Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Iya, nanti kubelikan.”
Istrinya tampak kurang percaya dengan perkataan Kasmun.
“Minyak goreng dan telur juga sudah habis. Tahu tempe juga habis. Kalau tidak ada telur, tahu, atau tempe, besok kita lauk apa? Tak mungkin ayam, kan?”
Kasmun tertawa gelak-gelak, ia merapikan dasi dan mengencangkan sabuk. Bangkit dari tempat duduk, dielusnya kepala sang istri. “Kau tenang saja, nanti aku akan sedikit lembur, Usman pasti memberi upah lebih dan uang itu bisa untuk beli susu, minyak, dan telur.”
Sang istri mencium punggung tangan Kasmun, mencoba tersenyum menyemangati. “Aku tunggu kau di rumah.”
“Aku pergi dulu.”
Dengan langkah lebar, Kasmun menancapkan kunci ke motor tua yang ketika direm terdengar bunyi “cit … cit … cit”
Seorang tetangga lewat, orang itu menyapanya ramah.
“Wah, Pak Bos berangkat kerja, nih.”
Kasmun tersenyum canggung, saling lirik dengan sang istri dan ia balas berkata. “Jangan berlebihan, Pak.”
Tetangga itu hanya tertawa lalu berlalu dengan cangkul di pundak.
Sekali lagi Kasmun memberi anggukan singkat kepada sang istri sebelum menarik tuas gas lalu pergi menuju kota.
Sawah ladang luas dilewati, hawa sejuk menenangkan dirasakan Kasmun yang masih tersungging sedikit senyum. Beberapa menit berselang jalan mulai lebar dan menurun, ketika sudah tampak banyak sekali perempatan dan pertigaan, itulah wilayah kota.
Kasmun menghentikan motornya di tempat parkir umum sebelah gedung berlantai sebelas. Setelah melepas helm dan ditaruh di atas spion kanan, Kasmun dengan langkah gagah berjalan menuju gedung besar tersebut.
Akan tetapi dia tidak berbelok menuju pintu utama gedung tersebut, melainkan terus lurus sampai tiba di sebelah JPO. Di sana tergantung rompi oranye dengan kaos lusuh yang entah sudah berapa lama tak terkena air sabun. Kasmun melepas dasi dan baju rapinya, berganti dengan kaos dengan rompi oranye. Dia juga mengambil bendera simapore dan peluit tak jauh dari sana. Setelah mengenakan penutup wajah, ia lekas pergi ke tengah jalan tempat pertigaan berada.
Ya, inilah pekerjaan Kasmun, menjadi tukang penyeberang jalan. Tak ada baju rapi atau Usman yang sang istri ketahui, tak ada menjadi bos seperti yang tetangga sangka, Kasmun adalah pria berompi oranye dengan bendera simapore dan peluit kencang.
Dengan uang sumbangan orang-orang yang melempar koin 500 atau 1000, Kasmun menghidupi anak istri di rumah. Sang istri mengira Kasmun bekerja jadi buruh lepas di tempat seorang teman bernama Usman, dan tetangga mengira Kasmun masih menjadi supervisor di sebuah perusahaan besar seperti dulu tanpa tahu bahwa Kasmun telah dipecat.
Penutup wajah itu Kasmun gunakan bukan sebagai pelindung panas, tapi untuk menutup identitas agar tak ada tetangga yang mengenal. Ia berseru-seru, meniup peluit, mengibarkan bendera simapore, menyeberangkan orang, dan kalau beruntung mendapat sumbangan.
Tanpa terasa, tengah hari tiba.
Kasmun kembali ke sebelah JPO setelah membeli sebotol air mineral, di sana sudah duduk orang lain.
“Mun, makan!” orang itu berseru seraya menunjukkan dua nasi bungkus di tangan kanan dan kiri.
Kasmun terbelalak, ia lekas menghampiri orang tersebut dan menyalaminya. “Rudi, sudah tiga hari tak kelihatan, ke mana saja kau?”
Rudi balas tertawa. “Aku coba berkeliling di wilayah lain, tapi hasilnya sama saja.”
Kasmun mengambil sebuah bungkus makanan yang dibawa Rudi, melihat isinya, ternyata itu adalah nasi padang dengan lauk ikan bakar. “Kau beli ini? Yang benar saja?!”
“Tentu saja tidak.” Tanpa memedulikan tangan kotor, Rudi mencomot nasi dari bungkusan dan memasukkannya ke mulut. “Ada orang baik yang memberiku.”
