahaya.
Seminggu yang lalu…
Citra Kirana pergi ke wilayah yogyakarta, dia pergi ke Malioboro dan pergi ke pasar-pasar yang berjualan di sepanjang jalan Malioboro, mata citra terpaku pada sebuah gang kecil, dimana ia bisa melihat ada seorang kakek yang tampaknya sangat tua, dan ia bahkan mengenakan tongkat kayu untuk membantunya berjalan. Kakek itu tampaknya memanggil-manggil citra yang kebetulan saat itu tengah lewat.
“Sini nduk… aku punya barang bagus yang bisa ditawarkan padamu. lihat apa kamu tertarik pada buku-buku kuno?! Embah bahkan juga punya beberapa perangko koleksi, perkakas jaman dulu, juga ada mainan anak-anak jaman dulu… ayo nduk beli!”
“Waduh Mbah, saya Tidak butuh semua barang itu, tapi kalau ada yang…”
mata Citra Kirana terpaku pada sebuah sisir berwarna perak dengan hiasan unik dengan permata di atasnya, sisir itu sangat cantik, ia langsung menyukainya.
“Ada Ndak yang kamu suka cah ayu…”
“Mbah!! Sisir ini saya beli ya?!”
“Haduh nduk!!! Jangan sisir itu… duh…”
tampak si embah itu mulai panik dan risau. Ia mengambil sejumput bunga yang kemudian di asapi oleh dupa, dan tidak lama ia meminta tangan citra Kirana.
“Kenapa Mbah ?”
“Cepat sinikan tanganmu cah ayu, jangan banyak omong!!”
Dengan cepat simbah itu menggosokkan bunga itu di tangan citra Kirana. Siembah mengambil nafas panjang dan tampaknya dia kembali normal.
“Haaa… maaf ya nduk, di sini ada banyak setan! Kalau tidak di gituin mereka ga mau pergi!”
“Ih embah ada-ada saja!! Jadi gimana Mbah boleh ya saya beli sisir ini!”
“Aduh nduk, sisir itu sangat langka, dan juga susah mendapatkannya, gimana ya”
“Saya bakal bayar mahal!! Ini 3 juta cukup kan Mbah.”
“Waduh nduk… ya sudahlah, etung-etung embah ngamal ibadah sama kamu ya,padahal mbah nggak berniat menjual itu.”
“Terimakasih ya Mbah…”
Citra Kirana pulang ke rumah dengan hati yang sangat riang gembira… ia bisa mendapatkan sebuah sisir cantik yang sangat langka ini.
“Kayaknya sisir seperti ini udah engga ada lagi di sini. Entah ini dari jaman kapan, kalau dilihat dari bahannya yang sudah berupa logam, ini mungkin dari zaman kolonial, karena sudah mendapat pengaruh dari eropa, dan ukiran cantik dan permata ini menguatkan hipotesisnya tentang benda cantik di tangannya itu.”
Tidak memakan waktu lama, citra akhirnya pulang ke rumahnya, di daerah tidak jauh dari yogyakarta. Ini masih liburan semester 6 di universitas nya, dan citra memilih untuk menikmati liburannya untuk terus berburu harta Karun.
Ya hobi dan kegemaran citra adalah mengoleksi barang-barang antik, hingga di seluruh rumahnya dipenuhi oleh barang-barang antik dan unik. Citra mengambil sisir barunya itu dan langsung saja menyisir rambutnya dengan itu sambil bernyanyi…
“Aduh!!! Aduh, kayaknya kok berdarah ini kepalaku, ternyata tajam banget ini sisirnya yah? Padahal kelihatannya engga begitu tajam, aku akan pakai lagi sisirnya setelah kepalaku membaik. Aduh jadi perih kan!”
Citra beranjak ke kamar mandi, diletakkannya sisir logam berwarna perak itu di atas meja riasnya, tampak ada sedikit darah yang berada di permukaan sisir itu, dan tiba-tiba saja darah itu terserap ke dalam sisir itu hingga tidak berbekas.
