Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak tahu mengapa aku menikahi lelaki ini—lelaki tampan, kuat, cerdas, baik, dan kehadirannya bahkan direstui oleh para dewa. Namanya Rama. Bagiku, ia tak lebih dari seorang lelaki antah berantah yang tidak sengaja melihat sayembara untuk mencari calon suami untukku—ya, ayahku mengadakan sayembara—barang siapa yang bisa mengangkat busur panah bertuah dan menembakkan anak panahnya tepat pada sasaran, dialah yang akan menikahiku—tidak peduli apakah aku mengenalnya atau tidak, tidak peduli apakah aku mencintainya atau tidak, tak peduli apakah ia bapak-bapak tua bangkotan atau pria tampan dari negeri seberang. Sayembara yang aneh, tapi aku tidak bisa menolaknya—karena siapa aku? Siapa pula perempuan di istana ini? Kau mungkin akan protes cara ayahku mencarikanku jodoh—seolah aku adalah hadiah, seolah aku adalah barang yang harus diperebutkan banyak pria dalam sayembara ini, tapi sejujurnya aku tidak peduli apa kedudukanku sebagai perempuan. Aku tahu bahwa aku sial karena lahir sebagai perempuan di zaman ini, tapi apa mau dikata? Namaku Sita. Seorang putri raja. Dan aku terlahir sebagai seorang perempuan—sialnya, atau mungkin—beruntungnya.
Satu-satunya hal yang aku inginkan hanyalah pergi dari istana tempat dimana aku lahir dan dibesarkan. Aku tidak menginginkan suatu hari nanti ada pangeran muda tampan yang membawaku pergi dari istana ini dan kita akan hidup bahagia selamanya. Aku hanya ingin menggunakan lelaki dan pernikahan ini untuk meninggalkan istanaku—sekadar untuk menjelajahi dunia di luar istana itu bagaimana. Sebab selama ini aku tak pernah keluar lebih dari halaman istana. Kalau pun aku sangat ingin keluar dari istana, aku harus dikawal banyak orang, naik kereta kencana, dan wajahku harus setengah ditutup supaya tidak ada yang tahu wajahku—semakin sedikit yang tahu wajahku, semakin aman nyawaku—begitu kata ayahanda. Kubilang bahwa sialnya aku terlahir sebagai perempuan di zaman sialan ini, maka apa yang dikatakan lelaki seperti ayahanda adalah sesuatu yang tak bisa aku bantah. Aku menurut bukan karena suka atau ingin atau karena itu kewajibanku sebagai perempuan dan anak, tapi karena aku tak punya pilihan lain.
Satu per satu lelaki bangsawan dari negeri seberang bahkan negeri yang paling jauh pun sudah mencoba mengangkat busur panah bertuah itu—tapi banyak dari mereka yang gagal, padahal tubuh mereka kekar dan berotot. Ayahanda bilang, hanya orang yang berhati bersih dan direstui oleh para dewa sajalah yang bisa mengangkat busur bertuah itu dan menembakkan anak panahnya tepat sasaran—dan sebaliknya, apabila orang-orang itu tidaklah direstui oleh dewa, tidak cukup sakti atau bahkan hatinya busuk, ia tak akan mampu mengangkatnya. Busur panah itu akan sangat berat untuk diangkat bahkan dengan dua tangan sekaligus. Sebaliknya, orang yang memang ditakdirkan untuk mengangkatnya akan merasakan kalau busur panah itu sangatlah ringan.
Aku mulai mengantuk, tapi sebagai seorang putri, aku harus menjaganya dengan susah payah supaya aku tetap kelihatan anggun di mata para peserta sayembara—karena kelakuan anak perempuan, seorang ratu, selir, maupun budak perempuan boleh jadi menentukan citra majikannya. Dan ke mana pun aku berada, aku bukanlah Sita seutuhnya. Aku tidak membawa diriku, tapi aku membawa nama ayahanda, nama istana, nama wilayah, dan nama seluruh leluhurku. Jadi, walaupun mengantuk, aku tetap tidak memperlihatkannya. Aku sudah dilatih untuk ahli dalam berpura-pura, sehingga untuk hal ini aku tidak akan menemui kesulitan. Cukup tampakkan raut wajah seolah kau sangat menikmati acara para lelaki ini, tebarlah senyuman yang wajar, dan duduk diam—itu sudah cukup untuk menyamarkan keenggananku untuk acara yang satu ini.
Penantang terakhir datang bersama lelaki lain di belakangnya yang tidak kalah kekar dan tampan. Semua orang yang ada di aula luar ruangan istana langsung menoleh ke arah mereka berdua, saling berbisik menanyakan siapakah mereka berdua, dari mana mereka, dan sebagainya. Aku tidak berharap banyak dengan penantang terakhir ini, tapi ternyata ia berhasil membuat mataku terbelalak dengan anggun (tentu saja ini hasil latihan karena seorang putri tidak boleh melotot sekalipun ia terkejut) ketika ia berhasil mengangkat busur panah bertuah itu dengan satu tangannya. Hanya satu tangan! Seolah ingin membuat para penonton semakin kagum dan menganga oleh kekuatannya, ia mengangkat lumayan tinggi busur panah itu, lalu menempatkannya untuk posisi siap menembakkan anak panah ke sasaran yang sudah disiapkan oleh ayahanda—yang sejak tadi masih belum tercoleh sedikit pun lubang karena belum ada yang berhasil mengangkatnya sebelum lelaki ini datang.
Lelaki ini pasti akan malu kalau ia hanya berhasil mengangkat busur panah dan tidak berhasil menembakkan anak panah tepat sasaran. Ketika ia sudah membidik sasaran sambil memejamkan satu matanya dan menarik tali busur panah bertuah itu, penonton termasuk ayahanda dan ibundaku mulai menahan napas dibuatnya, kecuali aku—aku hanya memperhatikannya dengan intens karena lelaki itu berhasil membuatku merasa tidak bosan. Begitu anak panah dilepaskan dan mengenai sasaran dengan sangat tepat tanpa meleset setengah inci pun, semua yang menonton terkesiap sebelum akhirnya panitia yang bertugas menilai sayembara ini mengumumkan bahwa anak panah yang dilepaskan oleh lelaki dengan tubuh berwarna biru seluruhnya dengan rambut gondrong yang sejumputnya digelung ke atas—memang tepat sasaran. Ayahanda mengumumkan kemenangan lelaki itu, dan semua penonton langsung bersorak gembira. Aku bertepuk tangan sembari tersenyum formal. Hari pembebasanku tiba.
....
