Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah desa kecil di pinggir sungai, tempat sawah hijau membentang luas dan angin pagi membawa aroma tanah basah, hiduplah seorang pemuda bernama Rian. Ia baru saja lulus kuliah di kota besar, tapi hatinya selalu tertarik kembali ke rumah. Rumah itu bukan sekadar bangunan kayu tua; itu adalah tempat kenangan tentang ibunya, Sari, dan ayahnya, Pak Darno. Mereka adalah orang tua sederhana, petani yang bekerja keras dari subuh hingga petang, hanya agar anak-anak mereka bisa hidup lebih baik.
Rian ingat betul lagu yang sering dinyanyikan ibunya saat malam hari.
“Ibuku sayang, masih terus berjalan. Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah,”
begitu liriknya, dari lagu Iwan Fals yang menjadi favorit Sari.
Ibu itu bukan wanita biasa; ia adalah pilar keluarga. Saat Rian kecil, Sari bangun pagi-pagi untuk memasak nasi dan lauk pauk, meski tangannya kapalan karena mencangkul sawah. Ia tak pernah mengeluh, bahkan saat hujan deras membuat sawah tergenang. Apapun akan ia lakukan demi anak dan keluarganya, agar anaknya bisa makan, sekolah, hingga kuliah ia lakukan tanpa memperdulikan kondisi diri sendiri, mau itu sedang sakit, letih, lelah tetap ia lakukan demi anak dan keluarga nya.
“Nak, ibu lakukan ini untuk kalian,” katanya sambil tersenyum lelah.
Kadang, setelah bekerja di sawah, Sari masih duduk di bawah lampu redup, menjahit baju anak-anak tetangga untuk tambahan uang. Mata tuanya yang mulai rabun tetap fokus, seolah benangnya adalah harapan yang ia rajut agar anak-anaknya bisa kuliah suatu hari nanti.
Ayahnya, Pak Darno, adalah sosok pendiam tapi kuat. Ia jarang bicara, tapi tindakannya bicara banyak. Setiap hari ia pergi ke sawah, membawa bekal dari Sari, dan pulang dengan tangan berlumpur.
Rian masih ingat sore-sore masa kecilnya, saat ayahnya mengajarinya naik sepeda tua di jalan desa.
“Jangan takut jatuh, Nak. Ayah di sini,” katanya, sambil mendorong dari belakang.
Suara itu lembut, tapi mengandung keyakinan.
Dan ketika malam datang, Pak Darno sering memetik kecapi sambil bersenandung tentang kampung halaman. Di sela dentingan itu, Rian selalu merasa dunia aman dan damai.
Namun, kehidupan tak selalu indah. Saat Rian berusia 15 tahun, ayahnya jatuh sakit. Penyakit paru-paru akibat bertahun-tahun menghirup asap rokok dan debu sawah. Dokter bilang, ia butuh perawatan mahal di kota.
Sari menjual perhiasan emasnya, bahkan meminjam uang dari tetangga, untuk membawa Pak Darno ke rumah sakit.
Rian melihat ibunya menangis diam-diam di malam hari, tapi di siang hari ia tetap kuat.
“Ayah harus sembuh, Nak. Kita harus kuat,” katanya.
Setahun kemudian, Pak Darno meninggal. Pemakaman itu sederhana, di bawah pohon kelapa tua. Rian menangis tersedu-sedu, memeluk peti ayahnya, sementara Sari hanya diam dengan mata kosong. Setelah itu, hidup mereka berubah.
Sari bekerja lebih keras, mengurus sawah sendirian sambil membesarkan Rian dan adiknya. Ia tak pernah menikah lagi, meski tetangga sering menyarankan.
“Cukup anak-anakku yang membuatku bahagia,” katanya.
Waktu berjalan.
Rian kuliah di kota. Ia janji akan pulang setiap libur, tapi kesibukan membuatnya jarang menepati janji. Kadang, ponselnya berdering — nama “Ibu” muncul di layar — tapi ia menundanya, beralasan sedang rapat kelompok atau shift kerja.
“Nak, kapan pulang? Ibu rindu,” suara ibunya lembut.
“Besok, Bu. Besok aku pulang,” jawab Rian.
Tapi besok itu tak pernah datang.