…
Pada malam hari, citra tertidur dengan pulas, meski begitu malam itu tampaknya sangat aneh, ia tertidur dan bermimpi keluar dari rumahnya, dia melihat ada seorang gadis cantik yang sedang menari-nari di sebuah istana. Gadis itu sangat cantik, dan sang raja sangat menyukai penari itu, tampak keduanya sedang di mabuk cinta.
“Astaga, mereka sangat cocok untuk bersatu, tapi aneh sekali apakah ini yang namanya lucid dream ya?! Wahh aku sangat keren!! Kalau begitu ayo kita eksplorasi ke dunia yang aku tidak tahu kapan dan jaman apa ini!”
Note :Lucid dream atau mimpi sadar adalah kondisi di mana seseorang menyadari bahwa ia sedang bermimpi saat masih berada dalam mimpi tersebut. Dalam beberapa kasus, seseorang yang mengalami lucid dream bahkan dapat mengendalikan apa yang terjadi dalam mimpinya, seperti mengubah lingkungan, memunculkan objek, atau melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan di dunia nyata, seperti terbang.
Tiba-tiba citra di bawa kembali kepada gadis yang menari tadi, sang raja sedang menyisir rambut penari itu yang panjang dan menjuntai sampai ke pinggul. Gadis itu menoleh dan memandang tepat ke arah citra.
Deg… deg… deg… jantung citra berdetak sangat kencang...
“Kembali!! Kembali nduk!!” Suara itu terdengar sangat jelas seolah menyuruh citra untuk kembali dengan cepat.
“Haaah!!! Haa…haaa…”
Seolah leher citra tercekik, ia mengalami kesulitan bernafas, wajah citra pucat pasi dan dia kesulitan menggerakkan tubuhnya. Ia berdoa dalam kondisi itu dan perlahan tubuhnya membaik.
Citra meneguk segelas air putih sesaat setelah ia terbangun, malam itu terasa sangat aneh hawa dingin seolah mengisi seluruh ruangan dan belakang kepala citra terasa sangat berat, bahkan ia merasa beberapa kali ada sesuatu berwarna hitam berseliweran di sudut-sudut ruangannya.
“Si-siapa di sana!!”
Tidak ada yang menyahut… tentu saja, karna citra hidup sebatang kara setelah kedua orang tuanya meninggal dunia ketika citra masih duduk di bangku SMA. Ia kini hanya sendirian di sini, nenek dan kakeknya jauh berada di kota Semarang, citra sangat jarang pulang kesana dikarenakan hubungan buruk citra dengan mereka.
“Sepertinya, aku harus pulang ke Semarang untuk menemui nenek.”
Malam itu citra terus saja tidak bisa tidur, mentalnya terkuras oleh berbagai hal, ya itu untuk pertama kalinya seumur hidup citra merasa TAKUT.
…
3 hari kemudian…
Citra mengemasi barang-barangnya, dia membawa sisir itu bersama dengan citra. Citra tampak pucat, dengan kantung mata hitam dibawah matanya karena sudah 3 hari ia tidak bisa tidur. Tubuh citra bergetar hebat, keringat dingin membasahi wajahnya. Dengan cepat ia pergi menuju ke mobilnya yang berwarna hijau dan menginjak gas, citra pergi dari rumahnya sendiri bahkan sampai lupa mengunci pintunya.
Kreeekkk… blam… Pintu rumahnya tertutup sendiri ketika citra menyalakan mobilnya.
“Si-sialan!! Nyala please!! Cepetan nyala!!”
Brmmmm…. Suara mesin mobil itu berdengung yang menandakan mobilnya telah siap untuk pergi dari sana. Dengan cepat citra bergegas pergi dari sana.
Perjalanan dari Yogyakarta menuju ke Semarang cukup jauh, meski begitu citra terbiasa memotong perjalanan agar lebih cepat sampai ke rumah neneknya di pelosok desa.
“I-ini beneran jalan yang aku bisanya lewatin, tapi kok tumben tempat ini sepi?! Dan mengapa kabutnya sangat pekat?!”
