Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Rindu Suara Azan
0
Suka
1,933
Dibaca

"Adam, ke ruangan saya dulu."

"Baik, Pak." Aku mengembuskan napas panjang. Jika Pak Raka sudah bilang begitu, sudah pasti ada masalah.

Aku membuntuti Pak Raka menuju ruangannya. Padahal ini jam istirahat, harusnya digunakan untuk makan siang, tetapi terpaksa harus mendengar ocehan atasanku dulu. Waktu istirahatku berkurang dan bonusnya nafsu makan pasti hilang.

Kami duduk berhadapan, terhalang meja kerja Pak Raka yang di atasnya tertumpuk beberapa dokumen.

"Coba jelaskan, ini apa?" Pak Raka menyodorkan sebuah map berisi laporan. Aku tidak menjawab, Pak Raka menatapku dalam.

"Saya sudah memercayakan projek ini padamu karena saya lihat pekerjaanmu bagus. Tapi lihat sekarang, semuanya kacau!" Pak Raka menggebrak meja.

"Maaf, Pak," ucapku pelan, tidak berani melihat wajahnya.

"Memangnya kata maaf bisa menutupi kerugian yang kamu buat?" Pak Raka memijit pelipisnya. "Saya terlalu berharap banyak padamu."

"Saya akan segera memperbaikinya, Pak." Aku mencoba untuk bertanggung jawab.

"Tidak perlu! Harusnya kamu mengerjakannya kemarin. Untuk apa memperbaiki hal yang sudah jelas gagal?"

Entah apa yang salah dari diriku, akhir-akhir ini aku kacau. Semua yang aku kerjakan selalu salah dan pikiranku tidak pernah merasakan ketenangan.

Aku hanya diam mendengarkan ocehan Pak Raka yang tiada habisnya. Dalam beberapa bulan terakhir, masalah berdatangan tanpa henti, membuatku tidak fokus. Aku juga sering keluar masuk ruangan Pak Raka untuk mendapatkan cacian dan makian atas pekerjaanku yang berantakan.

"Gaji kamu saya potong!" ucapan itu mengakhiri ocehan panjang Pak Raka yang langsung menyuruhku keluar dari ruangan.

Akhirnya, waktu istirahat kulewati tanpa makan siang. Saat keluar dari ruangan Pak Raka, istirahat sudah selesai. Aku mengembuskan napas panjang saat kembali duduk di kursi kerjaku. Terdengar samar-samar beberapa karyawan berbisik membicarakanku. Terserahlah ....

"Sabar, Bro." Seseorang menepuk pundakku dan menyodorkan sebungkus roti dan sekaleng kopi kemasan.

"Makasih." Aku tersenyum dan menerima pemberiannya.

Selagi Pak Raka tidak mengawasi, aku bisa makan diam-diam untuk mengganjal perut. Untungnya, masih ada teman baik yang membelikanku roti.

***

Dalam perjalanan pulang, aku bingung harus bagaimana. Istriku pasti akan mengomel saat mendengar kalau gajiku dipotong lagi untuk yang kesekian kalinya.

Aku sengaja memelankan laju motor supaya tidak harus cepat-cepat sampai di rumah. Karena suasana rumah tidak jauh lebih memuakkan daripada kantor. Rasanya, istriku menjadi jauh lebih banyak mengomel daripada mengurus pekerjaan rumah.

Bising! Tidak adakah tempat yang bisa membuatku tenang tanpa harus mendengar apa yang orang lain katakan?

Mau sepelan apa pun aku melajukan motor, pada akhirnya aku tiba juga di halaman rumah. Dalam otakku sudah terbayang suasana saat aku membuka rumah sederhana itu.

Aku mengembuskan napas panjang saat menurunkan handle pintu. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, akhirnya Mas pulang juga. Token listrik sudah bunyi dari tadi, malu didengar tetangga. Aku sudah tidak pegang uang." Ida sudah memburu kedatanganku dengan masalah kebutuhan rumah yang belum terpenuhi.

Aku mengempaskan tubuh di sofa butut ruang tamu. Merogoh saku, dan memberikan semua sisa uang yang kupunya pada Ida.

"Cuma segini?" Ida memicingkan matanya.

"Iya, tinggal itu." Aku menjawab malas.

"Ini hanya cukup untuk membeli token buat satu minggu. Bekal sekolah anak-anak besok bagaimana? Belum lagi, katanya bulan depan si kakak mau berangkat study tour dan minggu depan pembayarannya harus sudah dilunasi." Entah sejak kapan, Ida selalu menodongku dengan berbagai permasalahan yang seharusnya bisa dibicarakan setelah aku beristirahat sejenak.