Di malam-malam sepi di kamar kos, ia sering menatap foto keluarganya yang mulai kusam. Tapi rasa bersalah itu ia tekan jauh-jauh, menutupi dengan kesibukan. Hingga suatu malam, saat radio tetangga memutar lagu Titip Rindu Buat Ayah dari Ebiet G. Ade, hatinya seperti diremas.
“Ayah… dalam hening sepi ku rindu…Untuk menuai padi milik kita tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan anakmu sekarang banyak menanggung beban”
Ia terdiam lama, lalu air matanya jatuh.
Rian sadar, ia bahkan tak pernah mengucap terima kasih pada ayahnya yang telah bekerja hingga tubuhnya rusak demi masa depan mereka. Malam itu, ia menyalakan ponsel, menatap nama ibunya yang sudah lama tak dihubungi, dan berbisik pelan,
“Bu, aku pulang.”
Perjalanan malam itu panjang. Bus melaju menembus kabut dan suara roda beradu dengan aspal seperti irama kenangan. Setiap tiang listrik yang terlewat seolah membawa bayangan masa kecil — tawa ayah, panggilan ibu dari dapur, aroma nasi hangat di pagi hari.
Ia sampai di desa saat fajar baru menyentuh sawah. Langit berwarna keemasan, dan udara terasa bersih — jauh dari hiruk pikuk kota.
Ia melihat rumah kayu itu masih berdiri, sederhana tapi hangat. Dari dapur, terdengar suara radio tua dan nyanyian pelan. Lagu yang sama — lagu Iwan Fals.
“Ibuku sayang, masih terus berjalan…”
Langkahnya terhenti di depan pintu.
“Bu…” panggilnya lirih.
Sari menoleh. Sekejap matanya melebar. “Nak? Kamu pulang?”
Ia berlari memeluk anaknya. Pelukannya hangat, meski tubuhnya kini lebih kurus, rambutnya lebih putih.
“Ibu rindu sekali,” bisiknya sambil menahan tangis.
Rian membalas pelukan itu erat. “Maaf, Bu. Aku terlalu sibuk. Aku rindu Ayah juga.”
Malam itu mereka duduk di beranda, bercerita panjang tentang sawah, tentang adik Rian yang kini bekerja di pabrik, dan tentang kehidupan yang berjalan pelan tapi pasti.
“Ayah pasti bangga padamu, Nak. Ia selalu bilang, ‘Rian akan jadi orang besar’,” kata Sari sambil menatap langit malam.
Rian mengangguk. Matanya basah, tapi hatinya hangat.
Ia sadar, cinta orang tua itu seperti sungai — mengalir tenang, tak selalu terlihat, tapi selalu ada.
Keesokan harinya, Rian pergi ke makam ayahnya membawa bunga melati. Ia duduk lama, menatap nisan sederhana di bawah pohon kelapa.
“Ayah… titip rindu buat Ibu. Aku akan jaga dia,” bisiknya.
Angin berhembus pelan, menggoyang daun-daun kelapa. Seolah alam menjawab doanya.
Pulang ke rumah, Rian membantu ibunya di sawah.“Nak, ini padi sudah mulai tinggi,” kata tetangga sambil tersenyum.“Iya, Bu. Aku akan bantu panen nanti,” jawab Rian.
Ia menatap sawah, mengingat ayahnya mengajari membajak saat hujan. “Ayah pasti senang lihat ini,” pikirnya. Lumpur menempel di kakinya, tapi ia tersenyum. Di situ, ia belajar lagi tentang arti cinta tentang pengorbanan, ketulusan, dan kesabaran yang tak pernah menuntut balasan.
Hidup di desa itu sederhana, tapi penuh makna. Walaupun jauh dari kata kemewahan, gengsi dan lainnya. Tapi didesa lah kita bisa mendapatkan cara menikmati hidup yang sebenarnya. Ditengah hiruk pikuk kehidupan di kota, dengan kembali ke desa kita bisa merasakan ketenangan yang tidak bisa kita dapatkan ketika kita di kota.
Rian tahu, kali ini ia tidak akan pergi terlalu lama. Karena di sanalah, di tanah yang penuh kenangan itu, ia menemukan kembali rumah dan cinta yang tidak akan pernah habis.