Namanya Rama. Lelaki yang tak kalah tampan dan kekar yang selalu menemaninya adalah Lesmana, saudara kandungnya. Mudah saja membedakan mereka. Tubuh Rama berwarna biru, sementara Lesmana tidak, tapi keduanya dikenal jago bertarung apalagi memanah. Dari jamuan makan malam setelah kemenangannya, baru aku tahu kalau Rama adalah putra mahkota Kerajaan Ayodya yang akan segera ditunjuk sebagai raja. Raja muda, rupanya. Perangainya sederhana, ia tidak bermulut besar—bahkan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seolah dipikirkan matang-matang dengan sangat cepat sebelum diutarakan. Dengan riwayat yang cemerlang dan perangainya yang tidak seperti pangeran-pangeran muda yang suka berfoya-foya entah pada minuman, judi, atau wanita—atau bahkan ketiganya—jelas ayahanda dan ibunda sangat setuju kalau aku menikah dengan Rama. Ayahanda langsung bilang, “Rama memang ditakdirkan untuk Sita. Dan Sita memang ditakdirkan untuk Rama. Kalian ditakdirkan para dewa. Diberkatilah kalian berdua sampai anak cucu kelak.” Aku tersenyum sembari menunduk malu-malu—memperlihatkan seolah-olah aku menyukai kata-kata ayahanda.
Jamuan makan malam itu kembali dilanjutkan, beberapa kali aku dan Rama saling beradu tatap lalu tersenyum malu-malu layaknya sepasang kekasih yang kasmaran. Aku tidak tahu apa itu cinta dan jatuh cinta. Ayahanda dan Ibunda memang mendidikku dengan penuh kasih sayang, tapi aku tidak merasakan cinta di antara mereka. Entah mereka yang berhasil menyembunyikannya, aku yang terlalu perasa, atau... entahlah. Aku tidak pernah jatuh cinta pada siapapun—kecuali seorang lelaki yang wajahnya tidak bisa aku lihat di mimpiku—yang selalu datang hampir setiap hari—dulu sekali saat aku belum mengeluarkan darah setiap bulan hingga aku sudah datang bulan, dan setelah itu, ia tidak pernah lagi muncul di mimpiku. Aku tidak bisa menyuruh pelayan istana untuk menggambarkan dan mencari sosok lelaki itu sebab sejak awal sampai akhir kemunculannya, aku sama sekali tidak melihat rupanya. Yang bisa aku lihat hanya bagian hidung ke bawah. Ia punya hidung yang tinggi mancung dan bibir yang bagus. Rambutnya gondrong keriting, ia mengenakan mahkota, pakaiannya tampak seperti seorang raja—entah raja mana, tapi layaknya sepasang kekasih, kami banyak bercakap-cakap meskipun dalam mimpi. Setiap kali aku menanyakan namanya, ia hanya tersenyum dan menjawab, “Kelak ketika waktunya tiba, maka kau akan tahu siapa aku, Widyowati”. Ya. Dia memanggilku dengan sebutan “Widyowati”. Saat kutanya mengapa ia memanggilku begitu, ia hanya bilang, “Karena memang itulah namamu. Namamu adalah Widyowati.”
“Tapi namaku adalah Sita. Semua orang yang mengenalku memanggilku Sita.”
Ia tersenyum, cukup lama terdiam sampai akhirnya ia menjawab, “Sita dan Widyowati adalah orang yang sama. Anggap saja kau adalah reinkarnasi dari Widyowati dengan nama Sita. Atau mungkin saja kau adalah reinkarnasi dari Sita yang sekarang kukenal sebagai Widyowati.”
“Yang mana yang benar? Yang menurutmu atau menurut orang-orang di sekelilingku?”
“Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, Widyowati. Entah namamu Sita, Widyowati, atau yang lainnya, ketahuilah bahwa perasaanku akan selalu sama untukmu—bahkan dalam kelahiranmu yang ke-seribu kali.”
Itu adalah percakapan terakhirku dengan seorang lelaki yang tak kukenal rupa, asal, dan namanya siapa—tapi aku selalu mengingat kemunculannya yang pertama sampai yang terakhir—serupa sepasang kekasih yang mengingat setiap pertemuan mereka. Aku tidak pernah menceritakan kepada siapapun tentang mimpiku, bahkan kepada pelayan pribadiku yang sudah seperti seorang teman, aku tidak membuka mulut sebab aku tahu ia tak akan percaya. Dan kalau mimpiku yang aneh itu didengar oleh sebagian besar orang di istana, mereka akan mencoba memperbaiki sikapku agar tidak bertingkah seperti perempuan gila—yang mana dalam hal ini mereka benar. Hanya perempuan gila sepertiku yang jatuh cinta pada seseorang dalam mimpi dan masih terus berharap bahwa suatu saat nanti aku akan bertemu dengannya.
Tapi sampai hari dimana pernikahanku akan dilaksanakan dengan Rama, aku tidak berhasil menemukannya. Doa-doaku setiap hari ke kuil seolah tak pernah sampai kepada para dewa—seolah menguap begitu saja bersama doa-doa lainnya yang tidak dikabulkan—atau mungkin belum, aku tidak tahu.
Lelaki tanpa nama itu adalah cinta pertamaku. Dan entah kenapa, bersamanya aku bisa menjadi diri sendiri. Bersamanya, aku merasa diterima sebagai diriku sendiri, dan bukannya sosok putri yang membawa nama ayahanda dan leluhurnya. Aku adalah diriku sendiri ketika bersamanya—dan orang yang seperti ini sudah lama aku dambakan—karena aku memang hanya ingin menikah dengan orang seperti itu.
Aku memandangi Rama sekali lagi, masih di meja makan di jamuan makan malam hari ini. Dari hidung dan bibirnya, aku tidak yakin bahwa ia adalah lelaki yang sama dengan yang ada di mimpiku, tapi kalau memang Rama adalah lelaki itu, aku akan berusaha menerimanya, karena bagaimana pun, aku tidak merasakan bahaya ketika berada di dekatnya—dan itu sudah cukup. Tentang apakah ia bisa menerimaku sebagai Sita—atau mungkin Widyowati—tanpa bertanya yang mana yang asli dariku, tanpa banyak protes dan mendikteku untuk melakukan ini dan tidak boleh melakukan itu—aku belum memikirkannya, bahkan mungkin tidak akan memikirkannya. Sebab ketika ayahanda memutuskan untuk mencarikan calon suami untukku melalui sayembara memanah—di sanalah hakku untuk bicara menjadi tidak ada sama sekali. Dan untuk Rama—lelaki yang dipilih ayahanda sebagai suamiku, aku juga tidak berhak menuntut apapun kepadanya. Kalau ia mau menerimaku apa adanya—sebagai Sita atau Widyowati maka aku akan sangat bersyukur dan menghargainya, tapi kalau tidak, maka tidak apa-apa sebab sudah lama pula aku terbiasa berpasrah semenjak aku tahu bahwa aku adalah perempuan.
Kalaupun aku tidak setuju dengan keputusan ayahanda untuk menikahkanku dengan Rama dengan alasan aku belum mengenalnya dan aku tidak tahu apakah akan mencintainya, keputusan ayahanda tidak akan berubah—aku tetap harus mematuhinya—suka ataupun tidak. Karena aku adalah perempuan dan aku adalah seorang anak.
...
Hari pernikahanku tiba. Pestanya digelar sangat mewah—mengundang semua kerabat istana baik di pihakku maupun di pihak Kerajaan Ayodya—tempat dimana Rama lahir, tumbuh, dan tidak lama akan menjadi raja di sana. Ayahanda bilang statusku akan naik. Aku bukanlah seorang putri lagi, melainkan seorang ratu. Kutanya dalam hati, apa bedanya seorang putri raja dan ratu? Tidak ada bedanya. Kalian masih harus selalu patuh pada lelaki.
