Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bajingan …. Enam tahun lamanya aku bersabar akan sifatmu, Enam tahun lamanya aku menemanimu dari nol, sampai saatnya kamu punya segalanya, enam tahun lamanya aku ... menelan pahitnya janji-janji kosongmu yang tak pernah terwujud, enam tahun lamanya aku menutup mata dari pengkhianatan-pengkhianatan kecilmu yang terus menumpuk, hingga akhirnya kesabaranku mencapai puncaknya dan semuanya boom.
Aku masih ingat jelas pertengkaran-pertengkaran kita di tahun terakhir hubungan kita. Awalnya, itu hanya sindiran kecil, kata-kata pedas yang dia lontarkan saat aku menanyakan kenapa dia sering pulang larut. "Kau terlalu posesif Lia!" bentakmu suatu kali, saat aku mencoba memegang tanganmu setelah berhari-hari kau dingin padaku. Aku terdiam, rasanya seperti dihantam sesuatu. Posesif? Setelah semua yang aku berikan?
Ketegangan itu makin menjadi. Dia mulai sering menghilang, ponselmu tak bisa dihubungi, dan alasan-alasan dia semakin tak masuk akal. Suatu sore ketika Lia dan Iwan tidak sengaja bertemu di tempat yang biasa kita kunjungi bersama dan waktu itu aku mengajakmu berbincang sementara, hanya sekedar meminjam handponmu untuk memastikan kontak-ku masih dia simpan atau tidak dan tanpa sengaja aku menemuka satu kontak seseorang yang diberikan tanda mahkota wanita di sebelah nama yang tertera di layar handpone-nya.
Kontak itu terselip di antara puluhan kontak teman-temanmu. Jantungku mencelos. Aku mencoba menahan diri, mencoba mencari alasan, tapi rasanya semua logikaku berteriak. Aku meletakkan ponsel itu di depannya saat dia melirikku. Matamu memancarkan rasa bersalah sesaat, lalu berubah dingin.
"Siapa ini?" tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar.
Kau menghela napas panjang, seolah aku adalah beban. "Hanya rekan kerja, kau saja yang terlalu berlebihan."
"Rekan kerja macam apa yang kau simpan sendiri kontaknya dengan tanda mahkota dan love merah di kontak pribadimu, padahal kontak-ku saja tidak ada dia berikan tanda seperti itu?" Air mataku sudah menggenang. Aku sudah lelah dengan sandiwara ini.
Dia bangkit, wajahnya mengeras. "Kau ini curigaan terus! Aku lelah denganmu yang selalu sama, yang tak pernah percaya padaku!"
"Percaya?" Aku tertawa getir. "Bagaimana aku bisa percaya saat semua yang kau lakukan adalah bohong? Aku melihatmu berubah, bukan lagi pria yang kujanjikan sehidup semati. Mala dia menjadi orang asing yang kejam, yang tega mengkhianati kepercayaan dan cintaku!" tangan yang dulu hanya bias membelai lembut rambutmu kini berubah menjadi tangan panas yang ingin terus-terusa menamparnya, beberapa kali, semua amarah, kecewa, dan sakit hati yang kupendam selama ini meledak sejadi-jadinya.
Satu setengah tahun hingga dua tahun lamanya diriku terpuruk karenamu dan aku mulai mencoba hal-hal baru. Aku memutuskan untuk mengambil kelas melukis, sesuatu yang selalu ingin aku lakukan tapi tak pernah punya waktu. Di sana, aku menemukan ketenangan dalam setiap sapuan kuas. Aku juga mulai rutin berolahraga. Lari di taman setiap pagi dan sore, bukan hanya menyehatkan fisik, tapi juga membantu-ku menjernihkan pikiran.
Aku mulai berani bepergian sendiri, mengunjungi tempat-tempat baru, merasakan kebebasan yang dulu tak pernah kubayangkan. Luka itu masih ada, menjadi bekas luka yang tak akan hilang, tapi tidak lagi perih. Aku mulai menerima bahwa apa yang terjadi adalah bagian dari perjalananku, dan aku belajar memaafkan—bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri. Aku menyadari, kebahagiaanku tidak tergantung pada orang lain, tapi pada diriku sendiri. Menikmati waktu untuk berkembang, belajar, dan menemukan siapa diriku sebenarnya tanpa bayang-bayangmu.
