Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tidak sedang mencari puncak. Aku hanya ingin pergi sejauh mungkin dari semua yang membuatku ingin menyerah. Bukan karena aku kuat mendaki, tapi karena aku lelah berdiam di tempat yang sama, menahan sesuatu yang bahkan tak pernah sempat tumbuh menjadi apa-apa.
Rinjani menyambutku dengan udara dingin yang menggigit sampai tulang, seperti menyelam ke dalam kenangan yang tak mau menguap. Kabut menggantung malu-malu di sela pohon, seolah ikut menyimpan rahasia para pendaki yang pernah datang membawa beban masing-masing. Jalur pendakian pagi itu tak terlalu ramai, hanya beberapa kepala asing yang tak pernah tahu apa yang kubawa dalam ransel, selain logistik dan jaket tebal: luka yang sudah lama menolak sembuh.
Aku berjalan bersama sekelompok orang yang kutemui semalam di basecamp. Mereka ramah, terlalu ramah untuk orang seasing aku. Ada yang tertawa-tawa saat menceritakan pendakian sebelumnya, ada yang sibuk mengambil foto sambil berteriak, “Nanti kita bikin konten YouTube, bro!”
Aku hanya tersenyum tipis, menanggapi dengan anggukan ringan. Dalam hatiku, aku tak berniat tampil dalam potret mana pun. Aku datang bukan untuk terlihat. Aku datang untuk menghilang.
“Sendirian, Mas?” tanya salah satu dari mereka saat kami istirahat di pos 2.
“Hmm,” aku mengangguk sambil membuka botol minum. “Iya, biar bisa ngobrol sama diri sendiri.”
Dia tertawa kecil, mungkin mengira aku sedang bercanda. Padahal itu jawaban paling jujur yang bisa keluar dari mulutku hari itu. Aku memang ingin bicara pada diriku yang lama—versi yang takut, yang ragu, yang memilih diam saat hati seharusnya bicara.
Di pos 3, kami berhenti lebih lama. Langit mendung, embusan angin makin keras. Aku duduk di atas batu besar, menatap jejeran bukit yang menanti di depan. Kabut datang dan pergi, seperti kenangan yang tak pernah tahu kapan harus menghilang. Aku mengusap keringat di pelipis, meski hawa dingin justru membuat tubuh menggigil.
Langkah demi langkah, semakin tinggi, semakin sunyi. Tak ada sinyal ponsel, tak ada suara kendaraan, tak ada hiruk-pikuk kota yang biasanya kuanggap teman. Hanya deru napas yang saling bersahut dengan desir angin dan gemerisik dedaunan.
Dalam diam, aku memikirkan satu nama yang dulu pernah kurawat dalam diam pula. Namanya sederhana. Tak muluk seperti tokoh-tokoh dalam novel, tapi punya daya tinggal yang aneh di kepalaku. Muncul sesekali di antara mimpi dan doa, dalam bentuk senyum yang tertinggal di kaca jendela, atau tawa yang nyangkut di sela-sela kenangan.
Aku pernah menulis namanya di puluhan puisi. Bukan secara gamblang, tentu saja, tapi dengan simbol-simbol yang hanya bisa kumengerti. Tentang mata yang hangat, tentang suara yang lembut, tentang seseorang yang pernah ingin kupeluk hanya karena dunia terasa lebih baik saat ia ada.
Tapi aku tidak pernah berani. Tak satu pun dari kata-kata itu sampai padanya.
Malam mulai turun ketika kami sampai di Plawangan. Angin memukul tenda seperti ingin membuka paksa segala rahasia yang kusembunyikan. Aku duduk di luar, menyandarkan punggung pada batu besar, mengenakan jaket dan topi kupluk. Di depan sana, lautan awan mulai berkumpul, membentuk pemandangan yang akan membuat siapa pun terdiam.
Tapi bagiku, keindahan itu hanyalah latar. Latar dari rasa yang tak pernah selesai.
Seseorang dari tenda sebelah menyalakan api kecil dan mulai merebus air. Bau kopi instan menguar ke mana-mana. Tiba-tiba aku merasa sendirian di antara keramaian. Bukan karena mereka tak ramah, tapi karena tak satu pun dari mereka mengenalku—bahkan mungkin termasuk aku sendiri. Aku merasa asing dalam tubuh yang sama, seolah yang mendaki ke sini adalah versi lain dari diriku yang tak pernah sempat tumbuh.