"Iya, nanti aku pikirin lagi." Aku tidak mau berdebat panjang seperti sebelum-sebelumnya. Aku sudah terlalu lelah.

"Kamu selalu bilang begitu, Mas. Aku sudah malu hutang sana-sini buat memenuhi kebutuhan kita. Sudah capek jadi omongan tetangga."

"Memangnya kamu pikir aku gak capek? Kamu pikir aku kerja banting tulang buat siapa? Buat kamu dan anak-anak kita juga! Kamu bisa sabar, gak, sih? Aku lagi usaha! Kamu pikir gampang cari uang?" Pada akhirnya selalu seperti ini, niatku untuk tidak berdebat dengan Ida akhirnya hilang.

Aku tidak suka ketika Ida berbicara seolah-olah selama ini aku tidak melakukan apa pun untuk keluarga ini.

Ida berteriak-teriak memaki dan membicarakan banyak hal. Tidak ingin memperpanjang masalah, aku pun beranjak pergi ke kamar dan memilih merebahkan badan.

Seperti sudah menjadi rutinitas harian untuk mendengar makian dari Ida sebelum tidur. Setelah kejadian hari itu, di mana aku dan Ida bertengkar hebat karena aku membawa kabar kalau gajiku dipotong. Setelah itu, tidak ada lagi suasana harmonis dalam rumah.

Salahku juga, kala itu terlalu stress dan meluapkan semua emosi yang tertahan kepada Ida. Alhasil, kini wanita itu pun melakukan hal yang sama padaku.

Aku menatap langit-langit kamar, sayup masih terdengar Ida yang masih mencercaku tanpa peduli kalau anak-anak mungkin saja mendengar keributan ini.

Ah, berisik sekali. Rasanya, aku ingin menjadi tuli saja supaya tidak perlu lagi mendengarkan ocehan orang-orang.

***

Aku sengaja tidak langsung pulang sore ini, memilih untuk berhenti di alun-alun kota untuk sekedar duduk melihat pemandangan sekaligus menjernihkan pikiran.

Hari ini benar-benar kacau. Gaji yang harusnya aku terima hari ini sengaja Pak Rama tahan. Aku akan menerimanya setelah menyelesaikan projek yang sedang kukerjakan sampai berhasil disetujui klien. Entahlah ... omong kosong macam apa itu.

Aku menghabiskan waktu dengan duduk termenung. Rasanya tidak ingin pulang.

"Nak Adam bukan?" Suara seseorang membuyarkan lamunan.

"Eh? Ah, iya." Aku mengangguk saat melihat sosok paruh baya di depanku. Ia adalah Abah Muan, pria tunarungu yang usianya sudah hampir tujuh puluhan. Ia hidup sendirian dan menolak untuk ikut anak-anaknya. Aku bisa tahu karena rumahnya tepat berada di sebelah rumahku.

Ia duduk di sampingku. "Abah tadi kedatangan cucu dari kota. Niatnya mau ajak main di sini, tapi katanya mau jalan-jalan sama ibunya saja. Maklum, kalau sama Abah, dia mau ini itu susah ngomongnya. Abah, kan, gak bisa denger. Gak ngerti juga dia ngomong apa. Hahaha." Abah Muan menjelaskan mengapa ia berada di sini.

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Bingung juga harus menjawab seperti apa, aku tidak tahu bahasa isyarat.

"Terkadang, Abah juga pengen bisa denger lagi. Dengar istri ngomel, anak-anak ribut, hahaha. Padahal dulu gak suka denger suara bising, karena bikin pusing. Hahaha." Tawanya terdengar renyah.

Aku hanya tersenyum kecut.

"Nak Adam, jam berapa sekarang? Sudah azan magrib?"

Aku menggeleng dan menunjukkan jam yang tertera di ponsel.

"Oh, Abah kira sudah azan magrib." Abah Muan menatap ke depan.

Selang beberapa menit, lantunan azan terdengar. Aku menepuk-nepuk tangan Abah Muan dan menunjuk masjid yang berada tak jauh dari tempat kami duduk.

"Sudah azan, ya? Alhamdulillah."

Aku pikir Abah Muan akan langsung bangkit dan menuju masjid untuk melaksanakan salat magrib. Namun, pria tua itu masih diam dan pandangannya tak luput dari masjid itu.

"Abah rindu ... suara azan."

Aku menatap wajah keriputnya yang tampak sedih. Tidak tega melihat wajah tua itu bersedih, aku berdiri dan mengajaknya ke masjid untuk salat bersama.