Tadinya ayahanda dan ibundaku ingin pesta pernikahan ini diperpanjang bahkan sampai tujuh hari tujuh malam, tapi untunglah Rama bisa menolaknya dengan halus dan aku sangat bersyukur karena aku tidak ingin terlalu lama dalam sebuah pesta. Aku tidak suka dan aku lelah. Bagiku mereka terlalu berlebihan dalam merayakan pernikahan tanpa bertanya pada pengantinnya apakah menghendaki hal itu atau tidak. Dan karena suamiku yang memintanya, ayahanda dan ibunda tidak bisa menolak, Jika aku yang bicara, maka ceritanya akan lain.
Saat malam pertama kami, aku begitu gugup. Lelah dan rasa kantuk yang tadinya hinggap di seluruh persendianku mendadak sirna begitu saja berganti dengan rasa cemas dan gugup—kini aku persis seperti seekor sapi betina yang pasrah saat akan dimangsa oleh seekor hyena. Sebenarnya aku ingin bilang padanya—lebih tepatnya membuat kesepakatan—aku ingin ia tidak menyentuhku ketika aku belum siap, dalam kata lain, hubungan suami istri ini baru boleh dilakukan ketika aku siap. Namun mengingat bahwa aku adalah perempuan dan aku tidak pernah diajari untuk melawan perkataan atau pemikiran orang lain membuatku enggan menyampaikannya. Sebagai gantinya, aku hanya akan pasrah. Rasanya, berdoa pada para dewa pun terasa percuma sebab para dewa akan tetap mengatakan hal yang sama—bahwa melayani suami adalah kewajiban semua istri yang sudah menikah, dan tujuan menikah adalah berhubungan suami istri, menghasilkan keturunan demi meneruskan garis leluhur dan takhta, demi meneruskan tradisi dan adat para leluhur, demi meneruskan pemujaan kepada dewa dan dewi.
Tapi sebagai perempuan, aku tidak sepenuhnya polos dan naif. Aku tahu bahwa semua putri yang dikirim ke sebuah perguruan untuk belajar tata cara menjadi putri raja dan kelak menjadi ratu, tidak diperbolehkan untuk menjamah buku kamasutra yang membicarakan tentang hubungan suami istri, sementara para pangeran mempelajari dan mungkin mendiskusikannya dengan bebas entah saat di dalam perguruan atau di luar perguruan. Kami para perempuan tidak membicarakannya—tidak dengan teman dekat, tidak dengan pelayan yang paling kami percayai sekalipun, tidak dengan Ibu kami, tidak dengan guru kami, tidak dengan suami kami kelak. Apa yang akan dilakukan oleh para suami di malam pertama, kami perempuan hanya harus mengikuti alurnya, tidak diberi kesempatan bertanya mengapa harus melakukannya hari ini dan bukan hari lain saja saat kami sudah siap, dan pertanyaan lainnya, tapi aku telah diam-diam membaca kamasutra sampai tuntas. Dan aku mempertaruhkan nyawaku dan nyawa pelayan pribadiku untuk ini. Suatu hari ia kusuruh menyamar sebagai lelaki dan pergi ke pasar untuk membeli kamasutra dan membawanya diam-diam ke istana.
Awalnya aku memang merasa malu saat membacanya, tapi aku memaksakan diri sambil mengingat perjuangan pelayan pribadiku untuk membawa buku terlarang itu ke keputrian. Beratus-ratus halaman buku itu sudah aku baca, bahkan sampai dua kali untuk benar-benar memahami apa maksudnya, walaupun setelah itu aku tidak pernah membahas mengenai isinya pada siapapun atau ayahanda akan menghukumku. Tapi mengingat semua isinya di malam pertamaku sebagai pengantin ternyata bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Aku sudah merasakan kalau sekujur tubuhku panas karena perasaan malu. Mulai dari pinggang, punggung, leher, hingga telingaku.
"Ada yang ingin kau katakan?" Syukurlah kalimat pertamanya adalah ini, bukan yang lain.
"Kalau memang aku diperbolehkan untuk mengatakannya, maka aku akan katakan, suamiku," jawabku sembari tersenyum manis menatapnya.
Ia membalas senyumanku, "Menurutku semua orang berhak bicara dan didengarkan tanpa pandang bulu, jadi kau boleh mengatakan apapun yang kau pikirkan."
"Sampai seterusnya?"
"Sampai seterusnya."
Aku tersenyum, tapi kemudian menunduk dengan senyuman yang perlahan memudar. Kini setelah aku dapat kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku, aku tidak tahu harus memulai dari mana. "B-begini, suamiku...," Aku melirik padanya takut-takut. Ia mengangguk, memberikan isyarat untukku meneruskan. "K-kau tahu k-kalau ini adalah... M-malam pertama k-kita sebagai s-suami istri, dan... Sebagai istri... K-kau tahu, aku harus memenuhi kewajibanku pada s-suami, tetapi... Aku belum siap. Aku minta maaf. Bolehkah kita m-melakukannya ketika aku sudah siap? M-maksudku, benar-benar siap. D-dan... Kumohon jangan beritahu ini pada ibunda. A-aku tahu sekarang kita sudah di Ayodya, jauh dari tempatku berasal, tetapi aku takut Ibunda tiba-tiba menanyakan tentang ini padamu."
Ia tersenyum lalu menyentuh bahuku, "Aku mengerti. Aku menghormati keputusanmu. Kita akan lakukan itu ketika kau sudah siap. Tidak perlu terburu-buru, lagipula... Kita baru saja bertemu, jadi wajar kau tidak bisa langsung siap melakukannya. Lebih baik kita gunakan waktu ini untuk saling mengenal satu sama lain. Bagaimana?"
"Aku setuju, suamiku. Terima kasih."
"Dan soal Ibunda... Tenang saja, tak ada yang tahu soal ini selain kau dan aku. Ini adalah ranah kita berdua, yang memang seharusnya tidak boleh dijamah orang lain. Sekarang, tidurlah. Kita sama-sama lelah usai pesta tadi."
....
Sedang ada masalah di Ayodya. Seharusnya Rama yang akan menjadi raja selanjutnya, namun keluarganya sendiri tidak menghendaki hal itu, maka dengan segala macam cara agar suamiku tidak memakai mahkota itu. Kupikir ia akan marah atau setidaknya menunjukkan kekesalannya—atau paling tidak ia bertanya mengapa mereka tidak menghendaki ia naik tahta, padahal secara garis keturunan, Rama memang berhak atas takhta Ayodya. Ia tidak menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya. Aku tidak melihat ekspresi kecewa atau lega karena ia tidak akan jadi raja. Ketika ia diperintahkan untuk meninggalkan Ayodya dan diasingkan ke hutan, ia menerimanya seolah itu adalah takdirnya.
“Paling tidak kau harus tahu alasannya apa. Bukankah begitu?” tanyaku ketika ia kembali ke kamar untuk mengemasi barangnya. Ia pun tidak membawa banyak barang selain panahannya yang akan ia gunakan untuk berburu dan melindungi kami dari serangan binatang buas.