Aku membuka catatan di ponsel, satu folder bernama ‘untuk dia’. Isinya pesan-pesan yang tak pernah kukirim. Sebagian pendek, sebagian penuh sesak dengan kata-kata yang tersimpan selama bertahun-tahun. Salah satunya tertanggal dua tahun lalu:
> “Kalau suatu hari kamu baca ini, mungkin aku sudah tak lagi jadi bagian dari ceritamu. Tapi aku ingin kamu tahu, dulu aku jatuh cinta. Diam-diam. Dalam-dalam.”
Angin malam membawa dingin ke sela-sela jari. Tapi yang lebih dingin dari udara di Rinjani malam itu adalah kenangan yang masih menempel di hati, membeku tanpa pernah sempat mencair jadi kenyataan.
Dan aku mulai bertanya-tanya, mungkinkah gunung seindah ini bisa menghapus apa yang tak pernah berani diungkap?
---
Namanya Aksa.
Ia datang saat hidupku masih abu-abu, saat dunia terasa seperti lorong panjang yang tak punya ujung. Ia tak mengetuk pintu masuk, hanya duduk di sampingku suatu siang di perpustakaan, membuka buku puisi Chairil Anwar, dan bertanya, “Kamu suka yang mana?”
Aku tak menjawab. Hanya menunjuk bait di halaman kiri:
"Aku ini binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang..."
Dia mengangguk pelan, lalu tersenyum.
“Sama. Tapi aku nggak suka nasibnya,” katanya, lalu tertawa kecil. Tawa yang kelak menjadi hal paling kurindukan dalam sepi.
Kami tak pernah merencanakan kedekatan itu. Semuanya mengalir, seperti hujan yang turun tanpa aba-aba. Aku tak ingat sejak kapan mulai menanti pesannya, atau sejak kapan aroma parfumnya menjadi penanda bahwa hariku akan lebih baik. Yang kuingat, aku selalu ingin bersamanya lebih lama, bahkan ketika dunia hanya memberi kami waktu sekejap.
Aksa berbeda. Ia tak hanya hadir saat aku butuh teman, tapi juga saat aku ingin menjadi diriku yang sebenarnya. Kami banyak berbagi diam, bukan karena tak tahu harus bicara apa, tapi karena diam kami saling memahami. Ia pernah bilang, “Nggak semua luka harus dijelaskan. Kadang cukup dilihat, didengar, dan dipeluk diam-diam.”
Dan aku, seperti orang bodoh, memeluknya hanya dalam doa.
Setiap kali bersamanya, hatiku seperti menulis surat tanpa kertas. Surat-surat itu hanya tersimpan di kepalaku, atau kadang kubisikkan pada angin malam. Aku ingin mengungkapkan semuanya: bagaimana ia membuat dunia terlihat lebih tenang, bagaimana matanya bisa membuat waktu melambat. Tapi aku terlalu takut. Takut jika perasaanku malah merusak segalanya.
Suatu malam, kami duduk di bangku taman kampus setelah rapat kepanitiaan. Hujan baru reda. Udara basah, dan aroma tanah menyeruak. Ia duduk bersisian denganku, sambil memainkan botol air mineral kosong.
“Menurutmu, semua orang berhak bahagia?” tanyanya tiba-tiba.
Aku mengangguk. “Berhak. Tapi nggak semua orang berani mengejarnya.”
Dia menatap langit, lalu berbisik, “Kadang aku iri sama orang-orang yang bisa jujur sama perasaannya.”
Aku nyaris mengatakan, “Aku juga iri... pada dirimu yang tak tahu bahwa kau adalah jawabannya.”
Tapi lagi-lagi, aku hanya tersenyum.
Seminggu setelah itu, Aksa mulai jarang menghubungi. Katanya, ia sedang sibuk mempersiapkan sesuatu. Aku tidak tahu apa. Aku mencoba tetap terlihat tenang, walau kenyataannya ada bagian dari diriku yang retak.