Citra menjalankan mobilnya dengan perlahan, ia ingat tidak jauh dari hutan ini pasti ada disebuah desa lalu belok kanan baru sampai ke desa tempat dimana neneknya tinggal.
Tiba-tiba ada seorang anak kecil menabrak mobil citra…
Brakkk…
“Aduh!! Siapa tadi yang ku tabrak?!!"
dengan cepat citra keluar dari mobilnya, dan sambil ketakutan mengawasi bagian bawah mobilnya, tampaknya tidak ada apapun di sana.
Kabut terbuka, banyak orang-orang dengan baju kebaya tradisional jaman dulu sedang memandangi sebuah batu pengorbanan.
“Ratu telah berkhianat kepada sang raja!! Harus dihukum mati!!”
“Tidak kakang!! Aku ini di fitnah!! Aku Tidak melakukan itu!”
“Halah!! Kamu ga usah berdalih lagi!! Aku melihatmu telanjang keluar dari ruang basuh! Dan laki-laki itu ada di ranjang Nimas!! Ranjang kita berdua!!”
“Tapi kakang! Aku juga tidak tahu mengapa ia ada di sana!! Aku ini korban kakang!! Bahkan laki-laki itu mencoba memperk*sa ku! Kang mas… percayalah padaku!”
“Nimas… kata-katamu tidak bisa menipuku! Lakukan saja!!” Perintahnya kepada algojonya yang hendak menghukum mati seorang wanita yang tampak tidak asing itu…
“Kangmas! Aku sangat kecewa terhadapmu kangmas! Lebih baik aku mengambil nyawaku sendiri daripada kamu membunuhku kangmas!” Dengan cepat ia mengambil sisir yang juga tampak tidak asing itu dari sanggul di kepalanya, dengan cepat ia menggerakkannya ke lehernya dan…
Darah mengucur deras keluar dari sana…
“Nimas ayu!!” Sang raja berlari dengan sekuat tenaga, memeluk istrinya yang bersimbah darah di tanah itu dan perlahan menjadi dingin.
“Nimas!!!!” Air mata sang raja berlinang, ada rasa bersalah dan penyesalan di balik perbuatannya terhadap istrinya itu.
Citra ketakutan melihat apa yang baru saja terjadi di hadapannya… Nimas yang mati itu tiba-tiba membuka matanya, dan lagi berbisik…
“Nduk!! Pergi sekarang! PERGI!!!”katanya setengah berteriak.
Nimas yang mati itu bangkit dan menunjuk ke arah jalan bercabang di hadapan citra.
Dengan sekuat tenaga, citra bangkit dari posisinya dan kembali ke mobil, dengan gemetar ia menyalakan kembali mesin mobil, ia melaju dengan cepat ke arah dimana Nimas menunjuk… tidak lama, ia sampai ke rumah neneknya.
…
Mobil sampai dengan selamat ke rumah neneknya di kampung. Kampung ini sangat terpencil, kampung ini dikenal sebagai kampung WARANG SEWU. ini adalah salah satu alasan mengapa citra sangat membenci keluarga neneknya.
Desa yang sangat tertutup ini adalah desa kelahiran nenek citra yang bernama cahyaningrum. Seperti namanya, nenekku tidak bisa keluar dari desa karena mengemban sebagai cahaya suci desa. Jadi dia dianggap sebagai orang sakti yang membawa orang-orang menuju ke jalan yang benar. Hanya pada saat-saat tertentu saja ia bisa pergi meninggalkan desa.
Citra keluar dari mobilnya dengan kondisi lemas dan tidak berdaya, sang nenek yang kaget melihat cucu satu-satunya muncul di hadapannya. Ia heran ada alasan apa ia datang menemui neneknya yang ia benci itu.
Baru dua langkah nenek melangkah ia sudah tahu apa yang terjadi, ia membawa kacang di tangannya dan mendoakan kacang itu sebelum melemparkannya ke beberapa penjuru.
“Citra!!! Kamu Ndak papa nduk?! Sini ikut nenek masuk dulu, kondisimu sangat buruk!”