“Setelah aku tahu alasannya, apakah mereka akan berubah pikiran? Tidak, jadi, untuk apa bertanya? Barangkali mereka memang tidak ingin mengungkapkan alasannya. Mungkin juga lebih baik bagiku tidak mengetahuinya sama sekali—setidaknya beban pikiranku tidak bertambah karenanya.” Ia berbalik menatapku dengan tatapannya yang teduh. “Kalau kau tidak ikut ke pengasingan, tidak apa-apa, aku bisa mengerti. Aku akan mengantarkanmu pulang, biar aku dan Lesmana saja yang menjalani ini.”
“Mengapa kau berpikir aku tidak akan ikut denganmu? Kau meragukan kesetiaanku sebagai istri, rupanya.”
“Tidak, bukan begitu. Aku tidak mau menempatkanmu dalam bahaya dan kesengsaraan. Kau tahu kita tak bisa membawa banyak barang. Hidup kita di hutan sepenuhnya bergantung pada apa yang disediakan alam dan apa yang bisa aku dan Lesmana buru. Kita akan tinggal di tempat yang jauh dari kata layak. Sebagai suami—lelaki yang berjanji pada ayahanda dan ibundamu untuk menjaga dan tidak menempatkanmu dalam kesulitan, bagaimana bisa aku melihatmu tinggal di pengasingan denganku? Sedangkan kau bahkan tidak salah apapun—walaupun kau sudah menjadi bagian dari keluargaku, tidak sepantasnya apa yang bukan salahmu menjadi salahmu dan kau harus menanggung risikonya.”
“Apa yang menimpamu memang tidak masuk akal—dan sekalipun kau bisa menerimanya dengan lapang dada, aku tidak bisa begitu, tapi aku sadar posisiku—aku tidak bisa melakukan apapun untuk membelamu karena aku adalah pendatang baru di sini. Aku akan ikut bersamamu dan Lesmana. Ini adalah pilihan dan tanggung jawabku sendiri.” Aku juga tidak tahu mengapa aku tersenyum setelah mengatakannya, tapi ia membalas senyumanku dengan tulus. Aku merasa tidak tega membiarkannya menanggung ini sendirian. Lagipula, apa yang akan dikatakan keluargaku kalau aku masih bersikap seperti anak kecil yang tidak bisa menanggung konsekuensi dari sebuah pernikahan—dimana penderitaan suami adalah penderitaan istri, walaupun mungkin tak banyak yang akan menganggap penderitaan istri adalah penderitaan suami. Aku ingin belajar menerima konsekuensi—walaupun Rama bukanlah lelaki yang aku pilih, ia memang lelaki yang dipilihkan ayahandaku, atau mungkin dipilihkan para dewa untukku, tapi aku tetap punya pilihan—yaitu menemaninya dan Lesmana ke pengasingan. Aku tahu—dan bisa sedikit membayangkan bagaimana sulitnya hidup kami di hutan nanti, apalagi aku tidak pernah bepergian sejauh ini sebelumnya, tapi ini adalah pilihanku—pilihan pertama dalam hidupku, kebebasan untuk memilih pertama kali dalam hidupku, jadi sekali saja, aku ingin mempertanggungjawabkan pilihanku. Mati atau tetap hidup aku nantinya dalam perjalanan pengasingan ini, aku pun tidak tahu. Yang jelas, sama seperti Rama dan Lesmana, aku akan berusaha bertahan hidup selama yang dimungkinkan.
Berangkatlah kami bertiga hari itu juga. Tidak diantarkan oleh sepasukan prajurit Ayodya. Kami berjalan bertiga, di kanan dan kiri kami dipenuhi warga yang menangisi kepergian calon raja mereka, Rama, yang tampak tetap memasang senyuman seolah ingin menenangkan mereka—seolah ingin mengatakan tanpa suara bahwa semuanya akan tetap baik-baik saja. Entah siapa yang akan menjadi pemimpin Ayodya setelahnya, doa Rama tetap menyertai negeri ini.
Aku tidak tahu bagaimana reputasinya di mata masyarakat Ayodya, tapi melihat banyaknya warga yang mengantarkan kami sampai keluar dari gerbang kota sambil menangis dan tidak putusnya mengutarakan doa-doa, aku tahu bahwa Rama—berikut juga Lesmana adalah dua orang yang disayangi dan dihormati oleh rakyat Ayodya.
Walaupun pada awalnya—bahkan sampai sekarang, bukanlah hal yang mudah untuk menerima takdirku bahwa sekarang aku sudah menikah dengan lelaki yang bahkan didapat dari sayembara memanah yang sengaja diadakan oleh ayahandaku, walaupun aku belum sepenuhnya yakin bahwa Rama adalah seseorang yang ditakdirkan olehku oleh para dewa, melihat bagaimana ia selalu memastikanku dan Lesmana tidak terlalu kelelahan dalam perjalanan, melihat bagaimana ia menghormati pilihanku dan mau mendengar pendapatku, lelaki ini... dengan yakin aku katakan, bukanlah seseorang yang akan aku sesali untuk aku nikahi bahkan di kehidupanku yang selanjutnya setelah kematianku di kehidupan ini sebagai Sita.
...
Aku tidak menghitung sudah berapa hari kami berjalan kaki dan beristirahat berulang kali di dalam perjalanan sampai akhirnya kami sampai di hutan yang memang kami tuju—aku tidak menghitungnya karena aku tidak mau mengingatnya sebagai langkahku yang paling jauh, sebab siapa tahu, suatu saat nanti, aku akan bepergian seorang diri, maupun bersama Rama, dengan jarak yang lebih jauh dibanding sekarang. Walaupun jelas kelelahan, aku berusaha tidak terlalu memperlihatkannya baik kepada Rama maupun Lesmana, tapi kakak beradik itu lebih tahu kapan kami harus berhenti untuk istirahat dan kapan harus melanjutkan perjalanan.
Selama beristirahat, kami makan apa saja yang bisa kami temukan. Buah-buahan, hewan buruan, apa saja. Kami mandi di mana kami menemukan sungai. Kami tidur dimana kami bisa membangun gubuk sederhana ataupun menemukan bekas gubuk yang ditinggalkan begitu saja.
Kami sudah jauh berjalan masuk ke dalam hutan, dan beruntunglah di sini kami menemukan bekas rumah dengan dua kamar dan satu dapur sederhana yang masih kokoh, tapi memang terbengkalai. Sehingga kami harus bekerja sama untuk membersihkan rumput liar yang menutupi hampir seluruh halamannya. Aku mencuci semua perlengkapan di dapur yang beberapa sempat ditinggalkan oleh pemilik sebelumnya. Lesmana membetulkan apa saja yang dirasa rusak—atap, timba untuk mengangkut air dari sungai di belakang rumah, lantai yang berlubang, dan membuat beberapa anak panah dari kayu-kayu yang ia kumpulkan dan sengaja diruncingkan di bagian ujungnya untuk persediaan senjata mereka, sementara Rama berburu hewan apa saja yang bisa ditangkap. Setelah membersihkan bagian dalam rumah, aku pamit pada Lesmana untuk mengumpulkan beberapa buah yang bisa aku temukan di sekitar hutan ini, ia mengizinkan asalkan aku tidak berjalan terlalu jauh dari pandangannya. Tak banyak sayur dan buah-buahan yang bisa aku kumpulkan mengingat aku hanya mengumpulkan apa yang familiar yang pernah aku makan untuk memastikan mereka tidak beracun, kemudian mencucinya di sungai, baru setelah itu kembali ke gubuk sederhana kami dimana Lesmana baru saja berhasil membuat api untuk penerangan, membakar hewan buruan, dan sebagai penjaga saat malam mulai larut supaya tidak ada hewan buas yang mendekat.