Dan pada hari Minggu itu, saat matahari seperti ragu menyinari bumi, aku melihatnya duduk di taman kota—bersama seseorang yang belum pernah kulihat. Seorang laki-laki dengan jaket hitam dan tangan yang menggenggam jemari Aksa begitu tenang.
Hatiku tenggelam perlahan, tanpa suara, seperti daun yang gugur ke sungai.
Aku tak pernah menanyakan siapa laki-laki itu. Aku tak pernah bertanya apakah Aksa bahagia. Aku hanya memilih menjauh, perlahan, seperti bayangan yang tahu diri saat cahaya tidak lagi membutuhkannya.
Setelah itu, kami nyaris tak pernah bertemu. Percakapan kami memudar jadi sapaan singkat di media sosial, atau komentar basa-basi saat ulang tahun. Dan aku? Aku masih menyimpan semua surat tak terkirim itu. Masih menulis namanya di setiap sajak, menyelipkannya di tiap bait yang kubaca diam-diam sebelum tidur.
Aksa pernah bilang, “Kalau suatu hari aku hilang, ingat aku dengan tenang, ya.”
Tapi bagaimana bisa tenang jika kenangan yang tertinggal begitu bising?
---
Angin malam di Rinjani menusuk, meski sudah kukepung tubuhku dengan jaket tebal dan sleeping bag. Tapi ada yang lebih dingin dari udara pegunungan ini—kenangan yang datang tanpa aba-aba, mengguncang tenang yang semu.
Di dalam tenda, aku menatap ponsel yang sudah mati sejak sore. Tak ada sinyal. Tak ada notifikasi. Hening menjadi teman paling jujur malam itu. Aku teringat pada secarik kertas yang sejak tadi siang tak sengaja kutemukan di sela buku catatan—kertas kusut yang sudah agak pudar tintanya.
Tulisan tangannya masih kukenal:
Akan kuberitahu sesuatu yang tidak pernah sempat aku katakan. Jika kamu membaca ini, berarti semesta memang ingin kamu tahu.
Tiba-tiba, dunia seolah berhenti berputar. Aku kenal huruf-huruf itu. Aku kenal caranya menulis huruf A dengan ekor memanjang seperti bulan sabit. Itu tulisan Aksa. Dan kertas itu—aku yakin—sengaja ia sisipkan di buku pinjamanku, entah kapan.
Tanganku gemetar saat membalik kertas itu, membaca perlahan, menyerap setiap katanya seolah-olah itu adalah suara terakhir dari seseorang yang pernah membuat hidupku berdenyut lebih pelan:
> “Aku tahu kamu tidak akan pernah mengatakannya. Aku pun begitu. Kita terlalu pandai berpura-pura, seakan-akan semua baik-baik saja. Tapi diam-diam, aku menunggu. Menunggu keberanianmu, atau keberanianku, entahlah.
Aku memilih diam, bukan karena aku tidak merasa apa-apa, tapi karena aku takut: takut kalau kita bicara, semua akan berubah. Aku sayang kamu, lebih dari yang sempat kuucap. Tapi sayangnya, hidup tidak menunggu kita menyusun kata yang tepat.
Jadi, jika kamu membaca ini suatu hari nanti, mungkin aku sudah bukan siapa-siapa lagi. Tapi percayalah, ada versi dunia di mana aku menggenggam tanganmu di taman itu, dan kita tidak perlu pura-pura kuat.
Maaf, karena aku memilih mundur tanpa penjelasan. Mungkin ini pengecut. Tapi cinta diam-diam pun tetap cinta, kan?”
Aku terdiam lama.
Surat itu seperti membuka lubang yang selama ini kututupi dengan tawa palsu dan kesibukan. Seandainya saja aku bicara lebih awal. Seandainya aku tak menyerah hanya karena takut. Seandainya aku tahu, bahwa Aksa juga merasa yang sama, mungkin kisah ini tak akan jadi seperti ini: kabur, gantung, dan nyaris terlupakan.
Kupandangi langit dari balik pintu tenda. Bintang-bintang berserakan seperti serpihan harapan. Rinjani seolah menjadi saksi bisu dari semua luka yang tak pernah sempat tertata.
“Aksa...” bisikku, nyaris tanpa suara.