Beberapa orang desa membantu citra dan beberapa yang lain terus menyebarkan kacang entah untuk apa. Setibanya di dalam rumah, sang nenek memberikan teh dengan bunga melati, aroma melatihnya sangat kental, citra biasanya sama sekali tidak bisa minum teh ini. Namun anehnya dia malah merasa sangat menikmati teh yang beraroma super wangi ini.
“Nduk… kamu jujur sama nenek! Apa yang sudah terjadi?! Mengapa awan gelap itu terus mengikuti mu?!”
tampak ada sebuah bayangan hitam gelap yang terus berusaha masuk ke desa.
“Banyak hal terjadi nek… aku tidak yakin apakah karena sisir ini. Semenjak aku membeli sisir ini, aku sama sekali tidak bisa tidur, hantu wanita itu terus saja mengangguku, akhir-akhir ini malah dia bisa berinteraksi denganku secara langsung tanpa melalui mimpi.”
“Nenek bisa melihat itu nduk!! Ini adalah kutukan!! Dan ini tidak sesimpel itu. Pasti ada sesuatu yang membuatnya seperti ini.”
Citra yang mentalnya sudah tertekan ia duduk meringkuk di sebelah neneknya sambil memegangi rambutnya. Tubuhnya bergetar, sang nenek memeluk cucunya yang ketakutan itu dan membelai rambutnya.
“Nduk… rambutmu…”
“Hiks… iya nek!! Rambutku rontok banyak sekali! Setiap kali aku menyisir rambutku selalu rontok, aku sudah menggunakan sisir lain namun setiap kali menyisir sisirnya berubah menjadi benda terkutuk ini! Nek… apa citra akan mati?!”
Citra menangis sejadi-jadinya malam itu. Ia merasa sangat aman di pelukan neneknya.
“Tenang saja nduk, nenek akan membantumu, nenek tidak akan membiarkanmu menderita karena hal ini…”
…
Malam itu sang nenek menyiapkan tungku dan membakar kemenyan dan juga garam, diambilnya sejumput rambut yang rontok milik citra.
Kretek… kretek… aroma sengak dan menyengat mengitari ruangan dimana nenek cahyaningrum melakukan ritualnya. Citra diminta membasuh diri dengan air bunga 7 rupa, lalu memakai kain putih untuk mensucikan tubuh citra.
“Nduk sekarang kamu tidur dulu ya, nenek mau bicara sama yang lainnya dahulu.”
“Iya nek…”
Nenek mengelus kepala citra dan ia langsung tergeletak. Tidak lama, citra bangun dengan kehadiran yang lain…
“Kamu siapa?! Mengapa mengikuti cucuku?!”
“Aku… pemilik sisir itu, namaku Nimas ayu.”
"Apa kamu yang mengincar nyawa cucuku?!"
Nimas hanya menggeleng.
“Aku tidak bisa berkata banyak, namun sisir itu telah menjadi media kutukan karena seseorang. Seumur hidupku, aku tidak pernah menginginkan hal ini terjadi. Dan sisirku adalah satu-satunya bukti cinta suamiku kepadaku! Aku tidak terima mereka memperlakukannya seperti itu.”
“Jadi kamu orang yang mengganggu cucuku untuk membantunya?!”
Nimas mengangguk…
Perlahan ada suara-suara jeritan keluar dari rontokan rambut yang dibakar sang nenek… nenek yang kaget langsung mematikan tungku dengan menuangkan air ke atasnya, citra kembali di posisi semula, kondisinya tidur pulas seperti bayi.
“Ini seperti kutukan RONTALING SUKMA (helai rambut berisi jiwa). Sudah jatuh banyak korban, jika kita mencarinya harus mencari dari dimana ini berasal. Aku akan menunggu anak ini bangun dan mencari solusi.”
Malam itu citra bisa tertidur dengan lelap tanpa bermimpi. Sehingga pada keesokan harinya citra bisa merasa lebih segar dan sehat.