“Apakah kita harus bergantian menunggu api unggun ini untuk memastikan tidak ada hewan buas yang masuk ke gubuk kita?” tanyaku pada Lesmana.
Ia tersenyum sambil menggeleng, “Tidak perlu. Aku sudah memagari rumah ini dengan mantra suci yang akan menjauhkan kita semua dari bahaya hewan buas maupun bahaya yang tidak terlihat.”
Aku tersenyum dan mengangguk—diam-diam berterima kasih padanya.
“Apakah Rama memang begitu dicintai oleh rakyat Ayodya?”
“Kau harus menanyakan itu secara langsung pada mereka, aku tak punya hak untuk menjawabnya, yang bisa aku katakan adalah... Rama adalah lelaki yang baik. Aku tidak tahu makna baik menurutmu apa, mungkin saja Rama memang termasuk dalam lelaki yang kau anggap baik, mungkin juga tidak terlalu.”
“Dia memang ahli memanah?”
Lesmana mengangguk. “Dia memang sudah berlatih sejak kecil. Panahannya selalu sempurna—jarang—atau bahkan tidak pernah meleset.”
“Lalu kenapa bukan kau yang ikut sayembara itu?”
“Aku tidak tertarik,” jawab Lesmana mantap. “Walaupun kecantikanmu sudah tersebar sampai ke Ayodya, aku tidak memanah untuk mendapatkan calon istri karena aku belum memikirkan tentang pernikahan.”
“Tapi kau akan memilikinya?”
“Mungkin. Jika memang para dewa mengizinkan.”
“Dan kenapa Rama mau ikut sayembara itu?”
“Hei, suamimu itu Rama. Tanyakanlah padanya,” balas Lesmana sembari tertawa kecil. Aku hanya tersenyum malu menanggapi jawabannya.
“Kau tidak pernah melihatnya marah?”
“Sejauh ini belum.”
“Atau jangan-jangan ia memang tak bisa marah?”
“Jangan bercanda. Rama juga punya perasaan—sama seperti kau dan aku. Kesabarannya pasti punya batas.”
Tak lama setelah perbincangan itu, kami mendengar suara langkah kaki mendekat. Dan karena langit sudah mulai gelap, kami tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang datang. Maka Lesmana langsung mengambil panahnya dan berdiri di hadapanku—matanya siaga menatap ke sekeliling, aku pun sama. Dari balik asap dari api unggun yang dinyalakan Lesmana, muncullah sosok Rama dengan hewan buruannya. Ia tersenyum sembari menunjuk enam ekor burung yang ia ikat dengan akar pohon.
Lesmana bernapas lega dan kembali ke posisinya, “Kau membuatku kaget.” Ia lalu menoleh ke arahku dan Rama bergantian sebelum akhirnya berkata, “Kalau begitu, aku mandi dulu.” Kami berdua mengangguk dan membiarkan Lesmana menuju sungai.
Rama mengangsurkan enam ekor burung itu padaku untuk dimasak. Walaupun aku seorang putri, aku tetaplah perempuan—dan seorang perempuan di sekelilingku memang dipersiapkan untuk menikah, menjadi seorang ibu dan istri. Karenanya, walaupun aku tidak pernah menjelajah ke mana pun, aku tetap mempelajari hal-hal utama yang diajarkan leluhur kami kepada para perempuan, salah satunya adalah mengolah makanan sampai menjahit.
Saat makan malam tiba, Rama memutuskan agar kami tinggal di sini saja sampai waktu pengasingan habis, atau mungkin sampai seseorang yang punya gubuk ini meminta kami untuk enyah dan mencari tempat tinggal yang lain. Dan menurutku itu adalah keputusan yang bijak, toh, memang kami harus diasingkan ke hutan, dan ketika kami telah menemukan tempat tinggal yang lumayan di sini, maka itu akan lebih baik daripada tinggal berpindah-pindah dari goa satu ke goa lainnya.
....
Ketika berburu, Rama adalah orang yang termasuk cepat mendapatkan hewan buruan untuk kami makan. Biasanya hanya membutuhkan waktu setengah sampai satu jam—menurut kesaksian Lesmana yang sebelum Rama menikah, ia memang sering menemani lelaki itu berburu di hutan, tapi anehnya, hari ini Rama belum juga kembali setelah tiga jam meninggalkan gubuk kami. Karena risau, aku menyuruh Lesmana untuk menyusulnya—walaupun ia tidak langsung setuju karena khawatir meninggalkanku sendirian, tapi setelah aku mendesaknya untuk tetap pergi karena toh gubuk ini telah dipagari oleh mantra suci olehnya, ia akhirnya mau pergi.
Aku tidak merasakan cemas karena suamiku tak kunjung pulang sebab aku tahu bagaimana cerdasnya ia. Sebagai lelaki, ia pasti sudah berpetualang jauh lebih banyak dibanding aku yang tak mengerti banyak hal tentang dunia di luar istana, tentu saja ia akan selamat. Melihat bagaimana ia memanah di hari sayembara itu, aku tahu jika ia memang bukan ksatria biasa. Ia terlahir sebagai ksatria, dan para dewa memang telah menggariskan jalan hidup sebagai ksatria sesungguhnya padanya, walaupun aku tidak pernah bertanya sudah berapa kali ia bertarung dengan orang lain demi memenuhi dharmanya sebagai ksatria, atau mungkin, sudah berapa banyak perang yang ia pimpin selama di Ayodya.
Pemikiran tentang betapa aku belum mengenalnya buyar ketika seorang pendeta tiba-tiba datang ke gubukku dan meminta sesuatu yang bisa ia makan. Aku berkata padanya bahwa aku akan mengambilkan beberapa buah yang aku punya. Ia berucap terima kasih ketika aku menyerahkan buah-buahan itu kepadanya, tapi sebelum berlalu, ia berkata, “Kau adalah Widyowati.”
Aku merasakan bahwa jantungku seolah berhenti selama sepersekian detik—bagaimana bisa ia mengetahuinya, tapi setelah kupikir-pikir lagi, ki sanak ini adalah seorang brahmana, ia pasti akrab dengan bertapa selama berbulan-bulan untuk menyatukan dirinya pada sang entitas tertinggi, dan ia mungkin saja mengetahui lebih banyak hal dibanding yang aku pelajari selama di keputrian istana—tentu saja, pikirku. Ia pasti juga bisa melihat reinkarnasi orang-orang yang ia temui—entah saat melihatnya ia akan menghampiri orang itu untuk mengatakannya atau tidak, tapi aku cukup dibuat gemetar hanya karena perkataannya.