Abah Muan berjalan dengan semangat memasuki area masjid, sedangkan aku hampir menangis melihat bangunan megah yang menyejukkan ini. Sudah berapa lama aku tidak menginjakkan kaki di sini?

Ya Allah, maafkan hambamu ini. Mungkinkah semua masalah yang menimpaku ini adalah seruan-Mu yang tidak pernah aku sadari? Padahal Engkau selalu memanggilku lima kali dalam sehari, tetapi aku selalu mengabaikannya.

Aku masuk dan berwudu, lalu ikut salat bersama jemaah yang lainnya.

Setelah usai, aku tidak lantas pulang dan memilih untuk duduk melipir di teras masjid, hanya untuk menikmati gelayar menyejukkan yang seolah-olah mengisi energi yang selama seharian ini terkuras. Beberapa orang pun melakukan hal yang sama, duduk di pinggiran sambil sesekali bertegur sapa.

Beberapa orang di sekitarku pun mulai mengajak bicara. Siapa sangka hanya karena aku duduk dan ngobrol sebentar dengan beberapa jemaah, jalan lain untuk masalah ekonomiku terbuka.

Seseorang menawarkan akun ojek online-nya untuk aku pakai. Katanya, dia sudah berhenti mengojek karena sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus. Ia juga berkata lebih baik dipakai orang daripada dibiarkan. Lebih bagusnya lagi, Ia tidak meminta bayaran apa pun.

Aku tidak menyangka, orang yang pertama kali kutemui menjadi jembatan penolong yang Allah kirim untukku.

Aku berpamitan dan bergegas pulang. Rasanya langkahku menjadi ringan. Bahkan sesampainya di rumah, aku tidak ragu-ragu lagi membuka pintu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Ida langsung menghampiri, "Mas, uang buat study tour si kakak tiga hari lagi sudah harus lunas, kalo enggak dia gak bisa ikut. Katanya laporan ilmiahnya nanti jadi syarat buat ikut ujian nasional. Terus, uang sekolah si adek sudah nunggak tiga bulan, kalau gak segera dibayar bisa dikeluarin dari sekolah."

Aku menatap Ida dan tersenyum. "Iya, Mas lagi usahain. Sabar, ya, Allah pasti kasih jalannya." Aku lantas memeluk tubuh istriku dengan erat dan mengusap puncak kepalanya.

"Maafin, Mas, ya, Dek. Kamu pasti capek jalanin ini semua. Maaf, Mas belum bisa bahagiain kamu sama anak-anak. Tapi, Mas selalu usahain yang terbaik buat keluarga ini. Makasih, ya, kamu masih mau bertahan sama Mas." Aku mengecup kepala Ida, dan saat itu juga wanita itu menangis.

Memang benar kata-kata yang seringkali aku baca di media sosial, perbaikilah salatmu, maka Allah akan perbaiki hidupmu.

***

Sumedang, 16 Desember 2023

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Rindu Suara Azan
aksara_g.rain
Cerpen
Selembar Dunia
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Di Era Pesantren Sekarang
Hilmi Azali
Cerpen
-2. Rumpang
Rumpang Tanya
Cerpen
Bronze
By Your Side
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Bronze
Mata Cekung Mbah Kukung
Nabil Jawad
Cerpen
Lost In Translation (Karena kamus saja tidak cukup)
Lada Ungu
Cerpen
Copper Miss
Ratna Arifian
Cerpen
Bronze
Wanita Pembatik
Nabilla Shafira
Cerpen
The Lost's Neighborhood Serenity
Hafizah
Cerpen
Hilang Akal
Yuli Harahap
Cerpen
Sarma's Story
Brigita Tampubolon
Cerpen
The Real Lie Detector
Tia Dia
Cerpen
Bronze
Aku Ingin Terlahir Kembali
Anggrek Handayani
Cerpen
OMA-OMA MERESAHKAN
Zirconia
Rekomendasi
Cerpen
Rindu Suara Azan
aksara_g.rain
Cerpen
Diammu Bukan Emas
aksara_g.rain
Cerpen
MONAS
aksara_g.rain
Cerpen
Bronze
Balkon Lantai 4
aksara_g.rain
Flash
Bronze
Gara-Gara Status
aksara_g.rain
Cerpen
Salah Siapa?
aksara_g.rain
Cerpen
Janji Kelinci
aksara_g.rain
Cerpen
Badut
aksara_g.rain
Cerpen
Cinta Sepanjang Durasi
aksara_g.rain
Novel
Black Rose
aksara_g.rain
Cerpen
Jas Hujan Biru
aksara_g.rain
Novel
Yang Terkenang
aksara_g.rain