…
Keesokan harinya, citra mendapati rambutnya telah benar-benar rontok parah.mereka pergi ke tempat dimana citra memveli sisir antik itu.
“Kamu yakin tempatnya di sini?!”
“Iya nek…coba tanya itu bukannya embah yang kemarin ya?! Aku sangat hafal raut wajahnya. Tapi kok kayak ada yang beda tuh apa ya?”
“Beda gimana maksudmu nduk?!”
“Kayak Simbah makin muda aja, ehhh tapi mungkin cuma perasaan aku aja apa ya?”
Tampak bapak itu sedang menyapu halamannya, dan ia sudah tidak memakai tongkat lagi. Citra dan neneknya pergi menghampiri Sang bapak.
“Selamat sore pak,.masih ingat cucu saya tidak?!”
“Ohhh iya, neng yang tempo hari beli sisir ya?!”
“Beneran pak… ini sisirnya berhantu!! Bapak tahu dimana bapak mengambil.ini?!”
“Jadi adik berencana untuk mengembalikan ke asalnya?!”
“Iya pak.. tolong bantu!”
“Aduh nduk saya juga kurang tahu! Saya mendapatkannya dari seseorang yang menjual barang antik ke sini!”
“Ada gak kejelasannya asalnya dari mana?!”
“Katanya sih ia dapat dari lelang beberapa tahun yang lalu. Mungkin dari pembongkaran makam atau semacamnya.”
Tiba-tiba angin besar datang dan lagi-lagi sang kakek hendak mengusar-usari tangan citra kembali. Namun di cegah oleh sang nenek.
Citra tiba-tiba membeku melihat sosok Nimas kembali muncul di hadapan citra lagi, citra hendak bicara kepada neneknya namun sosok yang menyeramkan itu malah memandang si kakek dan menunjuknya dengan penuh emosi.
“SIRA !”
Tampak si hantu Nimas terus saja mengungkapkan kata Sira berulang-ulang dengan nada monotone yang cepat sambil terus memelototi bapak penjual.
“Citra… ayo kita pulang!! Dasar orang sinting!” Kata nenek memakai bapak tua yang ada di hadapan citra. Tubuh citra sudah kembali bisa di gerakkan, citra merasa sangat lemas.
“I-iya nek…”
Bapak penjual di toko kelontong itu hanya memandang kepergian citra dengan tajam. Citra masih beberapa kali menoleh ke belakang ketika tubuhnya diseret oleh neneknya. Dan ia masih jelas-jelas melihat hantu Nimas yang memelototi bapak penjual itu. Dan terus bergumam “SIRA !!!”
…
Di mobil…
Citra tiba-tiba batuk dan berdarah cukup banyak, rambutnya juga sudah benar-benar rontok, tubuh citra semakin lemah dari hari ke hari.
“Kamu Ndak papa nduk? Sepertinya kondisimu sangat buruk, mau kemana lagi kita mencari asal sisir ini?! Kita ga punya petunjuk sama sekali.”
“Nek, apa sih artinya SIRA?!”
“SIRA tuh bahasa Jawa yang artinya KAMU! dulu di pakai dan di temukan di beberapa kitab dan kidung Jawa.”
“Nek, apa ini ada hubungannya dengan bapak tua tadi ya? Nek, aku lihat hantu Nimas itu terus berkata Sira sama bapak penjual yang tadi…”
“Ini mungkin ada hubungannya sama bapak itu!! Ayo kita kembali ke sana! Bapak itu juga harus memberikan penjelasan!!”
Akhirnya citra dan neneknya memutuskan untuk menangkap sang bapak yang sangat mencurigakan, saat mereka telah kembali ke toko itu, tempat itu sudah kosong dan mereka tidak dapat menemukan si bapak tadi.
“Uhukkk…uhukkk… sepertinya bapak itu sudah melarikan diri nek!”
Deg… deg… suara jantung citra tiba-tiba berdetak semakin cepat, dan ia mulai kesulitan bernafas, mata citra berubah menjadi putih, tubuhnya bergerak sendiri dan mulutnya terbuka…
“kono kae!!!!”