Namun di sela-sela itu, aku mencoba mulai membuka hati untuk menerima orang baru, menerima seseorang hanya untuk mengisi kekosongan yang dulu terbengkalai. Aku tahu, ini bukan tentang cinta yang membara seperti di film-film. Ini lebih ke membangun kembali, menata ulang puing-puing, dan mencari fondasi yang lebih kokoh lagi.
Aku memulainya dengan langkah-langkah kecil. Membalas pesan yang dulu sering kuabaikan, menerima ajakan ngopi atau bahkan tersenyum lebih lama pada orang yang tak sengaja berpapasan. Setiap interaksi adalah percobaan, sebuah sensor untuk mengukur seberapa banyak aku bias merasakan lagi, seberapa jauh aku bisa membiarkan diriku terbuka tanpa rasa takut yang mencekik.
Dan pada akhirnya aku sampai di titik terakhir penantianku yang di mana aku mulai menerima seseorang yang dulu ku abaikan demi bajiangn yang tidak tau cara berterima kasih, dan dia juga berani berhadapan dengan kedua orangtuaku, dia selalu berusaha untuk membuatku merasa senang dan nyaman di dekatnya
Dia adalah Ai, seseorang yang berbadan tegap, kekar dan tinggi badan yang terbilang hampir dua meter. Lia dan Ai sekarang sudah empat bulan lamanya mengemban status pacaran dan sedikit demi sedikit Lia mulai bisa melupakan bajingan itu dan mulai memancarkan senyuman yang begitu bersinar.
Warna jingga mulai melukis langit sore itu, memudar perlahan digantikan semburat ungu yang yang menenangkan. Aku, seperti biasa, duduk di hamparan pasir yang sama, menghadap cakrawala. Biasanya, momen senja seperti ini terasa melankolis, kadang sedikit hampa. Tapi sore ini berbeda. Senja terasa lebih hangat, lebih penuh. Suara langkah ringan mendekat dari belakang, diikuti aroma maskulin yang begitu familiar. Sebuah pelukan hangat melingkari tubuhku, dagunya bersandar nyaman di bahuku.
“Sudah lama menunggu, Sayang?” suara serak penuh akan kelembutan .
Aku tersenyum, menyandarkan kepalaku ke kepalanya. “Tidak. Aku baru saja sampai. Senja ini indah sekali, ya? ”
Ai mempererat pelukannya. “Lebih indah karena ada kamu di sini.” Kami terdiam sejenak, menikmati pemandangan dan keheningan yang nyaman. Sejak kapan Ai menjadi sebegini meluluhkan? "Dulu, aku adalah benteng yang sulit ditembus.
Setiap janji manis terdengar seperti melodi sumbang, setiap perlakuan baik kusambut dengan curiga. Pengalaman masa lalu telah mengukir keyakinan: cinta itu fiksi, dan satu-satunya pelindung sejati adalah kemandirian. Ai tahu itu. Bahkan ia melihat dinding-dinding itu, namun tidak pernah memaksaku untuk meruntuhkannya, tidak pula mendesakku. Ia mendekatiku dengan cara yang paling sederhana,tulus dan selalu memotivasi diriku untuk terus semangat menjalani kehidupan.
Ingatanku melayang ke suatu pagi saat aku flu berat dan ia datang membawa sup ayam buatan ibunya, lengkap dengan jajan dan obat. Ia tidak mengeluh saat aku muntah, bahkan ia membersihkan sisa-sisa itu dengn sabar. Atau ketika aku sedang sibuk-sibuknya dengan deadline kuliah, ia akan tiba-tiba muncul dengan es krim favoritku dan cemilan sehat, hanya untuk menemaniku di samping laptop, tidak mengatakan apa-apa, hanya ada di sana.
Ada suatu malam, aku terjebak hujan deras dan ponselku mati. Aku sedikit panik karena belum mengabari oarng tua-ku, tapi, ada sebuah motor berhenti di depanku. Itu Ai, dengan jaket basah kuyup dan senyum tipis. Ia tahu aku akan pulang lewat jalan itu dan feeling-nya mengatakan aku butuh dijemput. Tanpa aku minta, tanpa aku mengeluh.