Kepalaku dipenuhi bayangannya. Tawa kecilnya, cara ia memalingkan wajah saat malu, caranya menepuk bahuku saat aku cemas. Dan kini, satu surat usang membuat semuanya kembali—lebih hidup dari sebelumnya, tapi juga lebih menyakitkan.
Apakah aku masih mencintainya?
Mungkin.
Atau mungkin aku mencintai kenangan tentangnya. Tentang “kita” yang tak pernah benar-benar jadi apa-apa, tapi menyisakan terlalu banyak rasa.
Dan malam itu, aku menulis balasan.
Bukan di kertas, tapi di hati. Dalam diam. Dalam udara dingin yang menyusup hingga ke tulang.
> Aksa, andai waktu bisa kuputar, aku akan menjemputmu di taman itu, dan membiarkan dunia tahu bahwa aku mencintaimu, bahkan sebelum aku paham betul apa itu cinta.
---
Pagi datang dengan cahaya lembut yang menyentuh pucuk-pucuk kabut. Udara dingin tak lagi menggigit sekuat semalam, tapi hatiku masih menggigil, bukan oleh suhu, melainkan oleh sesuatu yang jauh lebih dalam: perpisahan yang tak pernah benar-benar aku pahami.
Langkah kakiku berat saat mulai melanjutkan pendakian menuju Plawangan Sembalun. Setiap langkah seolah menggiringku ke arah yang menjauh dari Aksa—atau justru mendekatkan pada ingatan tentangnya. Aku tidak tahu. Yang kutahu, aku harus terus berjalan.
Sepanjang jalur berbatu, aku mendengar gumam alam. Suara angin seperti memanggil, lalu memudar. Seperti cara Aksa dulu berpamitan: samar, tapi menyisakan jejak yang tak pernah hilang.
Di titik pandang tertinggi sebelum puncak, aku berhenti. Duduk di tepi jurang kecil, menatap danau Segara Anak yang terlihat seperti telaga raksasa yang menyimpan semua rahasia langit.
Kupandangi foto terakhir Aksa di ponselku—foto yang diam-diam kusimpan bahkan setelah ia menghilang tanpa jejak. Ia tersenyum di taman, memakai sweter biru tua dan memegang buku yang sekarang ada di tasku. Buku yang dulu kupinjam tapi tak sempat kukembalikan. Buku tempat surat itu bersarang diam-diam.
“Aksa... kau tahu? Aku ada di sini sekarang. Di titik tertinggi yang pernah kita bicarakan,” gumamku pelan, hampir seperti doa.
Aku ingin marah. Pada waktu. Pada diriku. Pada kenyataan yang tidak pernah berpihak pada dua orang yang hanya butuh sedikit keberanian untuk saling memeluk, tapi terlalu takut kehilangan kendali.
Namun yang kurasakan justru tenang yang aneh. Seperti seseorang yang akhirnya menemukan kuburan tempat ia bisa menangis dengan damai.
Karena mungkin, bukan jawaban yang kucari selama ini. Tapi ruang untuk meletakkan rindu. Dan Rinjani memberiku itu.
Aku merogoh tas dan mengambil sesuatu—cincin kecil yang dulu pernah ingin kuberikan. Bukan untuk lamaran. Hanya simbol, bahwa aku pernah mencintainya. Bahwa aku pernah menyimpan harapan tentang masa depan yang bahkan tak pernah sempat kami bicarakan.
Dengan tangan gemetar, aku meletakkan cincin itu di celah batu.
“Biar tetap di sini,” bisikku, “biar angin dan awan jadi saksi bahwa aku pernah mencintaimu diam-diam. Sama seperti kamu yang pernah mencintaiku, tapi tak sempat berkata.”
Mataku terasa hangat. Tapi aku tidak menangis. Tidak benar-benar. Karena rasa ini terlalu dalam untuk sekadar dieja lewat air mata.
Aku hanya menutup mata, membiarkan napasku menyatu dengan udara pegunungan, dengan langit yang biru sendu, dengan kenangan yang tak lagi ingin kusembunyikan.
Mungkin ini perpisahan.
Tapi juga bisa jadi permulaan. Permulaan untuk menerima bahwa tak semua cinta harus berakhir dengan bersama. Ada yang cukup hadir dalam kenangan, dalam diam, dalam sisa napas yang tertinggal setelah kita saling melepaskan.