Suaranya berat dan besar dan lagi serak. logat citra berubah sepenuhnya, dan citra tanpa sadar menunjuk ke sebuah sudut dinding. Nenek yang mengetahui maksudnya langsung menganggukkan kepala.
“aku wis paham nduk!! Bali!!” Kata sang nenek sambil menggebrak lantai dengan kuat. Seketika citra telah jatuh ke tanah dan tidak sadarkan diri.
Nenek pergi ke sudut kamar yang ditunjukkan Nimas, ada sebuah lubang yang cukup besar, dan ada sebuah kotak harta yang sangat unik, di dalamnya ada sebuah kertas kuno yang bertuliskan AJIAN SULUK KALA MURTI…
“Ini… ini ajian untuk memperpanjang usia dengan melakukan ritual pengorbanan!”
…
Di sisi lain, kakek tua itu berlari sambil membawa barang-barang berharganya, ia telah sampai ke sebuah hutan tidak jauh dari lokasi, jantung sang kakek berdegup sangat kencang, ia bisa merasakan tekanan di belakang kepalanya…
“Mati aku!! Sepertinya orang itu orang sakti!! Kalau terbongkar matilah aku!!”
"Aku harus segera menemui BAPA GURU!! kita sedang dalam bahaya!”
Sebuah gubuk tua terlihat dari ujung jalan dimana si kakek tua ini berjalan. Ia dengan tidak sabaran berteriak-teriak dan membuat keributan di halaman rumah tua itu.
“Guru!! Gawat guru!!”
Banggg!!
Sebuah angin besar keluar dari arah pintu dan menerbangkan si kakek tua hingga tersungkur ke tanah.
“Ukkkk guru!!”
“Berisik!! Kerjaanmu ga pernah becus sekarang malah bawa masalah! Siapa yang memegang sisir keramat itu?!”
Seorang pria tua juga muncul dari dalam rumah kumuh di tengah hutan…
“Maaf guru aku mengganggu semedi’ mu!! Tapi ini beneran penting! Orang itu bisa dengan mudah mengusir para hantu yang aku utus untuk menjaga toko kelontong ku! Dan lagi mereka hendak mengembalikan sisir itu ke tempat asalnya!”
“Hahahaha Mereka ga akan bisa! Karna makam Nimas ayu sudah hilang beberapa tahun lalu, sekarang hanya berupa lahan hutan jati saja! Mereka ga bakalan bisa! Sebisa mungkin kamu ambil kembali sisir itu! Aku tidak ingin ada kemungkinan untuk kutukan itu di hentikan! Kita masih butuh banyak korban agar ajiku semakin sempurna!”
“Ba-baik bapa!!”
…
Sang nenek masih meneliti kumpulan kertas itu, tertulis ajian ini membutuhkan 1000 jiwa untuk disempurnakan, dan di lembar kertas terakhir, adalah daftar korban dari sisir Nimas ayu. Disana tertera no. 989.
“Manusia gendeng!! Bisa-bisanya mereka mengorbankan nyawa orang lain demi kepuasan duniawi!” Sang nenek kembali membaca sobekan keras di bagian akhir.
“Pantangan… 1. merusak sisir akan menimbulkan petaka! 2. Membeli S…. (Bagian ini robek) Bisa memberikan imbas mematikan pada abdi! 3. Mengembalikan sisir ke tempat asalnya bisa menghen...(Robek juga) kutukan sementara.”
“Uhukkk… nek.”
“Cah ayu, gimana badanmu, sanggup berdiri engga?!”
“ Iya nek, aku cuma pusing aja, mungkin kurang minum.”
Sang nenek merasa kasihan kepada cucunya itu, ia tidak tahu kalau saat ini keadaan tubuhnya masih bisa lebih memburuk lagi.
“Nduk, kita menemukan beberapa cara, tapi semuanya tidak bisa menjamin aman.”
“Apa itu nek?!
“Pertama kalau kita merusak sisir ini, ini juga merusak hubungan antara si pembuat perjanjian dengan medianya. Namun dengan ini mungkin malah akan ada malapetaka yang lebih besar yang bisa saja terjadi.”