Ai tidak pernah melakukan hal-hal besar yang bombastis. Ia tidak memberiku kejutan mewah atau hadiah mahal, yang ia berikan adalah perhatian kecil yang konsisten, kesabaran tak terbatas, dan pengertian yang mendalam. Ia tidak mencoba merubahku, tapi ia membuatku merasa nyaman menjadi diriku sendiri, bahkan dengan segala kerentananku. Dan inilah yang paling meluluhkan: ia mengingat hal-hal kecil yang aku lupakan tentang diri sendiri. Ia tahu lagu kesukaanku saat bad mood, ia tahu kopi yang aku minum saat ingin semangat, ia tahu warna senja yang paling aku suka. Semua itu ia tunjukkan bukan untuk pamer, tapi murni karena ia peduli.
“Kamu tahu, aku suka senja seperti ini?” ucapku pelan, memecah keheningan. “Ada kedamaiannya sendiri.”
Ai mendaratkan bibirnya di puncak kepalaku. “Aku tahu. Dan aku suka saat melihat matamu yang berbinar melihatnya.”
Aku perlahan berbalik menghadapnya, dan refleks lengan kekar yang melingkar di pinggangku terangkan menagkup wajahku dengan kedua tangannya. Matanya memancarkan ketulusan yang murni. “Aku janji akan selalu ada di setiap senjamu, jika kamu mengizinkan.”
Aku tidak bisa menahan senyum. Hati yang dulu kupikir terbuat dari batu, kini terasa hangat, lembut, meleleh sempurna di dalam dekapannya. Aku tidak lagi takut terluka. Karena dengan Ai, aku tahu aku aman.
“Aku mengizinkanmu,” bisikku, dan senja itu terasa lebih indah, lebih sempurna, di dekapan Ai. Rona jingga di langit seolah ikut merayakan luluhnya hatiku, menyatu dengan kedamaian yang kurasakan.
Namun anehnya dia tidak pernah menuntut balasan, di situlah letak keajaibannya. Kebebasan untuk menjadi rentan di hadapannya, tanpa rasa takut dihakimi atau ditinggalkan, adalah hadiah terbesar yang pernah kuterima. Aku memejamkan mata, membiarkan aroma maskulin-nya, aroma air pantai, dan aroma kedamaian menyatu dalam indraku.
"Kamu tahu," kataku lagi, suaraku nyaris berbisik. "Aku tidak pernah berpikir akan merasakan ini lagi."
Ai mengecup rambutku. "Merasakan apa?" tanyanya lembut.
"Merasa ... utuh," jawabku jujur, membuka mata dan menatap garis cakrawala. Lampu-lampu perahu nelayan kini membentuk galaksi kecil di hadapan kami. "Seperti semua kepingan yang tercecer akhirnya menemukan tempatnya."
Ia tersenyum, senyum yang selalu menenangkan dan tulus. "Itu karena kamu memang sudah utuh, Sayang. Aku hanya ada di sini untuk mengingatkanmu."
Pelukan Ai semakin erat, seolah in gin memastikan bahwa tak ada satu pun kepingan yang akan tercecer lagi. Malam mulai merayap, menggantikan jingga dan ungu dengan gelap pekat yang dihiasi ribuan bintang buatan manusia. Namun di pelukan Ai , gelap itu tidak terasa menakutkan. Justru, ia membawa janji akan fajar yang baru, janji akan kebersamaan yang tak lekang oleh waktu.
Kini, setiap kali warna jingga mulai melukis langit, aku tak lagi merasakan hampa atau melankolis. Yang ada hanya rasa syukur dan kehangatan yang menjalar di dada. Senja bukan lagi tentang berakhirnya hari, melainkan tentang permulaan kebersamaan kami yang abadi. Aku memandang Ai, yang kini sibuk memilah minuman di pedagang belakang kami. Ia menoleh dan tersenyum, senyuman yang sama tulusnya dengan senyuman di senja pertama kami.
Dia datang dan menyodorkan satu minuman favoritku sembari mengelus puncak kepalaku. “Mau lihat senja di puncak bukit nanti?” tanyanya, sembari merapikan rambutku yang berantakan karena kelakuannya.
Mataku berbinar sembari menganggukkan kepala, hatiku dipenuhi gelombang kebahagiaan yang tenang. “Denganmu, Ai, senja di mana pun akan selalu menjadi rona terindah.”