Dia adalah Rudi, lelaki empat puluh lima tahun ini adalah seorang sahabat dengan nasib kurang beruntung. Masa mudanya berhasil menggapai gelar S1 jurusan ekonomi, tapi takdir dan negeri yang kejam berhasil membuat Rudi hidup di jalan.
Ibu dan ayahnya cerai dengan alasan yang tak Kasmun tahu. Perusahaan di sana dan sini menolak, Rudi selalu kalah dengan “orang dalam”. Entah bagaimana, akhirnya Kasmun bertemu Rudi di jalanan. Rudi sang pengemis dan Kasmun sang penyeberang jalan.
“Aku ingin coba mulung.” Rudi memamerkan karung besarnya. “Menurutmu sampah apa yang laku?”
Sambil terus menyuap makanan dengan lahap, Kasmun menjawab. “Botol plastik banyak, atau botol kaca, atau kaleng. Setahuku itu laku di penjual rosok.”
Rudi menganggku-angguk. “Setelah makan aku akan mulai mulung. Penghasilan dari ngemis hanya boleh untuk makan, makan pun masih kurang.”
Ya, begitulah Rudi. Walau dia pengemis, tapi Kasmun sering merasa kagum dengan mentalnya. Rudi selalu berpegang teguh pada prinsip bahwa hasil mengemis hanya untuk makan, tak boleh untuk hal lain. Rudi pula yang memegang teguh prinsip bahwa pengemis adalah pemalas.
Kasmun sudah menghabiskan makanannya. Ia membuang kertas minyak itu ke sampah, minum dari botol air mineral beberapa teguk lalu berpamit pada Rudi untuk kembali ke tengah jalan.
Sepertinya hari ini Kasmun sedang mujur, baru saja dia kembali ke jalan, ada dua mobil mewah menyeberang dan masing-masing melempar uang kertas warna hijau padanya. Ketika mengambil uang tersebut, Kasmun melihat ke arah pinggir JPO tempat di mana Rudi mendengarkan telepon genggam jadulnya. Telepon genggam dengan banyak tombol itu.
Kasmun mengerutkan kening, hanya satu inilah kebiasaan sahabatnya yang tak pernah ia pahami. Apa yang didengarkan dari telepon genggam itu? Padahal ketika Kasmun bertanya ia sedang menelepon siapa, Rudi selalu menjawab dia tidak sedang menelepon siapa-siapa.
***
Kemarin Kasmun tak perlu terlalu banyak bohong kepada sang istri karena dia berhasil membelikan minyak, telur, dan susu untuk sang anak. Uang yang tersisa memang amat mepet, tapi baginya tak apa selama istri dan anak bisa makan.
Hari ini rutinitas seperti hari kemarin. Ketika Kasmun tiba di sebelah JPO, Rudi sudah di sana, menghela napas panjang beberapa kali.
“Kenapa, Rud?” tanya Kasmun sambil melepas dasi dan baju untuk berganti dengan kaos lusuh dan rompi oranye.
Rudi memandangnya selama beberapa saat sebelum menjawab. “Kemarin aku kena tipu tukang rosok, sialan!”
“Astaga, malang sekali kau. Baru pertama kali mulung langsung kena tipu.” Niat Kasmun untuk mencairkan suasana, tapi ia baru sadar sepertinya itu cukup menyinggung. “Maaf, bukan maksudku.”
Rudi menggeleng lemah. “Setelah selesai menjual hasil mulung, ada pemulung lain datang dan mengatakan padaku bahwa apa yang kujual seharusnya bisa lebih mahal dari apa yang kudapat. Dia bilang kalau tukang rosok tempatku menjual hasil mulung kemarin memang kurang jujur, sialan benar!”
“Bersyukurlah Rud, ada orang yang mengingatkanmu. Jadi kau bisa cari tukang rosok yang lain.” Kasmun memakai penutup wajahnya.
Rudi memandang Kasmun dari atas sampai bawah dengan tatapan menyelidik.
Kasmun yang diperlakukan seperti itu tentu merasa sedikit aneh. “Ada apa?”
Rudi menggeleng singkat sebelum berkata. “Bukankah aku juga harus mengatakan itu kepadamu?”
Kasmun memiringkan kepala tak mengerti.
“Maksudku, bukankah kau juga termasuk orang yang kurang bersyukur?”
Kening Kasmun mengerut. “Maksudmu?”
Pemulung itu mengedikkan bahu. “Jujurlah pada istrimu, Mun. Sudah berkali-kali aku bilang.”
Kasmun merasa makin tak nyaman dan berdecak lidah. “Nanti kalau aku sudah dapat pekerjaan baru, aku akan jujur kepadanya.”