“Tapai nama saya Sita. Orang-orang tak pernah mengenal saya sebagai Widyowati, tapi saya mengetahuinya. Saya mengetahuinya dari mimpi-mimpi yang pernah saya dapatkan—dalam mimpi itu saya selalu bertemu dan ditemani—acapkali kami berbicara seperti sudah kenal lama, tentang banyak hal, dan lelaki itu bilang bahwa saya adalah Widyowati, dan ketika saya beritahu bahwa saya adalah Sita, ia tidak peduli apakah saya Sita atau Widyowati, ia bilang bahwa perasaannya tidak akan pernah berubah kepada saya. Dan sampai sekarang saya masih bingung—siapakah ia, dan dari mana ia berasal. Siapa saya sebenarnya. Saya Sita atau Widyowati. Bisakah Kisanak menjawabnya?”
Kisanak itu tak langsung menjawab, melainkan tersenyum kecil. Sepersekian detik kemudian ia bilang, “Rahwana. Nama lelaki itu.”
“Rahwana? Siapa ia?”
“Penguasa Alengka. Orang bilang ia dikutuk oleh para dewa sehingga ia punya sepuluh wajah buruk rupa. Semua yang menghuni Alengka adalah para raksasi dan raksasa—yang diyakini oleh banyak brahmana adalah manusia-manusia buangan yang dikutuk oleh para dewa karena karma mereka.”
“Lalu mengapa ia selalu muncul di mimpi saya dan mengapa saya merasa telah mengenalnya sejak lama walaupun kami tak pernah bertemu?”
“Nak, di kehidupanmu yang sebelumnya, kau adalah Widyowati dan kau ditakdirkan untuk menjadi pasangan Rahwana. Sementara di kehidupan ini kau bereinkarnasi menjadi Sita.”
“Dan untuk siapa saya ditakdirkan di kehidupan yang sekarang? Untuk Rama, kah? Atau tetap untuk Rahwana?”
Di luar dugaan, ia malah menjawab, “Tidak untuk siapapun, Nak, kecuali dirimu sendiri.”
“Saya tidak mengerti.”
“Aku hendak ke Alengka. Apabila kau ingin ikut, maka ikutlah. Mungkin di sana kau bisa bertemu dengan Rahwana dan bertanya tentang apa saja yang ingin kau tanyakan tentang dirimu.”
....
Begitulah, tanpa berpikir panjang, aku langsung merasa yakin bahwa aku ingin ke Alengka dan merasa tak akan menyesali keputusanku. Sungguh naif—barangkali kau akan berpikir begitu, tapi ini adalah kesempatan kedua dimana aku bisa membuat keputusan—dan aku memutuskan untuk menggunakan kesempatan ini dan menanggung segala konsekuensinya—walaupun aku tidak tahu konsekuensi apa yang aku dapatkan begitu sampai di Alengka. Sebelum pergi, aku menulis pesan singkat untuk Rama dan Lesmana di sebuah lantai yang terbuat dari kayu, yang tintanya kupakai dari sisa pembakaran di wajan yang aku gunakan untuk masak sehari-hari. Bunyinya singkat saja: aku ke Alengka menemui Rahwana. Seorang pendeta mampir dan bilang bahwa aku adalah reinkarnasi Widyowati—istri Rahwana. Menyusulku atau tidak, aku akan tetap kembali ke gubuk ini nantinya. –Sita.
Perjalanan ke Alengka cukup jauh, dan aku tidak menyangka bahwa petualanganku tidak berhenti hanya sebatas dari istanaku ke Ayodya dan dari Ayodya ke hutan pengasingan, tapi sekarang aku akan menyeberang ke negeri lain—negeri yang tak pernah aku dengar sebelumnya karena mungkin di beberapa kerajaan yang jauh dari Alengka, menyebut namanya saja sudah menghadirkan kengerian dan pamali bagi sebagian orang yang mempercayainya.
Beberapa orang yang kami temui di perjalanan memperbolehkan kami menumpang kendaraan mereka. Mulai dari gerobak sampai perahu—menjadikan perjalanan kami sedikit lebih cepat sampai ke Alengka.
Sama seperti perjalanan dari Ayodya ke hutan pengasingan, aku tidak pernah menghitung berapa lama perjalanan ini. Aku tidak meninggalkan jejak apapun untuk diikuti Rama dan Lesmana selain surat yang tak ditulis di atas rotan sebagaimana mestinya. Aku tahu mereka punya petualangan yang lebih banyak dibanding diriku, jadi menemukan Alengka dan mencapai negeri itu pastilah akan mudah juga dan aku yakin ada banyak orang yang mau membantu Rama untuk sampai ke sana, sebab kurasa, citra dan narasi tentangnya pasti sudah menyebar tidak hanya di negeriku dan Ayodya, tapi juga negeri lainnya.
Setelah beberapa hari—atau mungkin bulan, Kisanak bilang kami telah sampai ke negeri Alengka. Kami berpisah sebab ia hendak menuju kuil, dan sebelum ia pergi, ia memberitahuku dimana letak Istana Alengka berada. Sedikit lagi, kataku. Maka hari itu aku selesaikan sendiri perjalananku mencapai Istana Alengka. Dan ketika sampai, hari sudah sangat larut. Begitu aku sampai di depan gerbang istana yang dijaga oleh dua pemuda yang badannya lebih besar dan tinggi dibanding Lesmana dan Rama, aku agak takut, tapi ketika mereka bertanya dengan ramah tanpa menodongkan tombak, keberanianku muncul sedikit.
“Namaku Sita. Aku bertemu Kisanak di sebuah gubuk di dalam hutan tempat aku dan suamiku diasingkan dari Ayodya. Kisanak itu bilang bahwa aku adalah Widyowati dan aku mengenal Rahwana, pemimpin kalian, di kehidupan yang lalu. Aku ke sini untuk menemuinya.”
Dua pemuda itu memelototkan mata dan saling tatap. Salah satu dari mereka berlari masuk ke istana untuk menyampaikan pesanku, satu lagi menjagaku. Setelah beberapa menit, gerbang terbuka dan muncullah sepasukan penjaga—di depannya berjalan seorang lelaki tinggi besar dengan sepuluh wajah—yang sayangnya tidak buruk rupa, melainkan sangat tampan—yang aku duga ia pasti adalah Rahwana. Aku tersenyum dan bersembah kepadanya. “Selamat malam, Tuan Rahwana. Saya Sita.”
Ia tak langsung menjawab. Ia hanya menatapku dengan intens—seperti seseorang yang telah mendamba pertemuan ini—jika aku tidak salah menebak.
“Masuklah. Makan dan beristirahatlah. Perjalananmu pasti melelahkan. Akan aku ceritakan semua yang ingin kau ketahui besok.”
Aku tersenyum dan kembali bersembah sembari mengucapkan terima kasih. Lalu setelah itu, aku dinaikkan sebuah tandu mewah untuk dibawa ke istana, sementara Rahwana dan pasukannya berjalan di belakangku. Di depan sana, istana Rahwana terpampang nyata. Besar dan tinggi. Api-api dalam obor yang menghiasi setiap lantainya membuatnya tampak menyala di tengah gelapnya malam tanpa bintang hari ini.