“Kalo gitu jangan nek!!”
“Yang ke.2 biarkan orang lain membeli sisir ini, dan kutukannya akan berpindah kepada si pemegang sisir.”
“Iki ya jangan to nek!! Aku nggak mau jadi pembunuh!! Aku kasian sama korban-korban yang lain! Kalau bisa kita harus menghentikan ini bagaimanapun caranya.!”
“Cara ke-3 mengembalikannya ke makam Nimas, ada alamatnya, tapi kita nggak tau, nanti siapa lagi yang akan menjarah dan mengambil sisir ini untuk di manfaatkan lagi.”
“Apa kita coba dulu ke makam Nimas nek… kita bisa minta tolong Nimas buat menetralkan sisirnya, aku barusan mendapatkan mimpi lagi, katanya beliau mau membantu.”
“Baiklah, kalau keputusanmu seperti itu sebaiknya kita segera bergegas! Ayo kita sudah tidak punya banyak waktu!”
…
Waktu terus berjalan, sesuai dengan peta yang ditunjukkan ini hanyalah sebuah hutan jati. bagaimanapun mungkin makamnya ada di sekitar sini!.
“Aneh… mengapa tidak ada gapura makam atau apapun di tanah ini?!”
Lagi-lagi… citra dirasuki oleh Nimas dan ia menunjuk ke arah barat, sang nenek hanya mengikuti ke arah dimana citra menunjuk, dan tidak jauh dari sana terdapat sebuah sendang, tepat di tengah-tengah hutan jati.
“Neng kene!!” Suara parau itu kembali mengusik citra yang sedari tadi terus di rasuki untuk menunjukan arah.
“Nek… masa makamnya sebuah sendang?! Ini gimana?!”
Tiba-tiba Nimas keluar dari dalam sendang dan mengulurkan tangannya…
“Balekke Nduk!! ” Katanya setengah memerintah.
Seseorang datang dengan cepat untuk merebut sisir keramat itu dari tangan citra… citra yang lemah hanya bisa tersungkur di tanah.
“Heh!! Sisir ini aku ambil kembali!” orang ini lalu hendak kabur melarikan diri.
“Tidakkk!! Nek!!”
Sang nenek menyebarkan kacang dan anehnya si kakek tua penjual kelontong tadi jadi tidak bisa bergerak. Nimas memilih untuk menghabisi sang kakek itu dengan menariknya ke sendang. Rambut hitam panjang Nimas berubah semakin panjang dan panjang, ia bahkan membentuk semacam sulur dan mengikat si kakek tua dan menariknya ke dalam sendang.
“To-tolong!! Arghhh…“
Rambut Nimas meneriakkan bisikan bisikan penuh dendam, dan beberapa bahkan menjerit dengan penuh siksaan. Suara itu terus berbisik di telinga sang kakek, dan citra sendiri juga mendengarnya dengan jelas.
“Hancurkan!!! hancurkan sisir itu nduk!!” perintah Nimas.
Citra tampak kaget karna terlalu fokus dengan bisikan-bisikan penuh dendam yang keluar dari rambut Nimas.
Nenek dan citra lalu mengambil apapun yang ada di sekitar mereka, lalu memukul sisir itu dengan batu di tangan mereka, beberapa pukulan kuat membuat batu permata ya retak dan pecah. perlahan tubuh Nimas menjadi transparan, dan ia menghilang perlahan-lahan.
“Terimakasih nduk…”
Sang kakek tua mati, dan sisirnya juga telah hancur dan peyot di sana sini. Secara ajaib citra merasa lebih bugar, dan badannya tidak lagi berat seperti sebelumnya. Sang nenek tersenyum dan memeluk cuci satu-satunya itu.
Dari kejauhan, tampak seorang pria berjubah putih tampak kesal, meski begitu ia memandangi tangannya yang telah memegang sisir lainnya dengan bahan dan ukiran yang berbeda. Orang itu tersenyum lalu pergi menghilang di balik kabut.
~End~