“Terserah.” Rudi mengeluarkan telepon genggamnya. “Boleh numpang istirahat di sini?”
Kasmun mengangguk singkat. Dia sudah bisa menebak kalau Rudi akan istirahat sambil mendengarkan telepon genggamnya. Dia tak pernah tahu apa yang didengarkan Rudi, jika dia mengajukan pertanyaan tentang itu, Rudi pasti tak pernah mau menjawabnya.
Kurang sepuluh menit berselang, ada seseorang yang menghampiri tempat Rudi duduk. Rudi menghentikan kegiatannya mendengarkan telepon genggam, menyambut orang itu dengan senyum lebar. Ternyata ada orang yang memberi dua bungkus makanan pada Rudi. Rudi menunjukkan salah satu bungkus kepada Kasmun yang masih di tengah jalan, Kasmun hanya melambaikan tangan sebagai tanda bahwa ia akan memakannya nanti.
Sepuluh menit lagi berselang, Rudi sudah selesai makan dan dia mengambil karung besar lalu pergi meninggalkan sebelah JPO. Kasmun tak terlalu menghiraukan, ia tetap di tengah jalan menyeberangkan atau membantu para pengendara putar balik.
Tepat tengah hari, Kasmun kembali ke sebelah JPO. Begitu tangannya mengambil bungkus makanan pemberian Rudi, dia terkejut saat menyaksikan telepon genggam di tempat Rudi duduk tadi.
Kasmun terbelalak, lekas menyelamatkan benda tersebut dan bersyukur bahwa tadi tak ada orang melihat. Kalau sampai diambil orang, Kasmun merasa Rudi akan amat kecewa.
Dia melihat-lihat benda itu, menurutkan insting, ingin ia mengejar Rudi untuk mengembalikannya. Namun, ia berpikir Rudi sudah pergi jauh dan besok masih bisa ia kembalikan.
Setelah selesai makan, Kasmun kembali melihat telepon genggam yang tadi ia masukkan ke dalam saku. Dibolak-baliknya benda tersebut, lalu ingat kepada anak istri di rumah.
“Benda ini sudah jadi barang antik sekarang,” gumamnya. “Bukankah kalau dijual harganya cukup mahal?”
Pada saat itu jempol Kasmun tanpa sengaja menekan salah satu tombol yang membuat benda itu menyala. Terdapat gambar kucing putih lucu di sana. Kasmun tak tahu cara mengoperasikan telepon lawas ini, tapi dia melihat ada riwayat pemutar lagu di layar utama.
“Apa ini?”
Walau dia tidak tahu bagaimana cara mengoperasikannya, tapi Kasmun masih tahu cara untuk memutar riwayat lagu tersebut.
Ia menekan tombol dan mendekatkannya di telinga.
Terdengarlah suara wanita.
“Rud, jangan lupa makan, jangan lupa mandi, jangan bangun telat, jangan begadang, jangan minum minuman keras, hati-hati dengan kota, hati-hati dengan para penipu, hati-hati dengan calo, hati-hati dengan siapa pun.”
Ada sedikit jeda sebelum berlanjut.
“Rud, maaf kalau aku tak bisa menepati janji, tapi kau tak boleh tumbang hanya karena ini. Tiga hari lagi aku akan menikah, maaf tak mengabarimu. Kau tahu, ayah ibuku sama sekali tak merestui hubungan ini. Tapi, kau juga harus tahu, ada banyak wanita yang lebih baik dariku di luar sana, jangan sampai hanya karena ini mimpimu hancur. Bukankah kau ingin jadi guru?”
Lalu jeda, lalu kembali terdengar suara itu.
“Sampai jumpa.”
Tangan Kasmun bergetar, ternyata inikah yang selalu didengar oleh sahabatnya? Inikah yang membuat Rudi tak pernah menikah sampai umur empat lima? Inikah sahabatnya? Dan dia baru saja akan menjual benda ini lalu pura-pura tidak tahu!
Dari kejauhan tampak tubuh Rudi yang berjalan perlahan. Begitu sampai di bawah naungan JPO, Kasmun memberinya botol air mineral.
“Minumlah,” katanya.
Namun, Rudi tak menggapai botol itu, tatapannya justru jatuh ke tangan kiri Kasmun yang memegang telepon lawas.
Rudi tersenyum tipis. “Jadi, kau sudah tahu?”
Tubuh Kasmun semakin bergetar, rasanya ia ingin menangis. Hanya soal harga diri yang mencegahnya untuk meneteskan air mata.
Suara Kasmun terdengar serak saat berkata. “Itu … itu suara istriku ….”