....
Keesokan harinya, aku diajak berjalan-jalan ke kebun belakang istana Alengka yang luasnya bukan main. Di sana ada berbagai macam pohon buah-buahan yang ternyata boleh untuk ku makan setelah bertanya pada Rahwana. Yang dikatakan oleh pendeta itu tentang penghuni Alengka memang benar—mereka semua adalah para raksasi dan raksasa dengan anak dan cucunya. Wajah dan bentuk fisik mereka mengerikan—tidak seperti manusia biasa yang aku temui selama hidupku, tapi mereka memperlakukanku dengan baik, mulai dari rakyat biasa sampai orang-orang di dalam istana Rahwana. Aku berusaha untuk tidak canggung pada mereka karena bagaimanapun juga ini adalah kali pertama aku mengunjungi Alengka. Aku jadi berpikir—seandainya ayahanda dan ibunda tahu, mereka pasti akan marah besar dan mengutus banyak pasukan untuk menjemputku pulang, padahal aku baik-baik saja di sini.
“Mengapa wajahmu ada sepuluh?” tanyaku tanpa ragu sebab aku tahu Rahwana tak akan tersinggung karenanya.
“Entahlah. Beberapa orang bilang bahwa ini kutukan dari para dewa, tapi tidak tahu dewa yang mana. Beberapa orang tidak bilang apa-apa.”
“Dan bagaimana menurutmu? Kau anggap apa semua ini?”
“Aku tidak pernah memikirkannya. Terlalu naif jika aku bilang ini semua adalah takdir, sementara kadang aku masih kesal mengapa aku dapat bagian yang tidak mengenakkan, mengapa aku ditempatkan di Alengka yang jauh dari jangkauan banyak orang. Mengapa rakyatku dan aku diperlakukan berbeda oleh penghuni langit dan bumi. Tapi sejak lahir kami sudah hidup seperti makhluk asing, awalnya kami tidak menerimanya, tapi kami sudah jenuh untuk protes, mungkin itulah awal mula kami mulai menerimanya sebagai hal yang biasa.”
“Kau marah tidak pada para dewa yang membuatmu dan rakyatmu menjadi begini?”
“Dulu iya, sekarang tidak lagi—toh aku memang tak tahu dewa mana yang membuatmu seperti ini. Para dewa terlalu banyak dan semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Kami memujanya, sekaligus tidak terlalu memujanya.”
Aku duduk pada salah satu ayunan dan menyuruhnya untuk duduk di sampingku juga. Ia menggeleng dan memilih duduk di kursi taman yang dipahat dari kayu yang letaknya berhadapan dengan ayunan yang aku duduki. “Sekarang, ceritakan semua yang kau tahu tentang Widyowati.”
Ia tak langsung menjawab, melainkan diam selama beberapa detik, menatap sekeliling, “Sebenarnya tak ada guna mengetahui masa lalumu. Kau sekarang adalah Sita.”
“Rama adalah lelaki yang baik. Ia menghargaiku dan aku pun sama, tapi aku tidak yakin bahwa aku memang untuknya. Pendeta bilang, aku adalah reinkarnasi Widyowati, perempuan yang memang ditakdirkan untukmu. Tapi itu kata pendeta, bukan katamu. Aku mau dengar apa katamu.”
“Kau dan Widyowati adalah orang yang sama. Kau sebenarnya lahir di Alengka sebagai Widyowati, telah ditakdirkan pula oleh para dewa bahwa aku akan menikah dengan perempuan alengka bernama Widyowati yang tak tampak seperti raksasi, dan kemudian kau terlahir normal, tidak seperti raksasi di sini, lalu salah satu brahmana mengaku mendengar bisikan para dewa untuk memindahkanmu dari Alengka, maka brahmana itu memberikanmu pada sepasang suami istri yang belum punya anak—yang sekarang jadi ayahanda dan ibundamu. Mereka lalu mengubah namamu menjadi Sita—begitu pula takdirmu. Itulah mengapa ayahandamu mengadakan sayembara panahan, ia tak ingin aku menjemputmu untuk menikahi putri angkatannya yang sudah ia anggap seperti darah dagingnya sendiri, karena para pendeta pasti tak akan setuju kalau seorang raksasa dari Alengka menikahi perempuan yang bukan raksasi sepertimu. Dan karena sekarang kau adalah Sita, maka para dewa mengirimkan jodoh yang pantas untukmu, dan Rama adalah orangnya.”
“Itu artinya—sejak awal aku adalah Widyowati. Dan aku memang untukmu.”
“Sekarang kau adalah Sita, bukan Widyowati. Maka kembalilah pada Rama.”
“Lalu kau anggap Widyowati apa sekarang? Sudah matikah ia dalam pikiranmu? Dalam hatimu? Ternyata kau orang yang selama ini muncul dalam mimpiku. Kau selalu menyebutku sebagai Widyowati, dan sekarang aku tahu alasannya. Aku tahu aku ini perempuan—tak punya banyak pilihan, atau bahkan tak boleh memilih sama sekali—tapi tidak bolehkah aku memilih jalan hidupku yang satu ini dengan kembali padamu sebagai Widyowati?”
“Itu tak akan terjadi.” Rahwana kemudian berdiri dan bergegas meninggalkanku. Walaupun sudah aku panggil namanya beberapa kali dan bertanya “mengapa”, ia tak berbalik untuk menjelaskan.
Sejak hari itu, beberapa hari kemudian aku tak melihatnya di mana pun di sudut istana ini. Aku bertanya pada pelayan pribadiku yang diutus Rahwana, tapi ia selalu menjawab tidak tahu. Sepertinya mereka sepakat untuk tidak memberitahuku di mana keberadaan lelaki itu. Maka aku berhenti mencarinya sebab ia mungkin saja butuh waktu untuk sendiri.
Tapi aku terbangun suatu pagi—dan pagi itu adalah hari ini dimana kudengar Rama dan Lesmana telah datang, mereka ada di depan gerbang istana Alengka, dan aku tidak tahu mengapa mereka membawa pasukan. Aku bertanya pada pelayan, tapi tak ada satupun dari mereka yang mengerti jawabannya—entah memang tidak tahu atau sengaja menyembunyikan sesuatu hal dariku. Akhirnya aku mengitari istana ini hanya untuk menemukan Rahwana, dan begitu aku ada di depan ruangannya, ia menolak menemuiku. Kataku: baik, maka aku akan menunggunya sampai ia bersedia keluar. Dan tak lama setelah itu, ia betulan keluar ruangan, tapi sama sekali tidak menoleh ke arahku, bahkan ia seperti tidak mendengar pertanyaanku: mengapa di luar sana Rama dan Lesmana membawa banyak pasukan? Aku tak memintanya! Apakah kalian akan perang? Perang untuk siapa dan karena apa? Jawablah! Kau tak akan menanggapi mereka, bukan? Perang itu konyol! Tidak menyelesaikan apapun! Dan setelah beberapa menit berusaha mengikuti langkah kakinya sambil terus mengoceh, akhirnya Rahwana berhenti dan berbalik menatapku dengan wajah yang bengis, tapi aku tidak merasakan kengerian atau ancaman apapun dari ekspresinya. Bukannya bengis seperti ingin membunuh seseorang, ekspresi wajah yang kutangkap darinya lebih kepada ekspresi kebingungan dan keengganan.