Dan saat aku berdiri kembali, melangkah menuruni jalur setapak yang panjang, aku tahu satu hal:
Aku tidak lagi sendiri. Aku membawa Aksa dalam setiap desir angin, dalam setiap detak hati yang berdamai.
---
Malam terakhir di Rinjani datang tanpa aba-aba. Langit bersih tanpa bintang, seakan memberi ruang bagi malam untuk bicara sendiri.
Aku duduk di luar tenda, memeluk lutut sambil menatap kosong ke lembah. Kabut naik perlahan, seperti kenangan yang enggan usai. Tapi kali ini, aku tidak lari. Tidak juga sembunyi.
Dalam hening, aku mencoba menyusun potongan-potongan yang pernah patah: harapan yang dulu mengendap dalam dada, tanya-tanya yang tak pernah sempat dijawab, dan cinta yang pernah mekar namun layu sebelum sempat dipetik.
"Aksa, aku nggak akan lagi menyalahkan siapa pun," bisikku ke angin, "termasuk diriku sendiri."
Rinjani mengajarkanku bahwa tak semua luka harus disembuhkan dengan jawaban. Beberapa cukup diakui keberadaannya, lalu dipeluk perlahan.
Seperti bagaimana aku kini menerima kehilanganmu, bukan sebagai akhir, tapi sebagai bagian dari cerita yang membuatku lebih manusia. Lebih mampu merasa. Lebih tulus untuk tetap melangkah, meski sendirian.
Pagi nanti, aku akan turun. Meninggalkan puncak. Tapi aku tahu, sebagian diriku akan tetap tinggal di sini. Di antara kabut, di balik batu tempat aku menyimpan cincinnya, dan di tiap jejak langkah yang sempat kutinggalkan bersama rindu yang tak bisa mati.
Dan kamu, Aksa, akan tetap hidup di dalam cerita. Dalam napas. Dalam tulisan ini.
---
Epilog
Beberapa tahun telah berlalu.
Aku tak lagi menulis untuk mencari jawaban. Kini, aku menulis untuk mengenang. Untuk menghidupkan kembali mereka yang pernah singgah, walau hanya sejenak. Termasuk Aksa—yang cintanya mungkin tak utuh, tapi cukup untuk membuatku mengerti tentang kehilangan dan keikhlasan.
Buku yang dulu ia pinjamkan, kini menjadi milik yang tak tergantikan. Di dalamnya, kutemukan surat terakhir yang membuatku memulai pendakian waktu itu. Dan entah kenapa, setiap kali membaca ulang surat itu, aku tidak merasa patah. Justru ada hangat yang tumbuh diam-diam. Seperti pelukan yang tak jadi diberikan, tapi tetap terasa.
Hidup terus berjalan, begitu pula aku. Tapi ada satu bagian dari hatiku yang tetap memilih tinggal di Rinjani. Di tempat terakhir aku benar-benar merasa dekat, meski sebenarnya sedang kehilangan.
---
Catatan Akhir dari Penulis
Cerita ini kutulis bukan sekadar sebagai fiksi, melainkan sebagai ruang bagi kita semua—yang pernah kehilangan, pernah mencintai dalam diam, atau pernah ditinggalkan tanpa pamit.
Kita semua punya "Rinjani" masing-masing. Tempat di mana kita menyimpan rindu, tempat kita menangis diam-diam, tempat kita melepas apa yang seharusnya bisa kita genggam lebih lama... tapi tidak sempat.
Aku ingin kau tahu, tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Tidak apa-apa untuk masih menyimpan cincin, foto, atau kenangan yang membekas. Itu bukan kelemahan. Itu tanda bahwa kita pernah hidup dengan rasa.
Dan jika suatu hari kau mendaki gunung mana pun, lalu angin berdesir pelan membawa kenangan lama—mungkin, kau akan mengingat cerita ini. Mungkin, kau akan merasa tidak sendirian.
Terima kasih telah membaca.
Dan jika kau masih menyimpan nama seseorang dalam doamu, maka kau dan aku, tidak jauh berbeda.
—
Ilyas,
yang menuliskan luka agar ia tak lagi terasa sendiri.