“Terserah apa katamu, tapi perang ini memang sudah ditakdirkan oleh para dewa!”
“Para dewa lagi, para dewa lagi! Dewa yang mana yang memerintahkan perang konyol macam ini? Dan kau—juga Rama dan Lesmana akan memenuhinya? Kalian laki-laki yang konyol! Kalian seolah tak takut mati!”
“Kami tidak takut mati sejak tahu kalau kami terlahir sebagai ksatria,” jawabnya lugas, membuatku kehabisan kata-kata selama sepersekian detik. Kini ia berbalik kepadaku, berhadapan denganku sepenuhnya. “Katakan padaku, Sita, siapa yang bisa memilih ia akan lahir menjadi siapa? Siapa yang bisa memilih untuk lahir sebagai sudra atau ksatria atau brahmana? Tak ada! Kami lahir dan siapa kami sudah ditentukan dari garis keturunan leluhur dan para brahmana menyebutnya sebagai dharma kami! Dharma seorang ksatria adalah berperang—sekalipun mereka tak suka perang karena demi para dewa, Sita, aku pun membenci perang! Tapi apa aku punya pilihan—tidak, apakah kita punya pilihan?” Kini aku bisa mendengar setiap penekanan dan emosi dalam kalimatnya. Dan mengapa para dewa mengatakan bahwa ia adalah lelaki terkutuk apabila ia bahkan tidak menyukai perang.
“Jadi, ini maksudmu di taman kemarin?” tanyaku dan ia langsung menoleh—menatapku intens. “kau bilang aku tak bisa berada di sisimu seperti yang ingin aku lakukan karena kau tahu bahwa kau akan berperang dengan Rama? Begitukah?”
“Kini kau tahu jawabannya dan aku harap kau tidak banyak bertanya.”
Ia baru saja melangkah beberapa langkah, tapi sudah aku hentikan lagi bukan karena aku menghadang dan mengejarnya, tapi karena pertanyaanku yang berhasil membuatnya berbalik sejenak, “Dan apa kau tahu siapa yang menang dalam peperangan ini?”
“Percayalah—tidak ada.”
Dan apabila lelaki itu terkutuk—kata para dewa—mengapa ia diberi kemampuan untuk melihat masa depan Alengka? Apa yang membuat para dewa memberinya kepercayaan sebesar itu? Oh—atau itu bukan kepercayaan. Itu adalah siksaan, mimpi buruk, dan terasa seperti hukuman pada Rahwana karena ia sudah mengetahui masa depan Alengka dan dirinya sendiri, bahkan mungkin aku, Rama, dan Lesmana, dan aku bertanya-tanya sudah berapa lama ia dihantui perasaan mengerikan itu. Jika memang cinta Rahwana padaku dilarang para dewa, mengapa kau biarkan aku terlahir sebagai Widyowati? Tidak—mengapa pula Rahwana harus dilahirkan?
Sementara pasukan Rahwana dan Rama sudah berkumpul, aku menuju kuil. Di kuil ini aku tidak mendengar apapun selain napasku sendiri. Padahal aku tahu pasukan yang dibawa Rama tidaklah sedikit—begitu pula pasukan di bawah pimpinan Rahwana. Sesederhana itukah semua ini sampai harus disebut sebagai takdir? Takdir untuk siapa? Takdir dari siapa? Benarkah kami tak benar-benar punya pilihan ketika menyangkut takdir? Takdir adalah sesuatu yang harus kau jalani—tak ada jalan untuk kembali.
Tidak ada yang selamat katanya? Aku membuka mata lalu mengembuskan napas pelan. Bertepatan dengan itu, sangkakala dan genderang dibunyikan—pertanda perang telah dimulai. Jantungku seolah tak ada di tempatnya lagi. Aku tidak bisa berdoa, pun tidak bisa protes. Aku hanya mengosongkan diriku. Berusaha meniadakan diriku agar aku tidak perlu merasakan tanah yang kupijak bergetar karena deruan para prajurit. Punggungku terasa panas, seperti disapu angin dari api pembakaran, kontras dengan tanganku yang sedingin es. Aku tidak tahu berapa lama aku terdiam, namun ketika aku terbangun, aku mendengar sorakan kegembiraan—salah satu dari mereka menang. Salah satu pelayan menyeretku pergi sebab istana ini dibakar oleh Hanuman—pemimpin pasukan kera yang membantu Rama memenangkan perang ini. Mataku panas dan berair mendapati Rahwana kalah dan tak menepati ucapannya—ia bilang tidak ada yang menang. Ketika aku sampai di gerbang akhir istana yang terbuka, aku menemukan pasukan Rahwana tumbang tanpa tersisa. Bahkan Rahwana telah hancur jadi debu. Dalam pandanganku yang buram, kulihat Rama dan Lesmana ada di sana—tak menampilkan kegembiraan atau kesedihan. Apakah mereka berdua juga merasa konyol dengan dharma mereka sebagai ksatria yang harus berperang walaupun mereka tak menghendakinya?
Tak lama setelah itu, kurasakan tanah yang kupijak bergetar hebat, begitu pula dengan semua orang yang ada di sana yang segera mencari tempat berlindung. Aku menoleh ke belakang dengan susah payah—dan kulihat Kumbakarna—adik kandung Rahwana yang selalu tertidur itu, seorang raksasa yang kuat, akhirnya dapat dibangunkan juga. Ia bangun dari tidur panjangnya, dan kini berhadapan dengan Rama dan Lesmana. Pada momen inilah perkataan Rahwana terbukti—tak ada yang menang. Rama, Lesmana, dan Hanuman berhasil mengalahkan Kumbakarna—sama seperti Kumbakarna yang berhasil mengalahkan mereka bertiga. Mereka semua mati—di depan mataku. Para dewa yang menakdirkan ini semua—merampas satu-satunya yang kupunya seolah aku ini sedang mendapatkan karma atas kesalahan entah apa. Kulihat salah satu pedang prajurit tergeletak di sebelahku. Aku tidak pernah mengaku bahwa aku berani menghadapi kematian, tapi detik itu aku menghunuskan pedang itu tepat di jantungku tanpa ragu. Tubuhku terlentang—merasa dingin dan menggigil karena terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhku. Perlahan kurasakan tubuhku mulai ringan—seperti aku hendak berangkat tidur. Dan aku melihat langit yang mulai mendung. Dari istana-istana megah di atas sana, apakah para dewa melihat semua yang terjadi di bumi? Apakah para dewa kini menyaksikan pertumpahan darah semua orang di Alengka? Aku, Rama, Rahwana, Lesmana, dan Hanuman—bagaimanakah sejarah akan mengingat kami? Bagaimana para dewa akan menceritakan kami melalui para brahmana? Soal itu, aku tak peduli lagi.